Tampilkan postingan dengan label My Articles In The Past. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Articles In The Past. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Mei 2009

Bersabarlah Adrian, Jalanmu Masih Panjang!

Tentunya masih terbayang dengan jelas dalam ingatan kita kita semua betapa gegap gempitanya seluruh penjuru tanah air ketika satu catatan sejarah baru terukir pada tahun 1985. Seorang putra Saparua, Ellias Pical, secara gemilang berhasil merebut gelar juara dunia kelas bantam yunior versi IBF (International Boxing Federation) dengan memukul roboh Ju Do Chun dari Korea Selatan pada babak kedelapan.Histeria massal yang juga diiringi derai air mata sebagai ungkapan rasa syukur kiranya memang pantas terjadi. Baru pada saat itulah, pertama kalinya seorang putra Indonesia berhasil menggapai gelar terhormat yang sebelumnya amat didambakan dan juga mampu mampu mengangkat nama bangsa di blantika olah raga tinju dunia.

Keberhasilan ini terasa benar-benar mengesankan mengingat sebelumnya telah beberapa kali pil pahit harus di telan oleh para pendahulunya. Sebagai misalnya, Thomas Americo petinju asal Timor Timur yang gagah berani dan merupakan petinju Indonesia pertama yang mendapatkan kesempatan terpuruk di tangan Saoul Mamby, juara bertahan kelas welter yunior versi WBC (World Boxing Council). Setelah itu, Juhari dan Joko Arter yang diharapkan bisa menebus kegagalan Thomas Americo juga harus pulang dengan tangan hampa setelah ditundukkan oleh lawan-lawan mereka di Korea Selatan.

Beberapa kali Elly mampu mempertahankan gelarnya. Bahkan, sebenarnya ia juga menciptakan catatan prestasi seperti halnya yang telah ditorehkan oleh Muhammad Ali serta Evander “The Real Deal Holyfield” sebagai petinju yang berhasil merebut gelar juara dunia tiga kali. Sebagaimana halnya Muhammad Ali, Elly juga harus beberapa kali jatuh untuk kemudian bangun lagi. Pertama kalinya ia dikalahkan dengan angka tipis oleh Cesar Polanco –seorang petinju bergaya boxer asal Republik Dominika- setelah bertarung sengit selama lima belas babak penuh. Karena masih merasa penasaran dengan kekalahan itu, kubu Elly meminta untuk dilaksanakan pertandingan ulang (rematch) yang ternyata disetujui oleh Cesar Polanco. Tentu saja dengan meminta bayaran yang sangat tinggi untuk ukuran saat itu. Pada pertarungan yang digelar oleh promotor Anton Sihotang di IstOra Senayan, Elly mampu tampil secara gemilang. Dipatahkannya tulang rusuk Cesar Polanco dengan berondongan upper cut kirinya yang terlontar dahsyat laksana peluru kendali Exocet sehingga terkapar di ronde ke tiga. Ia sempat satu kali mempertahankan gelarnya dengan merobohkan petinju Korea Selatan di ronde ke sepuluh.

Untuk kedua kalinya, ia terhempas ketika ia mencoba menantang keperkasaan Khaosai Galaxi, juara kelas bantam yunior versi WBA (World Boxing Association) asal Thailand yang sangat garang sehingga dijuluki Aira (Raja Bantai). Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Khaosai Galaxi merupakan petinju yang sangat menakutkan sehingga bisa dikatakan sebagai Mike Tyson di kelasnya. Ia mempunyai daya tahan terhadap pukulan yang amat mengagumkan berkat olah raga bela diri tradisional Thailand yang kini sangat termasyhur di seluruh penjuru dunia yang telah ditekuninya sejak kecil, yakni Kick Boxing. Selain itu, pukulan tangan kanannya juga sangat keras sehingga banyak diantara lawannya terjungkal di babak-babak awal. Melalui pertarungan yang berlangsung dengan amat keras, brutal, dan berlumur percikan darah dari kedua petinju, Elly harus tersungkur di babak ke empat belas. Seusai kekalahan yang sangat menyakitkan ini, ia harus merangkak dari awal dengan melakukan pertarungan eliminasi melawan Sukardi, seorang petinju pemula dari Surabaya.Pertandingan itu dimenangkannya dengan knock out di ronde ketiga.
Ketika Anton Sihotang memberikan kesempatan ketiga, ia tidak menyia-nyiakannya. Juara bertahan asal Korea Selatan, Tae Il Chang, dibuatnya bulan-bulanan selama lima belas ronde sebelum akhirnya dinyatakan kalah angka telak. Tiga kali ia mempertahankan gelar dengan mengalahkan lawan-lawannya semisal Raul Ernesto Diaz (Kolumbia), Ki Chang Kiem (Korea Selatan), dan Mike Phelps (Amerika Serikat). Pertambahan usia memang tidak bisa diingkari. Akhirnya, ia harus rela menyerahkan gelarnya kepada Juan Polo Perez dari Kolumbia setelah bertarung selama dua belas babak penuh pada pertandingan yang diselenggarakan oleh Cedric “Big Ced” Kushner di Roanoke, Amerika Serikat.

Sesudah Elly, memang ada Nico Thomas yang sempat merebut gelar juara dunia kelas terbang mini versi IBFdari tangan Samuth Sithnaruapol dari Thailand. Akan tetapi, gelar yang dimilikinya tidak bertahan lama. Pada saat pertama kali ia mempertahankan gelar, ia harus mengakui kehebatan Eric Chavez dan menyerah kalah pada babak kelima. Sebenarnya, beberapa petinju Indonesia yang berhasil tampil sebagai juara dunia semisal Ahzadin Anhar (kelas terbang yunior), Piruz Boy (kelas bantam yunior), Husni Ray (kelas terbang mini), Junai Ramayana (kelas bantam), Muhammad Nurhuda (kelas bulu yunior), Ricky Matulessy (kelas bantam yunior), dan Yani Malhendo (kelas terbang yunior). Namun, gelar yang mereka raih merupakan gelar juara yang dipandang kelas dua, yakni IBF Intercontinental. Demikian pula Suwito La Gola dan Ajib Albarado yang masing-masing menyandang gelar juara dunia kelas welter dan welter yunior versi World Boxing Federation, badan tinju dunia baru yang namanya tak juga kunjung menjulang.

Kemarau prestasi kiranya terasa lama sekali menaungi dunia tinju professional Indonesia. Keberadaan seorang juara dunia dari badan tinju dunia yang reputasinya terhormat –semisal WBA, WBC, IBF, dan WBO- benar-benar kita rindukan. Penantian ini terasa semakin melelahkan bahkan berubah menjadi kekecewaan yang mendalam manakala Adrianus Taroreh –seorang mantan petinju amatir dengan pengalaman amat matang- yang diharapkan mampu merebut gelar juara dunia ternyata harus menuai nasib yang mengenaskan. Ia tumbang di babak keempat manakala mencoba menantang Orzubek “Gussy” Nazarov dari Kyrgistan pada bulan April 1996 di Tokyo. Saat ini, kiprah Adrianus Taroreh sudah tidak kita dengar gemanya lagi. Sepertinya, ia sudah patah arang dengan dunia tinju yang telah sekian lama digelutinya. Pementasan pertandingan terutama yang berlingkup internasional semakin jarang digelar sehingga ring tinju semakin sepi. Jumlah promotor yang mampu menggelar pertarungan pun bisa dihitung dengan jari.

Harapan Baru Itu Telah Muncul
Syukurlah, ada secercah cahaya menyibak awan gelap. Seorang bintang baru kembali bersinar memberikan harapan bagi dunia tinju Indonesia yang tengah dilingkupi suasana muram. Adrian Kaspari adalah nama yang saat ini menjadi titik pusat perhatian para pengamat olah raga tinju di tanah air. Ia merupakan petinju dengan bakat alam yang bagus sekali dan mendapatkan tempat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya karena sang ayah, Kaspari, adalah mantan petinju nasional yang dikenal sebagai jawara bertarung pada dasa warsa 1960. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Adrian Kaspari saat ini ditempa dalam sasana Pirrih Camp yang kita kenal mempunyai manajemen rapi di bawah pimpinan Eddy Pirrih, seorang pengusaha besar asal Surabaya yang gila tinju. Disamping itu, Adrian Kaspari juga memiliki dasar-dasar kemampuan bertinju yang tidak bisa dikatakan jelek. Sekalipun tidak sebanyak yang dimiliki oleh Ellias Pical, Adrianus Taroreh, dan Ilham Lahia, pengalaman ring amatir telah pula dikecapnya. Terakhir kalinya, ia tampil membawa bendera Jawa Timur pada Kejuaraan Nasional Yunior tahun 1992 di Palembang. Ketika itu, ia hanya mampu meraih medali perak karena dikalahkan oleh Rachman Kili-Kili dari Sumatera Selatan. Adapun mengenai Rachman Kili-Kili yang mengalahkannya, sampai saat ini ia masih menjadi petinju amatir nasional yang prestasinya kurang begitu bersinar.

Kelebihan yang dimiliki oleh Adrian Kaspari terletak pada otaknya yang amat cerdas sehingga ia bisa dengan cepat menangkap setiap pengetahuan atau teknik yang diberikan oleh pelatih bertangan dingin asal Philipina, Mario Lumacad. Ia juga mampu memaksa setiap lawan yang dihadapi untuk bertarung dengan irama yang dikehendakinya. Inilah yang biasa disebut ring generalship. Selain otaknya yang cemerlang, seperti halnya Ellias Pical Adrian Kaspari juga mempunyai pukulan yang sangat keras. Bahkan, banyak pengamat menilai bahwa dalam hal ini kemampuan Adrian Kaspari lebih besar dibandingkan Elly karena kedua tangannya baik kanan maupun kiri bisa berperan secara efektif, tidak hanya bertumpu pada salah satu saja. Hook kiri dan kanannya berdaya ledak tinggi, stratightnya menghunjam tajam, serta hentakan upper cutnya mirip patukan ular Cobra. Tak mengherankanlah bila hampir semua lawan yang dihadapinya –kecuali Hassan Ambon- tidak mampu melanjutkan pertandingan sampai dentang lonceng babak terakhir terdengar. Bahkan, banyak diantara mereka tersungkur jatuh di ronde pertama atau kedua.

Dari delapan belas kali ia bertarung, tujuh belas kali ia menghabisi lawan-lawannya dengan kemenangan knock out atau technical knock out. Sewaktu ia masih berlaga di atas ring tingkat nasional, sepuluh kali ia berturut-turut ia merobohkan lawan-lawannya. Suatu rekor bertanding yang sangat bagus untuk ukuran Indonesia saat ini.
Prestasi di arena tingkat internasional telah pula diukirnya dengan gemilang. Pada bulan Maret 1996 lalu, ia menyudahi perlawanan petinju Rusia Alexander Tiranov dengan kemenangan knock out di ronde ketiga sehinggga gelar juara dunia kelas bantam IBF Intercontinental berpindah tangannya. Keganasannya masih berlanjut. Badak Thailand, Visuth Kiattikasongka, yang kekar serta jauh lebih berpengalaman empat kali dibuatnya jatuh dan bangun sebelum menyerah di ronde kedua. Achmad Fandi yang terkenal tahan pukulan dalam satu babak harus tersuruk. Sairoung Souwannasien yang konon termasuk petinju Thailand yang cerdik ia robohkan di ronde ketiga dalam rangka mempertahankan gelar juara dunia IBF Intercontinental untuk kali pertama. Joel Junio ditumbangkannya pada babak ketujuh. Untuk lawan terakhir ini, ia adalah salah satu tukang pukul ganas andalan Philipina yang sering merobohkan lawan-lawannya jika bertarung di luar negeri semisal Korea Selatan dan Thailand. Rekor bertandingnya juga mengerikan, yaitu dua puluh tujuh kali menang dan sekali draw dengandelapan belas kali kemenngan knock out atau technical knock out. Kemenangan itu terasa lebih bermakna karena diraihnya di depan publik Philipina yang nota bene pendukung Joel Junio sendiri. Padahal, jarang sekali petinju Indonesia yang bisa memenangkan pertandingan di luar negeri. Kebanyakan diantaranya justru kalah secara tragis.

Suatu rekor baru dalam dunia tinju professional Indonesia dicatatnya dengan keberhasilannya menjadi petinju pertama yang mampu meraih gelar juara dunia dalam dua versi. Pada bulan Maret 1997 lalu, Adrian Kaspari merebut gelar juara dunia kelas bantam versi WBF Intercontinental setelah mengkanvaskan petinju Philipina, Edgar Maghanoi, pada babak pertama dalam pertarungan yang diselenggarakan di Surabaya. Terakhir kalinya, ia tampil di Jakarta pada pertengahan bulan April 1997 dalam rangka mempertahankan gelar juara dunia versi IBF serta WBF Intercontinental. Saat itu, ia menghentikan perlawanan fighter tangguh Thailand, Jittinan Banharachuporn sebelum babak pertama berakhir melalui rentetan hook serta upper cutnya yang benar-benar mematikan.

Karena kemenangan-kemenangannya yang gemilang itu serta lobby kepada pihak IBF yang ditempuh secara intensif oleh Harry “Don Seng” Sugiarto, Adrian Kaspari berhasil menempati peringkat kedua dalam jajaran sepuluh besar penantang juara dunia kelas bantam versi IBF yang saat itu dipegang oleh petinju Afrika Selatan, Mbulelo Butile. Sebenarnya, Harry Sugiarto sudah sejak lama berusaha agar Adrian Kaspari bisa berhadapan denga Mbulelo Butile. Dari segi teknis, sebenarnya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Dalam artian bahwa Adrian Kaspari pasti akan bisa mengimbangi, bahkan kemungkinan besar justru akan mampu mengalahkannya. Namun, niat itu sulit sekali terlaksana karena pihak Mbulelo Butile melalui promotor Cedric Kushner meminta bayaran yang amat tinggi, yakni $350.000. Jumlah sebesar itu sulit sekali untuk dipenuhi oleh kemampuan finansial para promotor kita. Harry Sugiarto telah berusaha menurunkan harga dengan mengajukan tawaran sebesar $250.000. Tetapi, Cedric Kushner tidak mau bergeming dari tuntutannya semula. Terlebih lagi, ia memiliki daya tawar menawar (bargaining power) yang kuat karena Mbulelo Butile masih mempunyai hak memilih lawan yang disukainya (choice right). Sehingga, ia bisa saja menolak untuk menghadapi Adrian Kaspari bila ia tidak berkenan. Konon, alasan yang melandasinya adalah karena ia merasa gentar menghadapi Adrian Kaspari yang sangat rakus kemenangan knock out di ronde-ronde awal. Ia sangat tidak ingin kehilangan gelarnya.

Keadaan ini bertambah rumit karena pada tanggal 19 Juli 1997 lalu, Mbulelo Botile harus menyerahkan gelarnya kepada Tim “Cincinatti Boy” Austin asal Amerika Serikat setelah ditumbangkan pada ronde kedelapan. Sekalipun dengan peristiwa tersebut peringkat Adrian Kaspari naik ke urutan pertama, penantian yang harus dilalui semakin panjang. Sebagaimana Mbulelo Butile, Tim Austin tentu juga tidak ingin kehilangan mahkotanya dalam waktu singkat begitu saja. Ia tidak ingin kejayaannya segera berakhir dan ia ingin mampu selama mungkin mempertahankan gelar sambil berupaya memperbesar pundi-pundi Dolarnya. Bila ia dipaksa untuk menghadapi Adrian Kaspari saat ini, tentulah ia meminta bayaran yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada yang diminta oleh Mbulelo Butile, yakni sekitar $400.000 hingga $500.000. Itulah masalah yang benar-benar memusingkan kepala. Apalagi, kita menyaksikan kenyataan bahwa saat ini upaya meyakinkan para sponsor untuk bersedia mendukung suatu pementasan tinju sulit sekali dilakukan. Mereka merasa takut sekaligus skeptis kalau-kalau dana yang dikucurkan untuk membiayanya tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan atau bahkan yang lebih buruk lagi tidak bisa mencapai titik impas (break even point).


Hikmah Dari Kesabaran Harus Bisa Diperoleh
Atas dasar kenyataan di atas, masa penantian yang harus dilalui oleh Adrian Kaspari akan semakin panjang. Sungguh menyakitkan memang. Tetapi, inilah satu tahapan kehidupan yang harus dijalani olehnya. Sebagai insan yang percaya kepada keMahaKuasaanNya, masa penantian yang harus dilewati itu hendaknya dianggap sebagai batu ujian atau proses yang menjadikannya matang serta bertambah pengalaman. Kita bisa mengatakan demikian karena telah sering kali pelajaran berharga berupa kegagalan menyakitkan dialami oleh para petinju Indonesia. Banyak diantara mereka mengalami nasib buruk karena secara gegabah diorbitkan dalam tempo yang terlalu dini sementara pengalaman bertanding terutama melawan petinju luar negeri yang telah dilakukan sangat kurang.Sebagai misal, Yani Hagler yang sesungguhnya amat berbakat harus menyerah di ronde ketiga ketika ia berusaha merebut gelar juara dunia kelas terbang yunior IBF dari tangan Doddy “The Bionic Boy” Penalosa asal Philipina. Little Pono terjungkal pada babak kedua oleh kepalan tangan Little Baquio juga dari Philipina saat ia mencoba berebut gelar juara dunia Junior WBC dengannya. Walaupun sempat berlatih di Amerika Serikat dan sangat diharapkan, ternyata Ahzadin Anhar harus tersungkur pada ronde ketiga di tangan Jeom Hwan Choi asal Korea Selatan sewaktu ia mencoba merebut gelar juara dunia kelas terbang yunior versi IBF. Adapun Gym Suryaman yang memiliki teknik serta kecerdasan tinggi harus menjadi bulan-bulanan Napa Kiawanchai dari Thailand ketika mereka memperebutkan gelar juara dunia kelas terbang mini versi Intercontinental WBC. Terakhir, Yokthai Sithoar dari Thailand merobohkan Jack Siahaya di ronde kedua dalam perebutan gelar juaradunia kelas bantam versi WBA.

Selama masa penantian, baik Eddy Pirrih selaku manajer maupun Harry Sugiarto sbagai promotor hendaknya tetap mengupayakan agar kemampuan Adrian Kaspari semakin terasah dengan jalan sesering mungkin mempertandingkannya melawan para petinju luar negeri dari beragam kebangsaan misalnya saja Mexico, Kolumbia, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jerman, dan Afrika. Tujuan lain dari upaya tersebut adalah agar Adrian Kaspari memiliki semakin banyak pengalaman dan pengetahuan sehingga ia mampu mengatasi lawan dari berbagai gaya bertanding. Tidak hanya dengan para petinju Thailand, Philipina, dan Rusia sebagaimana yang sudah sering kali dihadapi sebelumnya.

Selain mempertandingkannya secara lebih intensif, tidak ada salahnya jika Adrian Kaspari berlatih di sasana terkemuka luar negeri guna menimba ilmu lebih banyak misalnya Kronk Gymnasium yang diasuh oleh pelatih berotak brilliant, Emmanuelle Stewart yang telah banyak melahirkan juara dunia atau Big Bear Camp yang merupakan tempat Oscar “The Golden Boy” De La Hoya menempa diri. Bila upaya tersebut dilaksanakan secara sungguh-sungguh, kiranya jalan yang harus ditempuh akan semakin mudah karena sejak bulan Mei 1997 lalu Adrian Kaspari telah direngkuh dalam naungan The Don King Promotion. Dengan demikian, ia adalah petinju Indonesia pertama yang dipercaya oleh promoter dunia ternama Don King untuk bertanding di bawah benderanya. Enam belas kali pertandingan dalam jangka waktu empat tahun akan ia lakukan. Hal tersebut berarti tambahan pengalaman yang sangat berharga baginya. Tidak hanya itu, peluang untuk merebut gelar juara dunia akan tetap terbuka lebar asal saja ia bersedia bersabar. Percayalah, siapa yang bisa bersabar akan memetik hasil yang bagus nantinya. Selamat berjuang menggapai prestasi tingkat dunia Cak Adrian! Buktikan bahwa seorang arek Simo Gunung juga bisa membuat dunia kagum dan terpana!

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penikmat serta pemerhati olah raga tinju profesional. Saat ini tengah bekerja di Lembaga Manajemen STIE Bank BPD Jateng sebagai staff konsultan dan tenaga pengajar.

*)Artikel ini pernah dikirimkan kepada Harian Solo Pos tetapi tidak dimuat dan tanggalnya tidak saya ingat lagi. Mengenai Adrian Kaspari, pada akhirnya pertandingan perebutan gelar juara dunia yang telah lama didambakannya datang juga padanya. Pada bulan April 1998, Tim Austin harus menghadapinya dalam suatu even pertandingan wajib (mandatory fight). Namun apa hendak dikata. Kesempatan emas itu terpaksa harus dijalaninya secara sia-sia. Adrian Kaspari justru seperti mengalami demam panggung serta tidak tahu harus berbuat apa (black-out). Sehingga, ia tersungkur pada babak ketiga walaupun pada babak kedua Adrian Kaspari dengan pukulannya yang sangat keras hampir merobohkan Tim Austin.
Setahun sesudahnya, Adrian Kaspari memperoleh kesempatan menghadapi juara dunia kelas Bantam IBF yang baru dari Afrika Selatan, Bennedict Ledwaba. Tetapi, belum sempat ia naik ring, ia sudah harus didiskualifikasi karena berdasarkan pemeriksaan medis, ia dinyatakan mengidap virus Hepatitis B. Peraturan yang berlaku memang tidak mengijinkan setiap petinju yang mengidap virus tersebut untuk bertanding. Kemudian, Adrian Kaspari berpindah sasana. Tetapi, kepindahannya ini malah membuat prestasinya mengalami kemunduran. Ia hanya sempat bangkit sekali dengan merebut gelar juara nasional dari Heinz Ronny “Virgo” Warrouw dan sekali mempertahankannya dari Salim Ayuba. Pada kali kedua, ia dikalahkan oleh Vicky Ceper. Setelah itu, ia menghilang dari blantika tinju professional di tanah air.
Mike Tyson Kalah , Skenario Berubah…..

Apa yang terjadi pada hari Minggu 10 November 1996 benar-benar merupakan suatu hal yang menjadikan seluruh pemerhati olah raga tinju bayaran di seluruh dunia terhenyak. Betapa tidak? Evander “The Real Deal” Holyfield yang dianggap setengah cacat karena gangguan pada fungsi jantungnya dan dinilai sudah terlalu tua serta lemah untuk bertanding, bahkan tidak dipandang dengan sebelah mata (terbukti pasar taruhan Sport&Race Box mengunggulkan Mike Tyson 25 : 1) ternyata mampu membalikkan segala ramalan sinis tentangnya. Ia menghujani Mike Tyson dengan akumulasi pukulan jab, straight serta hook kiri dan kanan yang mengalir deras sehingga wasit Mitch Halpern terpaksa harus menghentikan pertarungan yang berjalan dengan seru tersebut pada babak ke sebelas. Monster Bionik yang terbiasa memukul roboh lawan-lawannya dalam waktu singkat kali ini mengalami nasib sial karena lawan yang dihadapinya ternyata mampu melontarkan demikian banyak pukulan yang membuatnya terhuyung-huyung mabuk pukulan dan kondisi itu jelas-jelas sangat membahayakan apabila pertandingan dilanjutkan.

Terlepas dari faktor kunci apa yang menentukan keberhasilan Evander Holyfield dalam merontokkan kegarangan Mike Tyson serta mengapa ia seolah kehilangan tajinya, peristiwa ini telah membuyarkan skenario yang dirancang secara matang jauh-jauh hari sebelumnya oleh promotor berambut landak, Don King. Kejadian itu merupakan peristiwa ulangan yang hampir sama dengan ketika James “The Buster” Douglas menjungkalkan anak emas Don King di babak kesepuluh pada pertandingan yang dilaksanakan di Tokyo Dome, Jepang. Saat itu, James Douglas diposisikan hanya sebagai bahan bakar pemanas bagi Mike Tyson guna menghadapi pertarungan sesungguhnya melawan Evander Holyfield.

Dengan terjadinya peristiwa tersebut, Don King harus memeras otak guna merancang ulang skedul pertandingan bagi tambang uangnya itu. Kondisi seperti ini jugalah yang berlaku sekarang. Terpuruknya Leher Beton membuyarkan rencana pertarungan akbar antara ia melawan beberapa jawara lainnya semisal Michael “Double M” Moorer, Lennox “The Lion” Lewis, dan sebagai puncaknya yakni pertarungan pembuktian siapa yang paling hebat melawan Riddick “The Big Dady” Bowe. Don King memang harus memperhitungkan segala sesuatunya secara cermat sebab hal ini menyangkut bisnis bernilai puluhan juta Dollar yang nota bene merupakan ladang tempat ia mencari makan.

Kemungkinan besar, Don King akan tetap menggelar suatu even pertarungan ulang antara Mike Tyson dan Evander Holyfield. Hanya saja, pertandingan itu tidak akan terlaksana dalam waktu dekat. Ia harus menunggu atau lebih tepatnya lagi menciptakan saat terbaik untuk merealisasikannya. Kepercayaan diri serta ketegaran mental Mike Tyson haruslah dipulihkan terlebih dahulu. Salah satu cara selain memberikan waktu beristirahat yang cukup kepadanya, ia juga harus melewati beberapa pertarungan sebagai ujian atau pemanasan. Lawan-lawan yang dipandang mampu dikalahkan akan dihadapkan padanya. Mengenai siapa mereka, tentunya promotor berambut jabrik inilah yang lebih jeli memilihnya. Ia pasti mengetahui siapakah yang dinilai akan mampu menciptakan sensasi tersendiri sehingga publik mau memadati arena pertandingan. Tentu saja, promosi gencar yang terkesan bombastis dan kabar terasa lebih indah dari pada rupa juga bukan tidak mungkin dilakukannya.

Tahun lalu, ketika Mike Tyson come back setelah menghuni penjara selama kurang lebih dua tahun, Don King menghadapkannya dengan petinju tampan berkulit putih yang konon banyak memperoleh simpati dari kalangan selebritas Hollywood dan hanya mampu bertahan selama 88 detik di atas ring, Peter”The Hurricane” Mac Nelley. Mike Tyson bisa saja diadu dengan seorang petinju yang tidak kita ketahui namanya sebelumnya mantan jagoan kick boxing atau mantan karateka professional yang diberi julukan mengerikan agar perhatian publik tertuju padanya. Bahkan, Don King mungkin memilihkan lawan seorang petinju yang berpenampilan lucu karena postur tubuhnya yang luar biasa gendutnya dan kepalanya yang botak tetapi ganas menghajar lawan-lawannya di atas ring, Erich “Butter Bean” Esch.

Bagi Evander Holyfield sendiri, kemenangan yang telah diraih memberikan berkah tak terkira nilainya. Pertama, sudah barang tentu ia merengkuh kembali kejayaan serta nama besar yang pernah dimilikinya beberapa tahun silam sebelum dirampas oleh Michael Moorer. Di atas kancah tinju dunia, pamornya melesat. Terlebih lagi dengan melihat kenyataan tak terbantahkan bahwa ia menang dengan mengalahkan seorang Mike Tyson, sosok yang fenomenal sekaligus mengerikan. Di samping itu, daya tawar menawar terhadap para promotor terkemuka dunia -entah Don King, Bob Arum, Rock Newman, Cedric Kushner, Frank Maloney, Panos Eliades atau siapa saja yang berniat memanggungkannya- meningkat drastis. Ia akan mampu lebih leluasa memaksa mereka bersaing menawarkan bayaran tertinggi guna menghadapi seorang lawan yang diajukan kepadanya. Kalau mau, secara dingin dan tegas ia bisa saja mengatakan, “Take the opportunity I give or You may leave it!” kepada para promotor yang menawarkan bayaran kurang dari jumlah minimal yang dikehendaki. Kedua, banyak petinju kelas berat tangguh yang merasa penasaran dan ingin menguji kehebatannya di atas ring. Berkenaan dengan keuntungan kedua itu, keinginan para petinju kelas berat lain untuk berhadapan dengannya juga berarti terbukanya kesempatan naik ring yang sudah pasti membuat kantung hartanya menggelembung.

Permasalahannya sekarang, siapakah lawan yang pantas dihadapkan dengannya agar suasana marak dan gegap gempita percaturan tinju kelas berat dunia tidak terhenti sampai di sini saja? Pertanyaan ini amat pantas diajukan mengingat kita sering melihat kecenderungan juara dunia kelas berat sekarang mempertahankan singgasananya selama mungkin dengan cara yang jauh dari kesatria. Bisa kita contohkan di sini Riddick Bowe setelah merenggut juara dunia kelas berat versi WBA, WBC, dan IBF dengan mengalahkan Evander Holyfield pada akhir tahun 1992 justru memilih singa-singa tua seperti Jesse Fergusson dan Michael “The Dynamite” Dokes sebagai lawan tandingnya.

Kita pastilah masih ingat kejadian sensasional namun juga memalukan serta tidak pantas dilakukan ketika ia secara demonstratif mencampakkan sabuk juara dunia kelas berat versi WBC ke dalam tong sampahpada satu even konferensi pers yang diselenggarakannya di London. Tindakan tersebut dilakukannya karena ia merasa jengah kepada WBC yang terus mendesaknya secara keras untuk melaksanakan pertarungan wajib melawan penantang peringkat pertama asal Inggris, Lennox Lewis. Untuk itu, ia rela kehilangan gelarnya yang setelah itu diberikan secara cuma-cuma oleh WBC kepada Lennox Lewis.

Tidak berbeda dengan Riddick Bowe, Michael Moorer juga melakukan hal serupa. Setelah merebut gelar juara dunia kelas berat versi WBA dan IBF dengan menundukkan Evander Holyfield, ia malah memilih berbaku hantam melawan George “The Big” Foreman. Malangnya, tanpa disangka sama sekali ia justru terkapar pingsan pada babak ke sepuluh dan kehilangan gelar juaranya. Sementara, Evander Holyfield pun tidak bersih dari perilaku semacam itu karena seusai menumbangkan James Douglass pada ronde ke tiga, ia juga memilih lawan-lawan yang sudah merosot kemampuannya seperti George Foreman, Bert Cooper, dan Larry Holmes. Langkah yang ditempuh oleh para juara tersebut barangkali dapat dibenarkan oleh logika berpikir yang memandang bahwa tinju bukanlah olah raga semata, melainkan juga bisnis yang bersinggungan dengan manisnya lembaran Dollar. Tetapi, seharusnya mereka mengingat bahwa para pemirsa di seluruh penjuru dunia mempunyai hak untuk puas karena mereka menyaksikan pementasan partai berkualitas tinggi. Sedangkan pementasan kejuaraan dunia yang dilaksanakan secara sembarangan pasti akan menurunkan pamor olah raga tinju.

Dari sekian banyak penantang yang antri menunggu kesempatan berlaga, ada beberapa nama yang patut diberi penilaian khusus selain Mike Tyson yang setelah kalah melawan Evander Holyfield menyatakan ingin bertarung lagi. Mereka antara lain adalah George Foreman, David Tua, Darrold Wilson, Shannon Briggs, Crawford Grimsley, Lou Savaresse, Riddick Bowe, dan Andrew Golota. Pemaparan di bawah ini berusaha memberikan gambaran singkat mengenai beberapa nama tersebut.

George Foreman, Pak Tua Yang Belum Renta
Kalau Don King ingin membuat sensasi dengan memanggungkan partai The Battle of Ages Part II, George Foreman yang sekarang ini menyandang gelar juara dunia versi WBU (World Boxing Union) kiranya boleh diperhitungkan sebagai salah satu alternatif mengingat ia masih mempunyai semangat bertanding yang tetap tinggi, kecerdikan yang membuatnya masih mampu mengatasi lawan-lawannya yang jauh lebih muda, dan pukulan yang masih bertenaga.
Di bawah arahan pelatih bertangan dingin yang tersohor, Angelo Dundee, pertambahan usia yang terjadi padanya justru memberikan kematangan pribadi yang layak dicontoh oleh para yuniornya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Angelo Dundee adalah sosok yang berperan menjadikan Muhammad “The Big Mouth” Ali dan SugarRay “The Ring Artist” Leonard mampu menampilkan kemampuan terbaiknya. Sebagai catatan, pada pertarungan sensasional di Kinshasha, Zaire tahun 1973 yang diberi judul Rumble in The Jungle, Angelo Dundee adalah perancang strategi bagi Muhammad Ali sehingga ia mampu menumbangkan George Foreman pada ronde ke delapan. Pertarungan tinju itu sendiri diselenggarakan atas permintaan diktator yang berkuasa di Zaire saat itu, Mobutu Sese Seko.

Mike Tyson Dari Samoa, David Tua
Namanya David Tua, tetapi jelas ia tidak tertatih-tatih jalannya karena renta. Petinju kelas berat asal West Samoa yang sekarang bermukim di Amerika Serikat adalah petarung yang sangat garang. Gaya bertinjunya yang slugger fighter dengan lontaran hook dan upper cut kiri serta kanan yang sama kerasnya dinilai setara dengan Mike Tyson. Rekor bertandingnya amat bagus yakni 23 kali bertarung tanpa pernah kalah dengan 19 kali diantaranya menjungkalkan lawan-lawannya ke kanvas. Apabila ia diasuh dengan metode pelatihan sebagaimana Cuz D’Amato membina Mike Tyson, maka ia pasti mampu menjadi legenda baru bagi West Samoa dan juga dunia.

Darrold Wilson, Pelontar Hook Yang Bagus
Darrold Wilson adalah seorang debutan baru. Namun, ia dinilai memiliki prospek cerah. Rekor bertandingnya adalah 16 kali bertarung dan seluruhnya dimenangkan dengan 12 kali kememangan knock out atau technical knock out. Kelebihan yang dimilikinya adalah kemampuan melontarkan pukulan hook yang bertenaga serta beruntun. Hal itulah yang selama ini ditakuti oleh lawan-lawan yang dihadapinya di atas ring.

Si Jabrik Ganas, Shannon Briggs
Bagi lawan-lawan yang berdiri pada jarak kurang dari dua yard darinya, Shannon Briggs merupakan monster yang sangan menakutkan. Pukulan yang dimilikinya juga komplit. Bahkan, ia mampu melontarkan jab serta straight yang sama bagusnya dengan dua pukulan andalannya yang lain, yaitu hook dan upper cut. Ia sudah 26 kali bertanding dan 23 kali ia merobohkan lawan-lawannya serta hanya sekali saja ia kalah.

Crawford Grimsley, Mantan Kick Boxer
Ia baru sekali kalah dari George Foreman yang memang merupakan petinju kelas berat tersohor. Mantan kick boxer ini jelas tidak boleh dipandang ringan. Pukulannya yang mantap, gerakan kakinya yang lincah, dan daya tahan tubuhnya yang prima sebagai hasil latihan keras selama menekuni olah raga bela diri dari Thailand membuat 18 dari 20 lawan-lawan yang dikalahkannya terjerembab ke kanvas. Terlalu berbahaya jika ia dibiarkan leluasa menari memamerkan kelebihannya di atas ring.

Italian White’s Hope, Lou Savaresse
Saat ini, Lou Savaresse yang memegang gelar juara NABF (North American Boxing Federation) adalah petinju berkulit putih yang mempunyai determinasi pukulan tinggi. Kemampuannya ditunjang oleh lontaran jab dan straight yang mendesing keras serta cepat. Dari 32 orang lawannya, hanya 4 diantaranya yang bisa bertahan hingga bunyi lonceng tanda usainya ronde terakhir berdentang.
Sekalipun dalam beberapa waktu terakhir ini ia mulai jarang naik ring dan pada penampilan terakhirnya ia mulai kelihatan lamban, tidak salah apabila ia dipilih sebagai salah satu alternatif.

The Big and Funny Daddy, Riddick Bowe
Dari tiga kali duel melawan Evander Holyfield, Riddick Bowe dua kali memenangkannya dengan sekali kemenangan technical knock out. Figur bapak yang baik dan jenaka bagi anak-anaknya ini dikenal sebagai petinju kelas berat dengan daya ledak pukulan (explossing power) yang tinggi walaupun jarang ia melontarkan rentetan pukulan. Karena itu, tidak mengherankan apabila Herbie “The Dancing Destoyer” Hide, Sang Jagal Eropa enam kali dibuatnya jatuh bangun. Padahal, Herbie Hide petinju Inggris berdarah Nigeria ini dikenal amat galak jika sudah berada di atas ring. Ia amat rakus kemenangan knock out di ronde-ronde awal. Gerakan kakinya sangat lincah dan liukan tubuhnya amat luwes. Tetapi, di hadapan Riddick Bowe ia hanya menjadi mainan sebelum pertarungan dihentikan pada babak ketiga.

Ivan Drago Asal Polandia, Andrew Golota
Mantan juara kelas berat amatir Eropa dan peraih medali perunggu Olimpiade Seoul ini wajah serta perawakannya mengingatkan pada lawan bertanding Sylvester Stallone pada sekuelnya yang sangat terkenal Rocky IV. Andrew “The Cutter” Golota, petinju Polandia yang sekarang ini bermukim di Chicago senantiasa bertarung tanpa mengenal takut kepada lawan-lawan yang dihadapinya di atas ring.
Ia mempunyai pertahanan single cover kokoh, straight kanan yang keras, dan hook kiri serta kanan yang sama dahsyatnya. Kepalanya juga sulit dipukul karena tersembunyi secara rapi di antara bahu serta tangan kiri. Di bawah bimbingan seorang pelatih berotak bagus, Lou Duva, ia bertambah matang. Boleh dikatakan bahwa Andrew Golota menjadi penebar ancaman baru.
Hanya saja, ia mempunyai kekurangan yang mencolok yakni suka bermain kotor sepertinya halnya melancarkan pukulan terlalu bawah (low blow). Oleh sebab itulah, ia harus menerima kekalahan diskualifikasi dari Riddick Bowe. Padahal, dari perhitungan angka ia telah jauh mengungguli Riddick Bowe. Pertandingan yang dilangsungkan di Madison Square Garden kemudian ricuh dan memantik perkelahian massal.

Beberapa nama yang telah disebutkan di atas kiranya bisa menjanjikan pertandingan yang menarik bila dihadapkan dengan Evander Holyfield sebagai juara yang baru. Setidaknya, mereka dinilai tidak akan menampilkan perilaku pengecut sebagaimana yang sering kita saksikan pada beberapa pertarungan perebutan gelar sebelumnya dan bersedia mencurahkan kemampuan terbaik yang dipunyai. Kita berharap bahwa mereka mampu menampilkan tontonan bermutu tinggi yang benar-benar enak untuk dilihat.

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen dan penikmat serta pemerhati olah raga tinju professional.

*)Artikel ini saya kirimkan kepada Harian Umum Suara Merdeka tetapi tidak dimuat dan tanggalnya sudah tidak saya ingat lagi. Akhirnya, setelah itu pertandingan yang digelar adalah pertarungan ulang antara Evander Holyfield melawan Mike Tyson. Kejadian menghebohkan pada saat itu terjadi. Mike Tyson menggigit telinga Evander Holyfield hingga dagingnya tercabik. Karenanya, wasit mengehentikan pertandingan pada babak keempat dan menyatakan bahwa Mike Tyson kalah diskualifikasi.
Ucapan terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan untuk mengembangkan wawasan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Hanya Tuhanlah yang mampu membalasnya. Apakah terjadi regenerasi pada kelompok studi ini hingga ia masih eksis sampai sekarang? Kontribusi kelompok studi ini bagi Surakarta sebagai kota intelektual benar-benar berarti menurut saya.

Selasa, 19 Mei 2009


Manajemen Audit Lingkungan Dan Arti Strategisnya Di Masa Mendatang

Musim kemarau panjang yang telah berlangsung selama enam bulan bulan belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Sinar matahari yang menerpa bumi dengan bebas dan tanpa penghalang terasa begitu garang. Suasana gerah dan sumpek menyiksa serta panas terik menyengat ubun-ubun yang ditimbulkannya semakin terasa mendera.

Keadaan yang merupakan manifestasi kuasa alam ini telah menuai banyak keluhan bernada prihatin dari seantero negeri. Banyak diantara sungai, parit, danau saluran irigasi, serta sumber air mengering karena kehilangan isi. Kelaparan yang selama bertahun-tahun menjadi istilah haram dalam perbendaharaan kata pemerintah Orde Baru, saat ini merupakan kenyataan pahit yang tidak terbantahkan di beberapa tempat. Penderitaan berlingkup nasional ini semakin terasa berat manakala terbakarnya hutan tropis terutama yang berada di pulau Kalimantan dan Sumatera menyusul menjadi bencana baru yang tak kalah menyengsarakannya.

Kabut asap pekat yang menyesakkan nafas sebagai dampak langsung kejadian ini ternyata menimbulkan kesulitan lebih besar dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Terhambatnya aktivitas perekonomian masyarakat di berbagai wilayah tanah air disamping menurunnya kualitas dan kejernihan udara secara drastis merupakan mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan. Bahkan karena derasnya tiupan angin, kabut asap terbang melewati batas teritorial Indonesia dan mencemari wilayah udara negara-negara tetangga seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kejadian ini ternyata juga menimbulkan dampak politis yang sama sekali tidak dikehendaki, yaitu sedikit terganggunya hubungan kita dengan negara-negara yang selama ini menjadi sahabat dekat. Seperti halnya kita, mereka juga sangat terganggu olehnya. Tuduhan sebagai negara pelaku pencemaran –sekalipun secara tanpa sengaja- mereka tudingkan kepada Indonesia. Beberapa kali aksi protes karena terganggunya kehidupan mereka akibat ulah kabut asap yang menyelubungi atmosfer negara mereka dicetuskan di depan kantor perwakilan Indonesia.

Apa yang mereka lakukan tersebut harus diterima dengan lapang dada sebab mereka juga benar-benar merasakan keadaan yang tidak mengenakkan seperti halnya kita. Karena tingkat pencemaran udara dinilai sudah berada di atas ambang batas keselamatan, pemerintah Malaysia sempat berencana akan mengevakuasi warga kota Kuala Lumpur ke daerah lain yang lebih aman. Atas kejadian yang memalukan ini, kepala negara sampai harus ikut menanggung dampak buruk terbakarnya hutan akibat perbuatan sebagian kecil warga negaranya yang tidak bertanggung jawab. Presiden harus menyatakan permohonan ma’afnya kepada beberapa negara sahabat secara terbuka melalui media massa.

Sebagaimana yang biasa terjadi, kita baru mau berpikir, berkaca diri, dan merenung apabila peristiwa buruk telah menimpa.Hal itu persis sekali seperti yang diungkapkan oleh perumpamaan Jawa “Pupur sawise benjut”. Baru kita ingat betapa tidak ternilainya karunia Tuhan dalam wujud alam dan lingkungan hidup manakala ia telah merintih sakit serta menunjukkan reaksinya yang kadang tidak terduga. Sementara, karena kita merasa bahwa alam ini adalah hak milik penuh yang bisa diperlakukan sekehendak hati, semakin kerontanglah isinya. Kita tidak sadar bahwa ia adalah pinjaman dari sekalian anak cucu di masa depan yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Barangkali, apa yang tengah kita alami saat ini adalah salah satu bentuk tengara alam agar kita sadar bahwa ia harus lebih diperlakukan layaknya seorang sahabat dari pada musuh yang harus ditundukkan serta disiksa habis-habisan.
Rasa prihatin terhadap kejadian yang menimpa banyak saudara kita karena sakitnya alam ini benar-benar kita rasakan sekarang. Akan tetapi, bagi sebagian kita yang memiliki kesadaran lebih, perasaan ini akan menghunjam lebih dalam manakala kita tahu bahwa pengetahuan dan kesadaran akan nilai penting alam beserta tingginya derajat penghormatan yang diberikan terhadap upaya pelestariannya adalah nilai paling mendasar yang harus dihayati oleh setiap individu yang merasa dirinya seorang manusia. Akan tetapi, hal itu justru terlalu sering menghilang dari alam pikir kita yang konon sarat akan nilai-nilai rasionalisme yang kita puja sebagai ciri utama manusia modern. Padahal, prinsip yang menegaskan bahwa kita harus memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya dan juga mengupayakan kelestariannya sebenarnya justru berangkat dari pemikiran yang amat logis. Bahwa sikap gegabah terhadapnya akan menimbulkan akibat buruk berupa biaya sosial yang besarnya tak terkira di masa yang akan datang. Biaya sosial ini tidak akan terbayar oleh sejumlah keuntungan jangka pendek yang bisa diraup dari sikap eksploitatif terhadap alam. Dalam hal ini, bukti empiris yang nyata telah berbicara.

Terkait dengan kejadian seperti ini, beberapa tahun lalu Menteri Negara Lingkungan Hidup Ir. Sarwono Kusuma Atmaja pernah menegaskan perlunya diterapkan suatu proses manajemen audit lingkungan disamping Analisis Dampak Lingkungan (Andal) serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Keduanya wajib dilaksanakan bagi berbagai proyek pembangunan atau industri yang pendirian serta kegiatan operasionalnya berkaitan dan menimbulkan pengaruh terhadap lingkungan hidup. Apa yang dikemukakannya tersebut didasari oleh pemikiran bahwa masalah lingkungan hidup merupakan masalah yang besar sekali dampaknya terhadap kehidupan manusia di masa yang akan datang. Karena itulah, upaya untuk menjaga kelestarian alam dari serangkaian proses yang merugikan harus dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh banyak sisi, tidak cukup melalui Andal dan Amdal saja.

Secara normatif, kedua perangkat tersebut sebenarnya sudah mencakup banyak hal. Hanya saja, dalam praktek di lapangan berbagai kenyataan yang menyimpang acap kali terjadi. Bermainnya tangan-tangan kotor yang tak nampak (the dirty invisible hands) mampu membalikkan keadaan sehingga penyimpangan yang terjadi dan seharusnya tertulis dalam laporan, semisal pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri milik seorang besar yang merugikan banyak anggota masyarakat di sekitarnya justru tertutupi. Ada juga oknum pelaksana yang bersikap manipulatif karena tidak tahan terhadap godaan materi yang ditawarkan oleh pihak-pihak tertentu. Belum lagi sikap gamang yang dilaksanakan oleh para pelaksananya manakala dalam proses penyusunannya terpaksa harus berhadapan dengan kehendak pihak penguasa setempat. Itu semua hanyalah sedikit dari sekian banyak contoh kejadian di lapangan yang menjadikan kedua perangkat penilaian itu seperti macan ompong yang tidak lagi berdaya.

Dengan melaksanakan proses manajemen audit lingkungan, paling tidak akan diketahui pengaruh apa saja yang telah ditimbulkan serta akan dialami sebagai akibat dilaksanakannya suatu aktivitas yang bersifat ekonomis maupun teknologis, apa dampak ekologis dan sosial yang akan ditanggung bila suatu kegiatan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban yang harus ditempuh apabila terjadi suatu keadaan yang tidak diinginkan, bagaimana tindakan antisipatif yang mungkin dilakukan guna menghindari kejadian yang tidak dikehendaki serta sejauh mana keuntungan dan kerugian bila suatu tindakan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Terhadap hal ini, kita bisa menilai bahwa apa yang dikemukakannya itu memang merupakan gagasan yang cemerlang.

Lontaran pemikiran tersebut pada mulanya memperoleh banyak sambutan antusias bernada mendukung karena memang sangat bisa diterima oleh nalar. Hanya saja, dalam budaya masyarakat kita konsekuensi untuk mendukung suatu gagasan sekaligus konsistensi sikap dalam melaksanakan suatu tindakan merupakan hal yang langka. Hanya sesaat gagasan itu menjadi wacana, setelah itu surut hingga hilang sama sekali gemanya saat ini. Kondisi seperti itu mirip perumpamaan dalam bahasa Jawa “Rhog-rhog asem”. Sungguh satu hal yang patut disayangkan.

Terhadap hal ini, kiranya ada satu pokok pemikiran yang dapat dikemukakan. Pokok pemikiran itu adalah dijadikannya manajemen audit lingkungan sebagai salah satu bidang kajian tersendiri dengan dukungan kelembagaan yang representatif. Langkah ini dinilai perlu ditempuh karena untuk konteks kekinian, suatu gagasan bagus atau langkah mulia jarang yang bisa membuahkan hasil memuaskan apabila tidak didukung dengan proses sosialisasi intensif serta pelembagaan yang kokoh.

Dengan melaksanakan hal tersebut, beberapa manfaat bisa diperoleh. Diantaranya adalah lebih terstruktur serta sistematisnya pembahasan tentang permasalahan lingkungan hidup serta cara mengatasinya. Beragam pengetahuan dan informasi baru yang berkaitan dengan hal itu akan bisa dikumpulkan serta dikodifikasikan secara lebih teratur kemudian diolah secara matang dan disesuaikan dengan kondisi nyata sehingga memiliki nilai guna bila diterapkan.
Dalam lembaga tersebut, dikaji pula metode atau teknik baru untuk menganalisis berbagai dampak baik yang bersifat ekologis, sosial, ekonomis, bahkan kultural yang terjadi akibat dilangsungkannya suatu aktivitas. Disamping itu, cara mengelola kekayaan alam baik berupa hasil tambang maupun anugerah hayati sehingga lebih bermanfaat bagi rakyat banyak tanpa harus menyebabkan kerusakan alam bisa dikembangkan di sini. Sementara, bagi para anggota masyarakat atau kalangan akademisi yang menaruh kepedulian besar terhadap studi tentang lingkungan hidup, lembaga ini bisa memerankan diri sebagai pusat keunggulan (center of excellence) di bidangnya.

Agar pengkajian yang dilakukan lebih sesuai dengan perkembangan jaman serta komprehensif, kurikulum dan bidang studi yang tercantum di dalamnya haruslah disusun secara cermat. Mengingat kenyataan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan hal yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan, para pakar dari beragam bidang ilmu serta keahlian perlu dilibatkan di dalamnya. Diantaranya adalah para pakar ilmu biologi, kimia, demografi, kehutanan, geologi, teknik penyehatan, hukum, sosiologi, politik, ekonomi, budaya dan lainnya yang relevan. Peran serta dukungan para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi problema lingkungan hidup, terutama mereka yang selama ini gigih dan vokal dalam memperjuangkannya tidak boleh diabaikan. Hendaknya mereka dilibatkan secara aktif. Selama ini, mereka telah memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai kejadian yang sesungguhnya terjadi di lapangan, termasuk pula kejadian yang tidak menyenangkan. Dari mereka, bisa diharapkan sumbangan pemikiran tentang hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana melakukan pendekatan terhadap suatu kelompok masyarakat, melaksanakan advokasi atau menemukan solusi atas permasalahan yang terjadi.

Selain itu, kode etik yang mengatur perilaku serta apa saja yang boleh maupun terlarang untuk dilakukan oleh para lulusan lembaga ini juga harus dirumuskan sehingga integritas kepribadian mereka tetap terjaga. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa para lulusan terikat dalam aturan ikatan dinas. Masalah yang tidak kalah pentingnya lagi adalah bahwa sistem numerasi imbalan (reward) hendaknya dibuat semenarik mungkin dari sisi jumlahnya. Tentunya, hal ini bertujuan agar mereka mampu lebih berkonsentrasi dalam menekuni bidang garapnya nanti. Bagaimanapun juga, dalam hal ini kita harus mau berpikir realistis. Persoalan tersebut tidak bisa dikesampingkan begitu saja karena sering kali menjadi faktor penarik atau bahkan penolak bagi seseorang untuk menekuni suatu profesi. Pada dasarnya, tidak mudah memang mencetak sosok berintegritas tinggi seperti halnya Prof. Dr. Otto Sumarwoto.

Sudah barang tentu, upaya ini tidak bisa menjamin bahwa segala permasalahan akan terselesaikan. Akan tetapi, seandainya upaya itu dilaksanakan, paling tidak kita telah melakukan suatu langkah strategis dalam jangka panjang. Dengan demikian, kondisi buruk dalam bidang lingkungan bisa direduksi hingga tingkat yang paling minimal.

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta.
Saat ini tengah bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng sebagai tenaga pengajar.

*)Tulisan ini pernah mencoba dikirimkan kepada Harian Umum Suara Merdeka tetapi tidak dimuat dan tentang tanggalnya, saya telah lupa. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya sehingga saya bisa seperti ini dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Tapi, apakah kelompok kajian ini masih eksis? Bagi saya, ia besar artinya bagi pengembangan atmosfir Surakarta sebagai kota olah pikir.
Oscar De La Hoya Melawan Hector Camacho, The Golden Boy Versus Macho!

Salah satu lagi partai kejuaraan tinju dunia yang dinilai sebagai salah satu pementasan paling menarik tahun ini akan digelar. Pertarungan yang dipromotori oleh Bob Arum ini direncanakan berlangsung pada tanggal 13 September 1997 di Thomas&Mack Center Arena, Las Vegas. Pagelaran tinju ini mempertemukan idola anak-anak muda Amerika Serikat, Oscar “The Golden Boy” De La Hoya dengan seniornya yang beberapa tahun silam pernah tercatat sebagai petinju tersohor dengan reputasi cemerlang, Hector “Macho” Camacho. Sebagaimana halnya kita ketahui bersama, Oscar De La Hoya merupakan satu-satunya peraih medali emas dalam cabang olah raga tinju bagi kontingen Amerika Serikat pada Olimpiade Barcelona 1992 sekaligus juara dunia kelas welter WBC saat ini.

Duel antara kedua petarung yang sama-sama bergaya boxer yang indah dan cerdik itu sepertinya ingin menjawab pertanyaan yang selama ini memenuhi benak para pecinta olah raga tinju di seluruh penjuru dunia tentang siapakah sebenarnya yang lebih hebat diantara keduanya. Apakah Oscar De La Hoya yang masih berusia muda dan lincah ataukah Hector Camacho yang matang serta kaya akan pengalaman? Selama ini, kita semua hanya sering menyaksikan keduanya bentrok menghadapi lawan-lawannya di waktu dan tempat terpisah tanpa pernah sekali pun mereka naik ring dalam waktu serta tempat yang sama. Karenanya, kita sulit menilai siapakah diantara mereka berdua yang lebih hebat sekalipun pertemuan dengan beberapa lawan sedikit atau banyak bisa dijadikan tolok ukur secara kasar.

Memang, Oscar De La Hoya pernah meruntuhkan reputasi petinju legendaris Mexico, Julio “The Mexican Assasin” Cesar Chavez melalui kemenangan technical knock out pada babak keempat bulan Juni lalu. Pada pertandingan itu, Julio Cesar Chavez yang terkenal amat gagah perkasa sekaligus kuat dan sadis benar-benar dibuatnya mati kutu serta tak berdaya hingga harus dinyatakan kalah technical knock out. Padahal, empat tahun sebelumnya, yakni tahun 1992, Hector Camacho harus tunggang langgang dan tersiksa hebat selama dua belas ronde penuh di tangan Julio Cesar Chavez sebelum dinyatakan kalah angka mutlak.

Akan tetapi, gambaran di atas hanyalah perhitungan mentah di atas kertas. Olah raga tinju adalah cabang olah raga tak terukur (uncalibrated sport). Ia juga bukanlah matematika atau statistika dimana kita bisa dengan mudah memperoleh kesimpulan pasti melalui analisis regresi serta korelasi. Kita harus ingat Evander “The Real Deal” Holyfield yang justru mampu meredam keberingasan Mike Tyson dan mengalahkannya secara technical knock out pada babak kesebelas bulan November tahun lalu. Saat itu, ia diragukan kemampuannya karena kelemahan pada jantungnya serta kemenangannya yang meragukan atas Bobby Cziz.

Keadaan yang sama mungkin saja terjadi pada Hector Camacho. Walaupun selama beberapa waktu terakhir ini ia dinilai sudah tidak mempunyai pukulan yang mematikan –terbukti dari rekor pertandingannya yang hanya dihiasi oleh kurang dari separuh kemenangan knock out- namun juara dunia kelas menengah versi International Boxing Council ini adalah petinju yang terkenal sangat cerdik dan mampu dengan segera menemukan akal jitu guna mengalahkan lawan-lawannya. Masih kita ingat penampilan gemilangnya pada saat ia menghadapi Roberto “The Hands of Stone” Duran dari Panama yang sekalipun sudah uzur usianya namun masih tetap ganas bulan Juni tahun lalu. Setelah bertarung sengit selama dua belas babak penuh, berkat kemampuan teknis bertinjunya yang sangat tinggi, Hector Camacho mampu mempecundanginya dengan kemenangan angka mutlak. Roberto Duran itu sendiri adalah salah satu dari The Fabuluous Four selain Sugar Ray Leonard, Thomas “The Hitman” Hearns, dan Marvin “The Marvelous” Hagler.

Tidak hanya itu, kemenangan yang dapat dikatakan amat spektakuler dicatatkannya pada bulan Februari 1997 lalu dengan keberhasilannya mengalahkan petinju legendaris sekaligus seniman di atas ring, Sugar Ray Leonard yang berusaha tampil kembali dalam blantika ring tinju dunia. Sugar Ray Leonard yang terkenal sebagai petinju berotak brilliant dan memiliki teknik amat tinggi disamping kelincahan yang mengagumkan seolah berubah menjadi petinju yang baru saja belajar bertarung di hadapannya. Dihujaninya mantan peraih medali emas Olimpiade Montreal 1976 yang juga dijuluki New Muhammad Ali itu dengan serangkaian kombinasi pukulan dahsyat pada kepala serta perut sehingga wasit harus menghentikan pertarungan yang berjalan dengan timpang pada ronde kelima.

Selain itu, Hector Camacho juga memiliki gerakan kaki (foot work) serta liukan tubuh (body moving) yang lentur sehingga pukulan keras lawannya yang terlontar dengan sangat cepat sering kali termentahkan. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya, pengalaman bertarung yang dimilikinya jauh lebih banyak dibandingkan dengan Oscar De La Hoya. Ia juga telah teruji oleh lawan-lawan tangguh dengan berbagai tipe selain Roberto Duran serta Sugar Ray Leonard di atas. Diantaranya adalah Edwin “Chapo” Rosario (mantan juara dunia kelas welter WBA yang saat ini tengah berusaha come back), badak garang asal Uganda Cornelius “Boza” Edwards, Jose Luis Ramirez (buldozer ganas Mexico yang juga seteru berat Julio Cesar Chavez) serta mantan juara dunia kelas welter yunior WBC asal Amerika Serikat berdarah Italia yang berwajah tampan namun amat mengerikan yaitu Ray “Boom-Boom” Manchini. Mengenai Ray Manchini, ia adalah seorang petinju hebat dengan naluri berkelahi yang amat tinggi, pukulan yang sangat keras, dan teknik bertinju yang prima. Berkali-kali ia mempertahankan gelar yang disandangnya hingga ia membuat berita yang menggemparkan dunia dengan memukul roboh hingga tewas Kim Duk Koo, jawara Asia Pasifik dari Korea Selatan yang mencoba merebut gelarnya. Karena peristiwa inilah, WBC mengeluarkan peraturan baru berupa pengurangan jumlah ronde dalam suatu pertandingan dari lima belas ronde menjadi dua belas ronde. Seusai kariernya di dunia tinju professional, Ray Manchini beralih menjadi bintang film Hollywood kendati tidak cemerlang seperti yang lainnya.

Sementara itu, Oscar De La Hoya adalah petinju dengan masa depan cemerlang. Teknik bertinju yang juga sangat tinggi dimilikinya ditunjang dengan pengalamannya yang amat matang di dunia tinju amatir. Empat kelas telah dijuarainya, yakni kelas ringan yunior WBO, kelas ringan WBO dan IBF, kelas welter yunior WBC, dan kelas welter WBC. Kelebihan lain yang ada padanya adalah bahwa ia mempunyai pukulan jab dan straight yang mendesing secara cepat dan menyayat tajam selain hook kiri serta kanan yang sama mantapnya. Pukulan semacam itulah yang menjadi andalan para petinju bergaya boxer sepertinya. Telah banyak diantara para lawannya yang tersungkur di atas kanvas oleh pukulannya tersebut. Tak hanya itu, Oscar De La Hoya juga mampu berbuat sedemikian rupa sehingga para lawannya, termasuk Julio Cesar Chavez yang sangat perkasa larut dalam irama permainan yang dikehendakinya. Secara obyektif, Oscar De La Hoya tentulah diuntungkan oleh usianya yang jauh lebih muda dibandingkan dengan Hector Camacho. Walaupun bukan faktor penentu mutlak, bagaimanapun usia akan menciptakan perbedaan kondisi diantara keduanya, terutama apabila pertarungan berlangsung dalam tempo yang lama. Penampilan terakhirnya adalah ketika ia menjungkalkan fighter tangguh asal Kenya, David Kamau, hanya dalam dua babak pada pertengahan bulan Juni lalu. Padahal, David Kamau adalah salah satu dari sedikit petarung yang mampu memaksa Julio Cesar Chavez bertarung ketat selama dua belas ronde penuh.

Saat ini, Oscar De La Hoya dibimbing oleh pelatih bertangan dingin yang telah melahirkan banyak juara dunia, Emmanuel Stewart. Banyak diantara para pengamat tinju mengatakan bahwa kemenangan dalam waktu singkatnya atas David Kamau tersebut adalah berkat polesan taktik Emmanuel Stewart. Sebelumnya, Oscar De La Hoya memang “hanya” mampu memetik kemenangan angka ketika ia berhadapan dengan Miguel “Tokyo Santa” Angel Gonzalez dan Pernell “The Sweet Pea” Withaker beberapa waktu lalu.

Mengenai dua kemenangan angka yang membuat para pengamat tinju mulai meragukan kemampuannya, kita tidak bisa mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kesalahan pelatih yang sebelumnya menangani Oscar De La Hoya, yaitu Don Jesus Rivero. Demikian juga, keadaan itu juga tidak bisa dikatakan sebagai pertanda bahwa ia telah mengalami penurunan kemampuan. Mengapa demikian? Pemilihan stategi untuk mentargetkan kemenangan angka atau knock out pada dasarnya adalah hak pelatih maupun petinju yang bersangkutan. Merekalah pihak yang paling tahu mengenai tindakan yang harus dilakukan ketika pertarungan yang sebenarnya terjadi di atas ring dan juga berhak untuk memutuskan tindakan yang dipandang memiliki resiko paling kecil. Selain itu, kedua lawan yang dihadapi oleh Oscar De La Hoya adalah para petinju tangguh di kelasnya. Sehingga, merupakan hal yang wajar bila ia harus bersusah payah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengalahkan mereka.

Salah satu masalah yang harus diwaspadai oleh Oscar De La Hoya adalah konstruksi dagunya yang terlalu “indah” untuk ukuran olah raga tinju yang terkenal keras serta kejam. Dagu seindah yang dimiliki oleh aktris jelita ternama Paramitha Rusadi atau almarhumah Nike Ardilla memang menjadikan wajahnya tampan dan para penggemarnya terpesona. Akan tetapi, karena bentuknya yang terlalu “indah” itu pulalah, dagunya menjadi sangat fragile jika tersambar oleh pukulan yang datang secara cepat dan menghendak. Oscar De La Hoya sendiri pernah mengalami kenyataan pahit ketika ia bertarung melawan petinju kelas dua asal Mexico, Narsisco Valenzuela. Narsisco Valenzuela yang tidak diunggulkan, bahkan sepertinya hanya dijadikan umpan baginya ternyata mampu memanfaatkan kelemahan tersebut. Dihantamnya dagu Oscar De La Hoya sekuat tenaga dengan hook kanannya yang keras sekuat tenaga sehingga Anak Emas itu terjerembab ke kanvas pada babak pertama. Dengan terhuyung-huyung, ia bangkit, namun kemudian terjatuh lagi. Untunglah, wasit yang memimpin pertandingan tidak menganggap bahwa ia harus dinyatakan kalah technical knock out. Bisa jadi, nama besarnya membuat subyektivitas wasit membias kepadanya. Setelah menata diri, Oscar De La Hoya bangkit lagi dan berbalik mampu menjatuhkan Narsisco Valenzuela pada babak itu juga. Kiranya, kejadian tersebut harus dijadikan pelajaran berharga baginya untuk tidak lengah barang sedetik juga. Lawan yang dihadapinya nanti jelas jauh lebih tangguh serta berpengalaman dari pada Narsisco Valenzuela.

Berdasarkan penilaian umum, terlepas dari kemungkinan munculnya X Factor yang tak dapat diduga sebelumnya, pertarungan diperkirakan berlangsung seru serta menarik. Keduanya sama-sama mempunyai kelebihan. Siapa yang lebih siap dan waspada, dialah yang akan keluar sebagai pemenang. Sementara, siapa yang lengah dan jumawa akan menjadi pecundang. Kita nantikan bersama siapakah yang akan unggul. The Golden Boy atau Macho?

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penikmat
serta pemerhati olah raga tinju profesional. Saat ini tengah bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng sebagai staff pengajar.


*)Tulisan ini pernah berusaha dikirimkan kepada Harian Solo Pos tetapi tidak dimuat dan tanggalnya sudah tidak saya ingat. Pada akhirnya, pertarungan tersebut dimenangkan oleh Oscar De La Hoya dengan keputusan mutlak ketiga hakim. Hector Camacho sempat terjungkal ke kanvas pada babak kesembilan. Saat itu, istri Hector Camacho, yaitu Amy Camacho tampak sangat terpukul perasaannya menyaksikan kejadian ini.
Tampak jelas dalam layar televisi, Amy Camacho meneteskan air mata.
Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Masihkah kelompok studi yang benar-benar menyenangkan ini eksis? Saya harus mengakui bahwa kelompok studi ini memiliki kontribusi amat berharga bagi upaya menjaga eksistensi Surakarta sebagai kota olah pikir dan kota yang tidak pernah berhenti dalam mencetak aktivis gerakan sosial.
WBU, Mengapa Tidak?

Pak Tua George Foreman ternyata masih mampu membuat pandangan para penggemar olah raga tinju berpaling kepadanya dan membelalak kagum. Pada usianya yang hanya kurang satu tahun untuk memasuki hitungan setengah abad, ia masih memperlihatkan ketangguhannya. Beberapa waktu lalu di New Jersey, ia mempecundangi Lou Savaresse, seorang petinju tangguh berkulit putih yang memiliki rekor bertanding sangat bagus, yaitu 36 kali bertanding tanpa pernah kalah dengan 30 kali kemenangan secara knock out. Lou Savaresse yang dikalahkannya secara split decission (kemenangan angka tipis) dan berusia lima belas tahun lebih muda selain memiliki kemampuan hebat juga salah satu dari beberapa The White’s Hope saat ini. Dengan demikian, sabuk gelar juara dunia versi WBU kembali terlilitkan di pinggangnya.

WBU? Badan tinju dunia macam apa itu? Barangkali, banyak diantara kita yang merasa asing atau bahkan sama sekali belum pernah mendengar nama ini. Mengenai belum tahunya kita akan keberadaannya, tentulah sangat wajar karena ia adalah suatu wadah baru yang usianya masih amat belia, yakni sekitar tiga tahun. World Boxing Union terlahir pada akhir tahun 1994 di kota London dan diketuai oleh John Robinson. Ia adalah seorang jurnalis yang aktif mengulas masalah yang melingkupi dunia tinju sekaligus mantan wakil ketua IBF (International Boxing Federation). Menilik jati diri John Robinson, kita bisa mengatakan bahwa WBU adalah organisasi olah raga tinju dunia yang merupakan sempalan dari IBF. Kehadiran WBU dalam kancah tinju dunia menambah maraknya persaingan adu prestise diantara sekian banyak wadah yang telah ada semisal
1. WBA (World Boxing Association).
2. WBC (World Boxing Council).
3. WBO (World Boxing Organization).
4. WBF (World Boxing Federation).
5. IBC (International Boxing Council).
6. IBA (International Boxing Association).
7. IBO (International Boxing Organization).
selain IBF yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebagai pendatang baru, sudah jamaklah bila WBU masih harus sibuk membangun citra, mencari jati diri, dan menata posisi. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengangkat gengsi, WBU menganugerahkan gelar juara dunia kelas berat kepada George Foreman tanpa ia harus bertanding memperebutkannya selang empat bulan setelah merampas gelar juara dunia versi WBA dan IBF dengan merobohkan Michael “Double M” Moorer pada babak kesepuluh. Tindakan yang dilakukan oleh WBU tersebut bukanlah hal baru karena IBF juga pernah berbuat hal yang sama. Pada awal masa kelahirannya, yakni tahun 1983, IBF memberikan gelar juara dunia secara cuma-cuma kepada Larry “The Easton Assasin” Holmes yang kala itu tengah berada dalam masa kejayaannya. Tidak lama setelah itu, dengan penataan kelembagaan yang bagus dan solid IBF kemudian menjelma menjadi suatu badan tinju dunia yang tidak kalah bergengsinya bila dibandingkan dengan WBA serta WBC yang telah lebih dahulu eksis. Bahkan, dalam hal-hal tertentu semisal hubungan dengan Don King yang terkenal licik serta suka menerapkan cara-cara tidak fair, IBF berani bersikap tegas. Belum hilang dari ingatan kita peristiwa ketika James “The Buster” Douglas yang tidak diperhitungkan sama sekali ternyata mampu memukul jatuh Mike Tyson pada babak kesepuluh dan hanya IBFlah yang secara gentle serta tegas langsung mengakui keabsahannya sebagai juara dunia baru. Lain halnya dengan WBC dan WBA, mereka justru harus meminta restu terlebih dahulu kepada Don King. Kedua badan tinju dunia ini juga sempat tidak mengakui keabsahan gelar James Douglas yang direbut dalam satu pertandingan tinju dunia di Tokyo Dome. Don King memang amat kecewa atas kejadian ini. Ia telah memiliki rencana matang guna mempertarungkan Mike Tyson dengan Evander “The Real Deal” Holyfield yang sudah pasti mendatangkan tumpukan Dollar. Padahal, kejadian itu benar-benar telah membuyarkan rencananya.

Bagi siapa saja yang terlibat dalam kancah olah raga tinju bayaran di Indonesia, kehadiran organisasi tinju dunia yang baru ini patut diberi perhatian khusus. Ada beberapa alasan cukup kuat yang mendasari pemikiran ini. Alasan pertama adalah bahwa Indonesia sedang mengalami kemarau prestasi di tingkat dunia. Kita hanya mempunyai Adrian Kaspari (kelas bantam) dan Anies Roga (kelas terbang yunior) sebagai juara dunia versi IBF Intercontinental yang juga seing disebut IBF divisi dua sertaAjib Albarado (kelas welter yunior) dan Suwito La Gola (kelas welter) selaku juara dunia versi WBF, badan tinju baru yang namanya tidak kunjung menjulang. Adapun mengenai Adrian Kaspari dan Anies Roga, disamping sebagai juara IBF Intercontinental, saat ini mereka berdua adalah penantang peringkat pertama juara dunia versi IBF di kelasnya masing-masing. Pada tanggal 30 Agustus 1997 nanti, Anies Roga akan bertarung melawan petinju Kolumbia, Manuel Jesus Herrera untuk memperebutkan juara dunia kelas terbang yunior IBF yang lowong karena ditinggalkan oleh Mauricio “El Pantoso” Pastrana juga dari Kolumbia.

Kedua, persaingan di badan tinju WBA, WBC, IBF, bahkan WBO saat ini sangat keras serta sulit sekali untuk ditembus oleh para petinju kita. Kalaupun bisa, dana yang dibutuhkan untuk mementaskan suatu kejuaraan dunia -utamanya anggaran bagi juara bertahan- sangat besar dan sukar untuk dijangkau oleh kemampuan finansial para promotor kita. Karenanya, tidak heranlah bila Adrian Kaspari yang dinilai oleh para pengamat tinju tanah air sebagai petinju paling potensial untuk menjadi juara dunia hingga saat ini masih terpaksa harus menggantung harapannya. Juara bertahan kelas bantam IBF dari Afrika Selatan, Mbulelo Botile, melalui manajer sekaligus promotornya Cedric “Big Ced” Kushner meminta bayaran sebesar $350.000 yang tentu saja bagi para promotor kita jumlah sebesar itu amatlah memberatkan. Konon, Mbulelo Botile sebenarnya sangat takut menghadapi Adrian Kaspari yang terkenal rakus kemenangan knock out di ronde-ronde awal. Masa penantian yang harus dilalui oleh Adrian Kaspari akan bertambah panjang karena pada tanggal 19 Juli 1997 lalu Mbulelo Botile terkapar di babak kedelapan oleh kepalan tangan Tim Austin dari Amerika Serikat sehingga gelar juaranya berpindah tangan. Sebagai juara yang baru, Tim Austin memiliki hak untuk memilih lawan yang disukainya dan hampir tidak mungkin memilih Adrian Kaspari sebagai lawan pertamanya. Melalui manajernya, Carl King (adik kandung Don King), pastilah ia akan memberikan kesempatan kepada sosok lawan yang dianggapnya empuk dan mudah untuk dikalahkan hingga saat mandatory fight tiba.Bila ia dipaksa untuk menghadapi Adrian Kaspari segera, pastilah ia akan meminta bayaran yang amat tinggi karena seperti halnya Mbulelo Botile ia juga takut kehilangan gelarnya.

Ketiga, usia WBU masih sangat muda sehingga diasumsikan bahwa tingkat persaingan di dalamnya pun masih relatif lebih ringan. Bila ditinjau dari segi bayaran bagi juara bertahan, kiranya hal tersebut masih bisa dipenuhi oleh kemampuan finansial para promotor kita sekalipun tentunya masih lebih tinggi dari pada bayaran bagi juara IBF Intercontinental maupun WBF. Satu nilai lebih tersendiri, diperkirakan WBU akan segera bisa mengkilap pamornya menyaingi rekan-rekan seniornya yang lain. Hal ini terbukti dengan berkiprahnya banyak petinju dunia ternama sekalipun sekarang mereka telah beranjak surut atau telah tergusur dari singgasana. Sebagai contohnya adalah Vinny “Pazmanian Devil” Pazzienza (mantan juara dunia kelas menengah IBF), James “Light Up” Toney (bekas penguasa kelas menengah super IBF), Joey Gamache (mantan juara dunia kelas ringan WBA), Kennedy Mac Kinney (mantan juara dunia kelas bulu yunior IBF), Thomas “The Hitman” Hearns (salah seorang diantara The Fabulous Four), serta George Foreman sendiri.

Atas dasar kenyataan tersebut, kesempatan masih terbuka. Tinggal bagaimana kita menyiasati serta memanfaatkannya. Dalam masalah ini, pihak KTI (Komisi Tinju Indonesia), para promotor, penyandang dana, penata tanding (match maker), dan pihak lain yang terkait hendaknya segera melakukan serangkaian lobby intensif. Langkah itu perlu untuk ditempuh dengan tujuan agar kita mempunyai perwakilan WBU di sini serta posisi tawar menawar yang mantap. Seperti inilah yang dilakukan oleh Boy Bolang dalam menghadirkan perwakilan IBF di Indonesia. Cara itu bukan tidak mungkin dicontoh oleh Tourino Tidar, Anton Sihombing, Harry “Don Seng” Sugiarto, Linneke Lolowang, Hendry P. Therik, atau Suryo Guritno. Selain itu, kalangan swasta seperti halnya penyandang dana, sponsor, dan stasiun televisi haruslah dirayu dan diyakinkan dengan pendekatan piawai sehingga tidak segan-segan untuk memberikan dukungan dana yang dibutuhkan.

Para petinju yang akan diorbitkan seyogyanya dipersiapkan secara benar-benar matang sejak dini. Mereka haruslah merupakan kandidat terbaik dari sekian banyak yang telah diseleksi secara ketat sehingga tidak akan mengalami nasib mengenaskan serta kalah dengan memalukan. Mengenai hal itu, tentunya kita masih ingat kekalahan tragis pada babak ketiga Yani Hagler setelah berkali-kali tersungkur ke kanvas dari Doddy “The Bionic Boy” Penalosa dari Philipina ketika ia berusaha merebut gelar juara dunia kelas terbang yunior versi IBF pada tahun 1985. Padahal, Yani Hagler sebelumnya dianggap sebagai petinju Indonesia yang mampu menjadi penerus Ellias Pical sebagai juara dunia yang baru. Bahkan, penilaian seperti itu pernah disampaikan oleh seorang wasit ternama yang biasa memimpin pertandingan tingkat dunia, Joe Cortez dari Amerika Serikat pada saat ia ditunjuk untuk menjadi wasit dalam pertandingan perebutan juara dunia kelas bantam yunior IBF antara Ellias Pical melawan Ju Do Chun. Sebagaimana halnya yang kita ketahui bersama, even itu merupakan saat yang amat bersejarah dan juga mengharukan karena pada saat itulah untuk pertama kalinya juara dunia bagi Indonesia hadir. Petinju kita yang selalu tampil dengan kepala botak gundul ini mengalami kegagalan karena ia tidak dibekali dengan persiapan yang bagus dan hanya mengandalkan semangat serta keyakinan diri yang terlalu besar.

Upaya persiapan secara cermat harus dilaksanakan mulai sekarang, senyampang kesempatan belum tertutup. Jangan lupa, tanpa menafikan kenyataan bahwa Ellias Pical adalah petinju yang sangat hebat dan mempunyai bakat alam amat tinggi, keberhasilan menjadikannya juara dunia pada tahun 1985 diraih ketika IBF masih berusia muda dan Boy Bolang ternyata jeli memanfaatkan kesempatan ini. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penggemar serta pemerhati olah raga tinju profesional. Saat ini tengah bekerja di Lembaga Manajemen STIE Bank BPD Jateng sebagai staff konsultan dan tenaga pengajar.


*)Tulisan ini pernah dikirimkan kepada Harian Umum Solo Pos tetapi tidak dimuat dan tanggalnya sudah tidak saya ingat. Saat ini, jumlah badan tinju dunia mencapai 22 lembaga. Sebagian besar dari mereka, kiprahnya tidak kita ketahui walaupun mereka memiliki web-site di dunia maya.
Apakah Anda mengetahui bahwa ada badan tinju bernama GBL (Global Boxing League), WBE (World Boxing Empire), IBU (International Boxing Union), dan yang lainnya? Saat ini pula, WBF merupakan singkatan dari World Boxing Foundation. Berdasarkan perkembangan terbaru, IBO justru semakin bagus reputasinya. Petinju ternama semisal Vladimir Klitschko dari Ukraina dan Manny Pacquiao dari Philipina memiliki gelar juara dunia darinya. Pertarungan perebutan gelar yang mereka lakukan juga dinyatakan sebagai kejuaran dunia versi IBO.
Ucapan terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan untuk mengembangkan wawasan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Hanya Tuhanlah yang mampu membalasnya. Apakah terjadi regenerasi pada kelompok studi ini hingga ia masih eksis sampai sekarang? Kontribusi kelompok studi ini bagi Surakarta sebagai kota intelektual benar-benar berarti menurut saya.

Sedikit Catatan Tentang Nasionalisme Kita

Berbicara mengenai rasa kebangsaan, berarti pula memperbincangkan sesuatu yang sering terlupakan pada era dimana prinsip rasionalitas dan pragmatisme sangat diagungkan serta pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ideal normatif dinomorsekiankan seperti yang terjadi saat ini. Suatu pokok bahasan yang hanya terungkap pada saat-saat tertentu yang mana berapa kali datangnya bisa dihitung dengan jumlah jari tangan saja. Semisal menjelang peringatan hari kemerdekaan atau hari kebangkitan nasional. Itupun sering kali dilakukan secara artifisial, klise, penuh nuansa mobilisasi disertai sedikit keterpaksaan dan tanpa penghayatan sama sekali. Tawar dan datar-datar saja atau bahkan banal.

Jarang diantara kita mau mengingat –kecuali ketika dengan terpaksa kita harus membuka-buka lagi buku teks sejarah- bahwa rasa kebangsaan adalah unsur penting penegak kedaulatan persada ini. Tanpa keberadaannya, integritas serta eksistensi bangsa dan negara kita akan rapuh, tercabik atau bahkan tidak pernah ada sama sekali. Keadaan menyenangkan dimana kita bebas mengayunkan langkah kaki kemana saja kita suka, boleh berkeinginan dan berusaha mencapai sesuatu yang kita dambakan, berhak membeli apa saja yang terjangkau oleh daya beli kita serta berkesempatan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki hanya bisa kita nikmati manakala kita berdiri sebagai orang yang bebas atau bangsa yang merdeka. Sedangkan kemerdekaan itu hanya akan bisa diraih apabila kita mampu menumbuhkan kesadaran untuk menjadi insan yang berdaulat sekaligus kebanggaan sebagai suatu bangsa.
Tentu saja, kebanggaan yang dimaksudkan di sini bukanlah sejenis nasionalisme yang terlalu bergelora serta berlebihan sehingga menjurus kepada sikap chauvinistik seperti halnya yang dengan keras dan penuh kecongkakan berusaha diindoktrinasikan oleh dua orang diktator tiran sekaligus megalomania tersohor, Adolf Hitler dari Jerman dan Bennito Musollini dari Italia. Bukan pula semacam xenophobia yang menjadikan para anggota masyarakat suatu bangsa secara total menolak tanpa reserve segala sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Kedua fenomena tersebut, baik chauvinisme maupun xenophobia jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip universal yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sama dan sederajat serta seluruh manusia harus saling mengenal dan menjalin hubungan secara harmonis dalam tatanan peradaban dunia yang damai. Kita menghendaki kecintaan terhadap bangsa dan negara ini disertai keinginan untuk memberikan segala yang terbaik baginya dengan tetap menyadari bahwa kita merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan isi jagad ini serta tidak memandang bangsa lain lebih rendah dari pada kita.

