Rabu, 10 Juni 2009

Beberapa Aspek Kejiwaan Dan Keperilakuan Dalam Organisasi

Pentingnya Motivasi, Kepuasan Kerja, Dan Disiplin Bagi Organisasi
Seseorang pemimpin adalah pribadi yang harus mampu mendayagunakan kemampuan dan peran serta memaksimalkan kontribusi yang dapat diberikan oleh para bawahannya bagi organisasi. Sehubungan dengan hal ini, upaya untuk memantik serta meningkatkan motivasi (positif) merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Menurut Michael Amstrong, motivasi merupakan “sesuatu yang menjadikan seseorang bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu”. Sedangkan Fred Luthans mendefinisikan motivasi sebagai “suatu proses dalam diri seseorang karena memiliki kebutuhan psikologis dan fisiologis sehingga menggerakkan perilaku atau dorongan untuk mencapai suatu tujuan”.

Motivasi mempunyai tiga unsur pembentuk yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goal). Sedangkan apabila ditinjau dari bentuk dasar maupun asalnya, motivasi terdiri dari dua yakni motivasi hakiki (intrinsic motivation) yang berasal dari dalam diri serta motivasi buatan (extrinsic motivation) yang terpantik oleh faktor-faktor dari luar. Karena bagi para bawahan seorang pemimpin adalah orang lain sekaligus aspek eksternal dari dirinya, maka ia harus mampu membangkitkan motivasi dari luar berupa pemberian insentif, pengenaan hukuman, penciptaan iklim kepemimpinan yang bagus, serta penghargaan terhadap kontribusi yang telah diberikan.

Selain motivasi, ada juga beberapa masalah lain yang tidak kalah urgennya untuk diwujudkan oleh seorang pemimpin dalam organisasinya, yakni kepuasan kerja (job satisfaction) serta disiplin kerja (job discipline). Kepuasan kerja sebagai bentuk tanggapan secara emosional seorang karyawan terhadap aspek-aspek pekerjaannya memiliki daya determinasi terhadap kontribusi peran, prestasi kerja, dan pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal ini, apabila kepuasan kerja tinggi (dengan asumsi bahwa hal-hal lain berjalan secara normal), maka para karyawan akan merasa terdorong untuk memberikan kontribusi peran yang maksimal bagi organisasinya dengan prestasi kerja yang bagus dan kemudian karenanya tujuan organisasi lebih mudah dicapai.

Sedangkan disiplin kerja adalah suatu kondisi yang mampu menciptakan ketertiban dimana seluruh komponen organisasi mematuhi peraturan yang ada di dalamnya. Terwujudnya disiplin kerja juga mampu menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Oleh sebab itulah, maka seorang pemimpin harus mampu menciptakan kondisi agar keduanya terwujud dalam organisasi yang ia bawahi. Kepuasan kerja diciptakan melalui berbagai upaya semisal keadilan dalam pemberian insentif, suasana kerja yang menunjang pencapaian prestasi serta penuh kerukunan, kepastian jenjang karier, atau perilaku bagus yang ditampilkan oleh pemimpin. Beberapa hal itu harus senantiasa diupayakan agar menjadi makin baik. Sementara, disiplin dibangun melalui penegakan peraturan secara jelas, baik, adil, dan bijaksana agar mampu memberikan dampak yang bersifat mendidik. Selain itu, mekanisme preventif untuk memperkecil peluang terjadinya pelanggaran disiplin harus diciptakan sejak awal.

Konflik, Satu Hal Yang Harus Disikapi Secara Bijaksana
Setiap organisasi pastilah terbentuk oleh beberapa orang yang saling berinteraksi di dalamnya guna mencapai tujuan yang ingin dicapai bersama. Perbedaan diantara mereka tentu terjadi, bahkan perbedaan yang sebenarnya terkait dengan pandangan tentang cara mencapai tujuan tersebut dan bagaimana membuat organisasi lebih baik. Sehingga, merupakan satu hal yang wajar bila kemudian benturan, persaingan atau konflik antar pribadi terjadi. Apalagi, apabila dalam suatu organisasi terdapat kehadiran pribadi yang ambisius, arogan, senang menciptakan suasana panas, atau ingin meraih keuntungan dari nasib malang yang dialami oleh orang lain. Dikatakan oleh Wahyu Sumitro bahwa “konflik adalah hubungan antar manusia yang mengandung sifat berlawanan”. Adapun menurut Fred Luthans, “konflik merupakan kondisi pertentangan antara tujuan berdasarkan dan nilai dan sasaran di dalamnya yang berdampak pada timbulnya perilaku yang mengarah pada pertikaian”.

Pada prinsipnya, konflik memang satu hal yang berawal dari perbedaan dan apabila tidak disikapi secara bijaksana akan berujung pada perpecahan dalam organisasi. Tugas seorang pemimpin pada masalah ini adalah mengelola konflik agar ia tidak menjadi satu hal yang berdampak destruktif.
Ada beberapa jenis konflik, yakni
1) konflik tradisional
Ia merupakan bentuk konflik yang paling sering terjadi. Konflik semacam ini pada dasarnya dipantik oleh perbedaan kepentingan antara dua pihak yang terikat oleh hubungan kerja baik secara vertikal (atasan dengan bawahan) maupun horizontal (sesama karyawan). Kedua pihak yang terlibat dalam konflik berusaha mengalahkan atau menghancurkan lawannya. Dengan demikian, konflik ini berbahaya apabila berlanjut.

Untuk menghentikannya, pemimpin dituntut untuk mawas diri guna mengetahui kemungkinan dirinya mempunyai andil kesalahan. Setelah itu, secara intensif dan juga bijaksana ia perlu mencari informasi serta pandangan dari dua sisi guna menemukan titik temu kompromi. Ia harus dapat menyadarkan kedua belah pihak tentang bahaya perpecahan serta pentingnya menjalin persatuan maupun menciptakan kesepakatan. Kedua belah pihak harus dipertemukan dalam kondisi yang bersifat egaliter, tidak mengandung unsur konfrontasi, serta tidak membuat salah satu pihak diantara mereka dipermalukan.

2) konflik perilaku
Perbedaan latar belakang budaya, taraf pendidikan, agama, atau haluan politik memang dapat menimbulkan konflik perilaku. Konflik perilaku mungkin bersifat fungsional dalam arti bahwa ia menciptakan dampak positif bagi organisasi. Dengan keberadaan konflik ini, para anggota organisasi merasa harus bersaing dalam memberikan prestasi yang lebih baik dari pada lainnya. Terkait dengan hal ini, pemimpin harus memberikan stimulus agar ia terjadi melalui pembangkitan motivasi positif, penciptaan mekanisme dialog dan curah pikir, pemberian penghargaan atas prestasi, serta pemberian kesempatan untuk mengaktualisasikan diri.

Tetapi, di lain sisi konflik mungkin pula bersifat disfungsional, yakni menimbulkan dampak merugikan bagi organisasi. Dalam suatu organisasi, barangkali ada satu atau beberapa orang yang mempunyai tampilan perilaku yang tidak disukai oleh para anggota organisasi lainnya karena perbedaan latar belakang budaya yang menjadikan ia dipandang atos, sengak, arogan atau tidak menyenangkan walaupun pada dasarnya barangkali ia adalah pribadi yang baik.

Bila hal ini terjadi, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengelola perbedaan yang memicu konflik perilaku menjadi satu kondisi yang lebih netral dengan mewadahi terjadinya mekanisme dialogis secara lebih intensif. Disini, dialog diartikan sebagai suasana dimana para komponen organisasi menjadi lebih sering berinteraksi agar secara gradual mereka bisa memahami perbedaan diantara mereka.

3) konflik interaksi
Interaksi personal antara anggota organisasi memungkinkan terjadinya friksi karena ada beberapa diantara mereka yang merasa lebih dari pada lainnya sehingga berani bersikap sombong dan merendahkan pihak lain. Terhadap hal ini, seorang pemimpin harus bisa menyadarkan mereka tentang hakikat diri sebagai manusia yang penuh kekurangan serta penting untuk menjalin hubungan baik dengan sesamanya.

4) konflik dengan organisasi karyawan
Organisasi karyawan adalah lembaga yang diposisikan sebagai penyuara aspirasi serta alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Upaya yang ditempuh itu menjadikan para karyawan yang diwakili oleh organisasi dan lembaga yang diwakili oleh pemimpin berada dalam posisi berlawanan. Perbedaan pandangan terkait dengan kebijaksanaan penggajian, jenjang karier, perlakuan yang diterima oleh karyawan, atau mekanisme penghargaan adalah hal-hal yang memungkinkan tersulutnya konflik. Konflik seperti ini bisa melibatkan pihak luar semisal lembaga bantuan hukum, dan departemen tenaga kerja, lembaga legislatif.

Terhadap konflik dengan organisasi karyawan, seorang pemimpin harus berupaya agar ia dapat menyelesaikannya secara internal secara bilateral. Kalau belum mampu mencapai titik kompromi yang diterima oleh kedua belah pihak, pihak departemen tenaga kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku harus dilibatkan guna mencari titik temu yang memiliki landasan pijak lebih kuat. Seandainya mekanisme penyelesaian trilateral ini juga belum mampu menemukan kesepakatan, maka proses pengadilan harus ditempuh walaupun melalui proses ini pastilah ada salah satu pihak yang menang serta kalah. Kedua belah pihak dituntut untuk bersedia menerima segala konsekuensinya.
Dalam suatu organisasi, ada dua sumber utama pemantik konflik. Keduanya adalah
1) kegagalan komunikasi
Apabila ukuran organisasi semakin besar, probabilitas terpicunya konflik akibat kegagalan komunikasi semakin besar. Besarnya ukuran organisasi menjadikan para personalnya sulit untuk mengenal kepribadian satu dengan lainnya secara mendalam. Kondisi itu menjadikan iklim kooperatif antar personal dalam organisasi sulit dijalin secara erat dan potensi konflik karena kuatnya ego sektoral lebih besar.

Pada lingkungan organisasi yang memiliki karakteristik seperti ini, pemimpin beserta jajarannya harus melakukan upaya secara berkelanjutan guna menjadikan pemimpin unit usaha, kepala divisi, kepala bagian, atau kepala seksi sering bertemu dalam even-even tertentu baik bersifat formal-langsung dan terlebih lagi informal-tidak langsung guna menyelaraskan pandangan tentang organisasi serta membangun jalur komunikasi. Selanjutnya, setiap pemimpin atau kepala tersebut mensosialisasikan nilai-nilai tersebut kepada para bawahannya. Selain itu, seluruh anggota organisasi juga harus diberikan kesempatan untuk saling mengenal dalam even-even yang mendukung kebersamaan, terutama even yang mengandung suasana guyub.

2) kurang tepatnya peran struktur organisasi
Struktur organisasi yang tidak tepat atau organisasi yang tidak berhasil dalam menjalankan fungsi normatifnya memiliki andil atas terpicunya konflik dalam organisasi. Terdapat tujuh variabel struktural dalam organisasi yang memberikan kontribusi, yakni
a) birokrasi yang berlebihan
Birokrasi sebagai bentuk mekanisme yang berusaha menciptakan tatanan sistematis dan teratur dalam organisasi memang jelas dibutuhkan. Tetapi, apabila ia diberlakukan secara berlebihan sehingga unit kerja, divisi, atau bagian dalam organisasi terpisahkan secara kaku dan terkurung dalam kotak sempit ego sektoral, konflik tentu saja mudah terpantik di dalamnya.

b) heterogenitas karakteristik pimpinan yang tidak kondusif
Heterogenitas adalah kondisi yang tidak bisa diingkari. Sebenarnya, ia memberikan kemajemukan warna dalam organisasi. Karena keberadaan komponen yang beragam beserta potensi kelebihan yang dibawa, suatu organisasi bisa berkembang. Tetapi, apabila heterogenitas yang terjadi dalam jajaran pimpinan berwujud kontrasnya pandangan dalam menyikapi hal yang sama dan sesungguhnya bisa diselaraskan, konflik yang tidak perlu serta merugikan perkembangan organisasi mudah terjadi. Pada masalah ini, heterogenitas menjadi faktor yang menjadikan organisasi lemah walaupun seharusnya tidak demikian.

c) pengawasan yang terlalu ketat
Sebenarnya, pengawasan adalah proses yang dibutuhkan oleh suatu organisasi sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan fungsi manajemen. Namun, apabila pengawasan dijalankan dengan terlalu ketat serta dirasakan oleh para bawahan sebagai upaya mencari-cari kesalahan mereka, perasaan tidak senang karena merasa dicurigai timbul dalam batin mereka. Sudah pasti, keadaan ini menjadi faktor yang menyulut konflik.

d) konpensasi atau penghargaan yang dinilai diskriminatif
Tidak ada satu orang pun yang rela menerima perlakuan yang dipersepsikan lebih rendah atau lebih buruk dari pada yang diterima oleh orang lain. Karenanya, kompensasi atau penghargaan yang dinilai pilih kasih oleh para bawahan membuat perasaan tidak puas bergejolak dalam benak mereka. Berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, kondisi ini adalah pintu masuk menuju terjadinya konflik diantara anggota organisasi.

e) keterbatasan sumber daya
Sumber daya (terutama dana) yang dimiliki oleh perusahaan senantiasa tidak bisa mencukupi kebutuhan seluruh bagian dalam organisasi. Pembagian yang dinilai relatif adil dan proporsional harus dilakukan. Ketidakmampuan pemimpin beserta jajarannya mengalokasikan sumber daya organisasi secara adil berdasarkan persepsi para bawahan akan membangkitkan perasaan tidak puas. Inilah sumber konflik yang tergolong klasik.

f) kontradiksi antara keputusan pimpinan dengan aspirasi pelaksana
Para pelaksana misalnya pelaksana teknis adalah orang-orang yang merasa lebih memahami persoalan nyata. Mereka meminta agar pemimpin mengerti kemauan mereka atau bersedia mengakomodasikan masukan yang mereka berikan dalam proses penentuan keputusan. Sebaliknya, pemimpin merasa bahwa ia lebih memahami organisasi secara menyeluruh serta dampak yang terjadi apabila suatu keputusan dilakukan, termasuk keputusan yang terkait dengan masukan dari para pelaksana.

Keadaan ini membuat sekat pemahaman antara kedua belah pihak terbangun. Bila sekat pemahaman itu tidak bisa dilewati, potensi konflik terakumulasikan dan cepat atau lambat ia pasti terjadi.

g) sulitnya bawahan mencapai kedudukan lebih tinggi
Bila para bawahan sulit meningkatkan kedudukannya dalam organisasi padahal mereka merasa telah memberikan kontribusi peran, mereka akan mengalami perasaan tertekan karena merasa tidak memperoleh imbal jasa yang memadai. Perasaan tertekan dalam batin mereka menjadikan mereka menampilkan perilaku yang negatif semisal tidak rajin dalam bekerja, memperlambat pekerjaan, menurunkan kinerja, maupun tidak patuh pada peraturan yang diberlakukan. Bagi pemimpin beserta jajaran manajemen, perilaku yang mereka tampilkan itu adalah tantangan serta bentuk pembangkangan. Karenanya, keadaan tersebut memunculkan konflik antara pemimpin dan bawahan .

Stress, Faktor Pengganggu Yang Harus Diwaspadai
Komponen utama pembentuk organisasi adalah manusia yang memiliki perasaan serta mengalami perbenturan dengan realita dalam organisasi yang ada kalanya tidak favourable misalnya konflik dengan atasan atau rekan sejawat, beban kerja yang terlalu berat, persaingan yang tidak sehat, atau jenjang karier yang terhambat. Perbenturan dengan realita yang tidak dikehendaki ditambah lagi harapan yang tidak dapat terpenuhi menjadikan anggota organisasi merasa tertekan. Masalah ini adalah problematika yang umum terjadi dalam organisasi.

Perasaan tertekan ini dinamakan stress. Dikatakan oleh Richard Chaplin, bahwa stress adalah “suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun kejiwaan”. Sedangkan Anwar Prabu Mangkunegara mendefinisikan stress sebagai “perasaan yang menekan atau rasa tertekan yang dihadapi oleh para karyawan dalam menghadapi pekerjaannya”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stress memiliki keterkaitan dengan kondisi di luar dirinya. Disamping itu, secara tidak langsung stress terkait dengan bagaimana seseorang memandang suatu keadaan. Ketika ia memandang suatu keadaan secara negatif, stress sudah barang tentu ia alami. Sebaliknya, bila ia memandang suatu keadaan secara positif, stress dapat ia tangkal. Pada kenyataannya, setiap orang memiliki kemampuan berbeda dalam memandang suatu keadaan.

Stress sebagai wujud perasaan tertekan sering kali menimbulkan dampak pada kesehatan fisik. Memang, efek psiko-somatis sering dialami oleh manusia. Beberapa penyakit semisal maag, jantung, sakit kepala, sulit tidur, asma, bahkan disfungsi seksual bisa dipicu oleh stress dalam batin seseorang. Bila demikian keadaannya, seorang karyawan tidak bisa memberikan kontribusi peran optimal bagi organisasi. Organisasi juga harus menanggung kerugian atau biaya baik berupa biaya nyata untuk mengobati penyakit serta biaya oportunitas karena adanya peluang yang hilang saat seorang karyawan mengalami sakit akibat deraan stress.

Terhadap masalah stress ini, pemimpin harus melakukan tindakan antisipatif misalnya dengan merekrut para karyawan yang memiliki ketegaran mental terhadap tekanan melalui serangkaian proses seleksi yang tepat. Dalam kenyataannya, terdapat bentuk pekerjaan yang memiliki tingkat tekanan tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang berorientasi terhadap target seperti halnya wira niaga produk barang maupun jasa, jurnalis, arsitek, atau konsultan jasa konstruksi merupakan contohnya. Beberapa jenis pekerjaan itu haruslah ditangani oleh personal yang tepat, yakni selain memiliki kecakapan atas pekerjaan itu sendiri juga memiliki daya tahan terhadap stress.

Pemimpin juga perlu menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga mekanisme penghargaan dipandang adil. Untuk itu, pengawasan terhadap pekerjaan serta penilaian atas kinerja para bawahan harus dilaksanakan dengan parameter yang jelas, jujur, dan obyektif. Pada waktu tertentu, organisasi sangat perlu untuk memberikan kesempatan kepada para anggotanya untuk bersantai, berolahraga, atau mengaktualisasikan kemampuan dirinya yang lain semisal kemampuan artistik. Revitalisasi semangat kerja melalui pelatihan out-ward bound juga bisa dipertimbangkan sebagai media pengurang stress selain sebagai sarana memperkuat solidaritas antar anggota organisasi.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar