Selasa, 19 Mei 2009

Lagu Pop Jawa, Riwayatmu Kini!

Di dalam blantika musik Indonesia, keberadaan musik Pop Daerah diantara rekan-rekannya yang lain seperti halnya Pop Indonesia (dengan segala genre dan perubahannya yang terjadi), Dangdut, Rock dan Keroncong tetaplah perlu diperhitungkan. Sekalipun ia tidak tampil dalam kesan yang signifikan serta dominan sebagaimana Pop Indonesia, Rock atau Dangdut, tanpa sumbangan peranannya maka tidak lengkaplah perbendaharaan musik nasional kita.

Diantara berbagai cabang musik Pop Daerah, terdapat beberapa yang tergolong mengemuka dibandingkan dengan lainnya. Mereka adalah Pop Sunda, Batak, Minang, dan Jawa. Dikatakan mengedepan karena jika ditinjau dari frekuensi penerbitan album serta penayangannya melalui media elektronik semisal radio atau televisi mereka lebih intens dan jumlah musisi yang menekuninya pun relatif lebih banyak. Untuk yang terakhir ini, yakni Pop Jawa, ada beberapa catatan khusus yang perlu diberikan serta fenomena tertentu yang cukup menarik untuk diamati.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, pada akhir dasa warsa 1970 album lagu Pop Jawa pernah menorehkan prestasi yang sangat mengagumkan bila ditinjau dari tolok ukur popularitas dan jumlah kaset yang terjual. Tentunya kita masih ingat bahwa album Pop Jawa yang dinyanyikan oleh kelompok Koes Plus dengan lagunya yang sangat terkenal, Tul Jaenak, benar-benar sangat digemari oleh masyarakat dari segala lapisan. Liriknya yang sederhana dan mudah dihapal –bahkan jika perlu dimodifikasi sedikit-sedikit- serta susunan melodinya yang tidak rumit sebagaimana yang telah menjadi karakteristik khas lagu-lagu Koes Plus membuat album ini tertanam kuat dalam hati para pendengarnya. Keadaan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Sampai saat ini, lagu tersebut masih sering dirilis ulang. Misalnya saja, terakhir lagu ini dirilis ulang oleh kelompok J-Plus asal Semarang. Kelompok ini merilis album dengan lagu andalan (best cut) berjudul Sayur Asem dimana Tul Jaenak ditampilkan di dalamnya. Sayur Asem itu sendiri merupakan lagu milik Koes Plus juga.

Setelah itu, Eddy Silitonga –seorang putra Batak yang sangat fasih dalam melantunkan lagu-lagu berbahasa Jawa- pernah pula mencatat keberhasilan spektakuler melalui lagu Rama, Ana Maling! ciptaan Titiek Puspa, salah satu sosok penting serta legenda dalam blantika musik Indonesia. Beberapa penyanyi Pop Indonesia ternama pada era tersebut semisal Mus Mulyadi, Mamiek Slamet, Mus Mujiono, Emilia Contessa, Arie Koesmiran, Deassy Arisandy, dan yang lainnya menambah panjang deretan keberhasilan Pop Jawa dalam memperpanjang masa keemasannya.

Sayangnya, roda Cakra Manggilingan dimaui atau tidak kemudian tetap saja berputar. Perjalanan waktu akhirnya membawa Pop Jawa memasuki masa surut. Hal ini sebenarnya merupakan keadaan yang wajar saja mengingat sebagai suatu produk musik juga mempunyai semacam daur hidup (life cycle). Pada siklus tersebut, ia akan sampai pada tahap puncak kejenuhan dan selanjutnya mengalami penurunan. Surutnya popularitas lagu-lagu Pop Jawa terjadi pada era 1980. Walaupun secara insidental dan sporadis album Pop Jawa tetap pernah diterbitkan pada rentang waktu itu, tetapi keberhasilan sebagaimana yang telah diraih pada masa sebelumnya sulit sekali dimunculkan lagi. Sebagai catatan, dua orang bersaudara yang pada dasa warsa itu tergolong sebagai penyanyi Pop Indonesia terkenal, yaitu Lydia dan Imaniar Noor Said juga pernah merilis album Pop Jawa Jaipong bertajuk Dhawet Ayu Pasar Legi. Tetapi, memang keberadaan album ini barangkali jarang diketahui oleh para penggemar lagu Pop Jawa.

Peran Penting Seorang Manthou’s
Angin segar bertiup pada tahun 1990. Usaha secara keras dan kreatif yang dilakukan oleh seorang Manthou’s (pencipta lagu sekaligus penata musik dan rekaman yang cukup handal asal Gunung Kidul) menjadikan lagu Pop Jawa mampu menyeruak kembali mewarnai jagad musik kita. Ia menciptakan tembang berjudul Gethuk yang dilantunkan secara manis oleh biduan cantik dari Tanah Deli bersuara lembut, Noor Afnie Octavia. Secara komersial, lagu tersebut mampu menggapai prestasi yang lumayan bagus. Tidak kurang dari 800.000 keping kaset terjual di pasar.

Keberhasilan yang diraih itu memacu minat para pencipta lagu lain untuk menindaklanjutinya dengan turut bersaing menciptakan album Pop Jawa dalam berbagai variasi dan menyanyikannya. Beberapa diantaranya adalah kelompok Koes Plus (Jaran Kepang), Arie Wibowo (Mbak Ayu Setu Legi), Bharata Group (Kowe Pancen Ayu), Mus Mulyadi (Mariam Soto), Nenny Angelia (Pak Tukimo), dan masih ada banyak yang lainnya. Setelah meraih keberhasilan melalui album berjudul Gethuk, Manthous kemudian laris diminta untuk menciptakan lagu bagi album Pop Jawa beberapa penyanyi lain. Misalnya saja Titiek Sandhora dengan album bertajuk Kripik Apa Mendhoan dan Waljinah melalui album berjudul Iki Duweke Sapa. Memang, tidak semua album yang dirilis bisa meraih keberhasilan. Bahkan ada yang gagal di pasar. Namun, setidaknya hal ini mampu menyambung langkah sehingga eksistensi Pop Jawa tetap terjaga.

Ternyata, Gethuk bukanlah satu-satunya album Pop Jawa yang diaransir oleh Manthou’s dengan keberhasilan spektakuler. Pada akhir tahun 1992, ia menciptakan lagu berjudul Kangen yang dinyanyikan oleh salah satu penyanyi Dangdut tersohor, Evie Tamala. Penyanyi Dangdut beretnis Sunda ini mampu membawa album Kangen menggapai keberhasilan yang tidak kalah dengan Gethuk. Dalam jangka waktu lama, lagu ini sering dihadirkan sebagai lagu pesanan para penggemar di berbagai stasiun radio. Satu hal yang terasa unik terjadi. Karena Evie Tamala sebelumnya telah dikenal sebagai pelantun lagu Dangdut, maka lagu ini sering kali diminta oleh para penggemar justru pada saat acara pilihan lagu Dangdut tengah ditayangkan oleh suatu stasiun radio. Mereka tetap beranggapan bahwa lagu ini layak diminta dalam acara itu dan para penyiarnya pun bersedia memenuhinya.

Beberapa waktu kemudian, yakni pada tahun 1994, Koko Thole (seorang pencipta lagu Dangdut dan Pop Indonesia berusia muda yang potensial sekaligus penata musik dan pemain sinetron) menerbitkan album yang cukup kontemplatif, Jakarta. Lagu-lagu yang terangkum pada album tersebut diaransir secara bagus sekali dan liriknya sarat akan renungan tanpa memunculkan kesan menggurui. Dua tahun berikutnya yakni 1996, kembali ia meluncurkan album bernuansa akustik-tradisional yang tak kalah bagusnya dengan Jakarta berjudul Jaman Edan.
Sebelumnya, dari kota Bengawan Surakarta hadirlah sekelompok musisi yang menamakan diri Kawula Alit. Tokoh nasional asal Surakarta yang juga menjabat sebagai ketua umum Pemuda Panca Sila, Yapto Suryo Sumarto adalah pemandu bakatnya. Ia membawa mereka ke Jakarta untuk melakukan rekaman album. Mereka terdiri dari Danny Pelo, Ryan Penthul, Harry Gempil, dan Comet. Melalui penataan musik yang rapi, lirik yang komunikatif serta lagu-lagunya yang memang enak didengar, wajarlah Tebalbila kelompok ini dalam waktu singkat menanjak popularitasnya. Dua album telah mereka rilis. Album pertama adalah Maling lan Thuyul (diproduksi oleh JK Records Jakarta pada akhir tahun 1992) dan kedua adalah Anoman Obong (diproduksi oleh Dasa Studio Semarang pada tahun 1996).

Tentang Anoman Obong itu sendiri, tidaklah berlebihan kiranya bila ia kita dinobatkan sebagai salah satu lagu yang paling populer selama dua tahun terakhir ini, termasuk pula jika dibandingkan dengan lagu-lagu lainnya yang bercorak Pop Indonesia. Betapa tidak, dari orang dewasa hingga anak-anak jalanan yang mengamen di dalam bus kota hapal benar satu demi satu kata-kata lirik lagu yang diciptakan oleh Edy Ranto Gudel ini (ayah pelawak terkenal Mamiek Podhang). Lagu tersebut telah dialihkan dalam berbagai versi antara lain gendhing Jawa, langgam dan keroncong, Dangdut, bahkan house music. Konon, Maribeth Balombong Pasqua –seorang penyanyi bertaraf internasional yang namanya melejit melalui lagu ciptaan Habbas Sabah Mustafa bertajuk Denpasar Moon- juga berencana akan melantunkannya dalam bahasa Indonesia. Kalau memang benar terlaksana, hal itu merupakan suatu surprise.


Beberapa Harapan Untuk Kebaikan
Bagi kita para pencinta lagu Pop Jawa, iklim yang kondusif bagi perkembangannya seperti yang dirasakan saat ini tentulah merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Kondisi ini menjadikan minat para musisi untuk berkarya semakin tinggi. Persaingan untuk menciptakan album dan lagu yang baik terpacu dimana akhirnya para penikmatlah yang akan beruntung karena banyaknya pilihan. Tidak hanya para penikmat, para musisi pun akan menikmati manisnya buah karya termasuk berupa insentif finansial bila apresiasi masyarakat terhadap lagu-lagu Pop Jawa tinggi. Karenanya, para musisi hendaknya menyadari bahwa suasana seperti ini harus tetap terbangun. Mereka harus bekerja keras untuk itu.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Sebagai misal, penataan musik bagi setiap album harus diupayakan dengan sebaik mungkin karena hal itu adalah salah satu unsur yang menjadikannya menarik dan enak untuk dinikmati. Janganlah sampai ada lagi lagu yang ditata musiknya secara asal-asalan maupun terlalu sederhana sehingga terkesan amat mirip dengan aransemen lagu Pop Anak-Anak seperti yang sering kita temukan sebelumnya.
Lirik yang ada dalam setiap lagu hendaknya ditulis secara cerdas dan tidak terkesan dangkal. Para pencipta lagu seyogyanya mempertajam kepekaan terhadap permasalahan sosial serta kemanusiaan yang aktual dan universal. Dengan demikian, lagu yang ditulisnya tersebut mempunyai muatan edukatif dan kontemplatif tanpa meninggalkan kesan menggurui. Berkaitan dengan hal itu, tidak ada salahnya apabila peran para penata musik atau pencipta lagu Pop Indonesia ternama dilibatkan. Sudah barang tentu, mereka adalah pribadi yang memiliki penghayatan dan pemahaman terhadap bahasa Jawa. Hal itu perlu dijadikan pertimbangan mengingat nama besar bagaimanapun juga tetap merupakan daya tarik tersendiri. Dari mereka, diharapkan sentuhan khusus diperoleh sehingga “rasa” lagu yang tercipta semakin mudah diterima oleh lebih banyak penikmat musik, tak terkecuali juga para anak muda jaman sekarang yang pola pikir serta gaya hidupnya kosmopolitan.

Selain itu, kiranya sentuhan warna-warna lain yang tergolong sebagai genre musik populer pada saat ini misalnya Fusion, Creative Pop, Hip-Hop, Bossanova, Rap, Reggae, atau Rock ‘n’ Roll perlu dihadirkan pula. Tidak hanya terbatas pada irama bernada pentatonis. Instrumen musik yang digunakan juga perlu diupayakan agar lebih variatif. Dalam hal ini, piano akustik, gitar elektrik, saxophone atau bahkan string orchestra yang selama ini jarang tampil bisa diadopsikan sehingga aransemen lagu yang dihasilkan terasa semakin terasa bagus dan trendy. Jangan sampai kemudian kalah dengan Pop Bali yang telah melakukannya lebih dahulu.

Sebagai salah satu elemen budaya Jawa (atau bila istilah yang dipilih mungkin tidak tepat ditinjau dari sudut pandang sosiologis, Anda semua para pembaca bisa menamakannya apa saja) yang akhirnya menjadi bunga pemanis taman budaya Indonesia, eksistensi Pop Jawa harus tetap terjaga. Upaya ini tentunya menjadi tugas besar bagi para musisi yang berkecimpung secara langsung di dalamnya atau mereka yang tidak secara langsung menekuninya namun merasa mempunyai keterikatan moral sebagai orang berdarah Jawa, para penggemarnya dan kita semua. Senyampang kondisi permusikan ternyata menunjang dan kerinduan para penggemarnya terhadap kehadiran lagu Pop Jawa yang bermutu tengah berkobar, mengapa hal itu tidak kita lakukan? Bagaimana Mas Jujuk Exa, Bung Is Haryanto, Mas Mus Mujiono, Mas Steve Handoyo, Tulang Jonathan Purba, Bung Hendro Saky, Mbak Titiek Puspa, Cak Ian Antono, dan lainnya? Siapkah Anda?

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penggemar serta pemerhati lagu Pop Jawa. Saat ini tengah bekerja di Lembaga Manajemen STIE Bank BPD Jateng sebagai staff konsultan dan tenaga pengajar.

*)Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Suara Merdeka edisi 26 Juli 1997 dalam rubrik budaya Sang Pamomong. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Apakah terjadi regenerasi pada kelompok studi ini hingga ia masih eksis sampai saat ini? Kontribusi kelompok studi ini bagi Surakarta sebagai kota intelektual benar-benar besar menurut saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar