Senin, 15 Juni 2009

Urgensi Kepemimpinan Partisipatif, Pendelegasian
Wewenang Dan Pemberdayaan Bawahan Bagi Organisasi

Pendahuluan
Seorang pemimpin pada satu lembaga merupakan pribadi yang bekerja dalam sistem dan sistem itu melibatkan sangat banyak peran manusia untuk menjalankannya. Pribadi-pribadi lain yang diposisikan sebagai bawahannya tidak boleh dikesampingkan karena mereka memberikan kontribusi peran beragam terhadap tercapainya tujuan lembaga yang dipimpinnya. Mungkin, ada beberapa bawahan yang menangani tugas terkait dengan masalah keuangan. Sedangkan, beberapa bawahan lainnya harus mengampu tanggung jawab pada bidang pemasaran, produksi, sumber daya manusia, administrasi dan umum serta bidang-bidang lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga. Sepandai apa pun seorang pemimpin itu, ia tidak dapat menjalankan peran kepemimpinannya tanpa peran serta pribadi lain yang dibawahinya. Dengan demikian, aspek partisipatif kepemimpinan dalam suatu lembaga sudah seharusnya menjadi masalah yang senantiasa diperhatikan serius dan dikelola dengan baik.

Para bawahannya bisa memberikan kontribusi bagi lembaga ketika kemampuan yang dimiliki didayagunakan melalui pendelegasian wewenang yang dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin mendelegasikan wewenang pada seorang bawahan (misalnya saja dalam bidang pengelolaan produksi) karena ia telah yakin sebelumnya bahwa bawahannya tersebut memang mempunyai kemampuan dalam bidang itu. Melalui pendelegasian wewenang, para bawahannya memiliki kesempatan untuk belajar sambil berbuat (learning by doing) guna menambah kemampuannya sehingga pada saat ia diserahi mengampu tanggung jawab lebih tinggi, kesiapan mental telah mereka punyai.

Selain itu, kontribusi peran para bawahan kepada lembaga juga dapat diberikan ketika mereka diberdayakan. Bila para karyawan berdaya, maka potensi diri mereka bisa dioptimalkan dan peran yang positif dapat mereka lakukan. Karena itulah, kepemimpinan partisipatif, pendelegasian wewenang, serta pemberdayaan bawahan adalah tiga hal yang perlu dikaji secara serius dan diimplementasikan dengan baik dalam suatu lembaga atau organisasi apapun bidang kegiatan yang ditekuninya.

Perumusan Masalah
Atas dasar analisis terhadap ilustrasi kasus yang disampaikan pada bagian selanjutnya bab ini dan pemahaman mengenai masalah utama yang terjadi dikaitkan dengan konsep-konsep teoritis di dalamnya, ada bebeberapa permasalahan yang bisa dirumuskan. Beberapa masalah yang dirumuskan tersebut adalah
1) Bagaimanakah arti penting partisipasi bagi pengambilan keputusan dalam organisasi atau bagian yang ada di dalamnya?
2) Bagaimanakah dampak model prosedur pengambilan keputusan bagi kinerja organisasi atau bagian yang ada di dalamnya?
3) Adakah pengaruh pendelegasian wewenang bagi komitmen maupun rasa memiliki (sense of belonging) para bawahan?
4) Seberapa pentingkah upaya pemberdayaan para bawahan bagi efektivitas organisasi atau bagian yang ada di dalamnya?
5) Tindakan apakah yang harus dilakukan oleh Paul Sanchez guna menghindari masalah penurunan produksi dan kualitas tersebut?
6) Langkah apakah yang harus dilakukan oleh Paul Sanchez untuk merespons masalah penurunan produksi dan kualitas tersebut?

Kajian Teori
I. Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan yang partisipatif memberikan ruang peran serta secara bermakna pada para bawahan dalam menjalankan aktivitas lembaga serta proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pemimpin menghargai masukan berguna yang diberikan oleh para bawahannya dan bukan tidak mungkin masukan mereka dijadikan landasan penentuan keputusan. Ada beberapa unsur penting dan tidak mungkin dipisahkan yang membentuk kepemimpinan partisipatif. Beberapa unsur penting tersebut adalah konsultasi, pengambilan keputusan bersama, pembagian kekuasaan, desentralisasi, serta manajemen yang bersifat demokratis.

Seorang pemimpin yang baik tentunya rela membuka ruang peran serta bagi para bawahannya secara sungguh-sungguh. Dalam artian bahwa ia memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyumbangkan saran, menyampaikan kritik atau keluhan, mengemukakan koreksi, serta berpartisipasi dalam penentuan keputusan. Pemimpin melakukan beberapa hal tersebut tidak sekedar basa basi. Dalam artian bahwa ia tidak memberikan kesempatan untuk menyatakan gagasan tetapi selanjutnya ia menciptakan rasa takut pada para bawahannya untuk mengemukakan inisiatif sehingga akhirnya para bawahan menyerahkan sepenuhnya proses kelembagaan padanya karena merasa apatis.

Menurut Vroom dan Yetton, prosedur pengambilan keputusan dalam organisasi meliputi lima model yaitu
1) Model AI mengandung arti bahwa pemimpin memecahkan masalah dan membuat keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang ada saat ini.
2) Model AII berarti bahwa pemimpin memperoleh informasi yang diperlukan dari para bawahan dan memutuskan sendiri keputusannya. Tetapi, ia bisa memberitahukan atau tidak kepada para bawahan untuk mendapatkan informasi mengenai masalah yang sebenarnya. Hanya sebatas memberikan informasilah peran para bawahan. Mereka tidak berperan dalam memecahkan masalah.
3) Model CI mengandung arti bahwa para bawahan yang berkompeten diajak berbicara mengenai suatu hal secara pribadi. Kemudian, pemimpin membuat keputusan yang mungkin didasari oleh masukan yang diberikan oleh bawahan atau bahkan tidak sama sekali.
4) Model CII berarti bahwa pemimpin mengajak para bawahan berbicara dan mereka dikumpulkan sebagai suatu kelompok. Selanjutnya, keputusan yang dibuat bisa dilandasi oleh masukan yang diberikan oleh para bawahannya atau juga bisa berdasarkan pandangan sendiri.
5) Model GII menggambarkan bahwa pemimpin dan para bawahan berbicara dalam suatu kelompok. Kemudian, mereka bertukar gagasan guna memecahkan suatu persoalan yang dihadap. Bila solusi sudah diperoleh, ia dijadikan dasar pengambilan keputusan. Ia bersedia menerima solusi yang dihasilkan dari pembicaraan itu dan tidak memaksakan kehendak agar gagasannyalah yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Melalui kepemimpinan yang partisipatif, diharapkan kondisi organisasional suatu lembaga menjadi lebih baik. Sehubungan dengan hal ini, bila mekanisme kepemimpinan partisipatif mencapai sasarannya, lembaga dapat memperoleh beberapa manfaat penting diantaranya
1) Kualitas keputusan yang diambil menjadi lebih tinggi karena telah melalui proses curah pikir (brain storming) serta adu gagasan. Tentunya, proses tersebut harus dilandasi oleh itikad baik, akal sehat, saling percaya, dan kesediaan untuk menerima gagasan baik yang disampaikan oleh pihak lain.
2) Pendewasaan anggota lembaga terjadi karena mereka dibiasakan untuk memahami pemikiran dan argumentasi pihak lain serta bersedia menerima kenyataan berupa diterima atau tertolaknya suatu usulan yang disampaikan.
3) Para anggota lembaga merasa diperlakukan secara terhormat sehingga perasaan ikut memiliki (sense of belonging) terhadap lembaga menjadi lebih kuat tertanam dalam hati mereka.
4) Para anggota lembaga menjadi terlatih untuk menganalisis masalah serta memecahkannya dan juga rasa kepercayaan diri mereka menjadi lebih mudah terbangun. Selanjutnya, apabila nantinya dipercaya untuk mengampu jabatan lebih tinggi, mereka menjadi lebih siap.

Mengingat kenyataan bahwa kepemimpinan partisipatif memberikan peluang kepada para bawahan untuk terlibat dalam aktivitas lembaga serta proses pengambilan keputusan, efektivitas keputusan dalam lembaga tetap harus memperoleh perhatian. Tidak sepantasnya seorang pemimpin menimpakan kesalahan pada terlibatnya para bawahan bila ia tidak dapat mengambil suatu keputusan secara efektif. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas keputusan. Diantaranya adalah
1) variabel situasional berupa jumlah informasi yang dimiliki oleh pemimpin serta bawahannya, kongruensi sasaran (goal congruence) pemimpin dan para bawahannya, mampunya pemimpin dan bawahan menjalin kesepakatan, dan kreativitas dalam memecahkan kebuntuan dalam pengambilan keputusan.
2) kesediaan para bawahan untuk menerima keputusan karena mereka merasa bahwa ada nilai positif yang dihasilkan oleh keputusan itu serta merasa keterlibatan dalam pengambilan keputusan benar-benar dihargai.
3) kualitas keputusan bagi lembaga yakni apakah secara obyektif –terlepas dari perasaan suka maupun tidak suka secara individual- keputusan yang diambil memberikan dampak positif atau tidak pada lembaga. Masalah kualitas keputusan ini amat penting untuk diperhatikan terlebih bila terdapat alternatif yang beragam.
4) dipahaminya aturan main dalam proses pengambilan keputusan. Pemahaman tentang aturan main sekaligus kesediaannya untuk menerapkan secara konsekuen menjadikan proses yang ditempuh memiliki probabilitas lebih besar untuk membuahkan hasil yang efektif dari pada apabila para bawahan serta atasan masih belum memiliki pemahaman yang sama.

Seorang pemimpin yang partisipatif akan merasa senang apabila para bawahannya memperlihatkan antusiasme terhadap upaya memecahkan problematika yang dihadapi oleh lembaga dan juga upaya untuk membuat kondisi lembaga semakin baik. Untuk itu, ia harus mampu melakukan diagnosis secara seksama terhadap beberapa aspek yang memiliki keterkaitan dengan situasi proses pengambilan keputusan. Beberapa aspek itu antara lain
1) pemahaman tentang urgensi keputusan yang akan diambil bagi lembaga.
2) pribadi yang memiliki kecakapan tertentu terkait dengan keputusan yang akan diambil.
3) seberapa besar kemungkinan untuk membangun kerja sama antara pemimpin dengan para bawahan dalam pengambilan keputusan.
4) kelayakan untuk menyelenggarakan pertemuan guna mencari beragam alternatif guna mengambil keputusan.

Selain itu, ia juga perlu sekali memberikan penguatan atau dorongan terhadap partisipasi para bawahannya. Penguatan terhadap partisipasi mereka dilakukan dengan jalan
1) memberikan kesempatan para bawahan untuk mengungkapkan gagasan mereka.
2) memperhatikan secara sungguh-sungguh gagasan yang dikemukakan oleh para bawahan.
3) memberikan umpan balik atas gagasan yang diungkapkan oleh para bawahan.
4) memberikan peluang bagi munculnya gagasan pembanding dari para bawahan lainnya.
5) memperlihatkan apreasi yang baik terhadap gagasan para bawahan termasuk juga saran-saran yang bersifat korektif.

II. Pendelegasian Wewenang
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk mendewasakan para bawahannya sehingga pada saat suksesi terjadi atau ketika mereka dibebani tanggung jawab lebih tinggi, kesiapan mental telah mereka miliki. Terkait dengan masalah ini, pendelegasian wewenang (delegation of authority) merupakan satu cara yang dapat ditempuh untuk melakukannya.
Pada dasarnya, pendelegasian wewenang adalah pemberian tugas atau tanggung jawab oleh seorang pemimpin kepada bawahannya. Apabila dikaitkan dengan konsep kepemimpinan partisipatif, pendelegasian wewenang adalah suatu hal yang menunjang, walaupun tidak identik. Secara umum, pendelegasian wewenang dilakukan dengan memberikan tugas atau tanggung jawab baru dan berbeda kepada bawahan. Dalam hal ini kita dapat mencontohkan seorang staff keuangan yang diberi tugas untuk melakukan pemeriksaan transaksi keuangan yang terjadi di dalam perusahaan. Ia harus memeriksa setiap transaksi yang terjadi secara seksama. Apabila terjadi hal yang tidak sesuai dengan kondisi yang seharusnya, ia diberi wewenang untuk melakukan perbaikan serta memberikan semacam rekomendasi terhadapnya.

Aspek utama yang melekat pada pendelegasian wewenang adalah
1) besar dan ragam tanggung jawab.
2) kebebasan yang dimiliki dan pilihan untuk melaksanakan tanggung jawab.
3) kewenangan guna melakukan tindakan dan melaksanakan keputusan tanpa persetujuan terlebih dahulu.
4) frekuensi pelaporan serta persyaratannya.
5) arus informasi terkait dengan kinerja.

Aspek lain dari pendelegasian wewenang adalah sejauh mana seorang bawahan harus meminta ijin kepada atasannya sebelum bertindak. Tingkatan pendelegasian wewenang terendah adalah bila seseorang masih harus bertanya atau meminta persetujuan atasan bila terjadi masalah yang dinilai diluar kebiasaan. Tingkatan yang lebih tinggi terjadi bila seorang bawahan diijinkan untuk menentukan apa yang harus dilakukannya tetapi harus memperoleh persetujuan dari atasannya terlebih dahulu sebelum melaksanakannya. Kemudian tingkatan tertinggi adalah ketika seorang bawahan diijinkan untuk menentukan suatu keputusan serta melaksanakannya tanpa persetujuan dari atasannya.

Terkait dengan syarat pelaporan, bawahan dikatakan memiliki kewenangan lebih besar jika ia hanya perlu memberikan laporan dalam intensitas yang tidak terlalu besar semisal laporan secara bulanan. Selain itu, laporan yang diberikan kepada atasannya hanya mendeskripsikan hasil yang dicapai tanpa harus disertai penjelasan tentang bagaimana prosedur pencapaiannya secara detil.

Dalam hal informasi atas kinerja, kewenangan bawahan dinilai besar apabila informasi rinci mengenai kinerja bawahan dikirimkan secara langsung kepadanya dan kemudian ia diberi wewenang untuk memperbaiki masalah yang terjadi. Beberapa manfaat yang diperoleh dari pendelegasian wewenang bila ia dilakukan secara benar adalah
1) Kualitas keputusan yang diambil menjadi lebih baik bila para bawahan memang memiliki kecakapan terhadap bidang tugasnya dibandingkan dengan atasannya serta ia lebih memahami permasalahan karena mempunyai lebih banyak informasi.
2) Komitmen bawahan untuk menerapkan keputusan secara efektif menjadi lebih tinggi bila pendelegasian wewenang itu memang benar-benar dilaksanakan karena pertimbangan kecakapan bawahan dan bawahan yakin dirinya mampu. Bukan karena ia hendak dijebak oleh atasannya untuk menangani masalah yang tidak dikuasainya guna dipermalukan nantinya.
3) Bagi bawahan, pendelegasian wewenang dapat menjadikan pekerjaan yang dilakukannya menantang dan memiliki arti. Bagi para bawahan yang cakap, pekerjaan yang menantang merupakan salah satu hal yang membuatnya betah bekerja dan membuatnya siap memikul tanggung jawab lebih tinggi.
4) Bila atasan mendapatkan beban kerja berlebih, pendelegasian wewenang merupakan cara untuk menguranginya sehingga ia dapat memfokuskan perhatiannya pada pekerjaan yang dinilai lebih penting untuk dikerjakan segera.
5) Manajemen organisasi dapat dikembangkan menjadi lebih baik karena pendelegasian wewenang merupakan wujud upaya penguatan kemampuan manajerial seseorang bawahan. Pada saat ia dipromosikan menuju posisi lebih tinggi, ia telah siap untuk mengembannya.

Sekalipun memiliki beberapa nilai lebih, pendelegasian wewenang tidak akan pernah bersifat mutlak. Seorang atasan tetap harus memikul tanggung jawab apabila ternyata pendelegasian wewenang tidak menciptakan keadaan yang lebih baik. Karenanya, ia tetap dibebani tanggung jawab untuk melakukan pemantauan.
Pendelegasian wewenang bisa saja gagal bila bawahan tidak cakap dalam mengampu tugas yang dibebankan padanya. Dari sudut pandang pribadi atasan, kegagalan untuk melakukannya terjadi karena ia terlalu membutuhkan kekuasaan dan takut tersaingi oleh bawahannya yang terbukti mampu melaksanakan tugas yang dibebankan dan sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain.

Agar dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan standar kinerja yang diharapkan, beberapa pedoman harus diperhatikan. Diantaranya adalah
1) memastikan dengan tepat apa tanggung jawab yang ingin didelegasikan
Agar tanggung jawab yang ingin didelegasikan bisa dipastikan, maka beberapa acuan dasar yang penting untuk diperhatikan adalah
a. Pendelegasian wewenang dilakukan untuk tugas yang memang dapat dilakukan secara lebih baik oleh bawahan.
b. Bila tujuannya adalah ingin mengurangi beban kerja berlebihan, maka tugas yang harus segera didelegasikan adalah tugas yang harus segera diselesaikan tetapi tidak mempunyai prioritas tinggi.
c. Pemimpin perlu mengetahui pendelegasian tugas yang relevan dengan jenjang karier seorang bawahan.
d. Pemimpin mendelegasikan tugas yang menentang tetapi pasti dapat dilakukan oleh bawahan.
e. Para bawahan harus dibiasakan untuk bersedia melaksanakan segala tugas yang dibebankan padanya.
2) menerapkan cara yang sesuai untuk mendelegasikan wewenang
Adapun cara yang sesuai dan menjadikan probabilitas berhasilnya pendelegasian wewenang tinggi adalah
a. menjelaskan tanggung jawab secara gamblang kepada bawahan.
b. memberikan wewenang yang memadai dan memiliki batasan jelas.
c. menjelaskan syarat pelaporan secara rinci.
d. memastikan bahwa bawahan memang bersedia memikulnya dan memiliki komitmen kuat untuk melaksanakannya.

Setelah wewenang didelegasikan kepada para bawahan, atasan harus melaksanakan tindak lanjut agar pendelegasian wewenang itu memperoleh dukungan. Diantaranya adalah
1) menyampaikan informasi tentang pendelegasian wewenang itu kepada pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu bawahan.
2) memantau perkembangan terkait dengan pelaksanaan tugas melalui indikator yang jelas.
3) memberikan informasi tambahan mengenai tugas yang didelegasikan.
4) memberikan dukungan psikologis kepada para bawahan dengan tetap memintanya mampu menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
5) apabila terjadi kesalahan, ia harus diyakinkan bahwa kesalahan itu adalah bagian dari proses belajar dan ia tidak boleh dipermalukan.

III. Pemberdayaan Bawahan
Satu hal yang juga penting untuk dipikirkan dalam pengelolaan sumber daya manusia guna mengembangkan organisasi adalah pemberdayaan bawahan (employee emporment). Pemberdayaan bawahan adalah upaya yang ditempuh untuk menjadikan mereka dapat mengoptimalkan potensi dirinya, bisa menyumbangkan peran positif, mampu melaksanakan tugas dengan baik, siap memikul tanggung jawab yang lebih tinggi, serta merasa memperoleh sesuatu yang berharga dari organisasi atau perusahaan tempat ia bernaung.

Upaya itu dipandang penting untuk dilakukan karena di satu sisi para karyawan akan menjadi merasa nyaman serta antusias untuk bekerja dan hal itu membuat mereka bersedia memberikan kontribusi peran serta produktivitas kerja yang semakin bagus. Di lain sisi, saat ini dan juga masa mendatang setiap organisasi akan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Jika ia ingin tetap eksis bahkan menjadi pemenang dalam persaingan tersebut, peran positif para anggota organisasi harus bisa ditingkatkan agar mereka menjadi faktor kunci kemenangan. Untuk itulah, berbagai langkah pemberdayaan harus diupayakan.

Memang, melalui pemberdayaan, motivasi instrinsik dan kemanjuran diri (self effifacy) dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan, karakteristik pekerjaan, struktur organisasi, serta nilai-nilai yang ada pada mereka sendiri. Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Spreitzer, pemberdayaan bawahan mengandung empat elemen psikologis yakni
1) makna (meaning) berupa konsistensi antara kandungan serta konsekuensi pekerjaan dengan nilai-nilai ideal seseorang.
2) determinasi diri (self determination) dalam arti bahwa bawahan mampu menentukan bagaimana serta kapan pekerjaan diselesaikan.
3) kemanjuran diri (self effifacy) yaitu kepercayaan diri yang tinggi bahwa ia mampu menangani pekerjaan secara baik.
4) dampak (impact) yakni keyakinan bahwa dirinya mamapu memberikan dampak atau pengaruh yang berarti pada pekerjaan serta lingkungan kerjanya.

Melalui upaya pemberdayaan, suatu lembaga dapat memperoleh beberapa hal positif seperti halnya
1) Para bawahan memiliki komitmen yang lebih kuat atas tugas yang dibebankan.
2) Para bawahan mempunyai inisiatif yang lebih besar dalam menjalankan tanggung jawab dari peran yang mereka emban.
3) Mereka menjadi lebih tegar dalam menerima ujian.
4) Mereka mampu menampilkan sikap inovatif dalam menyikapi tantangan.
5) Para bawahan menjadi optimis akan keberhasilan pelaksanaan tugas.
6) Mereka akan merasakan kepuasan kerja yang tinggi.
7) Para bawahan memiliki komitmen organisasional yang kuat.
8) Bagi organisasi, melalui pemberdayaan, tingkat keluar dan masuk (turn-over) karyawan dapat dikurangi.

Pemberdayaan dapat terlaksana dengan baik jika suatu organisasi telah mempersiapkan beberapa kondisi yang menunjangnya. Mengenai kondisi itu, Christ Argyris menyatakan bahwa beberapa kondisi penunjang tersebut adalah
1) desain pekerjaan yang dirasa memberikan tantangan.
2) struktur organisasi yang memberikan peluang terhadap pendelegasian wewenang serta pengayaan pekerjaan.
3) budaya organisasi yang memberikan tempat pada proses belajar, partisipasi, serta menampilkan fleksibilitas.
4) kesiapan mental bawahan untuk menerima tanggung jawab yang lebih tinggi.
5) kesediaan pemimpin dan bawahan untuk saling mempercayai.
6) keterlibatan para bawahan dalam dinamika proses organisasi.


Penurunan Mutu Dan Produktivitas Echo Electronics, Co. Ltd.
Paul Sanchez adalah manajer produksi Echo Electronics, Co. Ltd., perusahaan yang memproduksi serta mendistribusikan peralatan elektronika dan komunikasi. Ia membawahi para penyelia (supervisor) dari empat departemen produksi yang ada dalam perusahaan ini.

Enam bulan lalu, manajer bagian rekayasa Echo Electronics, Co. Ltd. mengajukan usulan rencana memasang semacam work station (bengkel kerja) terkomputerisasi yang baru untuk meningkatkan produkstivitas dalam lingkup pabrik. Hal tersebut dinilai merupakan gagasan terbaik pada saat itu dan Paul Sanchez selaku manajer produksi menyatakan bahwa ia bisa menerimanya. Chief executive officer perusahaan ini juga menyetujuinya dan peralatan tersebut segera dipasang.

Tiga bulan kemudian, Paul Sanchez terkejut sekaligus kecewa ketika mengetahui bahwa peningkatan produktivitas yang diharapkan tidak terjadi. Bahkan, kualitas produk juga mengalami penurunan. Manajer pemasaran memberitahukan padanya bahwa beberapa pelanggan setia mereka mengeluhkan kerusakan peralatan yang telah mereka beli. Terhadap hal ini, ia tidak percaya bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada bengkel kerja yang baru itu. Para teknisi yang diminta untuk melakukan pemeriksaan menyatakan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata tidak ada sesuatu yang salah dengan bengkel kerja yang baru. Terkait dengan masalah ini, kemudian Paul Sanchez membahasnya dengan empat orang penyelia yang dibawahinya. Dari pembahasan tersebut, para penyelia sesungguhnya juga merasakan bingung akan hal itu. Namun, mereka sendiri juga belum dapat memastikan masalah apa yang menjadi penyebabnya.