Mengenai masalah ini, Hassan Al Bana, salah seorang intelektual muslim ternama dan pemuka gerakan Islam Ikhwanul Muslimin asal Mesir yang terkenal sangat kuat tekadnya dalam mewujudkan persatuan di antara seluruh umat Islam dari seluruh penjuru dunia serta menjunjung tinggi konsep universalisme menyatakan bahwa dirinya tidak menentang secara total konsep nasionalisme. Ia tetap menyepakati konsep nasionalisme dengan catatan bahwa faham tersebut bermakna wathanniyyah (patriotisme). Dalam artian bahwa umat Islam di seluruh penjuru dunia haruslah bertindak dan bersikap laksana patriot. Sikap tersebut mensyaratkan kepada mereka untuk mau berjuang secara ikhlas tanpa pamrih membela saudara mereka di setiap belahan dunia yang tengah mengalami penderitaan atau penindasan. Selain itu, umat Islam harus bersedia berkorban guna mengupayakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta membela kebenaran dan keadilan. Menurutnya, umat Islam yang baik adalah mereka yang selalu menunjukkan sikap mulia (akhlakul karimah) terhadap siapa saja, baik dengan kalangan sebangsa maupun mereka yang berbeda jenis ras dengannya, bahkan terhadap mereka yang berlainan secara akidah. Hassan Al Banna menegaskan bahwa unsur-unsur nasionalisme yang berdimensi positif dan karenanya harus ditumbuhkan untuk mencapai kejayaan seluruh umat antara lain adalah:
1. Wathanniyyah Al Hanin yakni perasaan cinta kepada tanah air.
2.Wathanniyyah Al Hurriyyah yang menghendaki kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap bangsa di muka bumi ini.
3. Wathanniyyah Al Mujtama’ yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan memperkuat rasa persatuan serta kesatuan antara anggota masyarakat suatu negara.
4. Wathanniyyah Al Fath yang mendorong anggota masyarakat suatu bangsa untuk berkembang ke arah lebih baik serta bisa mencapai kemajuan.
5. Wathanniyyah Al Ummah yang menghendaki agar setiap pribadi bertanggung jawab penuh kepada lingkungan masyarakat tempat ia berada.

Untuk konteks saat ini juga, nasionalisme tetaplah penting untuk dipelihara sekalipun oleh Ken Ichi Ohmae –seorang pakar bidang pemasaran serta konsultan manajemen tersohor- dalam bukunya berjudul The End of Nation State dinyatakan bahwa pada milenium terakhir ini terdapat kecenderungan semakin kaburnya batas-batas negara. Menurutnya, satu hal yang paling penting untuk dipikirkan pada era sekarang adalah kemana arah pergerakan lalu-lintas modal serta bagaimana corak penyebaran sumber daya serta potensi ekonomi. Bagi suatu bangsa yang tengah berada pada masa transisi seperti halnya Indonesia, nasionalisme sangat diperlukan guna menciptakan semacam daya hidup psikologis (psychological life power) berupa nilai-nilai tertentu yang harus dimiliki oleh para anggotanya. Diantaranya adalah semangat meraih kemajuan sehingga tidak tertinggal dari yang lainnya serta mampu tampil sejajar, hasrat membangun untuk mencapai cita-cita luhur bersama, kepatuhan untuk mendukung sebuah upaya besar dalam mewujudkan kemandirian (misalnya menjadikan produk dalam negeri tuan di negara sendiri), serta kesediaan untuk mentaati nilai-nilai penting yang telah menjadi (dianggap sebagai) kesepakatan nasional seperti halnya konsep demokrasi yang dinilai paling sesuai bagi suatu bangsa.

Nilai-nilai tersebut sangat kondusif bagi upaya suatu bangsa dalam meraih kejayaannya. Amerika Serikat sendiri yang kita kenal sebagai suatu negara tempat nilai-nilai global dan kosmopolitan berbaur dengan sangat pekat sekaligus merupakan melting pot bagi segenap bangsa di dunia juga tetap berusaha mempertahankannya. Melalui beberapa contoh kasus yang terjadi dalam arena politik internasional, kita sering menyaksikan betapa negara Paman Sam ini akan bereaksi sangat keras manakala harga diri, prestise atau kepentingan nasionalnya terusik. Tak terkecuali pula betapa negara adi daya itu acap kali secara tanpa mengenal malu berlaku munafik dan memberlakukan standar ganda.
Tentunya kita masih ingat dengan jelas kejadian pada tahun 1986 dimana presiden Amerika Serikat yang juga mantan aktor film cow boy, Ronald Reagan, secara dingin dan tanpa perasaan memerintahkan kekuatan udaranya untuk mengguyur ibu kota Libia, Tripoli, dengan ratusan ton bom sehingga seisi dunia gempar karenanya. Alasan yang mendasari dilakukannya tindakan itu adalah karena Muammar Qadhafie (presiden negara tersebut) dianggap melindungi dua orang teroris yang meledakkan pesawat Pan Am di Lockerbie, Irlandia. Sebenarnya, alasan yang lebih kuat melatarbelakanginya adalah bahwa Muammar Qadhafie terus menerus memperlihatkan sikap menentang kepada Amerika Serikat yang saat itu tengah bernafsu memperluas pengaruh politiknya di kawasan Afrika Utara. Padahal, Libia jelas-jelas negara yang berdaulat penuh dan tindakan yang menjurus pada asasinasi terhadap figur seseorang sama sekali tidak dibenarkan oleh hukum internasional.

Setelah itu, pada tahun 1990 orang kuat Panama, Jenderal Manuel Antonio Noriega, secara tragis ditangkap sebagai seorang penjahat buronan di negaranya sendiri. Kala itu, George Bush sangat murka menyaksikan Si Muka Nanas mulai menjadi anak nakal yang susah diatur dan dengan beraninya membangkang terhadap seruannya untuk turun tahta selanjutnya menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis serta menghentikan dukungannya secara diam-diam terhadap jaringan Mafia Amerika Latin yang menyelundupkan obat-obatan terlarang di wilayah Miami. Dalam kasus ini, sesuatu yang amat ironis namun juga menggelikan terjadi karena semula Jenderal Manuel Antonio Noriega adalah seseorang yang dididik oleh CIA untuk menjadi perpanjangan tangan Amerika Serikat dalam menjaga pengaruh politiknya di kawasan Karibia serta Amerika Tengah. Sering kali pula, Amerika Serikat mendengung-dengungkan sentimen kebangsaan demi memperoleh dukungan dari masyarakat atas segala kebijaksanaan politik atau bahkan ekonomi luar negerinya sekalipun itu hanyalah berfungsi sebagai tameng.

Mengingat betapa pentingnya arti yang dimiliki, suka atau tidak nasionalisme haruslah tetap hadir dalam realita kehidupan berjuta orang yang secara bersama menghuni sebuah bangunan rumah besar bernama Indonesia ini. Sudah barang tentu, pencerminan rasa kebangsaan tersebut tidak (hanya) terwujud dalam tampilan klasik seperti halnya menyanyikan lagu-lagu wajib dengan sikap sempurna dan antusias, memancangkan Sang Saka di depan rumah secara tegak, serta melaksanakan upacara bendera pada hari-hari tertentu. Tampilan tindakan seperti itu tetap diperlukan karena berfungsi mengingatkan kita akan keberadaan nilai-nilai agung yang memang harus dipelihara dengan baik. Hanya saja, kita tidak bisa bertumpu pada aktivitas yang berdimensi ritual semata. Bahkan, bila dilaksanakan dalam frekuensi yang terlalu sering justru akan kehilangan nuansa sakralnya atau bisa-bisa dilecehkan. Tidak juga dengan (sebatas) melakukan unjuk rasa tandingan sebagai wujud ketersinggungan atas dibakarnya bendera Merah Putih oleh sekelompok anti integrasi Timor Timur di luar negeri.
Sebagai bangsa yang mempunyai harga diri, terasakan memang bahwa perasaan kebangsaan kita tertusuk. Hanya saja, jangan sampai kita tanpa sadar “menari dengan iringan bunyi gendang yang mereka tabuh” sebagaimana dikemukakan oleh seorang petinggi ABRI. Demikian pula, jangan sampai kita berlaku naïf dengan melakukan unjuk rasa secara tidak ikhlas (bayaran) atas pesanan beberapa oknum tertentu yang mempunyai motif-motif politis bernilai rendah. Hal itu secara transparan dan telah menjadi rahasia umum terlihat pada saat dilangsungkannya persidangan yang mendudukkan Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas (salah seorang tokoh kritis ternama negeri ini) sebagai terdakwa. Tindakan seperti ini tanpa disadari akan membuat kehormatan bangsa ternoda dan merosot di mata pihak luar. Bagi kita yang saat ini dikaruniai amanah sebagai pribadi yang berkuasa atas yang lainnya, janganlah mudah mempergunakan jargon-jargon kecintaan kepada tanah air sebagai senjata ampuh guna membungkam aspirasi kritis atau membenarkan tindakan menyimpang dari norma yang kita perbuat. Kebenaran, keadilan, penistaan terhadap nilai-nilai hakiki, kejujuran serta yang lainnya tidak akan berubah karena perbedaan batas ruang dan waktu. Bila kita tetap melakukannya, akan kentara sekali betapa kerdilnya jiwa kita.

Hal yang lebih mendesak untuk kita lakukan sekarang adalah justru mengupayakan agar bangsa dan negara ini tidak goyah atau ternista harga dirinya karena berbagai rongrongan dari dalam yang dilakukan oleh sekelompok kecil anggotanya yang mempunyai kepentingan hina. Sebagai contohnya adalah kasus korupsi, kolusi, kesewenang-wenangan, dan perampasan hak milik rakyat kecil secara semena-mena yang dilakukan oleh beberapa oknum bermental tikus. Terlepas dari valid atau tidaknya metode penelitian yang diterapkan oleh beberapa lembaga penilai dari luar negeri, predikat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi hendaknya membuat kita malu untuk kemudian mawas diri lebih dalam. Terhadapnya, kita harus menyatakan perang secara total dan habis-habisan. Ini adalah wujud jihad akbar nan mulia bagi kita semua.

Apabila kita adalah seseorang yang dikaruniai keberuntungan atau secara struktural diuntungkan oleh proses pembangunan yang telah sekian lama berjalan sehingga mampu meraih keberhasilan dalam bidang ekonomi, sudah seharusnya kita senantiasa ingat daratan tempat berpijak. Jangan sampai lupa, apa saja yang kita raih saat ini adalah dari kebaikan hati tanah Pertiwi yang setiap hari kita gali tanpa henti atau tetes keringat buruh anak negeri yang secara sadar atau tidak kita peras dengan alasan efisiensi, produktivitas, dan daya saing internasional.
Dalam hal ini, prinsip yang dianut dengan teguh oleh Kumbakarna (kesatria agung berwajah raksasa dari negeri Alengkadiraja) yang menyatakan bahwa ia akan berjuang sampai mati membela tanah tumpah darah yang amat dicintainya karena negeri ini telah memberikan sangat banyak padanya harus kita ingat dan berusaha ditunjukkan dalam bentuk lain. Sekalipun berdasarkan logika ekonomi bisa dibenarkan serta secara mantap dan piawai argumen yang amat kuat mampu diungkapkan, kasus pengalihan saham atau modal ke luar negeri pada saat negara ini terserang krisis ekonomi dan membutuhkan keberadaannya guna menggerakkan daya hidup perekonomian benar-benar menyakitkan secara moral. Itulah tindakan yang sangat mudah memantik kecemburuan sosial dan disintegrasi bagi bangsa ini. Terlebih apabila tindakan itu dilakukan oleh beberapa aktor ekonomi dari etnis tertentu. Sementara kita semua mengetahui, masalah sentimen serta kecemburuan sosial pada mereka belum sepenuhnya terselesaikan tuntas. Demikian pula, stereotipe bagi mereka selaku kelompok masyarakat yang hanya mau berpikir masalah bisnis dan ekonomi serta abai pada masalah lain belum sepenuhnya hilang. Keadaan ini akan bisa berubah menjadi semacam bom waktu sosial yang setiap saat mungkin meledak serta menghancurkan harmoni kebangsaan kita. Panggilan suci konstitusi 1945 dan falsafah luhur Panca Sila harus selalu tertanam dalam batin dan melandasi perilaku kita, termasuk dalam kegiatan perekonomian.

Mengenai seberapa kuat rasa kebangsaan melekat dalam diri kita, hal itu sepenuhnya menjadi urusan masing-masing yang sangat personal sifatnya. Tindakan yang dapat dilakukan oleh orang lain adalah memberikan serangkaian pilihan norma atau beberapa indikasi tindakan normatif tertentu. Setiap pribadi memiliki kebebasan untuk menentukan sikap sekalipun nantinya konsekuensi tertentu mungkin harus dipikul. Tergolong dalam kelompok apakah kita? Nasionalis yang wathanniyyah, chauvinis, sosok pragmatis yang hanya berpikir tentang bagaimana agar segalanya berjalan sesuai dengan rasionalitas ekonomis atau bahkan masa bodoh? Beberapa pertanyaan ini teramat sulit dicari jawabannya dan hanya hati kecil kita yang mengetahuinya.

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta. Saat ini tengah bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng sebagai staff pengajar.


*)Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Suara Merdeka tanggal 14 Agustus 1997 pada rubrik Artikel Opini. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Apakah ia masih eksis saat ini? Saya benar-benar merindukan suasana antusias saat diskusi dilaksanakan. Bagi saya, kelompok studi mempunyai kontribusi besar dalam rangka menjaga citra Surakarta sebagai kota olah pikir.
Lagu Pop Jawa, Riwayatmu Kini!

Di dalam blantika musik Indonesia, keberadaan musik Pop Daerah diantara rekan-rekannya yang lain seperti halnya Pop Indonesia (dengan segala genre dan perubahannya yang terjadi), Dangdut, Rock dan Keroncong tetaplah perlu diperhitungkan. Sekalipun ia tidak tampil dalam kesan yang signifikan serta dominan sebagaimana Pop Indonesia, Rock atau Dangdut, tanpa sumbangan peranannya maka tidak lengkaplah perbendaharaan musik nasional kita.

Diantara berbagai cabang musik Pop Daerah, terdapat beberapa yang tergolong mengemuka dibandingkan dengan lainnya. Mereka adalah Pop Sunda, Batak, Minang, dan Jawa. Dikatakan mengedepan karena jika ditinjau dari frekuensi penerbitan album serta penayangannya melalui media elektronik semisal radio atau televisi mereka lebih intens dan jumlah musisi yang menekuninya pun relatif lebih banyak. Untuk yang terakhir ini, yakni Pop Jawa, ada beberapa catatan khusus yang perlu diberikan serta fenomena tertentu yang cukup menarik untuk diamati.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, pada akhir dasa warsa 1970 album lagu Pop Jawa pernah menorehkan prestasi yang sangat mengagumkan bila ditinjau dari tolok ukur popularitas dan jumlah kaset yang terjual. Tentunya kita masih ingat bahwa album Pop Jawa yang dinyanyikan oleh kelompok Koes Plus dengan lagunya yang sangat terkenal, Tul Jaenak, benar-benar sangat digemari oleh masyarakat dari segala lapisan. Liriknya yang sederhana dan mudah dihapal –bahkan jika perlu dimodifikasi sedikit-sedikit- serta susunan melodinya yang tidak rumit sebagaimana yang telah menjadi karakteristik khas lagu-lagu Koes Plus membuat album ini tertanam kuat dalam hati para pendengarnya. Keadaan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Sampai saat ini, lagu tersebut masih sering dirilis ulang. Misalnya saja, terakhir lagu ini dirilis ulang oleh kelompok J-Plus asal Semarang. Kelompok ini merilis album dengan lagu andalan (best cut) berjudul Sayur Asem dimana Tul Jaenak ditampilkan di dalamnya. Sayur Asem itu sendiri merupakan lagu milik Koes Plus juga.

Setelah itu, Eddy Silitonga –seorang putra Batak yang sangat fasih dalam melantunkan lagu-lagu berbahasa Jawa- pernah pula mencatat keberhasilan spektakuler melalui lagu Rama, Ana Maling! ciptaan Titiek Puspa, salah satu sosok penting serta legenda dalam blantika musik Indonesia. Beberapa penyanyi Pop Indonesia ternama pada era tersebut semisal Mus Mulyadi, Mamiek Slamet, Mus Mujiono, Emilia Contessa, Arie Koesmiran, Deassy Arisandy, dan yang lainnya menambah panjang deretan keberhasilan Pop Jawa dalam memperpanjang masa keemasannya.

Sayangnya, roda Cakra Manggilingan dimaui atau tidak kemudian tetap saja berputar. Perjalanan waktu akhirnya membawa Pop Jawa memasuki masa surut. Hal ini sebenarnya merupakan keadaan yang wajar saja mengingat sebagai suatu produk musik juga mempunyai semacam daur hidup (life cycle). Pada siklus tersebut, ia akan sampai pada tahap puncak kejenuhan dan selanjutnya mengalami penurunan. Surutnya popularitas lagu-lagu Pop Jawa terjadi pada era 1980. Walaupun secara insidental dan sporadis album Pop Jawa tetap pernah diterbitkan pada rentang waktu itu, tetapi keberhasilan sebagaimana yang telah diraih pada masa sebelumnya sulit sekali dimunculkan lagi. Sebagai catatan, dua orang bersaudara yang pada dasa warsa itu tergolong sebagai penyanyi Pop Indonesia terkenal, yaitu Lydia dan Imaniar Noor Said juga pernah merilis album Pop Jawa Jaipong bertajuk Dhawet Ayu Pasar Legi. Tetapi, memang keberadaan album ini barangkali jarang diketahui oleh para penggemar lagu Pop Jawa.

Peran Penting Seorang Manthou’s
Angin segar bertiup pada tahun 1990. Usaha secara keras dan kreatif yang dilakukan oleh seorang Manthou’s (pencipta lagu sekaligus penata musik dan rekaman yang cukup handal asal Gunung Kidul) menjadikan lagu Pop Jawa mampu menyeruak kembali mewarnai jagad musik kita. Ia menciptakan tembang berjudul Gethuk yang dilantunkan secara manis oleh biduan cantik dari Tanah Deli bersuara lembut, Noor Afnie Octavia. Secara komersial, lagu tersebut mampu menggapai prestasi yang lumayan bagus. Tidak kurang dari 800.000 keping kaset terjual di pasar.

Keberhasilan yang diraih itu memacu minat para pencipta lagu lain untuk menindaklanjutinya dengan turut bersaing menciptakan album Pop Jawa dalam berbagai variasi dan menyanyikannya. Beberapa diantaranya adalah kelompok Koes Plus (Jaran Kepang), Arie Wibowo (Mbak Ayu Setu Legi), Bharata Group (Kowe Pancen Ayu), Mus Mulyadi (Mariam Soto), Nenny Angelia (Pak Tukimo), dan masih ada banyak yang lainnya. Setelah meraih keberhasilan melalui album berjudul Gethuk, Manthous kemudian laris diminta untuk menciptakan lagu bagi album Pop Jawa beberapa penyanyi lain. Misalnya saja Titiek Sandhora dengan album bertajuk Kripik Apa Mendhoan dan Waljinah melalui album berjudul Iki Duweke Sapa. Memang, tidak semua album yang dirilis bisa meraih keberhasilan. Bahkan ada yang gagal di pasar. Namun, setidaknya hal ini mampu menyambung langkah sehingga eksistensi Pop Jawa tetap terjaga.

Ternyata, Gethuk bukanlah satu-satunya album Pop Jawa yang diaransir oleh Manthou’s dengan keberhasilan spektakuler. Pada akhir tahun 1992, ia menciptakan lagu berjudul Kangen yang dinyanyikan oleh salah satu penyanyi Dangdut tersohor, Evie Tamala. Penyanyi Dangdut beretnis Sunda ini mampu membawa album Kangen menggapai keberhasilan yang tidak kalah dengan Gethuk. Dalam jangka waktu lama, lagu ini sering dihadirkan sebagai lagu pesanan para penggemar di berbagai stasiun radio. Satu hal yang terasa unik terjadi. Karena Evie Tamala sebelumnya telah dikenal sebagai pelantun lagu Dangdut, maka lagu ini sering kali diminta oleh para penggemar justru pada saat acara pilihan lagu Dangdut tengah ditayangkan oleh suatu stasiun radio. Mereka tetap beranggapan bahwa lagu ini layak diminta dalam acara itu dan para penyiarnya pun bersedia memenuhinya.

Beberapa waktu kemudian, yakni pada tahun 1994, Koko Thole (seorang pencipta lagu Dangdut dan Pop Indonesia berusia muda yang potensial sekaligus penata musik dan pemain sinetron) menerbitkan album yang cukup kontemplatif, Jakarta. Lagu-lagu yang terangkum pada album tersebut diaransir secara bagus sekali dan liriknya sarat akan renungan tanpa memunculkan kesan menggurui. Dua tahun berikutnya yakni 1996, kembali ia meluncurkan album bernuansa akustik-tradisional yang tak kalah bagusnya dengan Jakarta berjudul Jaman Edan.
Sebelumnya, dari kota Bengawan Surakarta hadirlah sekelompok musisi yang menamakan diri Kawula Alit. Tokoh nasional asal Surakarta yang juga menjabat sebagai ketua umum Pemuda Panca Sila, Yapto Suryo Sumarto adalah pemandu bakatnya. Ia membawa mereka ke Jakarta untuk melakukan rekaman album. Mereka terdiri dari Danny Pelo, Ryan Penthul, Harry Gempil, dan Comet. Melalui penataan musik yang rapi, lirik yang komunikatif serta lagu-lagunya yang memang enak didengar, wajarlah Tebalbila kelompok ini dalam waktu singkat menanjak popularitasnya. Dua album telah mereka rilis. Album pertama adalah Maling lan Thuyul (diproduksi oleh JK Records Jakarta pada akhir tahun 1992) dan kedua adalah Anoman Obong (diproduksi oleh Dasa Studio Semarang pada tahun 1996).

Tentang Anoman Obong itu sendiri, tidaklah berlebihan kiranya bila ia kita dinobatkan sebagai salah satu lagu yang paling populer selama dua tahun terakhir ini, termasuk pula jika dibandingkan dengan lagu-lagu lainnya yang bercorak Pop Indonesia. Betapa tidak, dari orang dewasa hingga anak-anak jalanan yang mengamen di dalam bus kota hapal benar satu demi satu kata-kata lirik lagu yang diciptakan oleh Edy Ranto Gudel ini (ayah pelawak terkenal Mamiek Podhang). Lagu tersebut telah dialihkan dalam berbagai versi antara lain gendhing Jawa, langgam dan keroncong, Dangdut, bahkan house music. Konon, Maribeth Balombong Pasqua –seorang penyanyi bertaraf internasional yang namanya melejit melalui lagu ciptaan Habbas Sabah Mustafa bertajuk Denpasar Moon- juga berencana akan melantunkannya dalam bahasa Indonesia. Kalau memang benar terlaksana, hal itu merupakan suatu surprise.


Beberapa Harapan Untuk Kebaikan
Bagi kita para pencinta lagu Pop Jawa, iklim yang kondusif bagi perkembangannya seperti yang dirasakan saat ini tentulah merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Kondisi ini menjadikan minat para musisi untuk berkarya semakin tinggi. Persaingan untuk menciptakan album dan lagu yang baik terpacu dimana akhirnya para penikmatlah yang akan beruntung karena banyaknya pilihan. Tidak hanya para penikmat, para musisi pun akan menikmati manisnya buah karya termasuk berupa insentif finansial bila apresiasi masyarakat terhadap lagu-lagu Pop Jawa tinggi. Karenanya, para musisi hendaknya menyadari bahwa suasana seperti ini harus tetap terbangun. Mereka harus bekerja keras untuk itu.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Sebagai misal, penataan musik bagi setiap album harus diupayakan dengan sebaik mungkin karena hal itu adalah salah satu unsur yang menjadikannya menarik dan enak untuk dinikmati. Janganlah sampai ada lagi lagu yang ditata musiknya secara asal-asalan maupun terlalu sederhana sehingga terkesan amat mirip dengan aransemen lagu Pop Anak-Anak seperti yang sering kita temukan sebelumnya.
Lirik yang ada dalam setiap lagu hendaknya ditulis secara cerdas dan tidak terkesan dangkal. Para pencipta lagu seyogyanya mempertajam kepekaan terhadap permasalahan sosial serta kemanusiaan yang aktual dan universal. Dengan demikian, lagu yang ditulisnya tersebut mempunyai muatan edukatif dan kontemplatif tanpa meninggalkan kesan menggurui. Berkaitan dengan hal itu, tidak ada salahnya apabila peran para penata musik atau pencipta lagu Pop Indonesia ternama dilibatkan. Sudah barang tentu, mereka adalah pribadi yang memiliki penghayatan dan pemahaman terhadap bahasa Jawa. Hal itu perlu dijadikan pertimbangan mengingat nama besar bagaimanapun juga tetap merupakan daya tarik tersendiri. Dari mereka, diharapkan sentuhan khusus diperoleh sehingga “rasa” lagu yang tercipta semakin mudah diterima oleh lebih banyak penikmat musik, tak terkecuali juga para anak muda jaman sekarang yang pola pikir serta gaya hidupnya kosmopolitan.

Selain itu, kiranya sentuhan warna-warna lain yang tergolong sebagai genre musik populer pada saat ini misalnya Fusion, Creative Pop, Hip-Hop, Bossanova, Rap, Reggae, atau Rock ‘n’ Roll perlu dihadirkan pula. Tidak hanya terbatas pada irama bernada pentatonis. Instrumen musik yang digunakan juga perlu diupayakan agar lebih variatif. Dalam hal ini, piano akustik, gitar elektrik, saxophone atau bahkan string orchestra yang selama ini jarang tampil bisa diadopsikan sehingga aransemen lagu yang dihasilkan terasa semakin terasa bagus dan trendy. Jangan sampai kemudian kalah dengan Pop Bali yang telah melakukannya lebih dahulu.

Sebagai salah satu elemen budaya Jawa (atau bila istilah yang dipilih mungkin tidak tepat ditinjau dari sudut pandang sosiologis, Anda semua para pembaca bisa menamakannya apa saja) yang akhirnya menjadi bunga pemanis taman budaya Indonesia, eksistensi Pop Jawa harus tetap terjaga. Upaya ini tentunya menjadi tugas besar bagi para musisi yang berkecimpung secara langsung di dalamnya atau mereka yang tidak secara langsung menekuninya namun merasa mempunyai keterikatan moral sebagai orang berdarah Jawa, para penggemarnya dan kita semua. Senyampang kondisi permusikan ternyata menunjang dan kerinduan para penggemarnya terhadap kehadiran lagu Pop Jawa yang bermutu tengah berkobar, mengapa hal itu tidak kita lakukan? Bagaimana Mas Jujuk Exa, Bung Is Haryanto, Mas Mus Mujiono, Mas Steve Handoyo, Tulang Jonathan Purba, Bung Hendro Saky, Mbak Titiek Puspa, Cak Ian Antono, dan lainnya? Siapkah Anda?

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penggemar serta pemerhati lagu Pop Jawa. Saat ini tengah bekerja di Lembaga Manajemen STIE Bank BPD Jateng sebagai staff konsultan dan tenaga pengajar.

*)Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Suara Merdeka edisi 26 Juli 1997 dalam rubrik budaya Sang Pamomong. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Apakah terjadi regenerasi pada kelompok studi ini hingga ia masih eksis sampai saat ini? Kontribusi kelompok studi ini bagi Surakarta sebagai kota intelektual benar-benar besar menurut saya.