Minggu, 31 Mei 2009

Tanggung Jawab Moral Produsen Terhadap Konsumen Dan Lingkungan

Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan masyarakat terwujud dari bauran atau interaksi dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh para anggotanya. Salah satu kegiatan yang dominan bahkan bisa dikatakan harus ada di dalamnya adalah aktivitas perekonomian atau bisnis. Ia menjadi amat penting untuk terlaksana karena melalui keberadaannya itulah setiap anggota masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidupnya (needs) serta keinginannya (wants). Disamping itu, merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa kehidupan masyarakat bisa mengalami akselerasi kemajuan karena dorongan yang diciptakan olehnya.
Jika dianalisis secara lebih spesifik, kegiatan perekonomian atau bisnis pada dasarnya terbentuk oleh tarik menarik dari kekuatan permintaan (demand) dan penawaran (supply). Kekuatan permintaan dimiliki oleh anggota masyarakat yang berperan sebagai konsumen dan ditampilkan dalam bentuk kegiatan konsumsi. Sedangkan kekuatan penawaran dimiliki oleh mereka yang menjalankan peran selaku produsen dan dicerminkan melalui kegiatan produksi. Kedua kekuatan serta kegiatan tersebut harus terjadi secara resiprokal atau timbal balik karena apabila hanya ada salah satu diantaranya, kegiatan perekonomian tidak terjadi. Demikian pula titik keseimbangan (equilibrium) di dalamnya.
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kedua kekuatan dan aktivitas itu memiliki peran yang sama berartinya. Tetapi, dalam kenyataannya, setaranya peran keduanya itu seringkali tidak disertai setaranya posisi tawar (bargaining position). Realitas sering kali menunjukkan bahwa posisi tawar yang lebih tinggi dimiliki oleh para produsen. Sedangkan para konsumen mempunyai kekuatan tawar yang lebih rendah.

Pembahasan
Sebagaimana dikemukakan di atas, para produsen mempunyai peran melakukan aktivitas produksi. Secara mendasar, produksi dimaknai sebagai upaya menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap berbagai sumber daya yang ada di lingkup alam sekitarnya (Agustianto, 2008:2). Kita dapat pula mengartikan produksi sebagai proses untuk menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada. Apabila kita hanya membaca batasan pengertian mengenai produksi tersebut secara tekstual, terlihat bahwa ia adalah suatu obyek yang bebas nilai (value free). Tetapi, apabila kita menelaahnya secara lebih dalam, ternyata tetap saja ada tuntutan etis yang harus terpenuhi dan pertimbangan normatif yang harus diperhatikan sekalipun dalam konteks kekinian hal tersebut sering kali terlupakan.

Tanpa harus berpikir secara rumit pun, tentunya kita sepakat bahwa apabila kita membeli suatu produk (barang atau jasa), pastilah kita menginginkan segala kebaikan ada padanya. Produk yang aman untuk dikonsumsi karena dibuat melalui kaidah yang benar, tidak menimbulkan bahaya sekalipun tersembunyi, mempunyai kemampuan sebagaimana diiklankan, membawa manfaat bagi penggunanya, mampu memenuhi syarat kehalalan, serta memberikan informasi yang jelas adalah dambaan kita semua. Bahkan, seorang produsen pun akan mempunyai pemikiran yang sama apabila ia diminta untuk berkata jujur. Walaupun ia adalah pembuat suatu produk, pastilah ia menjadi konsumen bagi produk lain yang tidak dibuatnya. Sehingga, apabila ia telah mengeluarkan uang guna membeli suatu produk dan ternyata produk itu menimbulkan kerugian baginya, tentulah ia akan merasa kecewa. Ia dan juga kita semua tidak ingin membayar lebih mahal untuk produk yang kualitasnya lebih rendah. Sehingga, kita bisa menyimpulkan bahwa ditinjau dari aspek nalar umum pun, membuat produk yang baik dan bertindak etis kepada para konsumen adalah keharusan yang bersifat logis.

Ditinjau dari perspektif etika, para produsen haruslah bertanggung jawab terhadap kekurangan produk serta kerugian yang dialami oleh para konsumen karena penggunaan produk yang dibuatnya. Hal ini menurut Prof. Dr. Sonny Keraf (1998:238) adalah sesuai dengan teori biaya sosial (the social cost theory). Teori biaya sosial merupakan dasar bagi doktrin hukum yang dinamakan tanggung jawab ketat (strict liability). Tanggung jawab itu bahkan tetap harus dipikulnya walaupun ia telah melaksanakan tindakan-tindakan yang semestinya ditempuh pada saat ia membuat maupun memasarkan produk. Dengan beban tanggung jawab semacam itu, para produsen dipaksa untuk membuat produk yang baik dan aman bagi para konsumen. Terkait dengan pembuatan produk yang baik ini, para produsen pada dasarnya memiliki tanggung jawab moral dalam kualitas, harga, serta kemasan produk (Prof. Dr. Sonny Keraf, 1998:240).

Dalam hal kualitas produk, para produsen harus dapat menjamin bahwa mutu yang dijanjikan dalam informasi atau iklan tentang produk itu memang sesuai dengan kenyataan. Produk yang sudah tidak bagus kualitasnya dan bahkan mungkin membahayakan keselamatan semisal makanan, minuman, serta obat yang telah kedaluwarsa tidak boleh dijual kepada para konsumen. Begitu pula, bahan-bahan baku yang digunakan haruslah dipilih dari materi yang tidak menimbulkan bahaya. Jika tidak mungkin meniadakan bahaya sama sekali, upaya untuk memperkecil tingkatannya harus diupayakan sebisa mungkin. Selanjutnya, apabila produk itu telah jadi, dampak buruk yang mungkin ditimbulkannya perlu disampaikan secara jelas kepada para konsumen.

Sebagai ilustrasi contohnya, obat nyamuk pada dasarnya adalah produk kimiawi. Setiap produsen harus berupaya semaksimal mungkin menciptakannya dari bahan-bahan herbal yang tidak menimbulkan bahaya pada saat digunakan. Mungkin saja, penggunaan bahan kimia yang memiliki dampak negatif memang tidak dapat dihindari. Ia harus berupaya menggunakannya dalam jumlah sesedikit mungkin atau mengeliminasi dampak buruknya dengan mendayagunakan peran departemen penelitian dan pengembangan produk. Setelah berbagai bahan baku diproses menjadi obat nyamuk, ia harus memberitahukan dampak buruk yang mungkin ditimbulkan oleh obat nyamuk buatannya serta bagaimana para konsumen bisa meminimalkan resiko karenanya.

Apabila mereka menjanjikan garansi atas produk yang dibuat, garansi itu haruslah ditepati. Selain itu, sejak awal mekanisme pemberian garansi kepada para konsumen harus diinformasikan secara jelas agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman. Tidak sepantasnya pula bila seorang produsen atau penjual meraih keuntungan melalui ketidaksetaraan informasi (information asymmetry). Mengenai ketidak setaraan informasi tersebut, kita dapat mengemukakan ilustrasi contoh pembelian perangkat walk-man. Seorang pemilik toko menjual walk-man dengan mutu rendah atau cacat. Akan tetapi, secara licik ia berhasil menyembunyikan kecacatan walk-man itu. Sehingga, secara kasat mata hal itu tidak diketahui oleh pembeli kecuali setelah menggunakannya selama beberapa waktu. Kemudian, ia menggariskan aturan, pembelian yang menyatakan bahwa barang yang telah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan lagi. Setelah itu, ada seseorang yang membeli walk-man tersebut. Selaku orang yang awam tentang masalah elektronika, tentunya ia tidak bisa menemukan kecacatan pada walk-man itu dan transaksi pun terjadi. Kepadanya, penjual mengingatkan bahwa barang yang telah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan lagi. Sesudah beberapa waktu, ternyata pembeli tersebut menyampaikan keluhan tentang kerusakan yang terjadi pada walk-man yang telah dibelinya. Ia menuntut penjual untuk menggantinya. Sudah barang tentu, penjual menolaknya dengan berdalih bahwa waktu terjadi transaksi dulu walk-man dalam kondisi baik dan pembeli itu tidak mengeluhkan sesuatu pun.

Dalam masalah ini, secara legal penjual itu berada dalam posisi yang benar. Tanpa harus menggunakan jasa pengacara handal pun, ia akan menang. Tetapi, dari sudut pandang etika penjual tersebut jelas merupakan pihak yang salah. Ia sebenarnya telah mengetahui bahwa walk-man tersebut mempunyai cacat. Namun, ia sengaja menyembunyikannya dan tidak memberitahukan pada pembeli. Artinya, dari awal penjual sudah tidak memiliki itikad baik.
Harga produk hendaknya ditentukan dengan memperhatikan aspek-aspek selain biaya produksi, biaya distribusi, dan margin keuntungan yang ditetapkan untuknya. Kesepadanan dengan kinerja atau mutu produk jelas menjadi pertimbangan utama. Merupakan tindakan yang tidak etis apabila para produsen menjual produk yang sesungguhnya tergolong rendah mutunya dengan harga tinggi karena mereka bisa memanfaatkan ketidaktahuan maupun rendahnya posisi tawar para konsumen. Dijualnya beras varietas Pandan Wangi yang dicampur beras lain dengan harga lebih murah seharga beras pandan Wangi murni adalah ilustrasi contoh perilaku tidak etis dalam pemberlakuan harga. Begitu juga apabila ada seorang penjual yang memberi aroma wangi pada beras varietas lain agar dikira sebagai beras Pandan Wangi.

Sedangkan berkenaan dengan kemasan, di dalamnya produsen tidak boleh memberikan gambaran berlebihan mengenai kandungan bahan baku produk yang dinilai baik. Sebaliknya, jika suatu produk mengandung nilai negatif seperti halnya obat yang dapat menimbulkan rasa mengantuk, memacu degub jantung atau menimbulkan ketergantungan bila dikonsumsi berkelanjutan, kondisi ini juga tidak boleh disembunyikan. Dampak yang bersifat kontra indikatif tersebut harus disampaikannya secara jujur. Selain itu, deskripsi gambar, tulisan, atau kalimat yang terdapat dalam kemasan produk sudah barang tentu jangan sampai menimbulkan sentimen suku, agama, ras dan antar golongan maupun merendahkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Itikad baik produsen amat dituntut untuk ditampilkan dalam masalah ini.

Pentingnya para produsen tetap memperhatikan pertimbangan normatif dalam pembuatan produk maupun menyadari tanggung jawab moral dalam beberapa hal di atas dikarenakan hubungan antara produsen dan konsumen pada dasarnya adalah hubungan transaksional. Sifat hubungan transaksional ini senantiasa melekat baik ketika mereka secara jelas melakukannya melalui kesepakatan tertentu (semisal penyaluran kredit usaha oleh bank) maupun pada saat mereka berinteraksi secara insidental, tidak terjadwal, dan tanpa naungan perjanjian yang mengaturnya (misalnya pada saat seseorang membeli barang di toko kelontong atau menikmati menu masakan pada suatu restoran).

Hubungan transaksional mensyaratkan bahwa tanggung jawab dan hak harus terdistribusikan kepada kedua belah pihak secara relatif adil. Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika bisnis, perilaku lancung para produsen mencerminkan tidak seimbangnya distribusi tanggung jawab dan hak. Kondisi ini tentunya amat bertentangan dengan prinsip keadilan (equality principles) sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Sonny Keraf (1998:230).. Prinsip keadilan menuntut agar setiap pihak (termasuk para konsumen) diperlakukan setara melalui aturan yang adil dan sesuai kriteria obyektif serta dapat dipertanggung jawabkan. Bila kita memfokuskan perhatian pada pihak produsen, mereka tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan konsumen, termasuk dari kegiatan produksi yang dilakukan.

Demikian pula jika masalah ini dikaitkan dengan nilai-nilai normatif salah satu agama besar, yakni Islam. Perilaku bertanggung jawab para produsen tersebut memang benar-benar disyaratkan. Dikatakan oleh salah satu pemikir Islam kontemporer yakni Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya berjudul “Muqaddimah fi ‘Ilm Al Iqtishad Al Islamiy” bahwa berdasarkan prinsip agama Islam, tolok ukur utama proses produksi adalah nilai manfaat (utility) yang diciptakan oleh produk serta proses pembuatannya (Agustianto, 2008:4). Aktivitas produksi harus mengacu pada nilai manfaat dan masih berada dalam bingkai nilai halal. Bisa pula dikatakan bahwa mulai dari kegiatan mengorganisasikan sumber daya, proses produksi hingga pemasaran serta pelayanan kepada konsumen harus mengacu pada nilai-nilai moralitas Islam. Ia juga tidak boleh kemudian menimbulkan bahaya bagi seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Karenanya, pembuatan zat psikotropika adiktif atau makanan ringan berbahan baku halal tetapi mengalami kerusakan sehingga berbahaya jika dikonsumsi tidak boleh dilakukan. Anggota masyarakat pasti dirugikan karenanya dan keadaan ini tidak boleh terjadi. Begitu juga pembuatan produk yang dapat merusak moral dan menjauhkan manusia dari nilai-nilai religius seperti halnya penciptaan lagu rock dengan syair yang memuja setan.

Mengingat proses pemasaran adalah kelanjutan dari produksi, perilaku bertanggung jawab dan menjunjung nilai-nilai normatif harus berlanjut di sini. Setiap produsen tetap harus menampakkan kejujurannya. Sehubungan dengan masalah ini, kita dapat mencontohkan beberapa kaidah utama pemasaran dalam agama Islam. Misalnya saja
1) Mengurangi timbangan seperti halnya menjual bensin yang telah dikurangi takarannya dengan rekayasa tertentu adalah perbuatan yang dilarang karena suatu barang dijual dengan harga sama untuk jumlah lebih sedikit.
2) Para penjual atau produsen tidak boleh menyembunyikan produk cacat karena mereka mendapatkan harga yang baik untuk kualitas produk yang buruk. Sebaliknya, para konsumen jelas dirugikan karenanya.
3) Menukar kurma kering (atau komoditas yang setara) dengan kurma basah dilarang karena takaran kurma basah bila kemudian menjadi kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar tersebut.
4) Tidak diperkenankan seorang penjual menukar satu takaran kurma (atau komoditas yang setara) kualitas bagus dengan dua takar kurma berkualitas sedang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasar berbeda.
5) Penjualan produk palsu (misalnya kosmetika yang mengandung mercury tetapi dikatakan terbuat dari bahan herbal) jelas merupakan perbuatan terlarang karena merupakan penipuan atau bahkan pencurian hak para konsumen (Izomiddin, 2008:8).

Tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan bahwa dalam melaksanakan aktivitas produksi hendaknya tidak hanya memperhatikan kebaikan dirinya sendiri, tetapi juga kondisi lingkungan hidup di sekitarnya. Bagaimanapun juga, lingkungan hidup telah memberikan hal-hal yang amat berarti bagi kehidupan manusia (termasuk para produsen) serta kegiatan produksi pada umumnya. Dengan kata lain, lingkungan hidup telah memberikan budi sehingga membalas budi tersebut adalah kewajiban moral.

Memang, harapan itu terasa mengawang atau tidak realistis. Namun, apabila dipikirkan secara seksama, ia memiliki dukungan argumen rasional yang kuat. Proses produksi barang atau jasa pasti dilangsungkan di atas sebidang areal lingkungan tertentu. Bagusnya kondisi lingkungan menjadikan udara tempat proses produksi terlaksana segar, temperatur wilayah sejuk, dan kualitas deposit air tanah tetap baik. Dalam keadaan tersebut, suasana lingkungan yang kondusif terhadap peningkatan produktivitas kerja mudah terbentuk. Sebaliknya, dalam lingkungan yang telah tercemar atau rusak, udara kawasan itu terasa pengap, temperatur wilayah gerah, dan air dalam tanah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Pada kondisi buruk seperti itu, rasa nyaman tidak terwujud. Sebagai dampak negatif lanjutannya, produktivitas sulit untuk diharapkan terjadi. Akhirnya, para produsenlah yang mengalami kerugian.

Seperti halnya pada proses pemasaran, Islam memberikan perhatian yang serius terhadap kelestarian sumber daya alam serta lingkungan hidup. Keduanya adalah nikmat dari Tuhan kepada hambaNya. Setiap manusia wajib mensyukurinya. Adapun salah satu cara mensyukuri nikmatNya adalah dengan menjaga sumber daya alam dari polusi, kehancuran, atau kerusakan. Oleh sebab itulah, berulang kali dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa “Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” Beberapa contoh ajaran luhur di dalamnya yang relevan dengan masalah ini diantaranya
1) Dalam Al-qur’an, kita dilarang menelantarkan hewan dan sebagian sumber pertanian karena takut yang disebabkan oleh kepercayaan yang tidak jelas serta takhayul. Mengenai masalah itu, ditegaskan dalam surat Yunus ayat 59 bahwa Tuhan berfirman ” Katakanlah, terangkanlah kepadaKu tentang rezeki yang diturunkan kepadamu dan lalu Kami jadikan sebagiannya haram dan sebagian lagi halal. Katakanlah, apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”.
2) Ada berbagai hadits Nabi Muhammad yang menekankan pentingnya upaya menjaga sumber daya alam dari ancaman bahaya serta perbuatan yang sebenarnya sia-sia belaka. Beliau pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh An Nasai yang artinya “Barang siapa yang membunuh burung-burung dengan percuma, maka pada hari kiamat burung-burung itu akan berteriak dan berkata, Ya Tuhanku sesungguhnya si fulan ini telah membunuhku dengan percuma dan ia tidak memanfaatkan aku untuk apapun.”
3) Penebangan hutan secara liar (illegal logging) tidak diperbolehkan karena pasti menimbulkan kerusakan yang merugikan manusia. Pelarangan ini diperkuat dengan hadits Nabi Muhammad yang artinya adalah ” Barang siapa menebangi hutan secara liar, Allah akan menjerumuskan kepalanya ke dalam api neraka”.
4) Para peternak tidak diperkenankan menyatukan kandang maupun tempat makan dan tempat minum hewan yang sakit dengan hewan yang sehat. Larangan ini didasari oleh kekhawatiran bahwa nanti penyakitnya menular kepada hewan sehat lainnya. Hewan yang sakit harus dikarantina serta diobati terlebih dahulu hingga sembuh karena pada satu sisi ia termasuk makhluk hidup dan pada sisi lain ia adalah asset yang bisa dikembangkan nilainya. Melalui salah satu haditsnya, Nabi Muhammad pernah bersabda “Jangan menyatukan ternak yang sakit dengan ternak yang sehat!”.
5) Apabila seseorang memiliki binatang ternak yang bermanfaat, sebisa mungkin ia tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya. Terkait dengan ajaran itu, pada suatu saat Nabi Muhammad pernah berkunjung ke rumah salah satu warga Anshar di Madinah. Untuk menghormati beliau, orang itu ingin menjamu makan dengan memotong kambing perah yang dimiliki. Atas hal tersebut, beliau mengatakan, “Jangan kau sembelih kambing perahmu! Sebaiknya, jika mau menghormati tamu, potonglah binatang ternakmu lainnya yang bukan kambing perah”. Nabi Muhammad melarangnya untuk menyembelih kambing perah tersebut guna dihidangkan sebab ia dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan.
6) Kulit binatang (halal) yang telah mati harus tetap dimanfaatkan. Perintah itu pernah disampaikan ketika Nabi Muhammad melihat seekor kambing yang mati. Kemudian beliau bertanya, “Siapakah pemilik kambing ini?”. Salah seorang sahabat menjawab, “Pemiliknya adalah Maimunah Ummul Mukminin”. Selanjutnya beliau bertanya, “Tidakkah kamu ingin memanfaatkan kulitnya?”. Sahabat tersebut lalu menjawab, “Kambing itu telah menjadi bangkai”. Beliau memerintahkan, “Manfaatkanlah dengan menyamak kulitnya terlebih dahulu!”
7) Memanfaatkan tanah yang benar-benar tak bertuan untuk hal-hal yang mendatangkan manfaat dengan prosedur yang benar sangat dianjurkan. Tanah yang benar-benar tak bertuan itu harus diolah sehingga memberikan faedah kepada seseorang atau kelompok masyarakat. Dalam kaidah fiqih, pemanfaatan tanah tak bertuan ini disebut ihyaul mawat.

Secara empiris, kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan ini ternyata telah terbukti mampu menciptakan manfaat yang bersifat konkret. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh The Performance Group (suatu konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling) diketahui bahwa kesediaan produsen mengembangkan produk yang ramah lingkungan dan meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap tanggung jawab atas lingkungan (environmental compliance) bisa meningkatkan laba tiap lembar saham (earning per share) perusahaan dan kemampuan menghasilkan laba (profitability) serta mempermudah mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi dari pihak lain. Keadaan itu terjadi karena citra positif yang bisa ditunjukkan olehnya diapresiasi secara antusias oleh para pembeli saham.

Pada tahun 1999, dalam jurnal Business and Society Review dikemukakan hasil penelitian bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik atas dasar kepatuhan pada kode etik akan meningkatkan nilai tambah pasar (market value added) sampai dua hingga tiga kali lipat daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Sedangkan berdasarkan seperti riset yang dilakukan oleh De Paul University pada tahun 1997 diketahui bahwa perusahaan yang merealisasikan komitmennya dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa jika diukur melalui hasil penjualan dan pendapatan tiap tahun. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menampilkan perilaku etis serta bertanggung jawab kepada para konsumen, lingkungan hidup, serta masyarakat luas.

Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai pentingnya para produsen menerapkan perilaku etis kepada berbagai pihak dalam aktivitas produksi dan pemasaran, ada beberapa pokok pemikiran yang dapat dijadikan kesimpulan. Diantaranya adalah
1) Aktivitas perekonomian atau bisnis sebenarnya memiliki arti penting bagi dinamika kehidupan masyarakat karena dengannya anggota masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidup serta keinginan. Disamping itu, kehidupan masyarakat dapat mengalami akselerasi kemajuan karena dorongan yang diciptakan olehnya.
2) Kegiatan perekonomian atau bisnis tersebut pada dasarnya terbentuk oleh tarik menarik dari kekuatan permintaan para konsumen dan penawaran para produsen.
3) Sebenarnya, para produsen dan konsumen mempunyai peran yang setara dalam membentuknya. Tetapi, setaranya peran itu seringkali tidak disertai kesetaraan dalam posisi tawar. Kenyataan sering kali menunjukkan bahwa posisi tawar yang lebih tinggi dimiliki oleh para produsen. Sedangkan para konsumen mempunyai kekuatan tawar yang lebih rendah.
4) Berdasarkan tinjauan etis, setiap produsen memiliki tanggung jawab dalam moral dalam kualitas, harga, serta kemasan produk.
5) Dalam hal kualitas produk, para produsen memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa mutu yang dijanjikan dalam informasi atau iklan tentang produk itu memang sesuai dengan kenyataan dan harga produk sepadan dengan kinerja atau mutunya. Sedangkan berkenaan dengan kemasan, produsen tidak boleh memberikan gambaran berlebihan mengenai kelebihan produk. Sebaliknya, kekurangan atau dampak buruk yang dimiliki tidak boleh disembunyikan.
6) Perhatian kepada kondisi lingkungan hidup di sekitarnya adalah hal yang penting karena ia telah memberikan hal-hal yang amat berarti bagi kehidupan manusiapada umumnya serta kegiatan produksi pada khususnya.
7) Kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan ini ternyata mampu menciptakan manfaat yang bersifat konkret bagi para produsen atau pelaku usaha. Manfaat itu misalnya saja meningkatnya laba tiap lembar saham dan profitabilitas, nilai tambah pasar, serta kinerja finansial lainnya.

Saran
1) Secara prinsip, setiap produsen harus bersedia menghayati dan melaksanakan tanggung jawab etis kepada para konsumen. Empati memang harus dimiliki mengingat kenyataan bahwa jika ia diperlakukan secara tidak etis atau curang, ia juga merasakan kerugian. Padahal, ia sendiri juga berposisi sebagai konsumen bagi produk lain yang tidak dihasilkannya.
2) Masyarakat dan juga pemerintah hendaknya melakukan edukasi terhadap dirinya secara berkelanjutan untuk membiasakan diri memberikan apresiasi dalam berbagai bentuk kepada para produsen yang bertindak etis dan jujur. Hal itu perlu dilakukan sebagai semacam insentif sosial guna mendorong para produsen lainnya agar melaksanakan tindakan yang sama.
3) Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam penciptaan peraturan harus berupaya keras melakukan penegakan hukum secara konsisten. Produk hukum yang dinilai menunjang harus diciptakan untuk memberikan landasan bertindak. Upaya tersebut amat penting artinya karena tanggung jawab serta perilaku etis para produsen bisa disyaratkan apabila sejumlah aturan hukum yang relevan memang telah ada. Dengan demikian, produsen yang berlaku curang bisa diberi sanksi yuridis.
4) Para produsen hendaknya menjalin hubungan dengan pemerintah guna menciptakan atau melakukan penyesuaian atas standar perilaku normatif yang harus dipenuhi. Melalui upaya ini, setiap produsen diharapkan memiliki kesamaan persepsi dalam menjalankan kegiatannya. Demikian pula, pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan.
5) Kalangan perbankan sebagai pihak yang sering berinteraksi dengan para pelaku usaha sudah sepantasnya berperan dalam masalah ini. Ketaatan terhadap peraturan, perilaku etis yang ditampilkan, reputasi bagus di hadapan para konsumen, hubungan harmonis dengan masyarakat, serta tanggung jawab sosial yang telah ditunjukkan harus dijadikan pula sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian pinjaman usaha.

Daftar Pustaka
1) Etika Bisnis. Ratna Muryani. 2008.
http://edratna.wordpress.com/2006/12
2) Etika Bisnis; Pentingkah? Ririe Satria. 2008.
http://www.ririsatria.net/2008/10/07/etika-bisnis-pentingkah/
3) Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Prof. Dr. Sonny Keraf. 1998.
http://books.google.com/books?id=
4) Etika Dagang Mundur, Konsumen Dirugikan. Djuhari Karnawisastra. 2008.
http://www.pacamat.com/etika-dagang-mundur-konsumen-dirugikan
5) Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. Novie Imansyah. 2008.
http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/
6) Etika Produksi Dalam Islam. Agustianto. 2008.
http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksi-dalam-islam/
7) Mempertanyakan Etika Bisnis Di Saat Krisis. A. Jauhari. 2008.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/20/eko04.html
8) Revitalisasi Perdagangan Islam Dalam Pengembangan Sektor Riil. Drs. Izomiddin, M.A. 2008.
http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=28

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng dan mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.











Kajian Etis Bagi Produk Cacat Dan Bermasalah

Latar Belakang Masalah
Produk cacat, membahayakan konsumen, atau kemampuannya tidak sebagus yang dipromosikan, tidak jarang ditemukan di pasar. Salah satu agen produk otomotif ternama di Indonesia, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, terpaksa harus menarik New Mitsubishi Kuda dari peredaran. Kendaraan yang sebenarnya mampu merebut perhatian para konsumen tersebut harus ditarik peredarannya karena pipa rem (brake pipe) New Mitsubishi Kuda ternyata posisinya bersentuhan dengan panel body sehingga amat rawan menimbulkan kebocoran yang membahayakan keselamatan. Penarikan dari pasar dilakukan melalui pemberitahuan resmi kepada para pemilik kendaraan. Selanjutnya, perusahaan mengundang para pemilik New Mitsubishi Kuda untuk melakukan pemeriksaan kendaraan pada dealer terdekat dan perbaikan secara gratis diberikan sekali. Walaupun cacatnya komponen kendaraan hanya diketahui dari 1 unit New Mitsubishi Kuda di kota Medan, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors memutuskan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna menghindari dampak lanjutan yang barang kali jauh lebih buruk.

Selama rentang waktu 5 tahun terakhir ini, Badan Pengawas Produk Obat dan Makanan sering kali merekomendasikan penghentian peredaran berbagai produk jamu atau obat karena setelah penelitian laboratorium dilaksanakan, kandungan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan ditemukan di dalamnya. Tidak jarang, denda maksimal harus diberlakukan karena para produsen jamu serta obat yang nakal tidak mengindahkan peringatan dan pembinaan yang telah diberikan oleh pemerintah.

Tidak hanya di Indonesia, ditariknya produk bermasalah atau cacat juga terjadi di luar negeri. Sebagai contohnya, sepeda motor merk Yamaha sebanyak 43.783 unit harus dihentikan penjualannya di Jepang karena komponen bautnya memiliki cacat yang dapat menyebabkan tempat duduk mundur bahkan kemudian jatuh. Bila hal ini terjadi, pengendara akan mengalami kecelakaan. Sementara, pada tahun 2003 silam, biskuit merk Oreo direkomendasikan untuk ditarik dari peredarannya oleh beberapa pemerintah negara bagian di Amerika Serikat. Ada satu bahan baku biskuit yakni trans-fat yang tidak disebutkan dalam label kemasan padahal bahan baku tersebut menimbulkan resiko besar bagi terstimulasikannya penyakit jantung. Berkenaan dengan produk cacat atau bermasalah, tinjauan dari sisi etika berusaha dikaji dalam makalah ini.

Pembahasan
Pada dasarnya, hubungan antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam bidang bisnis adalah hubungan yang bersifat transaksional. Sifat transaksional ini senantiasa melekat baik ketika mereka secara jelas melakukannya melalui kesepakatan tertentu maupun pada saat mereka berinteraksi secara insidental, tidak terjadwal, dan tanpa naungan perjanjian yang mengaturnya.Hubungan bisnis seperti halnya pembelian produk property, penyewaan bangunan untuk keperluan usaha, penyaluran kredit usaha oleh bank, atau penggunaan jasa akuntan publik memang terasa sekali sifat transaksionalnya karena setiap pihak yang terlibat memang menyadari serta sepakat untuk saling melakukan kewajiban dan menerima hak. Kesepakatan yang terjalin diantara mereka diatur secara tegas dalam kontrak tertulis. Sementara, pada saat seseorang membeli barang kebutuhan sehari-hari di suatu toko kelontong, menggunakan jasa perusahaan travel untuk bepergian ke suatu tempat, atau menikmati menu masakan pada suatu restoran hampir selalu tanpa disertai kesepakatan berupa kontrak tertulis. Namun, bukan berarti unsur hubungan transaksional tidak ada di sini.
Secara implisit, setiap pihak tetap dituntut untuk melakukan kewajiban serta layak untuk menerima hak. Sebagai misalnya, ketika seseorang memesan menu masakan pada suatu restoran dimana nantinya ia pasti membayar sejumlah uang untuk itu, pemilik restoran tentunya harus dapat menyediakan masakan yang rasanya sepadan dengan harga yang diberikan serta menjamin bahwa masakan tersebut aman untuk dikonsumsi. Sekalipun mereka hanya bertemu saat itu dan mereka tidak saling mengenal sebelumnya, kesadaran untuk saling memberi serta menerima dengan sendirinya harus dimiliki. Pada intinya, tanggung jawab dan hak harus terdistribusikan kepada kedua belah pihak secara relatif adil.
Hanya saja, realita yang terjadi sering kali justru tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kondisi ideal diatas. Kondisi dimana salah satu pihak dirugikan –dalam hal ini konsumen- pada saat mereka membeli produk (berupa barang maupun jasa) tidak jarang terjadi. Salah satu kasus yang kerap kali dialami dan beberapa waktu terakhir ini menyita perhatian publik adalah penjualan produk-produk cacat (defective products) atau membahayakan keselamatan para konsumen. Seperti halnya yang telah diketahui secara meluas, berbagai negara di dunia tak terkecuali Indonesia harus menarik kemudian memusnahkan susu dan beragam produk makanan yang menggunakan susu asal China sebagai bahan bakunya semisal roti, keju, yoghurt, serta biskuit. Langkah itu terpaksa harus ditempuh karena setelah penelitian laboratorium dilaksanakan, susu asal China tersebut mengandung bahan kimia melamin yang berbahaya bagi ginjal. Di negara China sendiri, tercatat beberapa orang bayi meninggal dunia karena mengalami gagal ginjal dan sekitar 50.000 orang bayi lainnya diindikasikan menderita penyakit batu ginjal karena mengkonsumsi susu dengan kandungan melamin yang telah terakumulasikan dalam tubuh.

Distribusi tanggung jawab dan hak yang adil tidak terjadi dalam kasus ini. Para produsen susu dari China memang sengaja mencampurkan melamin dalam produk susu mereka dengan tujuan mempertinggi tampilan kadar protein ketika pengujian laboratorium dilakukan. Pengujian laboratorium atas kadar protein itu sendiri merupakan suatu keharusan. Hanya untuk menyiasati salah satu prosedur wajib mereka mau melakukan tindakan yang mengancam keselamatan jiwa manusia. Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika bisnis, perilaku para produsen yang mencerminkan tidak seimbangnya distribusi tanggung jawab dan hak ini tentunya amat bertentangan dengan prinsip keadilan (equality principles) sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Sonny Keraf (1998). Prinsip keadilan menuntut agar setiap pihak yang terlibat dalam hubungan bisnis termasuk kegiatan jual beli diperlakukan setara melalui aturan yang adil dan sesuai kriteria yang obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan. Apabila para konsumen telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli susu dengan tujuan memperoleh tambahan nutrisi bagi bayi mereka tetapi ternyata justru keselamatan jiwa bayi mereka terancam, maka prinsip keadilan dalam hubungan transaksional telah tercederai.

Selain prinsip keadilan, menurut Prof. Dr. Sonny Keraf (1998) ada prinsip etis lain yang harus ditegakkan dalam hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Hubungan transaksional diantara mereka bisa berlangsung dengan baik dan terlaksana secara adil apabila prinsip kejujuran (honesty principles) serta prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principles) dijunjung tinggi. Prinsip kejujuran dalam dunia bisnis mencakup tiga hal. Pertama, setiap pihak yang terlibat harus jujur dalam memberlakukan maupun memenuhi syarat-syarat perjanjian. Kedua, setiap pihak harus jujur ketika ia melakukan transaksi dengan pihak lain. Ketiga dan tidak kalah pentingnya adalah kejujuran dalam hubungan kerja internal dalam suatu lembaga bisnis. Dari ketiga prinsip kejujuran itu, dapat dirasakan bahwa unsur pertama dan kedua tidak terpenuhi.
Seandainya dikaitkan dengan nilai religius yang merupakan nilai utama dalam kehidupan manusia, kejujuran adalah masalah yang dinilai penting dalam jalinan hubungan antara sesama (mu’amalah) terkait dengan bisnis. Sebagai misalnya, dalam Islam (Izomiddin, 2008) disyaratkan bahwa
1. Mengurangi timbangan adalah perbuatan yang dilarang karena suatu barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah lebih sedikit.
3. Para penjual atau produsen tidak boleh menyembunyikan barang yang cacat karena mereka mendapatkan harga yang baik untuk kualitas produk yang buruk. Sebaliknya, para konsumen jelas dirugikan.
4. Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang karena takaran kurma basah bila kemudian menjadi kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar tersebut.
5.Tidak diperkenankan seorang penjual menukar satu takaran kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma berkualitas sedang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasar berbeda.
Sedangkan apabila dikaitkan dengan prinsip saling menguntungkan, dalam kasus ini hanya produsenlah yang memperoleh keuntungan dan konsumen dirugikan tanpa mengetahui sebelumnya.

Guna mewujudkan prinsip-prinsip kejujuran di atas, sebagaimana dikatakan oleh Terrence A. Shimps dalam bukunya berjudul “Advertising Promotion and Supplement Aspects”, bila produsen memasarkan produknya, ia harus memberikan gambaran secara jelas tentang informasi label, grafik kemasan, aspek keamanan dari kemasan, dan implikasinya terhadap lingkungan. Informasi label tidak boleh memberikan gambaran berlebihan mengenai kandungan bahan yang dinilai baik. Sebaliknya, jika suatu produk mengandung nilai negatif seperti halnya obat flu atau batuk yang dapat menimbulkan rasa mengantuk atau memacu degub jantung, kondisi ini juga tidak boleh disembunyikan. Itikad baik produsen amat dituntut untuk ditampilkan terkait dengan masalah ini.

Selain kasus produk susu asal China yang terbukti mengandung melamin, pertengahan tahun 2001 lalu penarikan produk dari pasar pernah dilakukan pada Kratingdaeng, M-150, dan Galin Bugar. Tiga merk minuman energi itu harus ditarik peredarannya karena setelah diteliti melalui pengujian laboratorium terbukti mengandung kadar kafein hingga 80 miligram dari batas maksimal 50 miligram yang diperbolehkan. Padahal, kadar kafein yang terlalu tinggi dapat membahayakan jantung serta paru-paru. Sedangkan pada bulan April 2007 lalu, sepeda motor dengan transmisi otomatis merk Vario (varian produk Honda) diindikasikan memiliki cacat pada komponen anchor pin atau nut yang bisa berdampak buruk pada fungsi roda belakang saat dikendarai. Karena itu, PT. Astra Honda Motor selaku distributor pusat sepeda motor Honda di Indonesia menghentikan peredarannya di pasar. Tiga tahun sebelumnya, PT Daimler Chrysler Indonesia (agen tunggal mobil merk Mercedez di Indonesia) juga dengan sangat terpaksa harus menarik 1.500 unit Mercy E Class serta 30 unit Mercy SL Class dari pasar karena komponen rem kedua varian sedan mewah tersebut tidak bisa bekerja secara sempurna. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, rem mobil adalah komponen kendaraan yang berhubungan erat sekali dengan keselamatan pengendaranya. Jika rem tidak dapat bekerja secara baik, maka kemungkinan terjadinya kecelakaan sangatlah besar.

Penarikan produk cacat serta bermasalah memang menjadi keharusan bagi pihak yang memiliki otoritas. Kewenangan untuk menciptakan maslahat serta menghindarkan masyarakat dari keburukan sudah seharusnya digunakan. Namun, jika ditinjau berdasarkan prinsip normatif, para produsen atau pemasar sebenarnya adalah pihak yang harus lebih awal mengetahuinya karena mereka adalah subyek yang memiliki kedekatan dengan produk yang dibuat atau dijual serta pengetahuan tentangnya. Kemudian, mereka harus bersedia melakukan penarikan produk dari pasar tanpa mempermasalahkan untung dan rugi secara finansial karena bagaimanapun keselamatan manusia (dalam hal ini konsumen) adalah jauh lebih penting. Padahal, selama ini dari para konsumenlah keuntungan finansial yang merupakan sasaran serta penentu hidupnya kegiatan bisnis para produsen bisa diperoleh. Kesadaran etis tentang hal ini harus ditanamkan secara kuat dalam kerangka berpikir mereka.

Sesuai dengan logika bisnis mendasar, para produsen harus mengenal kondisi lingkungan tempat mereka melakukan aktivitas. Salah satu diantara faktor lingkungan yang penting sekali diperhatikan adalah faktor agama dan budaya. Hal ini harus bersedia diakomodasikan dalam setiap penentuan keputusan untuk memproduksi dan memasarkan produk. Dalam konteks Indonesia, agama yang dianut oleh sebagian besar warganya adalah Islam. Penganut agama Islam sangat berkepentingan serta juga amat peka dengan masalah halal dan haramnya suatu produk misalnya saja produk manufaktur berupa makanan dan minuman. Suatu produk bisa dikategorikan menjadi produk halal atau haram berdasarkan bahan dasarnya serta proses pembuatannya. Kedua unsur tersebut harus mampu menjamin halalnya suatu produk. Apabila salah satu saja diantara keduanya tidak halal, maka haramlah status produk itu secara syariah. Memang, apabila bahan dasarnya sudah tidak halal (misalnya saja mengandung segala materi dari tubuh hewan babi), maka tidak mungkin proses pembuatannya menjadi halal. Apabila bahan dasarnya halal untuk dikonsumsi (misalnya saja hewan sapi atau kambing yang sehat), tetapi proses produksinya (dalam hal ini cara menyembelihnya) tidak halal, maka haramlah statusnya. Karenanya, terlepas dari agama apa yang dianut oleh pemilik perusahaan atau asal negara perusahaan induk bila ia berstatus penanaman modal asing, kepastian halalnya produk secara syariah melalui pengujian oleh lembaga yang berkompeten memang merupakan keharusan jika ia menginginkan keberhasilan dalam pemasaran produknya.

Produsen harus mutlak bersedia melakukan penarikan produk dari peredaran jika kemudian diketahui bahwa produk yang dijual tidak memenuhi kriteria kehalalan. Tentunya kita masih ingat bahwa pada tahun 2000 lalu, PT Ajinomoto Indonesia harus menarik produk bumbu penyedap rasa merk Ajinomoto dari pasar. Langkah itu harus dilakukannya karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa enzim bacto-soytone yang digunakan untuk mengembangbiakkan bakteri pemecah protein ternyata terbuat dari sel pankreas babi. Bahan dasar bumbu penyedap rasa dari sari tetes tebu yang sesungguhnya halal kemudian tidak menjadikan Ajinomoto halal karena dalam proses produksinya materi dari hewan babi terlibat di dalamnya. Perusahaan ini sudah barang tentu tidak mau menanggung konsekuensi buruk dari resistensi para konsumen mayoritasnya yang beragama Islam di pasar, walaupun sebenarnya ia juga mempunyai segmen konsumen yang beragama lain.

Citra atau reputasi perusahaan adalah harta tak tampak (intangible asset) yang tidak ternilai harganya. Karena itulah, ia harus dijaga sebaik-baiknya serta ditingkatkan secara berkelanjutan. Untuk menunjangnya, sejak awal, perencanaan secara cermat dan proses produksi memang harus dilaksanakan baik agar terjadinya resiko pada produk dapat dihindari. Tetapi, kedua upaya itu tidak dapat menjamin secara penuh bahwa hal-hal buruk seperti halnya cacatnya produk dan masalah pada konsumen ketika mereka mengkonsumsinya kemudian tidak terjadi.
Jika, kedua hal itu ternyata harus terjadi, produsen dituntut untuk melakukan penarikan dari peredaran. Kesediaan produsen untuk melakukannya adalah wujud sikap bertanggung jawab darinya. Upaya ini mampu membentuk citra perusahaan (corporate image) sebagai subyek hukum yang baik dan beretika. Produsen Kratingdaeng bersedia untuk menarik produk dari pasar segera disertai permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat. Apa yang dilakukan oleh produsen Kratingdaeng ternyata kemudian mampu menumbuhkan simpati dari para konsumen dan kepercayaan kepadanya tidak hilang.

Penarikan produk dari pasar memang membutuhkan biaya dan pada saat itu produsen dirugikan secara finansial. Tetapi, bila upaya itu tidak dilakukan, kerugian yang lebih besar serta berkelanjutan karena rusaknya reputasi perusahaan pastilah akan ditanggungnya. Bahkan, jika kondisinya makin parah perusahaan harus berhenti beroperasi. Bila hal itu terjadi, pastilah nilai kerugiannya jauh lebih tinggi dari pada biaya yang dikeluarkan untuk menarik produk dari pasar. Para produsen harus ingat bahwa para konsumen pada masa sekarang dan juga mendatang sangat kritis terhadap masalah kualitas dan keamanan produk. Tuntutan bagi para produsen untuk berlaku etis dan bertanggung jawab juga telah menjadi fenomena global. Setiap produsen yang ingin berkembang dan memiliki cakupan wilayah pemasaran lebih besar tidak bisa mengabaikannya sama sekali. Jika ia mengabaikannya, ia tidak hanya sulit berkembang, tetapi akan mudah terlibas dalam persaingan dengan sesamanya.

Kesimpulan
Berkenaan dengan tinjauan secara etis terhadap produk yang cacat di atas, beberapa kesimpulan dapat dirumuskan di sini. Di antaranya adalah
1. Hubungan antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam bidang bisnis pada dasarnya adalah hubungan yang bersifat transaksional, baik pada saat ia diatur melalui perjanjian yang jelas sejak awal maupun ketika mereka berinteraksi secara insidental, tidak terjadwal, dan tanpa naungan perjanjian yang mengaturnya.
2. Dalam hubungan transaksional itu, upaya mewujudkan prinsip keadilan, kejujuran, serta saling menguntungkan memang menjadi keharusan bag i kedua belah pihak.
3. Penjualan produk-produk cacat atau membahayakan keselamatan para konsumen merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketiga prinsip tersebut. Karena itulah, tindakan itu tidak boleh dilakukan.
4. Pada kenyataannya, terdistribusikannya produk cacat atau membahayakan keselamatan para konsumen mungkin terjadi walaupun semula jelas tidak dikehendaki. Apabila keadaan itu terjadi, produsen harus mutlak bersedia melakukan penarikan produk dari peredaran sebagai wujud tanggung jawab serta kesediaan untuk menampilkan perilaku etis.
5. Kesediaan melakukan tindakan ini mampu membentuk citra perusahaan (corporate image) sebagai subyek hukum yang baik dan beretika. Langkah tersebut memang membutuhkan biaya dan memang menimbulkan kerugian secara finansial. Namun, jika langkah itu tidak dilakukan, produsen justru akan menanggung kerugian yang lebih besar serta berkelanjutan karena rusaknya reputasi perusahaan. Bagi produsen, upaya tersebut adalah investasi aset yang tak berwujud.

Saran
Beberapa hal yang bisa disarankan dalam masalah ini adalah
1. Dari awal, perencanaan secara cermat dan proses produksi harus dilaksanakan secara baik guna menghindari terjadinya resiko pada produk. Selain masalah proses produksi dan mutu produk, tentunya para produsen harus mengenal kondisi lingkungan tempat mereka melakukan aktivitas dengan baik, diantaranya adalah faktor agama dan budaya. Hal ini harus bersedia diakomodasikan oleh para produsen dalam setiap penentuan keputusan untuk memproduksi dan memasarkan produk.
2. Ketika seorang produsen memasarkan produknya, gambaran yang jelas tentang produknya diberikan kepada para konsumen. Ia tidak boleh memberikan gambaran yang berlebihan tentang kebaikan produknya serta tidak boleh menyembunyikan indikasi kekurangan yang bisa ditimbulkan oleh produknya pula.
3. Manakala produk cacat atau membahayakan keselamatan para konsumen ditemukan, upaya untuk menariknya dari peredaran harus dilakukan segera tanpa menunggu keadaan menjadi lebih buruk agar kerugian lebih besar tidak dialami.
4. Untuk membangun citra yang bagus dan menumbuhkan rasa simpati dari masyarakat, kesediaan untuk bertanggung jawab dan mengakui kesalahan yang telah terjadi harus dinyatakan secara terbuka.
5. Terkait dengan upaya membangun citra perusahaan secara berkelanjutan, fungsi hubungan masyarakat (public relation) harus diupayakan agar bisa menjalankan perannya secara elegan serta pro-aktif.

Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Dr. A. Sonny Keraf. Jakarta. Penerbit Kanisius, 1998.
2. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika.
http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/.
3. Revitalisasi Perdagangan Islam Dalam Pengembangan Sektor Riil. Drs. Izomiddin, M.A. 2008.
4. Vario Cacat Permalukan Honda Yang Dilibas Oleh Yamaha. Prima Sp. Vardhana.
http://www.wikimu.com/News/Printaspx?id=1999.
5. Kalau produk Cacat, Bagaimana Etikanya. Majalah Marketing Edisi September 2005.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.


Skandal Enron Energy, Inc.; Kerakusan Dan Kecurangan Yang Menghancurkan

Latar Belakang Masalah
Salah satu tokoh besar dunia asal India yang terkenal amat bijaksana serta sangat peduli kepada masalah kemanusiaan, yaitu Mahatma Gandhi pernah menyampaikan suatu kalimat yang apabila direnungkan secara sungguh-sungguh ternyata mempunyai makna yang akan terbukti kebenarannya sepanjang masa. The world is always enough for your need, but it is not enough for your greed. Dunia ini senantiasa cukup untuk kebutuhanmu, tetapi ia tidak cukup untuk kerakusanmu. Memang benar bila mana dirasakan, kerakusan yang diperturutkan menjadikan segala yang ada di sekitar kita serta berapapun banyaknya yang diberikan tidak mampu membuat diri kita puas. Tidak ubahnya meminum air laut, semakin banyak yang dapat kita peroleh, maka bertambah banyak pulalah yang ingin kita cari lagi.

Mengenai hal ini, kita dapat mencontohkan beberapa orang yang sebenarnya telah diberi apa yang semula mereka perjuangkan sebagai pengusaha yang tekun, jujur, serta gigih. Tetapi, kemudian mereka tergoda untuk mencoba jalan lain yang dinilai mampu memberikan hasil lebih banyak dalam waktu lebih cepat walaupun jalan itu salah dan merugikan banyak pihak. Semula, barangkali mereka adalah pengusaha yang bergerak dalam jalur nyata (real sector) semisal produksi furnitur, pembuatan kue, perdagangan bahan bangunan, pembangunan kompleks perumahan, jasa konsultasi manajemen, dan lainnya secara tekun serta ulet. Mereka juga telah membuktikan kemurahan Tuhan dengan berhasilnya beberapa usaha yang dijalani tersebut serta reputasi bagus telah terbangun. Namun, perasaan belum cukup maupun ingin memperoleh lebih banyak mampu menjadikan mereka gelap mata untuk kemudian menjadi pelaku usaha yang ternyata mengandung penipuan. Misalnya saja, membentuk koperasi simpan pinjam atau kelompok arisan kendaraan bermotor fiktif, mendirikan usaha perdagangan berjangka yang akhirnya menggelapkan dana investor, dan membangun bisnis jaringan yang seolah-olah masuk akal tetapi sebenarnya adalah usaha money game. Beberapa contoh usaha seperti itu telah sering kali terbukti menipu dan menimbulkan kerugian kepada masyarakat dimana-mana. Mereka beruntung, tetapi ada banyak anggota masyarakat lainnya menjadi buntung.

Keadaan seperti ini terjadi pula pada lingkup bisnis berskala internasional. Kerakusan akan keuntungan yang makin besar serta cepat perolehannya mampu membelokkan arah suatu perusahaan menuju jurang kehancuran. Padahal, semula usaha yang ditekuni oleh perusahaan itu berada di atas jalur yang benar (on the right track). Ilustrasi kasus nyata yang juga menggoncangkan bursa saham terkemuka dunia, Wall Street di New York adalah bangkrutnya perusahaan energi raksasa Enron Energy, Inc. Kemudian, efek domino terjadi secara dahsyat. Dua kreditor besar yang telah menyalurkan dana dalam jumlah milyaran Dollar kepadanya, yakni J.P. Morgan Chase serta Citi Group terpaksa kehilangan semuanya. Tidak hanya dua kreditor besar tersebut, ribuan pembeli sahamnya juga harus merelakan uang mereka hilang sia-sia karenanya. Selain itu 25.000 orang karyawan Enron Energy, Inc. sudah pasti kehilangan mata pencahariannya. Bahkan, dana tabungan penghasilan serta pensiun yang semula mereka harapkan mampu menjadi penopang kehidupan bila tidak bekerja lagi juga ikut musnah.

Selanjutnya, masalah ini melebar dan menyentuh ranah hukum serta politik di Gedung Putih dan Capitol Hill. Departemen Kehakiman Amerika Serikat selanjutnya melakukan penyelidikan untuk menemukan aspek pelanggaran hukum pidana dalam kasus itu. Komite Kongres di Capitol Hill ingin mengundang Kenneth Lay selaku presiden komisaris sekaligus direktur Enron Energy, Inc. untuk menjelaskan berbagai hal terkait kebangkrutan perusahaannya. Sedangkan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat berupaya mencari pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban terhadap nasib para pekerja Enron Energy, Inc.

Pembahasan
Pada mulanya, Enron Energy, Inc. yang didirikan pada tahun 1985 di negara bagian Texas adalah perusahaan yang bergerak dalam jalur nyata, dikelola secara sungguh-sungguh dan jujur, serta menampilkan kinerja manajerial yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi pada dasa warsa 1990, ia berhasil membuktikan kemampuannya untuk mengatasi tantangan dalam memasok energi bagi pangsa pasar yang demikian besar. Hal ini dapat dilakukannya berkat jaringan amat luas yang telah dibangunnya. Seiring dengan berjayanya industri bidang energi pada masa itu, Enron Energy, Inc. mampu menempatkan diri sebagai pedagang besar energy (energy merchants). Ia membeli gas alam dengan harga murah. Kemudian gas alam itu dikonversi menjadi energi listrik dan selanjutnya dijual dengan mengambil keuntungan yang lumayan dari mark-up sale of power atau biasa disebut spark spread.

Setelah itu, ia melebarkan skala usahanya dengan membeli beberapa perusahaan air minum di Inggris. Di India, ia berhasil membangun pembangkit listrik swasta. Bahkan, Enron Energy, Inc. berhasil melakukan sinergi atas jalur transmisi energinya untuk dapat digunakan sebagai jalur teknologi informasi. Kondisi ini terbukti berhasil memberikan penguatan padanya ketika ia kemudian merambah bidang usaha jasa teknologi informatika melalui Enron Online pada tahun 1999. Anak perusahaannya ini membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan tinggi dan memasarkan bandwith jaringannya secara berhasil seperti halnya gas alam serta listrik yang nota bene produk utamanya. Selain bandwith jaringan, tayangan video kepada para pelanggan (video on demand) juga berhasil dipasarkannya. Melalui Enron Online pula, perusahaan ini semakin mudah dalam membeli gas alam, air minum, dan tenaga listrik untuk kemudian dijual kepada para distributor besar. Apabila ditinjau dari daur hidup usahanya, saat itu ia tengah menikmati keuntungan yang sangat bagus. Pengelolaan usahanya yang visioner dan futuristik membuatnya ia diapresiasi secara amat baik di bursa saham Wall Street. Terbukti, pada tahun 2000 harga sahamnya tiap lembar mencapai US$ 90.

Sebagai suatu entitas bisnis, Enron Energy, Inc. pada awalnya adalah pelaku pasar yang baik dan patuh pada peraturan serta etika yang berlaku. Seperti halnya yang telah disampaikan dimuka, godaan untuk memperoleh hasil lebih banyak dalam waktu lebih singkat sekalipun melalui cara yang salah dan merugikan banyak pihak lain membuat para petinggi Enron Energy, Inc. lupa diri. Dengan harapan bahwa jumlah investor yang bersedia membeli sahamnya semakin banyak, jumlah modal usaha yang terhimpun makin besar, dan harga tiap lembar sahamnya meningkat, perusahaan ini selama beberapa tahun berturut-turut memberikan laporan keuangan palsu. Di dalamnya, tingkat keuntungan perusahaan dilaporkan jauh lebih besar dari pada yang sebenarnya.
Tindakan curang ini dapat dilakukannya dengan mulus karena ia dibantu oleh Arthur Andersen&Co, salah satu auditor serta konsultan manajemen terkemuka dengan reputasi mendunia selain Boston Consulting Group dan Booz, Allen&Hamilton. Lembaga ini berperan dalam memperbagus hasil audit atas laporan keuangan Enron Energy, Inc. dari pada kondisi sebenarnya. Dalam terminologi manajemen keuangan, apa yang dilakukan oleh Arthur Andersen&Co. ini dinamakan window dressing. Paling tidak, lembaga tersebut telah melakukan pembiaran atau pengabaian fakta atas tindakan buruk yang dilakukan oleh Enron Energy, Inc. semisal pelaporan keuntungan yang jauh lebih tinggi dari pada sebenarnya maupun penghilangan bukti-bukti kerugian.

Bagaimanapun pandainya suatu lembaga menyembunyikan kebusukan, akhirnya baunya tercium juga. Pada suatu saat, indikasi terjadinya ketidakberesan pastilah terkuak. Suatu perusahaan yang mengalami kerugian dari kegiatan operasionalnya tentulah tidak mungkin bisa terus menerus menutupi kenyataan bahwa ia sulit membayar hak-hak finansial para karyawannya, membayar hutang kepada para kreditor, atau melunasi pembelian bahan-bahan kepada para pemasok. Pada saat beberapa kenyataan tersebut terkuak, publik mengetahui bahwa terdapat masalah serius pada dirinya serta kemudian mempertanyakan kebenaran hasil audit atas laporan keuangan yang selama ini disampaikan. Selanjutnya, keinginan untuk mengetahui hal yang sebenarnya semakin kuat dan kondisi itu tidak mungkin dapat dilawan oleh Enron Energy, Inc. Ia harus bersedia memenuhinya walaupun sebagai konsekuensinya harga sahamnya tiap lembar merosot drastis hingga tinggal beberapa puluh sen US$. Jumlah kerugian yang ditanggungnya mencapai US$ 586 ditambah beban hutang US$ 2,50 milyar.

Tidak berbeda dengan Enron Energy, Inc., Arthur Andersen&Co. juga tidak tahan dari godaan untuk memperoleh hasil lebih besar dalam waktu cepat dengan mengabaikan kewajiban untuk melakukan tindakan yang etis dan normatif. Selaku lembaga auditor, seharusnya ia melakukan pemeriksaan secara sungguh-sungguh dan jujur terhadap kondisi sebenarnya dari Enron Energy, Inc. dan bersedia memberikan informasi yang benar kepada para kreditor serta investor mengingat mereka adalah pengampu kepentingan langsung. Mereka amat berkepentingan dengan keselamatan dana yang telah dipercayakan untuk dikelola oleh Enron Energy, Inc. Sedangkan jika perusahaan ini mengalami kerugian, merekalah yang menanggung kerugian secara langsung selain para karyawan.

Reputasi bagus yang telah dibangun dalam jangka waktu lama akhirnya hancur tidak tersisa karena perbuatan lancung yang dilakukan dalam waktu singkat. Arthur Andersen&Co. harus kehilangan semuanya hanya karena menginginkan sesuatu yang lebih (Losing everything because of only wanting the more). Secara filosofis, kerakusan adalah kondisi yang berawal dari rasa kurang dan berakhir pada ketiadaan (starting from less and ending to the zero). Baik Enron Energy, Inc. maupun Arthur Andersen&Co. terpaksa harus menjadi pihak-pihak yang telah membuktikan kebenaran pahit kalimat tersebut. Padahal, sesungguhnya mereka telah merasakan imbalan dan keberhasilan yang pantas dari upaya perjuangan melalui jalur normal yang telah dilakukan sebelumnya. Imbalan dan keberhasilan perjuangan mereka nikmati sendiri. Sedangkan apabila dampak perbuatan buruk terjadi, pihak yang merasakannya tidak hanya mereka sendiri, melainkan banyak pihak lain pula.


Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai perilaku curang Enron Energy, Inc. dan Arthur Andersen&Co. diatas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Diantaranya adalah
1) Pembiaran atau pengabaian fakta atas tindakan buruk yang dilakukan oleh Enron Energy, Inc. telah dilakukan oleh Arthur Andersen&Co. Bahkan, keduanya telah melakukan persekongkolan jahat.
2) Perasaan rakus terhadap keuntungan yang makin besar serta lebih cepat perolehannya mampu membawa suatu lembaga mengalami kehancuran. Demikian pula, integritas seseorang bisa musnah karenanya.
3) Ketaatan kepada prinsip-prinsip normatif dan menjunjung tinggi kejujuran dalam bidang usaha adalah kewajiban bagi setiap pihak yang terlibat di dalamnya.
4) Pada dasarnya, masyarakat luas makin membutuhkan informasi yang tepat dan jujur terkait dengan bidang kegiatan bisnis, terutama kegiatan bisnis yang melibatkan banyak pihak.
5) Dampak buruk perbuatan curang yang dilakukan oleh sejumlah kecil pelaku sering kali menimbulkan kerugian pada sejumlah besar anggota masyarakat.

Saran
Apabila dikaitkan dengan konteks keIndonesiaan, kita semua pastilah tidak menginginkan kejadian buruk ini terulang disini. Untuk itulah, beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai saran adalah
1) Pemerintah selaku regulator haruslah melakukan proses belajar secara berkelanjutan untuk mengetahui perkembangan praktek-praktek usaha menyimpang serta menemukan cara guna mengatasinya. Kemudian, pemerintah harus menderivasikannya dalam berbagai peraturan yang jelas dan tidak mengandung penafsiran yang kabur.
2) Dalam peraturan itu, sanksi yang diberlakukan harus bisa memberikan efek penggentar (deterrent effect) bagi siapa saja yang ingin melakukan kecurangan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Enron Energy, Inc. dan Arthur Andersen&Co. Bukan tidak mungkin, dalam tampilan yang lain kasus semacam ini terulang disini.
3) Pemerintah dan masyarakat perlu memberikan insentif, imbalan, atau minimal apresiasi kepada lembaga yang telah terbukti menjalankan kegiatan dengan penuh kejujuran guna mendorong pihak lainnya untuk melakukan hal yang serupa.
4) Kalangan media massa harus menyumbangkan peran dalam memberikan edukasi kepada anggota masyarakat termasuk pula pelaku usaha agar menjunjung tinggi kejujuran. Terhadap pihak yang telah terbukti menampilkan integritas tinggi, media massa hendaknya mengangkatnya dalam pemberitaan sebagai wujud sosialisasi. Selain itu, media massa juga harus mempertajam sensitivitasnya terhadap berbagai kemungkinan penyimpangan yang merugikan masyarakat luas. Kemampuan melakukan jurnalisme investigatif harus terus menerus diasah oleh kalangan media dengan tetap menjalin koordinasi dengan para penegak hukum.
5) Secara organisatoris, penghormatan dan kepatuhan kepada prinsip-prinsip normatif serta etis yang berlaku harus ditanamkan semakin kuat kepada para anggotanya oleh organisasi profesi yang menghimpun para auditor. Sanksi yang bisa memberikan efek penggentar dan imbalan atau setidaknya apresiasi bagi anggota yang memegang teguh prinsip hendaknya diberlakukan semakin kuat di dalamnya.

Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika.
http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/.
2. Etika Bisnis.
http://edratna.wordpress.com/2006/12
3. Enron Dan Sisi Gelap Kapitalisme. A. Tony Prasetyantoko. www.Kompas.Com. Rabu, 23 Januari 2002.
4. Busung Lapar, Lumpuh Layu, Dan Banalitas Konsumtivisme. Majalah Prestasi Edisi X. 2005.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff Edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.


Penyamaran Dalam Pemasaran, Suatu Tinjauan Dari Sisi Etika

Latar Belakang Masalah

Akhirnya, setelah berlangsung beberapa waktu, produsen Extra Joss membawa masalah persaingan yang dihadapinya dengan produsen Enerjos ke pengadilan. Sebelumnya, Extra Joss juga pernah menghadapi persaingan serupa dengan kompetitornya yang lain yakni Ultra Joss. Sebagaimana yang dilakukan oleh Enerjos, Ultra Joss juga melakukan langkah penyamaran dalam proses pemasarannya. Tetapi, persaingan yang dihadapinya dengan Enerjos memang dipandang lebih serius dan mampu mengancam eksistensinya. Karena itulah, langkah ini terpaksa ditempuh.

Langkah penyamaran memang sering kali diterapkan karena ia dinilai cukup mampu memberikan hasil dalam jangka waktu tidak terlalu lama. Melalui penyamaran, suatu produk baru dapat segera merebut perhatian para konsumen sasaran karena ia menampilkan karakteristik serupa dengan produk lain yang ditirunya dimana produk lain itu telah mempunyai kedudukan sangat kuat.

Sekalipun langkah penyamaran sering kali mampu memberikan hasil dalam waktu singkat sehingga terkesan efektif dan hanya membutuhkan sedikit biaya untuk melakukan inovasi, penilaian minor acap kali diberikan kepadanya. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa langkah penyamaran memang sangat terasa mengandung unsur pengelabuan. Kemiripan nama merk, logo, format huruf, maupun bunyi suku kata terakhir mampu menjadikan para konsumen terkecoh dan membeli produk (bisa barang dan juga bisa pula jasa) yang sebenarnya tidak ingin dibeli pada awalnya. Menurut salah seorang pengamat manajemen pemasaran yakni Bambang Bhakti, penyamaran memang amat dekat dengan peniruan.

Bagi produk yang tengah tampil mendominasi pasar, langkah penyamaran yang dilakukan oleh para pesaingnya terbukti sering kali mampu mengganggu pangsa pasar yang telah direngkuh. Terlebih lagi, para pesaing tersebut biasanya memainkan taktik harga lebih murah dari pada harga yang diberlakukan bagi produk yang semula mendominasi pasar itu.

Produsen Extra Joss, yakni PT Bintang Toedjoe merasa perlu menerapkan langkah hukum karena Enerjos dengan suku kata paling akhir yang berbunyi sama dengannya kemudian menciptakan suasana mengganggu. Bagi produsen Extra Joss, bunyi suku kata paling belakang itu dipilih setelah melalui serangkaian langkah pemasaran yang panjang serta memakan biaya investasi yang besar. Sebelumnya, kata “Joss” lebih mengacu pada kata sifat “bagus” dalam bahasa Jawa. Setelah dipilih mendampingi kata “Extra”, ternyata nama ini memiliki nilai pemasaran (marketing value) tersendiri dan diterima dengan amat baik oleh pasar sebagai nama suatu produk minuman energi. Kesadaran mengenai nama tersebut juga telah melekat dengan kuat di dalam benak para konsumennya. Nama Extra Joss sendiri telah didaftarkan kepada Direktorat Jenderal Hak Karya Intelektual pada tahun 2002. Bagi PT Bintang Toedjoe, produsen Enerjos telah melakukan pelanggaran hukum yakni terkait dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Tentang Merk. Pada intinya, pasal tersebut menegaskan bahwa merk tidak dapat didaftarkan bila ada persamaan baik kata maupun bunyi.

Menurut pandangan Agus Pambagyo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, sekalipun merk dagang Enerjos pada suku kata terakhir ditulis dengan hanya menggunakan 1 huruf “s”, tetapi suku kata itu tetap diucapkan sama dengan suku kata “Joss” pada Extra Joss. Persaingan head to head seperti ini dinilai sebagai tindakan kompetisi pasar yang tidak etis. Langkah penyamaran atas suatu produk memang sering kali memberikan dampak pengelabuan pada para konsumen. Tetapi, bila pesaing tidak melakukan peniruan atau pesaing telah mematenkan hak ciptanya, maka upaya itu masih dinilai legal. Bila demikian kondisinya, pihak yang merasa ditiru merk produknya hanya bisa merasa geram. Mengingat masalah ini menimbulkan implikasi serius dalam pemasaran produk, maka berbagai aspek mengenai penyamaran produk akan dikaji secara lebih detil dalam makalah ini.

Pembahasan
Mengapa berbagai praktik penyamaran dalam pemasaran (marketing camouflage) saat ini sering dilakukan oleh para produsen, keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari semakin ketatnya kompetisi yang mereka hadapi. Sementara, mereka tidak ingin mengalami kekalahan atau kerugian. Sedangkan, para pemilik perusahaan atau pemegang saham menuntut agar para produsen tetap mampu memberikan keuntungan finansial pada mereka dari kegiatan usaha yang dilakukan. Sehingga, cara apa saja yang memungkinkan akan mereka tempuh agar keuntungan itu dapat diraih.

Telah diketahui bersama, persaingan dalam kegiatan pemasaran produk pada dasarnya adalah bentuk peperangan. Dalam peperangan, setiap pihak yang berhadapan pasti ingin tampil sebagai pemenangnya. Untuk itulah, beragam cara akan dilakukan untuk mencapainya. Salah satunya adalah melalui penyamaran atau kamuflase. Kamuflase adalah upaya menyamarkan keberadaan diri sehingga tidak terlihat oleh lawan. Lawan dalam konteks pemasaran adalah para pesaing (competitor) yang menawarkan produk baik barang maupun jasa yang sama, setidaknya serupa.
Mengingat kenyataan bahwa persaingan dalam pemasaran berlangsung secara rumit, seringkali upaya untuk mengalahkan pesaing harus dilaksanakan secara memutar, bisa juga zig-zag, atau mungkin pula melambung. Pesaing harus dikalahkan atau dikurangi kekuatannya dengan membuat para konsumen bingung terlebih dahulu. Adapun cara yang bisa dilakukan untuk membingungkan para konsumen adalah melakukan penyamaran atau kamuflase tersebut. Berkenaan dengan hal ini, bagaimanakah pertimbangan bisnis yang mendasari para produsen sehingga mereka bersedia melakukannya?

Kamuflase sering kali ditempuh oleh para produsen yang mempunyai posisi selaku pengikut pasar (market follower) atau mungkin pula penantang pasar (market challenger) yang tidak berani berhadapan secara frontal dengan pemimpin pasar (market leader). Jika diperhatikan secara lebih seksama, sebenarnya penyamaran menurut Rahmad Sumanta (2004) merupakan bagian dari strategi peniruan produk (product imitation) yang dijalankan oleh para pengikut pasar. Pada tulisannya berjudul “Innovative Imitation”, Theodore Levitt menyatakan bahwa peniruan produk bisa menjadi cara yang lebih menguntungkan untuk ditempuh daripada melakukan inovasi. Inovasi hampir senantiasa membutuhkan biaya amat besar untuk pengembangan produk baru. Ia juga membutuhkan dukungan upaya yang masif, intensif, serta keras untuk melaksanakan edukasi pada pasar. Dengan demikian, dua persyaratan utama tersebut memang membutuhkan pengorbanan besar. Sehingga, bukan merupakan hal yang mengherankan jika kebanyakan pengikut pasar memilih untuk menempuh langkah imitasi.

Langkah imitasi tersebut pada masa sekarang ini bukan saja dilakukan melalui pembuatan produk baru yang sama atau serupa. Tetapi, langkah itu seringkali dilaksanakan melalui strategi distribusi dan promosi yang tidak berbeda. Bahkan, pengemasan (packaging) produk juga dilakukan secara mirip dengan pengemasan produk milik pemimpin pasar. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, dalam wilayah pemasaran tertentu, produk pemimpin pasar tentu mampu mendominasi tempat yang disediakan oleh para grosir, agen, atau pengecer. Sebagai produk yang sedang laku, ia akan memperoleh kesempatan untuk menempati ruang lebih luas dari pada milik produsen lain. Di sini, para pengikut pasar mencoba mencari celah kesempatan untuk menyamarkan keberadaan produk mereka.

Bagi mereka, terdapat beberapa keuntungan taktis yang dapat diperoleh dari langkah itu. Keuntungan pertama yang diharapkan adalah agar para konsumen kemudian salah dalam membeli produk yang diinginkan. Para pengikut pasar mengharapkan para konsumen bersedia berbalik sikap untuk menyukai produk mereka setelah para konsumen salah dalam membeli. Berjalannya skenario diperolehnya keuntungan pertama ini dapat dicontohkan pada ilustrasi kasus persaingan dalam jasa transportasi antara Blue Bird Taxi dengan penyedia jasa yang lainnya. Berbicara masalah reputasi perusahaan, bagi para pengguna jasa taxi di Jakarta, nama Blue Bird Taxi memang tidak tertandingi. Ia adalah pemimpin pasar dalam bidang ini. Ada banyak pengguna taxi yang lebih memilih menunggu lebih lama dari pada menggunakan jasa perusahaan taxi yang lain. Tak jarang mereka tidak peduli bila dihampiri oleh taxi yang dioperasikan oleh perusahaan lain. Kondisi ini terjadi karena berdasarkan pengalaman yang telah lama terakumulasikan, menggunakan jasa Blue Bird Taxi memang lebih mampu menjamin keamanan, pelayanan yang diberikan dirasakan amat baik, dan para pengguna jasanya hampir tidak pernah mengalami kenyataan menjengkelkan karena terjebak oleh penggunaan “argometer kuda”.

Tentu saja, kondisi seperti ini membuat perusahaan taxi lainnya merasa tidak nyaman. Keadaan fisik kendaraan yang lebih bagus dan sikap pengemudi yang sopan pada kenyataannya tidak bisa menjamin armada taxi mereka dicari oleh para pengguna jasa. Kesadaran merk (brand awareness) yang telah melekat amat kuat pada Blue Bird Taxi selaku pemimpin pasar adalah penyebabnya. Asosiasi merk yang sudah telanjur tertanam kokoh padanya membuat para penyedia jasa taxi lainnya (terlebih lagi para pemain baru) menjadi sulit bergerak.

Akhirnya, mereka (merasa) terpaksa harus menempuh camouflage marketing. Upaya ini mereka tempuh dengan menampilkan ciri fisik diri mirip dengan Blue Bird Taxi. Sehingga, pada suatu saat para pengguna jasa taxi mungkin akan salah ketika mereka ingin naik taxi di Jakarta. Mungkin mereka menyangka naik Blue Bird Taxi, tetapi ternyata bukan. Hal ini terjadi karena ada beberapa perusahaan jasa taxi yang mengecat badan armada taxi mereka mirip dengan warna Blue Bird Taxi. Misalnya, para pengguna jasa taxi dahulu mengenal President Taxi sebagai perusahaan jasa taxi yang memiliki citra buruk di mata para pengguna jasanya. Sopir taksinya terkenal bersikap tidak sopan, mengemudi dengan seenaknya, menerapkan tarif secara borongan (tidak menggunakan argometer) atau bahkan banyak yang menggunakan “argometer kuda” dan kondisi fisik banyak armadanya telah tua. Walaupun sekarang perusahaan jasa taxi ini sudah mengganti namanya menjadi Prestasi Taxi dan memiliki armada yang bagus kondisi fisiknya, namun tetap saja belum mampu menghapuskan citra buruk tersebut.

Karena itulah, perusahaan jasa taksi ini kemudian mengganti warna badan armada taxinya menjadi biru, warna khas yang biasa digunakan oleh Blue Bird Taxi. Prestasi Taxi berharap bahwa para penumpang tertarik dan kemudian bersedia naik taksinya dulu, baru mereka dapat merasakan bahwa para pengemudi Prestasi Taxi sebenarnya banyak yang baik. Upaya yang sama saat ini dilakukan pula oleh Simpati Taxi yang juga mengganti warna badan armada taxinya dengan warna biru.

Adapun keuntungan kedua yang diharapkan dimaksudkan supaya para konsumen kemudian bersedia melakukan perbandingan harga sebelum mereka melakukan pembelian. Keuntungan ini diharapkan terjadi ketika para konsumen akhirnya tersadar sebelum melakukan pembelian. Pengemasan produk yang mirip dengan produk pemimpin pasar bisa menciptakan persepsi bahwa isinya mempunyai rasa dan kualitas yang sama. Konsumen yang peka terhadap harga (price sensitive) kemudian akan memilih produk pengikut pasar karena umumnya pengikut pasar menawarkan harga lebih rendah. Keadaan itu dialami oleh PT Sayap Mas Utama yang mempunyai produk minuman energi dengan merk Enerjos. Dengan tampilan serta nama yang mirip Extra Joss (produk PT Bintang Toedjoe) yang telah lebih dahulu eksis dan menjadi pemimpin pasar ditambah lagi harganya lebih murah, Enerjos dapat mengalihkan sebagian pangsa pasar minuman energi yang telah dikuasai oleh Extra Joss.

Kemudian, keuntungan ketiga yang ingin diperoleh adalah dipersepsikannya produk pengikut pasar oleh para konsumen sebagai “turunan” atau “saudara” dari produk pemimpin pasar. Biasanya, suatu perusahaan memiliki warna atau tampilan penanda identitas perusahaan (corporate identity) tertentu yang secara konsisten dilekatkan pada setiap merk dan merk turunannya. Persepsi para konsumen akan bagusnya kualitas merk produk pemimpin pasar akan ditularkan juga pada merk produk pengikut pasar yang melakukan penyamaran. Selanjutnya, para konsumen diharapkan bersedia membeli produk yang “mengaku” sebagai “saudara” dari produk pemimpin pasar itu.

Barangkali, para konsumen tidak langsung bersedia melakukan pembelian. Tetapi, paling tidak kesadaran pada merk telah terbentuk bila produk pengikut pasar tersebut memiliki merk yang mirip. Sehubungan dengan hal ini, kamuflase dalam pemberian nama merk juga bisa diterapkan. Kita dapat mencontohkan bahwa ada perangkat elektronika dengan merk Akari dan ada pula yang memiliki merk Akira. Dapat pula kita jumpai tape compo merk Polytron yang seolah-olah mempunyai saudara bernama Solytron. Anak-anak sangat menyukai makan biskuit merk Oreo dan produk ini dikembari oleh biskuit merk Rodeo. Beberapa merk yang dimiliki oleh produk pengikut pasar itu menampilkan logo dengan bentuk huruf dan bunyi suku kata terakhir yang sama atau mirip dengan merk produk pemimpin pasar.

Kamuflase dalam pemasaran produk memang bertumpu pada bingungnya para konsumen setelah langkah ini ditempuh. Karenanya, cara ini menimbulkan kesan bahwa produsen yang menerapkannya mempunyai tingkat kepercayaan diri yang kurang atau ingin memperoleh keuntungan dengan cara lebih mudah serta melalui sedikit perjuangan untuk membuktikan bagusnya kualitas produk. Tentang hal ini, kita dapat mencontohkan kasus tentang semakin ketatnya persaingan dalam bidang jasa komunikasi telepon selular yang selanjutnya menimbulkan dampak buruk berupa maraknya upaya memasarkan melalui langkah penyamaran secara curang.

Saat ini, para operator jasa komunikasi telepon selular secara gencar membujuk para pengguna jasa dengan saling memamerkan murahnya tarif percakapan melalui jalur komunikasi mereka. Iklan mengenai hal itu setiap hari ditampilkan dalam media cetak maupun media elektronika. Apabila dikaji secara kritis, upaya yang mereka lakukan untuk membujuk para pengguna jasa agar mau merogoh kantong semakin dalam sudah sampai pada tingkat yang sangat tidak etis dan menyebalkan. Mengenai hal ini, Delta Whiz (2008) mencontohkan beberapa hal yakni

1. hadiah Ring Back Tone yang tiba-tiba datang
Kita tidak meminta apalagi berlangganan nada sambung. Namun, tanpa diminta tiba-tiba saja kita “memperoleh hadiah” sebaris nada sambung dengan tarif beberapa ribu Rupiah untuk jangka waktu tertentu. Dalam pesannya yang menyertai, jika kita tidak menginginkannya, kita bisa melakukan pembatalan dengan mengetik pesan UNREG atau melalui cara yang serupa. Pada saat kita melakukan pembatalan, tarif beberapa ratus Rupiah tetap harus dibayarkan.

Melalui cara tersebut, keuntungan besar akan bisa diraih oleh operator jasa komunikasi telepon selular. Jika kita tidak menolak nada sambung yang ditawarkan, ia akan mendulang keuntungan sebesar beberapa ribu Rupiah x beberapa juta pengguna. Sedangkan bila kita menolak, operator yang lancung itu tetap akan memperoleh keuntungan sebesar beberapa ratus Rupiah x beberapa juta pengguna. Pada intinya, perampokan secara halus telah terjadi di sini.

2. pengiriman kuis murahan
Pengiriman pesan yang mirip e-mail sampah (spam) ternyata kini juga terjadi pada penggunaan telepon selular. Pemain utamanya sudah barang tentu adalah para operator. Sering kali, para operator memancing para pemilik telepon selular dengan mengirimkan berbagai kuis murahan dan mudah sekali menjawabnya dengan imbalan tawaran hadiah yang melimpah. Kuis tersebut selalu diakhiri dengan pesan untuk mengirimkan jawaban sebanyak-banyaknya.

Kadang, pertanyaan yang jawabannya sudah pasti benar (misalnya saja ibu kota negara Kroasia yang tentu saja Zagreb) dinyatakan salah. Dengan kondisi seperti ini, penipuan secara terang-terangan sekaligus pencurian uang dialami oleh para pemilik telepon selular.

3. pooling SMS yang tidak mencerdaskan dan terkesan mempermainkan emosi
Hingga saat ini, reality show pencarian idola semisal Akademi Fantasi Indosiar, Indonesian Idol, atau Kontes Dangdut TPI masih sering diselenggarakan. Dengan alasan ingin menegakkan kedaulatan pemirsa, beberapa even tersebut mensyaratkan partisipasi penonton di rumah melalui pengiriman jasa pesan singkat (short message service). Keberlanjutan eksistensi nasib para kontestan ditentukan oleh mekanisme pooling dimana para pemirsa penonton dibujuk untuk mengirimkan pesan sebanyak-banyaknya.

Sudah dapat diduga, kontestan yang bermodal paling besar dan bisa membeli pulsa paling banyak untuk menggalang dukungan dari teman, kerabat, maupun tetangga akan memiliki peluang untuk menang paling besar.

Tetapi, pada konteks sekarang, marketing camouflage juga mungkin diterapkan oleh pemimpin pasar. Apabila ia merasa tersudutkan oleh keberadaan pesaing atau pemain baru yang mampu merebut pangsa pasar yang telah dikuasainya secara mantap, penyamaran bisa menjadi langkah yang terpaksa ditempuh. Ketika Indomie (produk Indo Food) merasa terusik oleh kehadiran Mie Sedaap (produk Wings Food) yang dalam waktu singkat diterima dengan baik oleh para konsumen mie instan di Indonesia, melalui fighting brand yang dimilikinya, yaitu Supermi, ia kemudian meluncurkan Supermi Sedaaap. Melalui langkah itu, diharapkan para konsumen akan bingung dan selanjutnya terbujuk untuk membelinya. Dengan demikian, pangsa pasar bagi Mie Sedaap terkurangi oleh kehadiran Supermi Sedaaap.

Sebenarnya, jika hanya terbatas pada penyamaran, camouflage marketing tidak menciptakan dampak yang mencemaskan. Penyamaran yang ditempuh oleh para produsen guna merespons dinamika persaingan pada dasarnya lebih sering bersentuhan dengan masalah etika. Berdasarkan Tata Cara dan Tata Krama Periklanan Indonesia, persaingan head to head yang dilakukan oleh Enerjos terhadap Extra Joss dinilai telah melanggar etika.

Apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika bisnis, memang langkah penyamaran ini bertentangan dengan prinsip kejujuran (honesty principles) dalam dunia bisnis sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Sony Keraf (1998). Prinsip kejujuran dalam dunia bisnis secara umum mencakup tiga hal. Pertama, setiap pihak yang terlibat harus jujur dalam memberlakukan maupun memenuhi syarat-syarat perjanjian. Kedua, setiap pihak harus jujur ketika ia melakukan transaksi dengan pihak lain. Sedangkan yang ketiga adalah kejujuran dalam hubungan kerja internal antara jajaran manajemen dengan para karyawan pada suatu lembaga bisnis. Dari ketiga prinsip kejujuran itu, camouflage marketing yang bertumpu pada upaya untuk membuat para konsumen bingung amat mungkin untuk menciderai prinsip kejujuran kedua.

Dalam kenyataannya, penyamaran tidak jarang berlanjut pada penjiplakan serta pembajakan merk maupun hak intelektual lainnya. Beradanya camouflage marketing pada wilayah abu-abu (grey area) memang akan mampu menggoda para produsen untuk melakukan penjiplakan dan pembajakan. Tentunya, apabila kedua cara curang tersebut dilakukan, pihak yang merasa dirugikan akan melakukan tuntutan hukum. Pengadilan sering kali dijadikan tempat untuk menyelesaikan sengketa mengenai hal ini. Sekalipun tidak berlanjut pada penjiplakan maupun pembajakan, camouflage marketing sering menimbulkan dampak berupa berkurangnya reputasi bagus produk dari pemimpin pasar.

Walaupun demikian, berdasarkan beberapa penelitian pasar yang pernah dilakukan, penyamaran tidak selalu menciptakan keberhasilan sebagaimana yang diharapkan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Murray Tong, (seorang profesor bidang bisnis dari Guelph University di Kanada) menunjukkan bahwa memang ada konsumen yang akan tertipu. Tetapi sebagian besar diantaranya ternyata tidak mengalami hal yang sama. Penelitian yang dilakukan Murray Tong ini membuktikan adanya estimasi yang berlebihan atas keberhasilan camouflage marketing dalam membujuk para konsumen. Melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya di berbagai toko pengecer atas delapan produk yang paling sering dibeli semisal pasta gigi, deterjen, sabun, dan lainnya, ternyata hanya sedikit sekali konsumen yang benar-benar salah dalam membeli produk. Frekuensi kesalahan pembelian itu jauh sekali dari dampak buruk yang diklaim oleh pengadilan di Kanada yang menangani persengketaan dalam bidang bisnis. Bahkan, Murray Tong mengatakan bahwa beberapa kasus yang dibawa ke pengadilan oleh para produsen pemilik merk terkenal sebenarnya hanyalah semacam gimmick untuk memproteksi diri mereka dari kehadiran produk baru yang berusaha masuk ke pasar mereka.

Tuntutan terhadap penyamaran atas merk produk secara intensif pernah dilakukan oleh Contessa Food Product di Amerika Serikat terhadap 12 produsen pesaing yang menjual produk udang dengan kemasan mirip produk udang yang dijualnya. Saat proses pengadilan berlangsung, Contessa Food Product juga menemui perlawanan keras. Camouflage marketing memang tidak mudah dihadapi oleh pemimpin pasar. Mungkin, perasaan kurang percaya dirilah yang menyebabkan mereka takut terhadap cara tersebut. Padahal, sudah terbukti bahwa cara itu lebih sering dilakukan oleh produsen yang memiliki pangsa pasar kecil. Blue Bird Taxi sendiri tidak menunjukkan reaksi cemas terhadap camouflage marketing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan jasa taxi lainnya. Jajaran manajemen Blue Bird Taxi merasa yakin bahwa keunggulan sistem teknologi informasi yang dimiliki, perilaku para pengemudi, serta kualitas pelayanan yang diberikan kepada para pengguna jasanya tetap menjadi karakteristik khas perusahaan jasa taxi ini serta tidak akan mudah ditiru oleh para pesaingnya.

Para konsumen memang harus bersedia belajar untuk sadar terhadap berbagai praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika seperti halnya camouflage marketing ini karena sebagaimana dikatakan oleh Novie Iman (2007) pada akhirnya mereka menjadi pihak yang dirugikan. Kebingungan para konsumen akan jati diri sesungguhnya dari produk yang dibeli menjadikan mereka membeli produk yang sesungguhnya bukan sesuatu yang ingin diperoleh. Sementara, para produsen memiliki kemampuan berkelit lebih banyak dan memperoleh keuntungan tentunya. Kondisi dimana the winner takes all terjadi di sini. Sikap kritis yang ditampilkan oleh para konsumen bisa menjadikan para produsen yang lancung harus berpikir panjang bila mereka ingin melakukan kecurangan.

Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai langkah penyamaran yang ditempuh oleh para produsen dalam memasarkan produk mereka di atas, beberapa kesimpulan bisa diperoleh. Diantaranya adalah
1. Persaingan antara para produsen dalam memasarkan produk dewasa ini terjadi secara amat ketat sehingga camouflage marketing kemudian harus ditempuh.
2. Langkah ini dilakukan dengan bertumpu pada upaya menciptakan kebingungan pada diri para konsumen sehingga mereka dapat diarahkan untuk membeli produk suatu produk yang memiliki tampilan mirip dengan produk yang telah lebih dahulu eksis.
3. Pada dasarnyaUkuran huruf, camouflage marketing memang amat rawan dengan pelanggaran etika bisnis dalam pemasaran. Apabila penyamaran produk ini kemudian berlanjut menjadi penjiplakan dan pembajakan, permasalahan ini telah memasuki wilayah hukum.
4. Sekalipun tidak berlanjut menjadi penjiplakan dan pembajakan, pembuat produk yang telah lebih dahulu eksis tetap dirugikan. Melalui camouflage marketing, reputasi bagus suatu produk menurun sehingga pangsa pasar yang telah dikuasainya berkurang.

Saran
Berkenaan dengan masalah penyamaran yang kadang ditempuh oleh para produsen dalam memasarkan produk mereka, saran yang dapat dikemukakan di sini adalah
1. Para produsen harus mewaspadai berbagai kemungkinan dilakukannya camouflage marketing terhadap produk mereka oleh para pesaing. Kemudian, langkah antisipatif yang cerdas harus dipersiapkan.
2. Upaya edukasi kepada para konsumen agar kesadaran terhadap eksistensi produk tetap kokoh harus dilaksanakan secara berkesinambungan.
3. Selaku pengguna akhir berbagai produk, para konsumen harus bersedia bersikap kritis terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika karena pada akhirnya mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan. Sikap kritis yang ditampilkan oleh para konsumen bisa menghambat keinginan para produsen untuk melakukan kecurangan.
4. Pemerintah selaku perumus peraturan hendaknya bersedia bekerja sama serta meminta masukan wawasan dari para ahli dalam bidang pemasaran guna menciptakan peraturan yang lebih bagus, adil, serta selaras dengan perkembangan kondisi persaingan bisnis. Jangan sampai terjadi kondisi dimana peraturan yang ada bisa ditelikung oleh praktik-praktik bisnis yang curang karena peraturan yang diberlakukan itu belum mampu mewadahi penyelesaian suatu masalah tertentu.

Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika.
2. Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Dr. A. Sonny Keraf. Jakarta ; Penerbit Kanisius, 1998.
3. Rampok Legal Di Negeri Edan. Delta Whiz.
http://deltawhiski.wordpress.com/2008/04/17/rampok-legal-di-negeri-edan.
4. Rahmad Sumanta. Strategi Membingungkan Konsumen. Majalah Marketing Edisi November 2004 (dalam http://scylics.multiply.com/journal/item/53).
5. Etis Enggak Ya, Kalau Menyamar? Majalah Marketing Edisi September 2005.
Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.