Para karyawan bagian produksi merasakan bahwa desain bengkel kerja buruk, pelatihan yang diberikan bagi mereka tidak mencukupi, dan insentif finansial bagi mereka dinilai tidak memadai. Para penyelia juga mengatakan kepada Paul Sanchez bahwa para karyawan bagian produksi menampilkan resistensi yang kuat terhadap bengkel kerja baru tersebut. Semangat kerja mereka merosot dan ada dua orang diantaranya yang mengajukan permohonan berhenti bekerja karena merasa bingung terhadap perubahan terkait cara melaksanakan pekerjaan.

Pada hari itu, Paul Sanchez menerima telepon dari chief executive officer yang baru saja menerima data mengenai jumlah produksi bulan lalu dan ia merasa prihatin pula atas masalah yang dihadapi. Chief executive officer menginginkan bahwa masalah tersebut harus segera dipecahkan oleh Paul Sanchez dengan bijaksana. Pada minggu depan, chief executive officer itu ingin mengetahui langka-langkah manajerial yang dilakukan oleh Paul Sanchez untuk mengatasi masalah penurunan mutu dan produktivitas peralatan elektronika serta komunikasi yang dihasilkan.


Pembahasan
Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu organisasi atau bagian di dalamnya (semisal bagian produksi Echo Electronics) memiliki arti yang penting. Terbukanya ruang partisipasi bagi para bawahan untuk hal tersebut menjadikan probabilitas untuk memperoleh keputusan yang bermutu tinggi lebih besar dari pada bila dilakukan tanpa partisipasi. Keadaan itu terjadi karena diasumsikan para peserta (bawahan dan pemimpin) memiliki gagasan beragam mengenai suatu masalah.

Mungkin saja, ada diantara mereka yang mempunyai pemikiran dangkal. Tetapi, bukan mustahil pula jika ada yang mampu menampilkan gagasan bermakna dan jumlah gagasan yang bermakna itu lebih dari satu. Apabila beberapa gagasan bermakna itu disampaikan lengkap dengan argumen logis yang melandasi dan kemudian disarikan atau disinergikan, keputusan yang dihasilkan oleh suatu unit organisasi seperti halnya bagian produksi Echo Electronics tersebut bisa semakin baik dan didukung oleh semuanya.

Melalui partisipasi, maka para bawahan merasakan bahwa keputusan yang diambil itu adalah hasil dari perjuangan bersama sehingga rasa memiliki dan keinginan untuk berhasil dalam menerapkannya terbangun lebih kokoh dalam pikiran mereka. Tentunya, mereka harus diyakinkan dengan argumen yang jelas mengapa suatu masukan diterima dan masukan lainnya ditolak. Kejelasan argumen serta dukungan jiwa besar dari para bawahan dan pimpinan untuk menerimanya sebagai keputusan bersama adalah faktor pendukung yang disyaratkan untuk ada. Demikian pula, karena partisipasi berarti memberikan kesempatan bagi semua untuk menampilkan pendapat dan pilihan sebelum keputusan akhir ditentukan, para peserta merasa diperlakukan secara terhormat. Kemudian, rasa keadilan prosedural akan mereka rasakan. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya, apabila para bawahan telah terbiasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mereka akan mempunyai bekal pengalaman yang berguna serta rasa percaya diri yang kuat sehingga apabila suatu saat nanti tanggung jawab lebih tinggi dibebankan, mereka telah relatif siap secara mental.

Model prosedur pengambilan keputusan yang diterapkan oleh seorang pemimpin memang mempengaruhi kualitas keputusan beserta penerimaannya oleh mereka yang diharapkan menerapkan keputusan itu. Keduanya kemudian secara bersama menentukan efektivitas keputusan setelah diterapkan dimana selanjutnya ia berdampak pada kinerja yang ditampilkan oleh organisasi atau bagian di dalamnya.

Mengenai pengaruh pendelegasian wewenang bagi komitmen dan rasa memiliki para bawahan terhadap organisasi kiranya sudah jelas dan kita tinggal menegaskan kembali saja. Bagi kita pada umumnya, bila kita diberi wewenang, kita merasa memperoleh penghormatan dan kepercayaan. Kondisi itu jelas-jelas merupakan hal yang kita kehendaki. Melalui pendelegasian wewenang, komitmen bawahan untuk menerapkan keputusan secara efektif menjadi lebih tinggi. Sudah tentu, pendelegasian wewenang itu memang benar-benar dilaksanakan karena pertimbangan kecakapan bawahan dan bawahan yakin dirinya mampu. Bukan karena ia hendak dijebak oleh atasannya untuk menangani masalah yang tidak dikuasainya dan kemudian ia hendak dipermalukan.

Bagi bawahan, pendelegasian wewenang dapat menjadikan pekerjaan yang dilakukannya menantang dan memiliki arti. Bila para bawahan cakap dalam bekerja, pekerjaan yang menantang merupakan salah satu hal yang membuatnya betah bekerja, mencintai tempat bekerjanya dan merasa sayang untuk pindah tempat kerja, selain membuatnya siap memikul tanggung jawab lebih tinggi.

Pemberdayaan para karyawan yang berhasil menjadikan tujuan organisasi lebih mudah dicapai karena para karyawan yang telah diberdayakan mampu menampilkan nilai lebih. Misalnya saja, para bawahan memiliki komitmen yang lebih kuat atas tugas yang dibebankan, mampu menangani tugas yang dibebankan serta mempunyai inisiatif yang lebih besar dalam menjalankan tanggung jawab dari peran yang mereka emban. Selain itu, ketegaran mental dalam menerima ujian dan optimisme yang tinggi mereka miliki. Mereka juga cenderung mempunyai komitmen organisasional yang kuat. Beberapa nilai lebih itu pastilah berguna dalam mewujudkan efektivitas organiasi.

Untuk menghindari masalah tersebut, dalam menjalankan peran selaku manajer produksi, Paul Sanchez harus berupaya untuk selalu melibatkan para bawahannya apabila ia menemukan permasalahan serta ingin memecahkan masalah serta mengambil keputusan. Selain itu, para manajer yang memiliki posisi setara dengannya juga harus diajak berbicara mengingat kenyataan bahwa bagian lain (keuangan, pemasaran, sumber daya manusia, dan penelitian serta pengembangan) juga merupakan bagian integral dari perusahaan. Mereka semua bekerja dalam suatu sistem. Sehingga, apabila suatu bagian memiliki usulan atas satu masalah, pengkajian secara seksama perlu dilakukan. Dari langkah itu, dampak yang ditimbulkan dan kemungkinan lainnya dapat diperkirakan. Sekali lagi, setiap bagian adalah komponen integral pembentuk organisasi. Masing-masing harus dapat memahami yang lainnya sehingga tatanan yang harmonis dalam organisasi tercipta.

Pada bagian produksi, Paul Sanchez perlu melakukan langkah-langkah antisipatif. Para penyelia dan juga karyawan yang ada harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di bagian produksi karena bagaimanapun juga mereka tentu mempunyai pengetahuan lebih detil terhadap dinamika keadaan yang terjadi. Masukan mereka sudah selayaknya dijadikan dasar penentuan keputusan. Ia harus mengupayakan agar keputusan yang diambilnya tidak menjadikan mereka merasa diabaikan. Dalam hal ini, ia perlu menerapkan prosedur pengambilan keputusan model GII.

Bila penugasan diberikan kepada mereka, kriteria penugasan yang jelas tentunya harus disampaikan sejak awal dengan jelas dan mereka perlu mendapatkan kepercayaan untuk itu guna memantapkan tekad mereka untuk bekerja lebih baik. Selaku manajer, ia harus mengoptimalkan peran mereka dan memberikan motivasi untuk bekerja dengan baik dan cermat. Para karyawan dan penyelia harus diyakinkan bahwa perusahaan dan bagian produksi tempat mereka bekerja adalah milik mereka serta pada merekalah kemajuan, dan pencapaian tujuan tertinggi perusahaan ditentukan. Seandainya dalam dinamika kehidupan lembaga mereka pernah mengalami hal-hal yang mengecewakan, mereka hendaknya diyakinkan bahwa itu merupakan proses wajar yang harus dilalui oleh semuanya, yakni perusahaan dan mereka. Perusahaan pastilah tetap memiliki itikad untuk memberikan hal terbaik bagi mereka. Justru, dalam kondisi itu sumbangan peran mereka makin dibutuhkan termasuk pula kesediaan mereka untuk memberikan berbagai masukan berharga bagi perusahaan dan bagian produksi tempat mereka bekerja.

Guna mempertinggi kemampuan teknis para karyawan, serangkaian pelatihan perlu diberikan secara rutin bagi mereka. Selain itu, ia juga harus memperhatikan kesejahteraan finansial para bawahannya. Suatu usulan sistem numerasi yang dirasa memberikan apresiasi terhadap prestasi dan kontribusi karyawan bagian produksi harus diusulkannya kepada manajemen puncak.

Kemauan dan masukan para karyawan bagian produksi terkait dengan pekerjaan yang mereka tangani perlu diperhatikan. Dalam hal ini, mereka diminta untuk menyampaikan pandangan mengenai bagaimana cara terbaik untuk melaksanakan pekerjaan. Masukan mereka harus ditindaklanjuti sebagai dasar penentuan keputusan. Bila memang ia memiliki pandangan tentang hal ini, ia harus menyampaikannya agar mereka bisa memberikan respons balik demi kebaikan.

Seumpama titik temu telah dicapai, tugas dalam bidang produksi kemudian didelegasikan kepada mereka dan untuk mereka otoritas yang cukup perlu diberikan agar mereka merasa dipercaya. Agar mereka tidak mengalami penurunan semangat, ia perlu mempersiapkan rancangan dekerjaan yang menarik dan tidak membuat mereka bosan nantinya. Selanjutnya, mekanisme pemantauan yang tidak menjadikan mereka ditempatkan pada posisi selaku pihak yang salah harus diterapkan. Paul Sanchez harus sadar pula bahwa bila kesalahan terjadi, hal itu hendaknya jangan langsung dipandang sebagai hal yang tak termaafkan. Kesalahan dan bagaimana mereka harus melakukan hal-hal yang benar perlu ditunjukkan secara elegan agar mereka memahaminya tanpa merasa direndahkan atau dipermalukan.

Kemudian, Paul Sanchez perlu melakukan pertemuan dengan para penyelia serta perwakilan karyawan guna membahas masalah ini. Kepada mereka, Paul Sanchez hendaknya meyakinkan kepada mereka tentang betapa pentingnya solusi yang dihasilkan dari pertemuan ini serta betapa pentingnya peran mereka. Sekali lagi, ia harus dapat menjadikan mereka percaya bahwa mereka adalah salah satu stake holder penting perusahaan ini serta penentu kemajuannya. Tidak mungkin perusahaan dapat menjadi besar tanpa sumbangan peran yang mereka berikan.

Dalam pertemuan itu, para penyelia serta perwakilan karyawan diminta untuk memberikan konsep solusi mengenai bagaimana rancangan bengkel kerja yang lebih baik diupayakan agar mereka bisa bekerja semakin baik dan produktif. Sudah barang tentu, konsep solusi yang diajukan ini harus tetap realistis dalam arti ia dapat dilaksanakan dan perusahaan mampu menerapkannya. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan, konsep solusi tersebut hendaknya tetap memperhitungkan kondisi nyata bagian lain dalam perusahaan sehingga tidak menimbulkan benturan karena perbedaan kepentingan. Buruknya pelatihan bagi para karyawan dalam mengoperasikan bengkel kerja perlu dicarikan pemecahannya juga dalam pertemuan tersebut. Para penyelia dan perwakilan karyawan harus dapat mengajukan usulan mengenai bagaimana pelatihan yang lebih baik bagi para karyawan diselenggarakan.

Demikian pula, untuk meningkatkan produktivitas para karyawan bagian produksi, para penyelia dan perwakilan karyawan hendaknya mampu merumuskan usulan mengenai sistem kompensasi yang kondusif. Dalam masalah ini, sistem kompensasi insentif tersebut harus mampu menjadikan para karyawan termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik, mampu membedakan perlakuan finansial antara karyawan yang lebih produktif dengan yang kurang produktif serta memberikan apresiasi terhadap prestasi. Seperti halnya solusi tentang rancangan bengkel kerja, usulan sistem kompensasi itu harus memperhitungkan kemampuan perusahaan. Selain itu, ia juga harus diusahakan agar tidak menimbulkan kecemburuan bagi para karyawan pada bagian lainnya.

Pada akhir pertemuan, Paul Sanchez perlu meneguhkan semangat mereka untuk bekerja lebih baik lagi dan menjadikan yakin bahwa semuanya adalah demi kebaikan mereka juga. Perusahaan akan tetap mampu berkembang dan mereka akan senantiasa menjadi bagian integral yang menciptakan kemajuan baginya.

Beberapa usulan itu nantinya harus disampaikan oleh Paul Sanchez kepada jajaran manajemen untuk dipertimbangkan. Kepada jajaran manajemen, Paul Sanchez hendaknya bisa memaparkan argumen yang meyakinkan tentang pentingnya pelaksanaan beberapa solusi yang dihasilkan dari pertemuan itu. Disamping itu, ia juga harus berbicara dengan manajer bagian rekayasa mengenai masalah yang sesungguhnya terjadi dalam bagian produksi yang dipimpinnya guna memperoleh solusi yang lebih komprehensif nantinya.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan konseptual-teoritis serta pemaparan ilustrasi kasus beserta pembahasannya di atas, beberapa kesimpulan dapat ditarik. Diantaranya adalah
1) Aspek partisipatif dalam pengambilan keputusan dan dinamika organisasi secara keseluruhan adalah hal yang penting untuk dikaji serta direalisasikan. Hal itu terjadi karena partisipasi ternyata memberikan beberapa efek penguatan bagi organisasi. Tentunya, partisipasi harus memiliki makna dan ditunjang oleh beberapa kondisi yang penguat.
2) Pendelegasian wewenang mempunyai dampak strategis bagi pematangan organisasi karena menjadikan para anggotanya memperoleh pembelajaran untuk memikul tanggung jawab lebih besar. Bila dikaitkan dengan konsep kepemimpinan partisipatif, pendelegasian wewenang adalah suatu hal yang menunjang, walaupun tidak identik.
3) Melalui pemberdayaan bawahan, organisasi mampu meningkatkan kontribusi nilai personal dari anggotanya. Mereka menjadi semakin berharga bagi organisasi. Pemberdayaan bawahan adalah upaya yang ditempuh untuk menjadikan mereka dapat mengoptimalkan potensi dirinya, bisa menyumbangkan peran positif, mampu melaksanakan tugas dengan baik, siap memikul tanggung jawab yang lebih tinggi, serta merasa memperoleh sesuatu yang berharga dari organisasi atau perusahaan tempat ia bernaung.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar