Rabu, 10 Juni 2009

Pembangunan, Lingkungan Hidup, Etika Dan Peran Negara

Latar Belakang Masalah
Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa kesadaran serius untuk berpikir secara etis serta memperhatikan nasib pihak yang lemah secara komprehensif masih menjadi barang langka di negara kita. Demikian pula itikad untuk mengakomodasikan aspirasi mereka dengan sebenar-benarnya dalam proses penentuan keputusan penting yang sesungguhnya berkaitan dengan nasib mereka.

Tanpa harus menganalisisnya melalui landasan teori tingkat tinggi pun, kita sering menyaksikan kenyataan bahwa dalam tata hubungan sosial, posisi anggota masyarakat kecil cenderung bersifat inferior. Jumlahnya yang banyak justru membuat mereka sering terkalahkan pada saat terlibat dalam hubungan segi tiga dengan pemerintah serta pemilik modal.
Dilandasi oleh pemikiran tentang perannya yang signifikan bagi akselerasi kegiatan perekonomian serta terciptanya dampak pengganda (multiplyer effect) yang lebih besar, pemerintah terasa lebih serius menunjukkan perhatian kepada pemilik modal dari pada masyarakat kecil di sekitarnya. Memang, dalam tataran normatif penilaian itu pastilah disangkal. Pemerintah tentu saja akan menyatakan bahwa kebijaksanaan yang diberlakukannya bertujuan untuk mengakomodasikan dan menciptakan kemaslahatan bagi semua pihak dan tidak akan bersikap pilih kasih kepada siapapun. Memang, itulah jawaban formal yang pasti akan dikemukakan sekalipun sebenarnya bertentangan dengan kenyataan.

Begitu juga dengan para pemilik modal. Mereka merasa hanya perlu berbicara dengan pemerintah saja karena pemerintah adalah penentu keputusan serta perumus kebijaksanaan. Dianggap pentingnya posisi pemerintah ini menjadikan para pelaku usaha memandang masyarakat kecil sebagai pihak yang hanya perlu mau menerima hasil kesepakatan diantara mereka.
Lemahnya posisi anggota masyarakat kecil ini kerap kali tampak dalam berbagai kegiatan pembangunan yang merugikan mereka serta lingkungan hidup tempat mereka berada. Padahal, secara ideal-normatif pembangunan adalah proses untuk menciptakan kesejahteraan. Tetapi, kenyataan sering menunjukkan hal yang berlawanan. Pada pelaksanaannya, pembangunan justru sering kali menemui kebuntuannya sendiri akibat kebijaksanaan yang amat pragmatis, yakni hanya mempertimbangkan keuntungan finansial-ekonomis tanpa landasan etika yang mengawalnya (Achmad Maulani, 2007:1).

Disamping itu, mereka tidak jarang menanggung dampak buruk dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh para pemilik modal walaupun tentunya hal tersebut terjadi di luar kesengajaan. Sebagai misalnya, masih kerap kali terjadi kasus anggota masyarakat yang mengalami sakit akibat mengkonsumsi produk makanan yang rusak. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya kasus pencemaran udara, tanah, dan air yang menimpa lingkungan tempat masyarakat kecil berada padahal mereka hampir tidak menerima berkah yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas usaha semisal pertambangan batu bara. Pada masa rezim Orde Baru yang memang amat memuja pemilik modal, sering kita jumpai kasus dimana banyak anggota masyarakat dirampas tanahnya atau diminta melepaskannya untuk keperluan pembangunan industri maupun tempat pariwisata milik beberapa konglomerat melalui cara-cara licik bahkan kejam. Sudah pasti, setelah tanah berpindah tangan, mereka kemudian menjadi miskin karena gantungan hidup telah hilang.

Pembahasan

Dari berbagai contoh hubungan antara pemerintah, pemilik modal, dan masyarakat kecil maupun aktivitas bisnis serta pembangunan yang ternyata membawa mudharat, tenggelamnya beberapa wilayah Kecamatan Porong, Sidoarjo karena semburan lumpur yang muncul dari kegiatan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas, Inc. adalah kasus yang paling mengemuka hingga saat ini. Sejak akhir bulan Mei 2006, lumpur panas terus menerus mengalir dari dalam bumi dan tidak bisa dihentikan sampai sekarang. Proses pengeboran yang diduga kuat mengalami kesalahan prosedur telah membuat beberapa wilayah tersebut terhapus dari peta dan jumlahnya masih akan bertambah.
Selama ini, Kecamatan Porong adalah salah satu wilayah Kabupaten Sidoarjo yang paling dinamis aktivitas perekonomiannya. Selain itu, secara geografis kawasan ini mempunyai letak strategis karena ia berada di tengah beberapa jalur lalu lintas perekonomian antar kota dan dekat dengan beberapa kawasan industri. Tidak hanya itu, tanahnya sangat subur hingga aktivitas pertanian tanaman pangan juga terlaksana secara baik di sini. Ditambah lagi dengan industri tas, koper, dan kerajinan kulit yang sudah berkembang sangat maju di daerah Tanggul Angin.

Akan tetapi, bencana yang terjadinya tanpa pernah diduga memporakporandakan semuanya. Lumpur panas yang menyembur dari dalam bumi dan kemudian menggenangi permukaan menjadikan beberapa bagian wilayah itu seperti kota mati yang sudah tidak bisa dihuni lagi. Ratusan orang kepala keluarga kehilangan rumah yang telah mereka bangun dengan segenap perjuangan. Beberapa ratus hektar lahan sawah produktif tidak bisa ditanami. Ruas jalan tol Surabaya-Gempol boleh dikatakan hampir lumpuh. Beberapa puluh bangunan pabrik harus berhenti beroperasi sehingga banyak pekerja kehilangan mata pencaharian.

Kerugian yang ditimbulkan oleh bencana dahsyat tersebut memang besar dampaknya secara fisik dan material. Namun, sesungguhnya ada kerugian dalam wujud lain yang jauh lebih buruk. Tatanan sosial yang turut hancur oleh bencana ini adalah wujudnya yang nyata (Benny Susetyo, 2007:1). Hubungan kekerabatan (gemeinschaaft) yang telah terjalin erat antar anggota masyarakat di tempat itu serta terbukti mampu menyatukan mereka sebagai saudara adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Salah seorang cendekiawan ilmu sosial dunia terkemuka, Francis Fukuyama, bahkan menyebutnya sebagai modal sosial (social capital). Kini, kekayaan tak berwujud (intangible assets) itu telah hancur. Anggota masyarakat yang tinggal di kawasan ini tercerai berai. Solidaritas sosial yang sudah terbangun dalam jangka waktu lama serta mampu menjadikan mereka merasa tenteram sekarang hilang. Anak-anak kecil yang biasanya hidup penuh keceriaan kemudian tidak punya teman bermain lagi. Sementara, para orang tuanya jelas merasa kebingungan karena harus menata kembali kehidupan baru yang belum tentu dapat mereka lakukan. Dampak buruk secara sosial ini jelas tidak bisa dihitung melalui satuan moneter. Inilah kerugian peradaban yang tak ternilai harganya dan dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang mampu menggantinya.

Dampak sosial bencana tersebut mencerminkan inferiornya posisi masyarakat kecil dalam kegiatan bernegara, aktivitas bisnis, dan juga pelaksanaan proses pembangunan sebagaimana halnya disampaikan di muka. Mereka terpaksa menjadi saksi yang melihat sekaligus korban yang mengalami dampak pembangunan berorientasi keuntungan materi serta kemegahan fisik. Sedangkan masyarakat kecil ditempatkan sebagai obyek yang diam serta harus tunduk pada kemauan pihak-pihak lain yang mempunyai kekuasaan besar. Itulah proses pembangunan yang mengalami krisis legitimasi karena ia menempatkan manusia seperti halnya benda mati. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Juergen Habermaas (salah satu filsuf kontemporer terkemuka dunia asal Jerman), corak pembangunan seperti ini sudah pasti akan menyebabkan stagnasi sosial yang selanjutnya menciptakan berbagai masalah baru yang jauh lebih berat (Benny Susetyo, 2007:2).

Apabila ditinjau dari perspektif normatif, kita dapat merasakan bahwa selama ini pertimbangan etika dan moralitas sering kali diletakkan secara terpisah atau bahkan berlawanan dengan dinamika kegiatan usaha maupun pembangunan. Peristiwa sedih yang menimpa masyarakat di beberapa bagian wilayah Kecamatan Porong ini memberikan gambaran tentang hal tersebut. Para pelaku bisnis serta perumus kebijaksanaan pemerintahan (dalam kenyataannya) acap kali beranggapan bahwa kegiatan bisnis serta pembangunan hanya perlu dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang mendukung pencapaian keuntungan serta meminimalkan kerugian. Menurut pandangan mereka, apabila tujuan berupa keuntungan ingin diraih, etika harus diabaikan karena keberadaannya dalam kegiatan bisnis malah menyebabkan keuntungan menurun dan pelaku usaha dirugikan (Muhammad Ridwan, 2008:1).

Selain dinilai bertentangan dengan upaya memaksimalkan keuntungan, parameter nilai etika dianggap sangat relatif serta memiliki perbedaan antar individu dan kelompok masyarakat. Kalaupun ada aspek etis yang harus diperhatikan, hal ini hanya berupa tekad untuk memenuhi keinginan para pemegang saham dalam meraih keuntungan maksimal. Dorongan tekad semacam itu menjadikan perusahaan terkondisikan untuk berpikir pragmatis dan melakukan segala cara guna mempertinggi keuntungan. Kompetisi antar pelaku bisnis yang kian ketat dan tuntutan pemegang saham yang kian berat sering menjadi alasan pembenarnya. Pandangan tersebut memperoleh penguatan dari salah seorang pakar ekonomi aliran klasik yakni Teodore Levitt. Pada intinya, ia menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan finansial-ekonomis belaka. Karenanya, atas nama efisiensi dan efektivitas yang menunjang pencapaiannya, tidak jarang, kehidupan anggota masyarakat di sekitarnya dikorbankan, lingkungan hidup dirusak, dan bukan tidak mungkin tatanan sosial maupun budaya mengalami degradasi.

Pandangan tersebut mampu bertahan lama sebagai arus besar (main stream) pemikiran dan hingga sekarang pun masih saja mendapatkan dukungan. Tetapi, apabila para pelaku usaha bersedia memikirkannya secara lebih seksama, mereka seharusnya sadar bahwa pandangan seperti itu harus ditinggalkan. Walaupun alur kaitannya tidak langsung dan membutuhkan waktu untuk menunjukkan dampak bagusnya, ternyata ada hubungan sinergis antara penerapan perilaku etis dalam bisnis dan perolehan laba. Justru pada arena persaingan antar pelaku usaha yang makin ketat ini, reputasi baik yang terwujud dari kesediaan untuk menerapkan perilaku etis dalam kegiatan usaha merupakan keunggulan strategis yang tidak boleh diabaikan.

Dikatakan oleh Muhammad Ridwan (2008:2) bahwa etika dapat dimaknai sebagai suatu tata perilaku atau seperangkat prinsip yang mengatur kehidupan manusia (a code or set of principles which people live). Ia juga dapat dipahami sebagai seperangkat peraturan tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik menurut ukuran moral serta memberikan batasan tentang mana hal yang baik serta buruk (Kuswahyudi, 2008:2). Melalui landasan berpikir yang etis sifatnya, refleksi kritis dan penjelasan rasional atas sesuatu hal yang baik dan buruk menurut ukuran moral disampaikan. Misalnya saja, mengapa perusahaan harus mempertahankan kualitas lingkungan hidup dan mengapa setiap pelaku usaha harus bertindak jujur.

Dalam paradigma lama, upaya tersebut dianggap tidak ada gunanya serta membuang-buang uang saja. Namun, apabila dianalisis secara lebih obyektif, ternyata mempertahankan kualitas lingkungan hidup berarti mewujudkan kondisi yang bermanfaat bagi perusahaan itu sendiri. Bagusnya kondisi lingkungan menjadikan udara terasa segar, temperatur wilayah sejuk, dan kualitas deposit air dalam tanah tetap terjada secara baik. Dalam kondisi tersebut, suasana lingkungan yang kondusif terhadap peningkatan produktivitas kerja mudah terbentuk. Sebaliknya, dalam lingkungan yang telah tercemar atau rusak, udara kawasan itu terasa pengap, temperatur wilayah gerah, dan air dalam tanah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Pada kondisi buruk seperti itu, rasa nyaman tidak terwujud. Sebagai dampak negatif lanjutannya, produktivitas mudah mengalami penurunan. Perusahaanlah yang pada akhirnya menanggung kerugian.

Sedangkan menipu adalah perbuatan buruk karena pihak lain lalu tidak lagi mau memberikan kepercayaan kepada pelakunya. Padahal, dalam dunia bisnis kepercayaan adalah harta yang tak ternilai harganya. Seorang pelaku usaha yang dikenal mempunyai tingkat kredibilitas bagus pasti lebih mudah menjalin kerja sama, memperluas skala usaha, memperoleh kredit, dan mendapatkan bantuan untuk bangkit apabila ia mengalami keterpurukan.

Salah satu ilustrasi kasus yang bisa dijadikan bukti tentang arti penting pelaksanaan bisnis yang etis terkait dengan keselamatan konsumen serta lingkungan hidup adalah bagaimana Johnson & Johnson menangani kasus keracunan yang diduga memiliki hubungan dengan Tylenol (salah satu lini produknya) pada tahun 1982 (It Pin, 2006:1). Saat itu, tujuh orang dikabarkan mengalami kematian setelah mengkonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol yang dikonsumsi tersebut mengandung racun sianida. Meskipun penyelidikan masih berlangsung guna mengetahui pihak yang harus bertanggung jawab secara yuridis, Johnson & Johnson segera menarik jutaan botol Tylenol dari pasar. Kemudian, ia mengumumkan kepada para konsumen agar berhenti mengkonsumsi produk itu hingga akhir kasusnya jelas. Perusahaan berbagai produk kimia dan saniter terkemuka ini bekerja sama dengan polisi, Federal Bureau of Investigation, dan Food and Drugs Administration guna menyelidiki kasus itu. Akhirnya, penyelidikan membuktikan bahwa kematian tujuh orang itu disebabkan oleh racun sianida yang sengaja dimasukkan ke dalam botol Tylenol oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tujuannya tentu saja adalah merusak reputasi Johnson & Johnson.

Biaya yang harus dikeluarkan dalam kasus tersebut mencapai lebih dari US$ 100.000.000. Akan tetapi, sikap responsif dan bertanggung jawab yang ditunjukkan olehnya berhasil menciptakan citra bagus yang masih melekat pada Johnson & Johnson sampai sekarang. Nilainya jelas jauh lebih besar dari pada besaran jumlah uang yang dibayarkan. Hal inilah yang menjadi semacam ekuitas perusahaan (company equity) baginya. Begitu kasus itu dinyatakan selesai secara hukum, Tylenol diluncurkan kembali ke pasar. Produk tersebut dikemas dengan penutup yang lebih aman guna menghindari terulangnya kasus. Tylenol kemudian kembali menjadi pemimpin pasar untuk produk yang sejenis.

Dalam jangka panjang, prinsip yang telah ditunjukkan oleh Johnson & Johnson dimana keselamatan konsumen dan lingkungan hidup diposisikan jauh lebih penting dari pada kepentingan perusahaan membuahkan keuntungan lebih besar kepadanya. Doug Lennick dan Fred Kiehl dalam bukunya bertajuk Moral Intelligence menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin puncak dengan standar etika dan moral tinggi terbukti mencapai keberhasilan secara lebih baik dalam jangka panjang. Pandangan serupa juga dikemukakan jutawan bernama John Michael Huntsman dalam bukunya berjudul Winners Never Cheat. Menurutnya, kunci keberhasilannya yang utama adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan yang diberikan oleh pihak lain (It Pin, 2006:2).

Arti penting penerapan perilaku etis dalam kegiatan usaha semakin memperoleh penguatan melalui berbagai bukti nyata. Misalnya saja, pada tahun 1999 dalam jurnal Business and Society Review dikemukakan hasil penelitian bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik atas dasar kepatuhan pada kode etik mampu meningkatkan nilai tambah pasar (market value added) sampai dua hingga tiga kali lipat daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Sedangkan berdasarkan seperti riset yang dilakukan oleh De Paul University pada tahun 1997 diketahui bahwa perusahaan yang merealisasikan komitmennya dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berupa hasil penjualan dan pendapatan tiap tahun) lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Hanya saja, dalam konteks Indonesia aktual, eksploitasi kawasan tambang secara liar, pembukaan lahan tanpa mengindahkan ketentuan tata ruang, pembabatan hutan lindung, pengambilan kekayaan laut secara berlebihan, dan tindakan buruk atas lingkungan lainnya justru semakin intensif terjadi. Skalanyanya pun bertambah masif. Bahkan, diterapkannya otonomi daerah seakan menjadi justifikasi atas tindakan itu semua dengan alasan bahwa setiap daerah memiliki hak untuk mengelola secara penuh kekayaan alamnya. Kehendak untuk bertindak normatif, menyeluruh, dan mempertimbangkan dampak jangka panjang kalah oleh pertimbangan jangka pendek yang bersifat material. Tidak jarang terjadi, pemimpin masyarakat adat yang dahulu menjadi garda terdepan pelestarian lingkungan hidup serta penegakan kearifan tradisional (traditional wisdom) sekarang sudah ada yang beralih peran menjadi calo bagi pelepasan tanah ulayat atau hutan adat untuk dieksploitasi oleh pemilik modal dari luar wilayah mereka.

Kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat karena kerusakan lingkungan kelak pasti jauh lebih besar dari pada nilai Rupiah uang yang diterima saat ini. Ketika hutan dibalak atau pohon-pohon bakau ditebangi untuk dijadikan tambak udang, anggota masyarakat sekitar atau para pelakunya memperoleh sejumlah uang. Tetapi, tanah yang tidak terlindungi oleh pohon akan mengalami degradasi mutu dan bahkan longsor apabila hujan menimpa. Pantai yang telah kehilangan pohon bakaunya pasti mudah terlanda abrasi serta tidak lagi disinggahi oleh burung-burung yang kotorannya bisa mengundang kepiting bakau untuk datang. Masyarakat wilayah tersebut tentunya kehilangan peluang untuk memperoleh pendapatan yang berkesinambungan sekaligus hidup dengan kualitas lebih baik. Proses pemiskinan selanjutnya terjadi secara sistematis namun tanpa disadari.

Dalam masalah ini, pemerintah tidak boleh menutup mata serta harus bersedia meninjau ulang kebijaksanaannya terkait dengan lingkungan hidup. Ia harus dapat berlaku tegas dengan memilih hal-hal yang membawa kebaikan secara berkelanjutan. Memadukan antara tindakan imperatif serta penyadaran persuasif merupakan tuntutan peran yang harus dilakukannya untuk menjaga agar lingkungan hidup tetap lestari. Setiap perusahaan perlu mendapatkan informasi secara jelas mengenai tindakan yang boleh atau terlarang untuk dilakukan. Tentu saja, pengawasan yang benar adalah hal yang wajib menyertai. Kepada perusahaan yang menampilkan tindakan terpuji dalam melestarikan lingkungan hidup, penghargaan dalam berbagai bentuk harus diberikan. Penghargaan itu memiliki nilai penting untuk memotivasi perusahaan lainnya agar bersedia melakukan hal terpuji yang serupa.

Seandainya ada pihak yang merasa skeptis terhadap nilai positif yang ditimbulkan oleh perilaku etis terhadap lingkungan hidup, keraguan itu saat ini mulai bisa dibantah. Secara empiris, kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan ini ternyata terbukti mampu menciptakan manfaat yang bersifat konkret bagi perusahaan, tak terkecuali jika ditinjau dari sudut pandang capaian finansial. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh The Performance Group (suatu konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling) diketahui bahwa kesediaan produsen mengembangkan produk yang ramah lingkungan dan meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap tanggung jawab atas lingkungan (environmental compliance) bisa meningkatkan laba tiap lembar saham (earning per share) perusahaan dan kemampuan menghasilkan laba (profitability) serta mempermudah mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi dari pihak lain (Novie Imansyah, 2008:2). Keadaan itu terjadi karena reputasi bagus yang bisa ditunjukkan olehnya diapresiasi secara bagus pula oleh para pembeli saham, mitra kerja, dan calon investor.

Bagi para pelaku usaha yang mempunyai komitmen dalam menjunjung tinggi etika bisnis, resiko berupa keharusan membayar kompensasi karena permasalahan lingkungan hidup harus diperhitungkan sejak awal walaupun sudah pasti tidak ada satu pihak pun menginginkannya. Memang, membayar kompensasi adalah suatu pengorbanan. Namun, kewajiban itu hendaknya dianggap sebagai bagian dari upaya untuk membangun reputasi perusahaan dalam jangka panjang agar keberlanjutan usaha terjamin. Bila kewajiban tersebut tidak ditunaikan, bukan hanya lingkungan hidup atau masyarakat yang rugi. Perusahaan itu sendiri akan mengalami kerugian sistemik dalam jangka panjang. Cara pandang seperti ini penting untuk disadari serta disosialisasikan baik kepada anggota masyarakat, pemerintah, maupun pelaku usaha.

Sejak awal pelaksanaan usaha, perusahaan harus mampu mengidentifikasikan berbagai masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangannya (potential problems in advance) sebagai bentuk upaya responsif terhadap resiko lingkungan. Begitu pula upaya untuk mengantisipasi serta menanganinya. Dikaitkan dengan pelaksanaan kegiatan usahanya secara teknis, perusahaan dituntut untuk bisa meminimalkan kemungkinan terjadinya resiko karena kesalahan manusia (human error), kelalaian manajerial, atau kerugian liabilitas (Gamacca Institute, 2007:4). Suatu perencanaan yang matang memang sangat dibutuhkan agar pihak-pihak yang berkompeten dalam perusahaan mengetahui apa yang harus dilakukan ketika permasalahan buruk terjadi. Perencanaan tersebut setidaknya diperlukan untuk memperkirakan dan mengurangi kemungkinan terjadinya resiko. Sedangkan upaya melibatkan masyarakat dalam mengantisipasi resiko juga penting untuk dilakukan agar mereka lebih siap dalam menghadapinya.

Berkenaan dengan kasus bencana yang menimpa beberapa wilayah di Kecamatan Porong ini, pada saat terjadinya memang PT Lapindo Brantas, Inc. sudah berusaha menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) untuk menangani para korban. Pihak perusahaan berusaha menghentikan semburan lumpur dengan membangun kolam penampung dan tanggul penahan lumpur serta membayar ganti rugi. Bagaimanapun juga, tindakan yang telah dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, Inc. tetap harus diapresiasi sekalipun tentu saja masih jauh dari memuaskan. Langkah tersebut pantas untuk dijadikan semacam model percontohan bagi kasus-kasus yang lainnya. Selain itu, pemerintah dan masyarakat harus menghilangkan niat untuk menjadikan PT Lapindo Brantas, Inc. serta keluarga Bakrie sebagai sapi perahan.

Sekalipun demikian, perusahaan sendiri telah melakukan kesalahan yang amat fatal, utamanya pada masa-masa sebelum bencana ini terjadi. Upaya yang bersifat antisipatif, preventif, dan prudensial tidak dilaksanakan jauh-jauh hari. Badan Pengelola Minyak dan Gas serta PT Lapindo Brantas, Inc. tidak mensosialisasikan secara jelas kepada masyarakat apa yang tengah dilakukan. Padahal, kegiatan eksplorasi gas dari dalam bumi merupakan kegiatan yang mempunyai resiko tinggi. Selain itu, lokasi dilaksanakannya kegiatan berada dekat pemukiman penduduk yang padat. Sehingga, tindakan yang bersifat pengabaian terasa sekali dalam kasus ini. Terlebih lagi, dalam proses pengadilan terungkap fakta bahwa proses pengeboran pada saat itu tidak dilaksanakan berdasarkan standar operasional dan prosedural yang diberlakukan. Karenanya, kesalahan manusia dalam perusahaan ini tidak bisa dibantah. Terjadinya bencana itu menjadikan upaya yang mencerminkan tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukannya terkesan terlambat walaupun tentunya better late than never.

Kembali pada peran negara, ia harus mampu menjalankan fungsinya untuk melindungi kepentingan rakyat yang tersisih sebagai cermin komitmen sosial mendasarnya. Paling tidak, negara harus membatasi dampak keserakahan pemodal besar yang merugikan kepentingan masyarakat dengan menciptakan berbagai regulasi yang menunjangnya (Achmad Maulani, 2007:2). Upaya preventif ini adalah tugas etis negara untuk melindungi rakyatnya yang terkalahkan oleh kekuatan modal. Melalui penerapan nilai-nilai etis yang melekat dalam setiap proses penentuan keputusan, negara menunjukkan itikad untuk menjaga agar rakyat tidak tersisih dan menjadi korban pembangunan atau aktivitas bisnis yang tidak bertanggung jawab. Bencana yang ditimbulkan dari aktivitas bisnis pemilik modal besar seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Porong tampaknya memperlihatkan kenyataan tentang melemahnya landasan etis pada kebijaksanaan pembangunan yang dirumuskan.

Dari permasalahan di atas, ada dua hal yang mendesak untuk dilakukan (Achmad Maulani, 2007:3). Langkah pertama adalah perumusan strategi pembangunan yang memberikan nisbah proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan kebijakan pembangunan harus mencerminkan pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar memberikan manfaat bagi mereka. Kebijaksanaan pembangunan yang hanya mengakomodasikan kehendak sebagian pelaku ekonomi, dengan sendirinya harus dirombak. Modal tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa aturan main yang mengawalnya. Tanpa pengawalan secara strategis, proses pembangunan dan juga aktivitas bisnis di dalamnya hanya akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Adapun langkah kedua adalah penciptaan semacam ruang publik bagi sebagian besar rakyat yang termarginalkan oleh proses pembangunan. Langkah ini perlu ditempuh dengan asumsi bahwa setiap proses pembangunan -betapa pun baiknya- pasti selalu menempatkan sebagian rakyat dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dengan menerapkan dua langkah di atas, diharapkan proses pembangunan yang sering kali masih memunculkan ketimpangan sosial bisa diminimalkan. Sehingga, apa pun strategi pembangunan yang diterapkan, pada level mana ia dilaksanakan, serta siapa yang menjalankannya, landasan etis harus menjadi semangat yang melandasinya. Tanpa hal itu, pembangunan tak akan lagi menyisakan nilai humanisnya. Pragmatisme dalam pembangunan memang tetap harus ada karena melalui ukuran pragmatislah hasil penerapan kebijaksanaannya dapat dinilai. Namun, tujuan pragmatis tetap harus dibimbing oleh nilai-nilai ideal agar ia tidak bertentangan dengan tujuan etis, yakni terwujudnya keadilan sosial.


Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang bisa dirumuskan dari pemaparan masalah mengenai pembangunan, lingkungan hidup, etika, dan peran negara antara lain adalah
1) Dalam kenyataannya, posisi anggota masyarakat banyak dalam tata hubungan sosial, proses pembangunan, serta penentuan keputusan berdimensi publik cenderung inferior. Pemerintah serta pelaku usaha sering mengabaikan makna keberadaan mereka.
2) Sering kali terjadi aktivitas pembangunan atau kegiatan bisnis yang menciptakan kerugian bagi masyarakat banyak serta lingkungan hidup tempat mereka berada. Kerugian yang ditimbulkan itu tidak hanya menimbulkan dampak buruk secara fisik melainkan juga merusak tatanan sosial yang telah terbangun secara baik di dalamnya. Padahal, tatanan sosial merupakan modal sosial yang tak ternilai harganya.
3) Selama ini, pertimbangan etika dan moralitas sering kali diletakkan secara terpisah atau bahkan berlawanan dengan dinamika kegiatan usaha maupun pembangunan. Padahal, kondisi semacam itu tidak boleh terjadi.
4) Proses pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai obyek yang bodoh pasti akan menciptakan stagnasi sosial yang kemudian menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan sosial lainnya yang lebih serius.
5) Dalam jangka pendek, kegiatan usaha maupun pembangunan yang mengabaikan etika serta penghormatan terhadap lingkungan hidup memang tetap bisa memberikan keuntungan, bahkan dalam jangka waktu segera. Namun, setelah itu kerugian atau pemiskinan dalam jangka panjang serta berkelanjutan pasti akan dialami. Sudah barang tentu, keadaan seperti ini tidak kita inginkan.


Saran
Berkenaan dengan pemaparan masalah ini, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah
1) Pemerintah harus selalu diingatkan akan pentingnya dimensi kemanusiaan, aspek etis, serta penghormatan kepada lingkungan hidup dalam perumusan strategi maupun kebijaksanaan pembangunan. Hal ini jelas penting artinya karena strategi serta kebijaksanaan pembangunan merupakan acuan yang memberikan dampak turunan kepada berbagai proses sosial yang dilakukan sesudahnya.
2) Pemerintah tidak sepantasnya membiarkan terjadinya praktek-praktek yang menyimpang dari nilai etika baik dalam kegiatan pembangunan, aktivitas bisnis, serta pemanfaatan lingkungan hidup. Ia harus bersedia meninjau ulang kebijaksanaannya dan dapat berlaku tegas dengan memilih hal-hal yang membawa kebaikan secara berkelanjutan.
3) Apresiasi kepada para pelaku usaha yang telah terbukti menerapkan tindakan etis harus diberikan secara jelas bahkan terukur guna memotivasi pelaku usaha lainnya untuk melakukan hal serupa.
4) Secara berkesinambungan, pemerintah hendaknya mendorong setiap perusahaan agar dapat mengidentifikasikan berbagai masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangannya sebagai bentuk upaya responsif terhadap resiko lingkungan. Demikian juga berbagai upaya untuk mengantisipasi serta menanganinya.
5) Fungsi pemerintah dalam melindungi kepentingan rakyat yang tersisih dalam proses pembangunan sebagai cermin komitmen sosial mendasar jelas harus dioptimalkan. Paling tidak, ia harus bisa membatasi dampak keserakahan pemodal besar yang merugikan kepentingan masyarakat dengan menciptakan berbagai regulasi yang menunjangnya.
6) Terkait dengan masalah di atas, ada dua hal mendasar yang dapat dilakukan, yakni merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan rakyat serta menciptakan ruang publik bagi sebagian besar rakyat yang termarginalkan oleh proses pembangunan.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.


Daftar Pustaka
1) Berbisnis Dengan Etika Syari’ah. Muhammad Ridwan, M.A. 2008. http://sahrazeida.wordpress.com/2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah/
2) Etika dan Bisnis. It Pin. 2006.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0606/30/opini/2734491.html
3) Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. Novie Imansyah. 2008.
http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/
4) Etika Kita Untuk Lingkungan Hidup. Kuswahyudi. 2008.
http://dosenku-kus.blogspot.com/2008/06/sedih-hati-kita-melihat-alam-indonesia.html
5) Keadilan dan Pemulihan Lingkungan. Gamacca Institute. 2007.
http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/33001
6) Mengais Rupiah, Mengejar Barokah. Firdaus Agung. 2008.
http://www.uinmalangpress.com/bukuresensidtl.php?vid=25
7) Pembangunan Yang Menghancurkan. Benny Susetyo. 2007.
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0711/29/ekonomi/4034461.html
8) Potret Hilangnya Etika Pembangunan. Achmad Maulani. 2007.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0703/09/jatim/63501.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar