Selasa, 19 Mei 2009

WBU, Mengapa Tidak?

Pak Tua George Foreman ternyata masih mampu membuat pandangan para penggemar olah raga tinju berpaling kepadanya dan membelalak kagum. Pada usianya yang hanya kurang satu tahun untuk memasuki hitungan setengah abad, ia masih memperlihatkan ketangguhannya. Beberapa waktu lalu di New Jersey, ia mempecundangi Lou Savaresse, seorang petinju tangguh berkulit putih yang memiliki rekor bertanding sangat bagus, yaitu 36 kali bertanding tanpa pernah kalah dengan 30 kali kemenangan secara knock out. Lou Savaresse yang dikalahkannya secara split decission (kemenangan angka tipis) dan berusia lima belas tahun lebih muda selain memiliki kemampuan hebat juga salah satu dari beberapa The White’s Hope saat ini. Dengan demikian, sabuk gelar juara dunia versi WBU kembali terlilitkan di pinggangnya.

WBU? Badan tinju dunia macam apa itu? Barangkali, banyak diantara kita yang merasa asing atau bahkan sama sekali belum pernah mendengar nama ini. Mengenai belum tahunya kita akan keberadaannya, tentulah sangat wajar karena ia adalah suatu wadah baru yang usianya masih amat belia, yakni sekitar tiga tahun. World Boxing Union terlahir pada akhir tahun 1994 di kota London dan diketuai oleh John Robinson. Ia adalah seorang jurnalis yang aktif mengulas masalah yang melingkupi dunia tinju sekaligus mantan wakil ketua IBF (International Boxing Federation). Menilik jati diri John Robinson, kita bisa mengatakan bahwa WBU adalah organisasi olah raga tinju dunia yang merupakan sempalan dari IBF. Kehadiran WBU dalam kancah tinju dunia menambah maraknya persaingan adu prestise diantara sekian banyak wadah yang telah ada semisal
1. WBA (World Boxing Association).
2. WBC (World Boxing Council).
3. WBO (World Boxing Organization).
4. WBF (World Boxing Federation).
5. IBC (International Boxing Council).
6. IBA (International Boxing Association).
7. IBO (International Boxing Organization).
selain IBF yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebagai pendatang baru, sudah jamaklah bila WBU masih harus sibuk membangun citra, mencari jati diri, dan menata posisi. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengangkat gengsi, WBU menganugerahkan gelar juara dunia kelas berat kepada George Foreman tanpa ia harus bertanding memperebutkannya selang empat bulan setelah merampas gelar juara dunia versi WBA dan IBF dengan merobohkan Michael “Double M” Moorer pada babak kesepuluh. Tindakan yang dilakukan oleh WBU tersebut bukanlah hal baru karena IBF juga pernah berbuat hal yang sama. Pada awal masa kelahirannya, yakni tahun 1983, IBF memberikan gelar juara dunia secara cuma-cuma kepada Larry “The Easton Assasin” Holmes yang kala itu tengah berada dalam masa kejayaannya. Tidak lama setelah itu, dengan penataan kelembagaan yang bagus dan solid IBF kemudian menjelma menjadi suatu badan tinju dunia yang tidak kalah bergengsinya bila dibandingkan dengan WBA serta WBC yang telah lebih dahulu eksis. Bahkan, dalam hal-hal tertentu semisal hubungan dengan Don King yang terkenal licik serta suka menerapkan cara-cara tidak fair, IBF berani bersikap tegas. Belum hilang dari ingatan kita peristiwa ketika James “The Buster” Douglas yang tidak diperhitungkan sama sekali ternyata mampu memukul jatuh Mike Tyson pada babak kesepuluh dan hanya IBFlah yang secara gentle serta tegas langsung mengakui keabsahannya sebagai juara dunia baru. Lain halnya dengan WBC dan WBA, mereka justru harus meminta restu terlebih dahulu kepada Don King. Kedua badan tinju dunia ini juga sempat tidak mengakui keabsahan gelar James Douglas yang direbut dalam satu pertandingan tinju dunia di Tokyo Dome. Don King memang amat kecewa atas kejadian ini. Ia telah memiliki rencana matang guna mempertarungkan Mike Tyson dengan Evander “The Real Deal” Holyfield yang sudah pasti mendatangkan tumpukan Dollar. Padahal, kejadian itu benar-benar telah membuyarkan rencananya.

Bagi siapa saja yang terlibat dalam kancah olah raga tinju bayaran di Indonesia, kehadiran organisasi tinju dunia yang baru ini patut diberi perhatian khusus. Ada beberapa alasan cukup kuat yang mendasari pemikiran ini. Alasan pertama adalah bahwa Indonesia sedang mengalami kemarau prestasi di tingkat dunia. Kita hanya mempunyai Adrian Kaspari (kelas bantam) dan Anies Roga (kelas terbang yunior) sebagai juara dunia versi IBF Intercontinental yang juga seing disebut IBF divisi dua sertaAjib Albarado (kelas welter yunior) dan Suwito La Gola (kelas welter) selaku juara dunia versi WBF, badan tinju baru yang namanya tidak kunjung menjulang. Adapun mengenai Adrian Kaspari dan Anies Roga, disamping sebagai juara IBF Intercontinental, saat ini mereka berdua adalah penantang peringkat pertama juara dunia versi IBF di kelasnya masing-masing. Pada tanggal 30 Agustus 1997 nanti, Anies Roga akan bertarung melawan petinju Kolumbia, Manuel Jesus Herrera untuk memperebutkan juara dunia kelas terbang yunior IBF yang lowong karena ditinggalkan oleh Mauricio “El Pantoso” Pastrana juga dari Kolumbia.

Kedua, persaingan di badan tinju WBA, WBC, IBF, bahkan WBO saat ini sangat keras serta sulit sekali untuk ditembus oleh para petinju kita. Kalaupun bisa, dana yang dibutuhkan untuk mementaskan suatu kejuaraan dunia -utamanya anggaran bagi juara bertahan- sangat besar dan sukar untuk dijangkau oleh kemampuan finansial para promotor kita. Karenanya, tidak heranlah bila Adrian Kaspari yang dinilai oleh para pengamat tinju tanah air sebagai petinju paling potensial untuk menjadi juara dunia hingga saat ini masih terpaksa harus menggantung harapannya. Juara bertahan kelas bantam IBF dari Afrika Selatan, Mbulelo Botile, melalui manajer sekaligus promotornya Cedric “Big Ced” Kushner meminta bayaran sebesar $350.000 yang tentu saja bagi para promotor kita jumlah sebesar itu amatlah memberatkan. Konon, Mbulelo Botile sebenarnya sangat takut menghadapi Adrian Kaspari yang terkenal rakus kemenangan knock out di ronde-ronde awal. Masa penantian yang harus dilalui oleh Adrian Kaspari akan bertambah panjang karena pada tanggal 19 Juli 1997 lalu Mbulelo Botile terkapar di babak kedelapan oleh kepalan tangan Tim Austin dari Amerika Serikat sehingga gelar juaranya berpindah tangan. Sebagai juara yang baru, Tim Austin memiliki hak untuk memilih lawan yang disukainya dan hampir tidak mungkin memilih Adrian Kaspari sebagai lawan pertamanya. Melalui manajernya, Carl King (adik kandung Don King), pastilah ia akan memberikan kesempatan kepada sosok lawan yang dianggapnya empuk dan mudah untuk dikalahkan hingga saat mandatory fight tiba.Bila ia dipaksa untuk menghadapi Adrian Kaspari segera, pastilah ia akan meminta bayaran yang amat tinggi karena seperti halnya Mbulelo Botile ia juga takut kehilangan gelarnya.

Ketiga, usia WBU masih sangat muda sehingga diasumsikan bahwa tingkat persaingan di dalamnya pun masih relatif lebih ringan. Bila ditinjau dari segi bayaran bagi juara bertahan, kiranya hal tersebut masih bisa dipenuhi oleh kemampuan finansial para promotor kita sekalipun tentunya masih lebih tinggi dari pada bayaran bagi juara IBF Intercontinental maupun WBF. Satu nilai lebih tersendiri, diperkirakan WBU akan segera bisa mengkilap pamornya menyaingi rekan-rekan seniornya yang lain. Hal ini terbukti dengan berkiprahnya banyak petinju dunia ternama sekalipun sekarang mereka telah beranjak surut atau telah tergusur dari singgasana. Sebagai contohnya adalah Vinny “Pazmanian Devil” Pazzienza (mantan juara dunia kelas menengah IBF), James “Light Up” Toney (bekas penguasa kelas menengah super IBF), Joey Gamache (mantan juara dunia kelas ringan WBA), Kennedy Mac Kinney (mantan juara dunia kelas bulu yunior IBF), Thomas “The Hitman” Hearns (salah seorang diantara The Fabulous Four), serta George Foreman sendiri.

Atas dasar kenyataan tersebut, kesempatan masih terbuka. Tinggal bagaimana kita menyiasati serta memanfaatkannya. Dalam masalah ini, pihak KTI (Komisi Tinju Indonesia), para promotor, penyandang dana, penata tanding (match maker), dan pihak lain yang terkait hendaknya segera melakukan serangkaian lobby intensif. Langkah itu perlu untuk ditempuh dengan tujuan agar kita mempunyai perwakilan WBU di sini serta posisi tawar menawar yang mantap. Seperti inilah yang dilakukan oleh Boy Bolang dalam menghadirkan perwakilan IBF di Indonesia. Cara itu bukan tidak mungkin dicontoh oleh Tourino Tidar, Anton Sihombing, Harry “Don Seng” Sugiarto, Linneke Lolowang, Hendry P. Therik, atau Suryo Guritno. Selain itu, kalangan swasta seperti halnya penyandang dana, sponsor, dan stasiun televisi haruslah dirayu dan diyakinkan dengan pendekatan piawai sehingga tidak segan-segan untuk memberikan dukungan dana yang dibutuhkan.

Para petinju yang akan diorbitkan seyogyanya dipersiapkan secara benar-benar matang sejak dini. Mereka haruslah merupakan kandidat terbaik dari sekian banyak yang telah diseleksi secara ketat sehingga tidak akan mengalami nasib mengenaskan serta kalah dengan memalukan. Mengenai hal itu, tentunya kita masih ingat kekalahan tragis pada babak ketiga Yani Hagler setelah berkali-kali tersungkur ke kanvas dari Doddy “The Bionic Boy” Penalosa dari Philipina ketika ia berusaha merebut gelar juara dunia kelas terbang yunior versi IBF pada tahun 1985. Padahal, Yani Hagler sebelumnya dianggap sebagai petinju Indonesia yang mampu menjadi penerus Ellias Pical sebagai juara dunia yang baru. Bahkan, penilaian seperti itu pernah disampaikan oleh seorang wasit ternama yang biasa memimpin pertandingan tingkat dunia, Joe Cortez dari Amerika Serikat pada saat ia ditunjuk untuk menjadi wasit dalam pertandingan perebutan juara dunia kelas bantam yunior IBF antara Ellias Pical melawan Ju Do Chun. Sebagaimana halnya yang kita ketahui bersama, even itu merupakan saat yang amat bersejarah dan juga mengharukan karena pada saat itulah untuk pertama kalinya juara dunia bagi Indonesia hadir. Petinju kita yang selalu tampil dengan kepala botak gundul ini mengalami kegagalan karena ia tidak dibekali dengan persiapan yang bagus dan hanya mengandalkan semangat serta keyakinan diri yang terlalu besar.

Upaya persiapan secara cermat harus dilaksanakan mulai sekarang, senyampang kesempatan belum tertutup. Jangan lupa, tanpa menafikan kenyataan bahwa Ellias Pical adalah petinju yang sangat hebat dan mempunyai bakat alam amat tinggi, keberhasilan menjadikannya juara dunia pada tahun 1985 diraih ketika IBF masih berusia muda dan Boy Bolang ternyata jeli memanfaatkan kesempatan ini. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penggemar serta pemerhati olah raga tinju profesional. Saat ini tengah bekerja di Lembaga Manajemen STIE Bank BPD Jateng sebagai staff konsultan dan tenaga pengajar.


*)Tulisan ini pernah dikirimkan kepada Harian Umum Solo Pos tetapi tidak dimuat dan tanggalnya sudah tidak saya ingat. Saat ini, jumlah badan tinju dunia mencapai 22 lembaga. Sebagian besar dari mereka, kiprahnya tidak kita ketahui walaupun mereka memiliki web-site di dunia maya.
Apakah Anda mengetahui bahwa ada badan tinju bernama GBL (Global Boxing League), WBE (World Boxing Empire), IBU (International Boxing Union), dan yang lainnya? Saat ini pula, WBF merupakan singkatan dari World Boxing Foundation. Berdasarkan perkembangan terbaru, IBO justru semakin bagus reputasinya. Petinju ternama semisal Vladimir Klitschko dari Ukraina dan Manny Pacquiao dari Philipina memiliki gelar juara dunia darinya. Pertarungan perebutan gelar yang mereka lakukan juga dinyatakan sebagai kejuaran dunia versi IBO.
Ucapan terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan untuk mengembangkan wawasan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Hanya Tuhanlah yang mampu membalasnya. Apakah terjadi regenerasi pada kelompok studi ini hingga ia masih eksis sampai sekarang? Kontribusi kelompok studi ini bagi Surakarta sebagai kota intelektual benar-benar berarti menurut saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar