Sedikit Catatan Tentang Nasionalisme Kita
Berbicara mengenai rasa kebangsaan, berarti pula memperbincangkan sesuatu yang sering terlupakan pada era dimana prinsip rasionalitas dan pragmatisme sangat diagungkan serta pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ideal normatif dinomorsekiankan seperti yang terjadi saat ini. Suatu pokok bahasan yang hanya terungkap pada saat-saat tertentu yang mana berapa kali datangnya bisa dihitung dengan jumlah jari tangan saja. Semisal menjelang peringatan hari kemerdekaan atau hari kebangkitan nasional. Itupun sering kali dilakukan secara artifisial, klise, penuh nuansa mobilisasi disertai sedikit keterpaksaan dan tanpa penghayatan sama sekali. Tawar dan datar-datar saja atau bahkan banal.
Jarang diantara kita mau mengingat –kecuali ketika dengan terpaksa kita harus membuka-buka lagi buku teks sejarah- bahwa rasa kebangsaan adalah unsur penting penegak kedaulatan persada ini. Tanpa keberadaannya, integritas serta eksistensi bangsa dan negara kita akan rapuh, tercabik atau bahkan tidak pernah ada sama sekali. Keadaan menyenangkan dimana kita bebas mengayunkan langkah kaki kemana saja kita suka, boleh berkeinginan dan berusaha mencapai sesuatu yang kita dambakan, berhak membeli apa saja yang terjangkau oleh daya beli kita serta berkesempatan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki hanya bisa kita nikmati manakala kita berdiri sebagai orang yang bebas atau bangsa yang merdeka. Sedangkan kemerdekaan itu hanya akan bisa diraih apabila kita mampu menumbuhkan kesadaran untuk menjadi insan yang berdaulat sekaligus kebanggaan sebagai suatu bangsa.
Tentu saja, kebanggaan yang dimaksudkan di sini bukanlah sejenis nasionalisme yang terlalu bergelora serta berlebihan sehingga menjurus kepada sikap chauvinistik seperti halnya yang dengan keras dan penuh kecongkakan berusaha diindoktrinasikan oleh dua orang diktator tiran sekaligus megalomania tersohor, Adolf Hitler dari Jerman dan Bennito Musollini dari Italia. Bukan pula semacam xenophobia yang menjadikan para anggota masyarakat suatu bangsa secara total menolak tanpa reserve segala sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Kedua fenomena tersebut, baik chauvinisme maupun xenophobia jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip universal yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sama dan sederajat serta seluruh manusia harus saling mengenal dan menjalin hubungan secara harmonis dalam tatanan peradaban dunia yang damai. Kita menghendaki kecintaan terhadap bangsa dan negara ini disertai keinginan untuk memberikan segala yang terbaik baginya dengan tetap menyadari bahwa kita merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan isi jagad ini serta tidak memandang bangsa lain lebih rendah dari pada kita.
Mengenai masalah ini, Hassan Al Bana, salah seorang intelektual muslim ternama dan pemuka gerakan Islam Ikhwanul Muslimin asal Mesir yang terkenal sangat kuat tekadnya dalam mewujudkan persatuan di antara seluruh umat Islam dari seluruh penjuru dunia serta menjunjung tinggi konsep universalisme menyatakan bahwa dirinya tidak menentang secara total konsep nasionalisme. Ia tetap menyepakati konsep nasionalisme dengan catatan bahwa faham tersebut bermakna wathanniyyah (patriotisme). Dalam artian bahwa umat Islam di seluruh penjuru dunia haruslah bertindak dan bersikap laksana patriot. Sikap tersebut mensyaratkan kepada mereka untuk mau berjuang secara ikhlas tanpa pamrih membela saudara mereka di setiap belahan dunia yang tengah mengalami penderitaan atau penindasan. Selain itu, umat Islam harus bersedia berkorban guna mengupayakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta membela kebenaran dan keadilan. Menurutnya, umat Islam yang baik adalah mereka yang selalu menunjukkan sikap mulia (akhlakul karimah) terhadap siapa saja, baik dengan kalangan sebangsa maupun mereka yang berbeda jenis ras dengannya, bahkan terhadap mereka yang berlainan secara akidah. Hassan Al Banna menegaskan bahwa unsur-unsur nasionalisme yang berdimensi positif dan karenanya harus ditumbuhkan untuk mencapai kejayaan seluruh umat antara lain adalah:
1. Wathanniyyah Al Hanin yakni perasaan cinta kepada tanah air.
2.Wathanniyyah Al Hurriyyah yang menghendaki kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap bangsa di muka bumi ini.
3. Wathanniyyah Al Mujtama’ yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan memperkuat rasa persatuan serta kesatuan antara anggota masyarakat suatu negara.
4. Wathanniyyah Al Fath yang mendorong anggota masyarakat suatu bangsa untuk berkembang ke arah lebih baik serta bisa mencapai kemajuan.
5. Wathanniyyah Al Ummah yang menghendaki agar setiap pribadi bertanggung jawab penuh kepada lingkungan masyarakat tempat ia berada.
Untuk konteks saat ini juga, nasionalisme tetaplah penting untuk dipelihara sekalipun oleh Ken Ichi Ohmae –seorang pakar bidang pemasaran serta konsultan manajemen tersohor- dalam bukunya berjudul The End of Nation State dinyatakan bahwa pada milenium terakhir ini terdapat kecenderungan semakin kaburnya batas-batas negara. Menurutnya, satu hal yang paling penting untuk dipikirkan pada era sekarang adalah kemana arah pergerakan lalu-lintas modal serta bagaimana corak penyebaran sumber daya serta potensi ekonomi. Bagi suatu bangsa yang tengah berada pada masa transisi seperti halnya Indonesia, nasionalisme sangat diperlukan guna menciptakan semacam daya hidup psikologis (psychological life power) berupa nilai-nilai tertentu yang harus dimiliki oleh para anggotanya. Diantaranya adalah semangat meraih kemajuan sehingga tidak tertinggal dari yang lainnya serta mampu tampil sejajar, hasrat membangun untuk mencapai cita-cita luhur bersama, kepatuhan untuk mendukung sebuah upaya besar dalam mewujudkan kemandirian (misalnya menjadikan produk dalam negeri tuan di negara sendiri), serta kesediaan untuk mentaati nilai-nilai penting yang telah menjadi (dianggap sebagai) kesepakatan nasional seperti halnya konsep demokrasi yang dinilai paling sesuai bagi suatu bangsa.
Nilai-nilai tersebut sangat kondusif bagi upaya suatu bangsa dalam meraih kejayaannya. Amerika Serikat sendiri yang kita kenal sebagai suatu negara tempat nilai-nilai global dan kosmopolitan berbaur dengan sangat pekat sekaligus merupakan melting pot bagi segenap bangsa di dunia juga tetap berusaha mempertahankannya. Melalui beberapa contoh kasus yang terjadi dalam arena politik internasional, kita sering menyaksikan betapa negara Paman Sam ini akan bereaksi sangat keras manakala harga diri, prestise atau kepentingan nasionalnya terusik. Tak terkecuali pula betapa negara adi daya itu acap kali secara tanpa mengenal malu berlaku munafik dan memberlakukan standar ganda.
Tentunya kita masih ingat dengan jelas kejadian pada tahun 1986 dimana presiden Amerika Serikat yang juga mantan aktor film cow boy, Ronald Reagan, secara dingin dan tanpa perasaan memerintahkan kekuatan udaranya untuk mengguyur ibu kota Libia, Tripoli, dengan ratusan ton bom sehingga seisi dunia gempar karenanya. Alasan yang mendasari dilakukannya tindakan itu adalah karena Muammar Qadhafie (presiden negara tersebut) dianggap melindungi dua orang teroris yang meledakkan pesawat Pan Am di Lockerbie, Irlandia. Sebenarnya, alasan yang lebih kuat melatarbelakanginya adalah bahwa Muammar Qadhafie terus menerus memperlihatkan sikap menentang kepada Amerika Serikat yang saat itu tengah bernafsu memperluas pengaruh politiknya di kawasan Afrika Utara. Padahal, Libia jelas-jelas negara yang berdaulat penuh dan tindakan yang menjurus pada asasinasi terhadap figur seseorang sama sekali tidak dibenarkan oleh hukum internasional.
Setelah itu, pada tahun 1990 orang kuat Panama, Jenderal Manuel Antonio Noriega, secara tragis ditangkap sebagai seorang penjahat buronan di negaranya sendiri. Kala itu, George Bush sangat murka menyaksikan Si Muka Nanas mulai menjadi anak nakal yang susah diatur dan dengan beraninya membangkang terhadap seruannya untuk turun tahta selanjutnya menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis serta menghentikan dukungannya secara diam-diam terhadap jaringan Mafia Amerika Latin yang menyelundupkan obat-obatan terlarang di wilayah Miami. Dalam kasus ini, sesuatu yang amat ironis namun juga menggelikan terjadi karena semula Jenderal Manuel Antonio Noriega adalah seseorang yang dididik oleh CIA untuk menjadi perpanjangan tangan Amerika Serikat dalam menjaga pengaruh politiknya di kawasan Karibia serta Amerika Tengah. Sering kali pula, Amerika Serikat mendengung-dengungkan sentimen kebangsaan demi memperoleh dukungan dari masyarakat atas segala kebijaksanaan politik atau bahkan ekonomi luar negerinya sekalipun itu hanyalah berfungsi sebagai tameng.
Mengingat betapa pentingnya arti yang dimiliki, suka atau tidak nasionalisme haruslah tetap hadir dalam realita kehidupan berjuta orang yang secara bersama menghuni sebuah bangunan rumah besar bernama Indonesia ini. Sudah barang tentu, pencerminan rasa kebangsaan tersebut tidak (hanya) terwujud dalam tampilan klasik seperti halnya menyanyikan lagu-lagu wajib dengan sikap sempurna dan antusias, memancangkan Sang Saka di depan rumah secara tegak, serta melaksanakan upacara bendera pada hari-hari tertentu. Tampilan tindakan seperti itu tetap diperlukan karena berfungsi mengingatkan kita akan keberadaan nilai-nilai agung yang memang harus dipelihara dengan baik. Hanya saja, kita tidak bisa bertumpu pada aktivitas yang berdimensi ritual semata. Bahkan, bila dilaksanakan dalam frekuensi yang terlalu sering justru akan kehilangan nuansa sakralnya atau bisa-bisa dilecehkan. Tidak juga dengan (sebatas) melakukan unjuk rasa tandingan sebagai wujud ketersinggungan atas dibakarnya bendera Merah Putih oleh sekelompok anti integrasi Timor Timur di luar negeri.
Sebagai bangsa yang mempunyai harga diri, terasakan memang bahwa perasaan kebangsaan kita tertusuk. Hanya saja, jangan sampai kita tanpa sadar “menari dengan iringan bunyi gendang yang mereka tabuh” sebagaimana dikemukakan oleh seorang petinggi ABRI. Demikian pula, jangan sampai kita berlaku naïf dengan melakukan unjuk rasa secara tidak ikhlas (bayaran) atas pesanan beberapa oknum tertentu yang mempunyai motif-motif politis bernilai rendah. Hal itu secara transparan dan telah menjadi rahasia umum terlihat pada saat dilangsungkannya persidangan yang mendudukkan Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas (salah seorang tokoh kritis ternama negeri ini) sebagai terdakwa. Tindakan seperti ini tanpa disadari akan membuat kehormatan bangsa ternoda dan merosot di mata pihak luar. Bagi kita yang saat ini dikaruniai amanah sebagai pribadi yang berkuasa atas yang lainnya, janganlah mudah mempergunakan jargon-jargon kecintaan kepada tanah air sebagai senjata ampuh guna membungkam aspirasi kritis atau membenarkan tindakan menyimpang dari norma yang kita perbuat. Kebenaran, keadilan, penistaan terhadap nilai-nilai hakiki, kejujuran serta yang lainnya tidak akan berubah karena perbedaan batas ruang dan waktu. Bila kita tetap melakukannya, akan kentara sekali betapa kerdilnya jiwa kita.
Hal yang lebih mendesak untuk kita lakukan sekarang adalah justru mengupayakan agar bangsa dan negara ini tidak goyah atau ternista harga dirinya karena berbagai rongrongan dari dalam yang dilakukan oleh sekelompok kecil anggotanya yang mempunyai kepentingan hina. Sebagai contohnya adalah kasus korupsi, kolusi, kesewenang-wenangan, dan perampasan hak milik rakyat kecil secara semena-mena yang dilakukan oleh beberapa oknum bermental tikus. Terlepas dari valid atau tidaknya metode penelitian yang diterapkan oleh beberapa lembaga penilai dari luar negeri, predikat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi hendaknya membuat kita malu untuk kemudian mawas diri lebih dalam. Terhadapnya, kita harus menyatakan perang secara total dan habis-habisan. Ini adalah wujud jihad akbar nan mulia bagi kita semua.
Apabila kita adalah seseorang yang dikaruniai keberuntungan atau secara struktural diuntungkan oleh proses pembangunan yang telah sekian lama berjalan sehingga mampu meraih keberhasilan dalam bidang ekonomi, sudah seharusnya kita senantiasa ingat daratan tempat berpijak. Jangan sampai lupa, apa saja yang kita raih saat ini adalah dari kebaikan hati tanah Pertiwi yang setiap hari kita gali tanpa henti atau tetes keringat buruh anak negeri yang secara sadar atau tidak kita peras dengan alasan efisiensi, produktivitas, dan daya saing internasional.
Dalam hal ini, prinsip yang dianut dengan teguh oleh Kumbakarna (kesatria agung berwajah raksasa dari negeri Alengkadiraja) yang menyatakan bahwa ia akan berjuang sampai mati membela tanah tumpah darah yang amat dicintainya karena negeri ini telah memberikan sangat banyak padanya harus kita ingat dan berusaha ditunjukkan dalam bentuk lain. Sekalipun berdasarkan logika ekonomi bisa dibenarkan serta secara mantap dan piawai argumen yang amat kuat mampu diungkapkan, kasus pengalihan saham atau modal ke luar negeri pada saat negara ini terserang krisis ekonomi dan membutuhkan keberadaannya guna menggerakkan daya hidup perekonomian benar-benar menyakitkan secara moral. Itulah tindakan yang sangat mudah memantik kecemburuan sosial dan disintegrasi bagi bangsa ini. Terlebih apabila tindakan itu dilakukan oleh beberapa aktor ekonomi dari etnis tertentu. Sementara kita semua mengetahui, masalah sentimen serta kecemburuan sosial pada mereka belum sepenuhnya terselesaikan tuntas. Demikian pula, stereotipe bagi mereka selaku kelompok masyarakat yang hanya mau berpikir masalah bisnis dan ekonomi serta abai pada masalah lain belum sepenuhnya hilang. Keadaan ini akan bisa berubah menjadi semacam bom waktu sosial yang setiap saat mungkin meledak serta menghancurkan harmoni kebangsaan kita. Panggilan suci konstitusi 1945 dan falsafah luhur Panca Sila harus selalu tertanam dalam batin dan melandasi perilaku kita, termasuk dalam kegiatan perekonomian.
Mengenai seberapa kuat rasa kebangsaan melekat dalam diri kita, hal itu sepenuhnya menjadi urusan masing-masing yang sangat personal sifatnya. Tindakan yang dapat dilakukan oleh orang lain adalah memberikan serangkaian pilihan norma atau beberapa indikasi tindakan normatif tertentu. Setiap pribadi memiliki kebebasan untuk menentukan sikap sekalipun nantinya konsekuensi tertentu mungkin harus dipikul. Tergolong dalam kelompok apakah kita? Nasionalis yang wathanniyyah, chauvinis, sosok pragmatis yang hanya berpikir tentang bagaimana agar segalanya berjalan sesuai dengan rasionalitas ekonomis atau bahkan masa bodoh? Beberapa pertanyaan ini teramat sulit dicari jawabannya dan hanya hati kecil kita yang mengetahuinya.
Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta. Saat ini tengah bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng sebagai staff pengajar.
*)Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Suara Merdeka tanggal 14 Agustus 1997 pada rubrik Artikel Opini. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Apakah ia masih eksis saat ini? Saya benar-benar merindukan suasana antusias saat diskusi dilaksanakan. Bagi saya, kelompok studi mempunyai kontribusi besar dalam rangka menjaga citra Surakarta sebagai kota olah pikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar