Kamis, 25 Juni 2009

Soal IPDN/STPDN


By: Philips Vermonte
http://pjvermonte.wordpress.com/2007/04/15/soal-ipdnstpdn/
Ramai sekali pembicaraan soal IPDN/STPDN setelah tewasnya Cliff Muntu, seorang siswa di sana, di tangan para seniornya. Kematian Cliff Muntu malah membuka kasus lama, ternyata penganiaya dalam kasus sebelumnya tidak pernah di eksekusi secara hukum alias belum menjalani masa tahanan.

Kasus IPDN/STPDN ini hanya kembali memperlihatkan carut marutnya birokrasi, penegakan hukum, dan dunia pendidikan kita. Di samping itu, budaya kekerasan masih berakar dan ditoleransi. Kalau lagi iseng, silahkan tengok saja friendster page yang dimiliki mahasiswa IPDN/STPDN. Di friendster page-nya, para praja IPDN/STPDN membela diri bahwa tindak kekerasan hanya dilakukan ’segelintir’ orang alias oknum. Memang khas orang kita, ‘oknum’ adalah pelarian terbaik untuk menutupi kelemahan. Kalau kejadian berulang, korbannya pun maksimal (alias kematian), tentu bukan oknum lagi penyebabnya.

Apalagi melihat cuplikan rekaman yang disiarkan Metro TV (saya lihat di youtube), acara ‘pembinaan’ dengan kekerasan dalam rekaman itu dilakukan tengah hari, terang benderang, di lapangan terbuka di dalam kampus. Artinya, kegiatan itu diketahui, dilihat semua orang, dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa di sana. Ulah para senior di IPDN/STPDN ini sebetulnya adalah cerminan budaya menindas yang ada dalam diri banyak orang kita juga. Sangat umum diantara kita ketika memiliki ‘kekuasaan’ sedikit saja, maka potensi menindas kepada mereka yang lebih lemah posisinya dari kita akan meningkat.

Bukan cuma di IPDN/STPDN, di kampus perguruan tinggi negeri juga begitu. Senior merasa berkuasa di banding junior, banyak dosen ‘menindas/mempersulit’ mahasiswa, petugas imigrasi yang meminta uang pada aplikan pembuat paspor, polisi lalu lintas menilang supir metromini, angkot atau ojek kadang tanpa alasan jelas. Rumus tentang kekuasaan sederhana, setiap mahasiswa ilmu politik tahu persis. Adagium dari Lord Acton bilang: power tends to corrupt. Dari jaman dulu hingga sekarang, kekuasaan sangat mungkin disalahgunakan.

Wajah kekerasan ada dimana-mana, watak militeristik juga terpelihara. Hampir semua ormas punya sayap ‘kekerasan’ dengan pemuda sebagai tulang punggungnya. Bahkan, dua organisasi Muslim terbesar di tanah air, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, punya Kokam dan Banser. Lalu, cerita tentang organisasi Pemuda Pancasila bukan lagi rahasia. Partai-partai politik juga punya sayap ‘kekerasan’, seperti PDI-P dan lain-lain. Baik berafiliasi formal dan non-formal.

Saya sendiri pernah diundang menjadi pembicara seminar yang diselenggarakan oleh siswa IPDN/STPDN di kampusnya di Jatinangor. Lupa, kalau tidak salah tahun 2003 atau 2004. Yang jelas acara itu diselenggarakan tidak lama setelah kasus tewasnya praja STPDN bernama Wahyu Hidayat. Topik seminarnya soal hubungan sipil militer. Sebagai panelis, waktu itu saya dipasangkan dengan Wakil Komandan Sesko TNI Angkatan Darat (Seskoad), yang saya lupa namanya. Penyelenggara acara ini, ya mahasiswa IPDN/STPDN. Bukan pihak rektoratnya.
Saya senang hari itu datang ke sana. Saya ingin tahu juga, bagaimana kehidupan di dalamnya. Seminarnya sih masih bergaya mobilisasi, semua praja wajib hadir di aula besar IPDN/STPDN. Jadi mungkin hari itu saya bicara di depan lebih dari 1000 siswa, rasanya seperti sedang kampanye partai politik..he..he.

Sepanjang interaksi saya hari itu, saya merasa bahwa mereka adalah praja/mahasiswa yang pandai. Dari cara mereka mengemukakan pertanyaan dan menanggapi kami sebagai pembicara, saya bisa meraba bahwa mereka serius belajar dan banyak membaca. Juga kritis pada TNI. Walhasil, saya tidak perlu kerja keras meyakinkan para siswa IPDN/STPDN yang notabene adalah calon birokrat sipil ini bahwa TNI itu harus dikontrol oleh pihak sipil sebagai prasyarat demokrasi yang sehat. Saya ingat moderator hari itu adalah seorang dosen muda perempuan mereka. Dari caranya menjadi moderator, mengulas dan ikut serta dalam diskusi, saya yakin dia adalah dosen yang luas bacaannya.

Hingga beberapa waktu lalu, saya masih sering menerima email dari para siswa IPDN/STPDN ini. Mereka sering bertanya banyak hal, mulai kajian sosial politik hingga berkonsultasi tentang bagaimana caranya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Saya baru sadar, bahwa email-email itu sudah berhenti, mungkin mereka-mereka itu sudah lulus sekarang dan ditempatkan di daerah masing-masing.

Sederhananya, saya mau bilang bahwa pendidikan di IPDN/STPDN saya rasa diperlukan. Yang harus dilakukan adalah menghilangkan elemen kekerasan. Memang kalau dibayangkan, negara seluas Indonesia membutuhkan aparat birokrasi yang cakap dan memang dididik untuk itu. Yang perlu dilakukan adalah menanamkan doktrin baru, bahwa mereka adalah birokrat pelayan masyarakat, bukan pemimpin.

Birokrasi kita menakutkan, karena malah mempersulit, bukan melayani. Malah, masyakarat yang lebih sering terpaksa melayani para birokrat ini. Ada tiga tempat yang saya suka keringat dingin kalau harus datang. Pertama, kantor semacam kelurahan atau kecamatan untuk bikin kartu keluarga, KTP atau semacamnya. Kedua, tempat bikin SIM. Ketiga, kantor imigrasi. Menyebalkan. Setiap ke tempat-tempat itu, belum sampai ke sana pun yang ada dibenak saya adalah bahwa saya akan dikerjai dan dipersulit. Kalau IPDN/STPDN terutama diarahkan pada pendidikan birokrat yang kompeten dan bermental melayani, tentu baik sekali.

Sepengamatan saya, ada yang salah dalam mentalitas para siswa dan lulusan IPDN/STPDN. Mereka merasa sebagai orang-orang terpilih dan calon pemimpin. Kalau terpilih, ya memang iyalah. Kan memang diseleksi, sama seperti mahasiswa di kampus negeri yang harus melalui UMPTN. Tetapi, kalau calon pemimpin, ya jelas bukan. Yang betul, mereka adalah calon birokrat, pelayan masyarakat. Saya rasa perasaan sebagai calon pemimpin ini adalah sisa jiwa Orde Baru, dimana birokrasi dulu adalah mesin politik kekuasaan. Maka tidak heran bila birokrat dianggap sebagai pemimpin.

Mungkin harus kita pahami, bahwa dalam konteks demokrasi pemimpin harus mendapat legitimasi lewat pemilihan (umum). Sementara mereka dari IPDN/STPDN ini disuplai, dijamin pekerjaannya setelah lulus di birokrasi hingga struktur pemerintahan di bawah. Salah besar kalau lalu mereka menganggap dan dianggap sebagai pemimpin, wong untuk mendapat jabatannya itu mereka tidak melalui pemilihan untuk meyakinkan apakah masyarakat menghendaki mereka jadi pemimpinnya kok.

Konon kabarnya, siswa IPDN/STPDN terutama dipersiapkan menjadi camat. Camat di Indonesia adalah sayap birokrasi, tidak melalui mekanisme pemilihan umum. Dibanding Camat, para kepala desa justru lebih pantas dianggap pemimpin, karena sebagian besar mereka sekarang dipilih langsung oleh masyarakat desa.

Jadi, hancurkan doktrin yang ditanamkan pada siswa IPDN/STPDN soal pemimpin ini. Juga hancurkan doktrin soal eksklusifitas. Eksklusifisme dimana-mana akan mengorbankan transparansi, dan membuat orang merasa lebih baik daripada yang di luar lingkaran mereka. Baju seragam, potongan cepak, sepatu hitam mengkilat hapuskan saja, dari sini juga mungkin rasa eksklusifisme dipelihara (walaupun ini juga susah, pasti ada kepentingan bisnis dari penyedia segala atribut baju seragam, sepatu, tas dan semacamnya untuk ribuan siswa IPDN/STPDN setiap tahunnya..he..he). Kalau masih mau pakai seragam, yah kasih celana kain hitam dan kemeja putih saja yang lebih netral. Atau pakai seragam merah putih sekalian?

Karena merasa eksklusif, ada potensi siswa IPDN/STPD terlalu tinggi menilai diri mereka sendiri (yang membuncah dalam diri senior-senior brutal itu). Merasa bahwa mereka adalah ‘trah’ terbaik, siap jadi pemimpin. Pinjem kata-kata si Tukul lagi: gundul mu!…he..he. Kalau perlu bubarkan juga mekanisme asrama itu. Calon birokrat ya sebaiknya tinggal berbaur saja dengan masyarakat di sekitar. Beasiswa mereka toh bisa jalan terus. Sekalian, buka juga pendaftaran bagi pihak umum yang ingin belajar di IPDN/STPDN. Kajian soal pemerintahan, otonomi daerah, dan pemerintahan daerah adalah kajian umum. Program otonomi daerah yang berjalan di Indonesia adalah salah satu yang paling masif di seluruh dunia. Karena itu, lulusan perguruan tinggi yang paham soal pemerintahan daerah dan otonomi juga diperlukan oleh pihak swasta. Juga oleh pihak luar negeri yang akan berhubungan dengan pemerintah daerah.

Dengan demikian, kajian IPDN/STPDN akan lebih kaya dan bisa ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas untuk memajukan daerah, bukan hanya untuk birokrasinya. Jadi saya bersetuju bahwa IPDN/STPDN layaknya diatur oleh Depdiknas, bukan oleh Depdagri. Walaupun, untuk calon siswa IPDN/STPDN yang masuk melalui jalur seleksi Pemda, tetap bisa diberi ikatan dinas dengan Depdagri dan dipersiapkan memasuki birokrasi.

Dari tanggapan atas permasalahan yang lagi-lagi terjadi di dalam lingkup lembaga pendidikan bernama Institut Pemerontahan Dalam Negeri tersebut yang dikemukakan oleh Phillips Vermonte di atas, perkenankanlah saya memberikan tanggapan dan semoga tanggapan yang saya sampaikan ini mampu memberikan semacam ulasan penajam.


Bersihkanlah Rumah Pendidikan Ini Dan Janganlah Ada Upaya Menghalangi!
Dalam hal ini, ada tugas besar yang harus dilakukan. Tugas besar dan sudah pasti amat berat itu adalah meyakinkan kepada seluruh praja IPDN bahwa sesungguhnya ada keadaan yang salah dan menyimpang dari norma beradab yang terjadi di kampus mereka. Selama mereka belum dapat diyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dan menyimpang, permasalahan yang sama atau setidaknya memiliki bobot buruk yang sama pastilah terjadi lagi dengan beragam modifikasinya.

Para praja harus diyakinkan bahwa perilaku menyimpang semisal menganiaya para mahasiswa di bawah angkatannya dengan alasan pembinaan, penguatan mental, dan penciptaan ketahanan fisik, serta upaya menjalin keakraban adalah perbuatan yang jelas-jelas salah serta bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal. Anda tahu, kurang sakti apa United States Marine Corps yang termasyhur hingga ke seluruh dunia itu? Namun, para pelatih sama sekali tidak dibenarkan menurunkan tangannya untuk memukul para kadet manakala proses penggemblengan tengah dilaksanakan. Mohon dicatat, hal ini berlaku pada lingkungan militer yang sebenar-benarnya. Padahal, IPDN jelas-jelas bukan merupakan entitas kemiliteran.

Begitu pula kepada praja putri. Mereka harus dapat diyakinkan bahwa perilaku seks di luar pernikahan yang dilakukan oleh teman-teman mereka adalah perbuatan yang salah dan sebenarnya tidak boleh sama sekali dilaksanakan oleh putra-putra rakyat yang selama ini dibiayai oleh negara untuk menjadi calon abdi masyarakat sekaligus suri tauladan. Para praja putri jangan merasa dicemarkan nama baiknya apabila tersiar kabar bahwa perilaku seksual di luar pernikahan dilakukan oleh teman-teman mereka karena berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Bapak Inu Kencana Syafe’i, hal buruk itu telah sesungguhnya terjadi. Sementara, Bapak Inu Kencana Syafe’i sendiri telah pernah menangkap basah sepasang praja yang berbuat mesum. Belum lagi berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh AnTeve pada mata acara telisik. Pada saat acara itu ditayangkan, ternyata perilaku buruk itu memang dilakukan oleh oknum praja. Bahkan, dari penyamaran yang dilakukan oleh reporter AnTeve yang mewawancarai salah satu tukang pijat dan penjual jamu, diketahui bahwa konsumen jamu peluntur kandungan serta jasa pijat untuk menggugurkan kandungan ada yang berasal dari lingkungan kampus ini.

Seharusnya, praja yang berperilaku seperti inilah yang harus dibersihkan. Bukan justru memperkuat mekanisme pembelaan diri sehingga permasalahan buruk itu tetap terjadi dan tidak pernah terselesaikan. Jika pada tulisan di atas Phillips Vermonte memuji mereka karena mereka dinilai sebagai para mahasiswa yang pandai, kritis, dan luas bacaannya, maka apakah di luar lembaga pendidikan itu tidak banyak yang mampu tampil seperti mereka bahkan melebihi mereka. Padahal, para mahasiswa di luar lembaga pendidikan itu tidak diberi uang saku, tidak diberi seragam, dan tidak pula dijamin masa depannya dengan penempatan kerja serta ikatan dinas. Sepertinya, saya yang tidak cerdas ini juga bisa seperti mereka. Bahkan, saya bisa menambah kelebihan dengan tidak berlaku sok jagoan.

Bagaimana dengan mental para dosennya? Mohon percayai penuturan Bapak Inu Kencana Syafe’i. Para dosen IPDN pada dasarnya adalah pegawai negeri sipil yang memiliki hak memperoleh gaji dalam jumlah yang berlaku untuk para pegawai negeri sipil lainnya. Bagaimana dengan rumah seharga ratusan juta Rupiah yang dimiliki oleh mereka? Dari mana kemampuan untuk membeli rumah itu diperoleh? Hal itu sangat layak untuk diselidiki.Kejujuran dan kebersihan perilaku amat penting dimiliki oleh para pendidik. Mereka adalah pihak yang harus memperbaiki kualitas sumber daya manusia, tak terkecuali budi pekertinya. Sudah barang tentu, sebelum memperbaiki diri orang lain, diri mereka harus telah bersih, setidaknya untuk urusan yang terkait dengan aspek moral mendasar.

Saya berharap bahwa penyelidikan terkait dengan meninggalnya paraja Cliff Munthu secara tidak wajar haruslah merupakan titik awal upaya membongkar perilaku lancung yang terjadi pada kampus ini. Tidak pada tempatnya lagi para civitas academica menutupinya dengan alasan nama baik, reputasi, dan ketenangan kampus. Kalau kondisi menyimpang ini telah berlangsung dengan sangat parah, tidak ada ruginya pemerintah melakukan pemotongan satu atau dua generasi staff pengajar agar perbaikan bisa dilakukan. Sepanjang staff pengajar jahat masih ada di sini, keberadaan mereka ibarat akar kanker yang belum seluruhnya dimatikan. Pada saat mereka memperoleh kesempatan, perbuatan tercela itu pastilah akan diulang kembali.

Pemerintah tidak usah cemas jika hal ini hendak dilaksanakan. Masih ada banyak staff pengajar bermoral dan berwawasan bagus dari tempat lain yang menguasai ilmu hukum, administrasi, pemerintahan, manajemen, otonomi dan keuangan daerah, ilmu politik dan cabang ilmu lainnya. Menegakkan norma luhur dalam suatu institusi pendidikan jauh lebih berarti dari pada sekedar perhitungan atas jumlah uang yang dikeluarkan untuk penggantian para staff pengajar tercela itu.
Kajian Multidispliner

By: Philips Vermonte
http://pjvermonte.wordpress.com/2006/06/21/kajian-multidispliner/

Saya tidak sengaja menemukan kutipan menarik dari Karl Popper: “ We are not students of some subject matter, but students of problems. And problems may cut right across the borders of any subject matter or discipline”. Karl Popper jelas menunjukan salah satu problem akut dalam dunia akademik mengenai sulitnya mengembangkan kajian multidisipliner.

Sudah lama terjadi pandangan saling merendahkan antara mereka yang bergelut di bidang ilmu eksakta dengan mereka yang berlatar belakang ilmu-ilmu sosial. Jaman kuliah di Bandung dulu, mahasiswa ITB yang merasa lebih hebat selalu membawa mahasiswa barunya keliling kota selama program Ospek. Mereka melewati kampus universitas-universitas lain sambil mengejek mahasiswa universitas lain sebagai “nothing” dibandingkan dengan ITB. Padahal, kemudian lulusan ilmu eksak/teknik atau ilmu sosial, sama-sama banyak yang jadi koruptor tuh….he..he..he. Tidak ada yang lebih hebat.

Di Amerika hal seperti itu terjadi juga. Sebuah komunitas ilmuwan sangat bergengsi di Amerika, National Academy of Sciences (NAS) yang beranggotakan lebih dari 1500 ilmuwan terkemuka di Amerika dari beragam disiplin ilmu, mengalami hal yang sama. Penerimaan anggota baru lembaga sangat bergengsi ini selalu berlangsung ketat. Setiap kandidat akan dievaluasi oleh pakar-pakar sesuai bidangnya masing-masing. Seorang kandidat juga harus mendapat persetujuan dari dua pertiga anggota NAS agar bisa diterima menjadi anggota.

Dulu pernah terjadi perdebatan amat sengit saat NAS sedang memproses keanggotaan Samuel Huntington, professor ilmu politik di Harvard itu. Sekali waktu, Huntington dalam sebuah bukunya pernah menulis begini:
“ The overall correlation between frustration and instability (in 62 countries of the world) was 0.50”. Kutipan itulah yang menjadi basis beberapa anggota NAS untuk menolak penerimaan Huntington ke dalam komunitas ilmuwan itu. Yang paling agresif menolak adalah Serge Lang, seorang professor matematika dari Yale. Dia bahkan menyebarkan selebaran menggalang penolakan bergabungnya Huntington. Lang menyebarkan selebaran itu ke seluruh anggota NAS sebelum sidang tahunan mereka berlangsung. Lang antara lain mengomentari tulisan Huntington tadi seperti ini:
“This is utter nonsense. How does Huntington measure things like social frustration? Does he have a social-frustration meter? I object to the academy’s certifying as science what are merely political opinions”.

Sialnya buat Huntington, melalui perdebatan sengit dalam dua kali pertemuan tahunan NAS di tahun 1986 dan 1987, dia tidak berhasil mendapat dukungan dua pertiga anggota dan gagal menjadi anggota NAS. Padahal salah satu promotor dia untuk menjadi anggota adalah professor Herbert Simon, seorang computer scientist sekaligus psychologist yang pernah menjadi pemenang Nobel.

Jared Diamond, anggota NAS juga, menulis artikel di majalah sains Discover tahun 1987 membahas episode seru Lang versus Huntington itu. Dia bilang ‘soft sciences are often harder than hard sciences”. Jared Diamond adalah ahli biologi, yang juga banyak menulis hal-hal di luar ilmu biologi. Bukunya Guns, Germs and Steel laku keras. Jared Diamond mengingatkan bahwa ilmu eksakta, yang biasa menganggap diri sebagai “hard science”, butuh ilmu sosial (yang sering direndahkan sebagai “soft science”). Demikian juga sebaliknya.

Dalam satu disiplin ilmu sendiri perdebatan semacam ini bisa juga terjadi, terutama menyangkut metodologi. Dalam ilmu politik misalnya, selalu timbul perdebatan sengit antara mereka yang mengutamakan metodologi kuantitatif – yang penuh dengan statistik – dengan mereka yang menggunakan metodologi kualitatif – yang mengkedepankan ‘thick description’. Mereka yang menggunakan metode kuantitatif , seringkali memandang sebelah mata kajian-kajian kualitatif. Kajian kualitatif mereka anggap penuh dengan spurious relations antar variabel alias tidak meyakinkan. Kajian kualitatif juga dianggap tidak bisa di generalisasi, sehingga tidak terlalu berguna.

Teman-teman sesama peneliti di CSIS juga sering saling menggoda. Teman-teman di departemen Ekonomi selalu menantang kami-kami di departemen HI atau departemen Politik untuk menyamai kajian ekonomi. Menurut mereka, kajian ekonomi jauh lebih advanced dari ilmu sosial lain, karena kajian ekonomi bisa di kuantifikasi. Bahkan, ilmu ekonomi bukan lagi bagian dari ilmu sosial katanya…he..he..he. Well, kita tinggal tunjuk krisis ekonomi tahun 1997 saja: kalau ilmu ekonomi kita sedemikian maju, kenapa gagal menghindarkan kita dari krismon 1997 atau kenapa ilmu ekonomi tidak mampu segera menyembuhkan kita dari krisis itu sesudahnya? (pegimane bung Yose, Arya, Puspa, Imung, Pasha, Yudo?…he..he..he). Ilmu ekonomi butuh ilmu sosial lain, juga sebaliknya.

Kembali ke Jared Diamond, there is no such thing as hard sciences or soft sciences. Seperti anjuran Karl Popper, kajian multidisipliner penting untuk dikembangkan. Atau untuk melengkapi Popper, kita perlu triangulasi metodologi kuantitatif dan kualitatif. Mungkin kajian-kajian yang menggabungkan dua metodologi sekaligus akan lebih powerful. Tapi sebagian kita, termasuk saya, memang rada alergi (atau takut?) dengan angka dan statistik. Saya membaca berita terbaru di koran mengenai hasil Ujian Akhir Nasional di sekolah menengah umum (SMU) di Indonesia yang kontroversial itu. Hasilnya bisa ditebak, matematika menjadi momok biang ketidaklulusan. Memang bidang hitung menghitung ini harus di konfrontasi, bukan dihindari, terutama oleh saya yang rada bantet otaknya kalo ketemu statistik.

Fall semester yang akan datang mungkin saya akan mengambil sebuah mata kuliah metodologi kuantitatif, Introductory Analysis to Political Data. Saya baca-baca arsip silabus mata kuliah itu dari tahun-tahun sebelumnya. Saya lega melihat salah satu judul dalam daftar buku yang selalu wajib dibaca untuk mata kuliah itu. Disusun oleh John Kranzler, buku itu berjudul “Statistic for the Terrified”. Cocok sekali buat saya…he..he.


Kajian Multi Disiplin? Itu Adalah Keharusan.....
Mas, saya bernama Muly (36 tahun tapi hingga sekarang durung payu-payu). Saat ini saya menjadi staff edukatif di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saya merasa tertarik pada ngendikan salah satu begawan ekonomi Indonesia yang jelas-jelas tidak dapat diragukan lagi reputasinya, yakni Bapak (almarhum) Prof. Dr. Mubiyarto. Beliau melontarkan pendapatnya melalui artikel bernada tanggapan dalam harian Kompas beberapa tahun lalu ketika obyek baru yang bernama EkonoFisika dengan antusiasnya ditawarkan kepada pasar ilmu Indonesia oleh Johannes Surya, Ph.D.

Menurut beliau, sebenarnya ilmu ekonomi malah harus rujuk kembali dengan ilmu sosial dan humaniora yang lain semisal sosiologi, psikologi, anthropologi sosial dan budaya, politik, dan yang lain. Hal ini perlu dilakukan karena sesungguhnya dari rumpun pohon ilmu-ilmu sosial dan humanioralah ilmu ekonomi berasal. Satu hal lagi yang ditekankan oleh beliau adalah bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu yang bebas nilai (value free). Beberapa belas tahun sebelum Bapak Adam Smith mengarang buku yang dinilai sebagai magnum opus bertajuk “An Inquiry to The Nature and Causes of The Wealth of Nations”, virtuoso ilmu ekonomi dunia itu telah menuliskan buku yang juga amat bagus berjudul “The Theory of Moral Sentiments” yang kaya akan kajian normatif-filosofis.

Pak Muby (seperti halnya pemenang hadiah Nobel ekonomi dari India Amartya Sen dan juga pemenang hadiah Nobel perdamaian asal Bangladesh Muhammad Yunus) pastilah tidak mungkin jika tidak paham ekonometrika dan statistika. Tapi, ketiga orang besar tadi tidak kemudian menjadikan ekonometrika dan statistika sebagai pusaka andalan atau bahkan agama bagi mereka. Mereka tidak lantas menjadi jumawa karena selama bertahun-tahun telah menjadikan statistika dan ekonometrika sebagai alat bantu analisis. Bagaimanapun juga, keduanya hanyalah alat bantu. Alangkah naifnya jika sesuatu yang seharusnya dijadikan alat bantu justru menjelma menjadi gabungan antara tuan yang disembah dengan senjata pusaka yang apabila ketinggalan menjadikan pemiliknya lemas kehilangan kekuatan.

Amartya Sen, Muhammad Yunus dan juga Pak Muby menjadi ekonom besar karena tajamnya perasaan mereka atas nasib rakyat jelata serta sensitivitas sosial. Selain itu, mereka biasa merendahkan hati untuk menerima pelajaran mengenai kearifan yang ditampilkan oleh lingkungan sosialnya. Mohon jangan dilupakan kenyataan bahwa Muhammad Yunus sebelum mempelajari ilmu ekonomi, ia telah banyak belajar tentang kajian budaya, sosiologi serta kearifan tradisional (dan agama Islam yang kuat kemungkinan besarnya). Berdiri kokohnya Grameen Bank sebagai penopang kokohnya ekonomi rakyat kecil Bangladesh diawali oleh perasaan bersalahnya melihat nasib rakyat kecil Bangladesh yang amat pahit. Ia merasa bersalah karena ia yang telah dihidupi oleh tanah dan air Bangladesh dan meraih ilmu sedemikian tingginya, tetapi ternyata ia belum dapat membalas budi baik tanah kelahiran dan bangsanya.

Terus terang saja, perasaan bersalah karena telah dihidupi oleh tanah air dan keinginan untuk membalas budi baik ini tidak diajarkan oleh ilmu yang bersifat positivistik (pandangan ini diakui atau tidak acap kali diyakini oleh para penganut aliran kuantitativisme). Ilmu ekonomi yang ditonjolkan oleh penganut kuantitativisme hanya berpikir tentang bagaimana mengoptimalkan perolehan keuntungan dari segala kondisi (termasuk kondisi yang sebenarnya menyedihkan sesama) dan efisiensi. Optimalisasi, Pareto Optimalitas, keuntungan maksimal, dan lainnya adalah ajaran yang dijejalkan kepada para economic scholar. Seandainya suatu tindakan baik perlu dilakukan (termasuk pula corporate social responsibility), hal ini dilaksanakan sebagai umpan untuk memperoleh keuntungan logis-material yang lebih besar. Tanpa memperluas wawasan dan menimba kearifan, seorang doktor atau profesor hanyalah pribadi yang telah mengarang sekian judul buku, menamatkan pendidikan pada strata tertentu, menulis sekian judul artikel dalam jurnal ilmiah, dan pengumpul sekian ratus poin penilaian dari karya ilmiah.

Saya yakin Anda kenal dengan Pak Pantur Silaban (ma’af saya lupa, beliau ini guru besar dalam bidang, fisika teoritis, astronomi atau kosmologi ITB?)? Beliau menyatakan bahwa pada jaman sekarang, seorang bergelar doktor mekanika kuantum jaman sekarang gampang sekali keluar omongan bernada sengak dan arogannya dan acap kali ia membanggakan ilmunya. Menurut beliau, pribadi semacam ini sebenarnya adalah pribadi yang mogol atau tanggung. Siapapun orangnya serta dari latar belakang apapun ilmu yang dikuasainya (termasuk yang besar kandungan kuantitatifnya) haruslah tetap rendah hati dan bersedia belajar kearifan hidup. Saya juga masih ingat perkataan Pak Hidayat Nata Atmaja bahwa “kebenaran ilmu fisika ternyata kerap kali justru ditemukan di luar bidang ilmu fisika itu sendiri!”

Masih ingat peristiwa dua tahun lalu ketika para ekonomi dari Universitas Indonesia dan bergabung dalam Freedom Institute memberikan justifikasi bagi kebijaksanaan pemerintah menaikkan bahga bahan bakar minyak? Pada saat itu mereka memaparkan argumen yang menurut mereka logis dan telah didukung oleh metode Computable Equilibrium Model yang menghasilkan kesimpulan bahwa kebijaksanaan tersebut memiliki manfaat lebih besar dari pada biaya harus dibayarkan. Jumlah subsidi harga bahan bakar minyak yang dihemat pastilah bisa digunakan untuk kkeperluan lain semisal membantu biaya pendidikan, menunjang pemeliharaan kesehatan, serta memberikan kompensasi finansial bagi anggota masyarakat yang dirugikan oleh dampaknya.

Tetapi, menurut saya jumlah dana yang tersedia dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak itu pastilah tidak bisa cukup dialokasikan bagi seluruh anggota masyarakat yang dirugikan oleh dampak kebijaksaan ini. Tanpa dilakukan penelitian pun dan melalui common sense saja keadaan yang berlaku memang demikian. Ternyata, setelah subsidi bahan bakar minyak dikurangi dan digantikan oleh bantuan langsung tunai, biaya sosial yang ditanggung justru lebih besar dari pada manfaatnya. Perpecahan diantara anggota masyarakat yang menerima dan tidak kebagian terjadi dengan tajam. Ada banyak diantara kartu tanda bukti warga miskin yang jatuh ke tangan yang tidak berhak. Sedangkan dampak jangka panjang yang sudah mulai terasa adalah bahwa anggota masyarakat mulai dihinggapi perilaku menggantungkan pada bantuan padahal mereka adalah orang miskin yang harus lebih keras dalam berusaha.

Terhadap kenyataan ini, para pakar ekonomi ini akan dengan mudahnya berkelit. Mudahnya mereka berkilah itu terjadi karena analisis ekonomi yang bersifat positivistik-kuantitatif ini senantiasa dilindungi oleh tameng kokoh bernama asumsi. Dalam ilmu ekonomi mikro, asumsi yang digunakan untuk menyederhanakan pemahaman dan permasalahan adalah ceteris paribus. Suatu postulat yang mengandaikan bahwa jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat, selera publik, serta harga produk lain adalah tidak berubah. Pada masalah ini, mereka akan menyatakan bahwa analisis mereka itu didasari oleh asumsi bahwa data tentang jumlah dan komposisi penduduk miskin tepat, para petugas yang diserahi kewajiban melakukan pendataan telah bekerja dengan sebenar-benarnya, tidak terdapat kendala dalam pengumpulan data serta para warga miskin tidak mempermasalahkan kelambatan atau kekurangadilan pembagian dana. Jika kondisi buruk semisal pertikaian horizontal antara sesama warga maupun ketegangan vertikal antara masyarakat dengan aparat negara terjadi, maka salahkan saja asumsi yang tidak terpenuhi tadi. Mudah dan efissien, bukan? Bagaimana, ya? Tambah mumet saya.

Senin, 22 Juni 2009

Para Praja, Biarkanlah Kebenaran Itu Terungkap!
Artikel ini merupakan tanggapan saya atas ramainya berita tentang kasus tindak kekerasan dan diikuti dengan kabar tentang maraknya kasus asusila yang terjadi di lembaga pendidikan kedinasan bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri dua tahun lalu. Tetapi, kasus yang sama bukan tak mungkin terjadi lagi di lembaga itu karena ada banyak diantara oknum civitas academicanya yang tidak kapok juga.
Pada saat kasus ini mengemuka dan Pak Inu Kencana Syafi’i mengungkapkannya kembali, justru para praja wanita ada yang merasa tersudut dan melaporkannya ke pihak kepolisian. Berikut ini salah satu respons dari seorang netter dan tanggapan saya.

Para Praja Laporkan Ini Kencana Ke Polisi…
Inu kencana dosen IPDN menerbitkan buku tulisannya yang berjudul IPDN UnderCover. Pro dan kontra pun muncul, beberapa kalangan praja dan dosen IPDN menganggap buku ini tidak sesuai dengan apa yang terjadi dan pembalikan dari suatu fakta. tetapi sebagian lagi menyambut baik terbitnya buku ini. karena inilah saatnya titik balik perubahan IPDN menjadi Institusi pendidikan pemerintahan yang profesional .

Buku yang berisikan kesaksian Inu kencana sebagai dosen IPDN ini menuai protes keras dari kalangan praja wanita, karena seakan-akan meyududkan praja wanita, Inu dalam tulisannya mengatakan hampir 90% praja wanita melakukan hubungan sex’s bebas. bisa dibuktikan dengan banyaknya alat pengaman yang berserakan di Kos mereka. Sungguh pernyataan yang mengejutkan. dan sekaligus sebuah pertanyaan besar. Dari mana seorang Inu kencana mengetahui banyak Alat pengaman yang berserakan di Kost wanita? Apakah Inu pernah membuktikan sendiri dengan melihat atau apakah dengan mendengar kesaksian dari praja lain.

Suatu pembongkaran kebusukan yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Inu di laporkan oleh praja wanita dan dosen ke kantor Polisi. Seperti yang pernah saya bahas bahwa “free sex’s di IPDN harus di buktikan“, cara membuktikannya saya rasa sudah cukup jelas .Selamat Pak Inu atas penerbitan Bukunya, semoga buku yang bapak terbitkan merupakan catatan sejarah yang benar dari perjalanan IPDN..

Para Praja, Biarkanlah Kebenaran Itu Terungkap!

Ma’af pada para praja yang merasa tersinggung dan tersakiti oleh penuturan Pak Inu Kencana Syafe’i dalam berbagai media massa serta bukunya yang terbaru bertajuk IPDN under Cover! Anda merasa tersinggung itu karena apa?Apakah Anda merasa tersinggung karena Anda merasa tidak melakukan perbuatan yang diungkapkan oleh Pak Inu? Kalau itu jawabannya, bukankah beliau pada intinya memang tidak menyatakan bahwa seluruh praja berbuat tercela? Tapi, Anda harus tahu dan tidak boleh menafikan kenyataan bahwa perbuatan tercela berupa kekerasan oleh para praja, perilaku seks di luar nikah, bahkan praktek penyalahgunaan wewenang memang terjadi. Bahkan untuk perilaku seks bebas, masalah ini pernah diliput oleh stasiun televisi AnTeve (kalau tidak salah dalam acara Fakta) melalui hidden camera.

Untuk membuktikan sinyalemen itu, salah satu reporter mengadakan wawancara dengan salah satu dukun pijat yang juga kadang melakukan praktek aborsi atas permintaan dan ia menyakan bahwa konsumen jasanya ada yang berasal dari kampus ini. Kemudian, melalui hidden camera juga terlihat beberapa praja memasuki kamar kost lawan jenis. jangan Anda nafikan hal itu! Tetapi, barangkali bukan Anda yang melakukannya dan itu saya percaya! Beberapa (dan ironisnya agak banyak) teman Anda yang bejatlah pelakunya. Namun, jangan katakan bahwa hal itu hanyalah isapan jempol belaka! Terkait dengan praktek seks bebas, Pak Inu sendiri ternyata pernah menangkap tangan sepasang praja yang berbuat mesum. Itu bukan bukti?

Anda juga jangan berargumen secara banal bahwa jika tidak ada lembaga IPDN kemudian dari manakah negara ini memperoleh kader penggerak roda pemerintahan? Mungkin Anda tengah lupa bahwa ada banyak kampus yang memiliki fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan program studi Ilmu Pemerintahan. Selain para praja institusi Anda, mereka juga dapat direkrut menjadi pegawai pemerintahan dengan dibekali beberapa kemampuan birokrasi serta ilmu pemerintahan terapan yang juga pernah Anda terima. Seiring dengan berjalannya waktu, proses adaptasi pastilah mereka alami. Anda pernah tahu bukan, bahwa ada beberapa alumnus perguruan tinggi berlatar ilmu filsafat yang ternyata mampu bekerja pada instansi perbankan tentunya setelah diberi beberapa pelatihan? Anda berani menyatakan bahwa alumnus fakultas ekonomi, hukum, dan ilmu sosial lain tidak mampu menangani pekerjaan terkait dengan birokrasi pemerintahan? Kalau Anda katakan “ya”, alangkah gegabahnya.

Barangkali, Anda katakan bahwa praja yang celaka atau tewas jumlahnya hanya 35 orang sedangkan para praja yang lulus dan bekerja untuk kemudian menyumbangkan ilmunya pada negara berjumlah ribuan. Ingatkah bahwa 1, 3, 3, atau berapa pun nyawa adalah ciptaan Tuhan yang amat berharga. Bahkan jika Anda muslim, tentunya Anda ingat bahwa satu jiwa yang tercabut tanpa alasan yang syah adalah sama dengan tercabutnya seluruh jiwa yang ada di bumi? Itulah yang harus Anda ingat.

Mengenai praktek korupsi yang terjadi? Saya yakin bahwa praktek korupsi memang pernah ada di institusi Anda (begitu pula dalam instansi lain). Hanya saja, siapakah pelakunya, dalam wujud apakah praktek itu dilakukan, kapan terjadinya, serta berapa nilainya, hal ini masih tetap membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Tetapi, benarkah Anda merasa benar-benar tidak ada sesuatu yang janggal? Para dosen IPDN adalah pegawai dengan standar gaji pegawai negeri sipil yang sangat mustahil dapat memiliki rumah seharga ratusan juta Rupiah dalam waktu relatif singkat. Para dosen Anda dan mungkin juga Anda bisa saja berargumen bahwa kita tidak boleh berprasangka buruk pada mereka. Bisa saja mereka memiliki sumber penghasilan lain yang mampu memberikan pendapatan sanagt besar dan jauh melebihi gaji selaku pegawai negeri sipil. Tetapi, hal itu masih harus dibuktikan secara sebenar-benarnya apakah memang kekayaan amat spektakuler yang mereka miliki itu memang berasal dari sumber yang absah. Absah disini bukan hanya jika diukur dari sudut pandang hukum positif tetapi juga dari aspek hakekat. Sengaja saya tekankan hal itu disini karena realita sosial Indonesia terbukti ramah sekali dalam memberikan peluang bagi para pelaku korupsi untuk menyembunyikan hasil tindakan culasnya sekaligus mengemasnya menjadi hasil yang seolah halal.

Jika memang ada salah satu atau beberapa oknum pegawai atau dosen IPDN yang lancung, inilah letak ironisnya. Betapa tidak, dalam berbagai kesempatan Anda selalu mengatakan bahwa IPDN adalah penampung manusia-manusia pilihan dan tanpa IPDN seolah-olah roda pemerintahan tidak akan berjalan lancar. Pak Inu harus dimintai keterangan yang valid. Akan tetapi, Anda tidak boleh kemudian menganggap bahwa perilaku korup tak mungkin terjadi di lembaga ini.

Bila Pak Inu pernah menampar mahasiswanya, Anda ingat kapan dan apakah penyebabnya. Bandingkan dengan praktek kekerasan dan bullying yang dilakukan oleh para praja senior pada yuniornya. Manakah yang lebih murang tata? Dalam suatu acara bedah buku, ketika ada alumnus yang mengingatkan bahwa Pak Inu juga pernah menampar mahasiswanya, beliau dengan gentle mempersilakan ia untuk membalas. Adakah praja, dosen, atau pengasuh yang berani memberi kesempatan untuk membalas pada praja yang pernah dizalimi?

Seumpama dalam hati Pak Inu terbersit niat untuk balas dendam karena frustasi, biarlah itu menjadi urusan pribadinya dengan Allah. Kita ambil manfa’at positif dari langkah pembongkaran aib yang sebenarnya telah terbentuk rapi di sini sembari berdo’a semoga keikhlasanlah yang melandasi langkah Pak Inu.
Muly De La Vega.

Senin, 15 Juni 2009

Arti Penting Kekuasaan Dan Pengaruh Dalam Kepemimpinan

Pendahuluan
Bagaimana seseorang dapat menjalankan peranannya sebagai pemimpin secara efektif, masalah ini tidak dilepaskan dari kemampuannya mendayagunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya. Berdasarkan kenyataan, kepemimpinan memang harus ditunjang oleh kekuasaan agar ia dapat menjalankan fungsinya. Melalui kekuasaan yang dimiliki, seorang pemimpin dapat menciptakan pengaruh (influence) bagi pribadi-pribadi yang dipimpinnya. Pengaruh yang ditimbulkan tersebut menjadikannya dapat merealisasikan hal-hal ideal yang ingin dilakukannya sebagai seorang pemimpin.

Mengingat dampak strategis yang ditimbulkan oleh keduanya, pengkajian secara serius dan pengelolaan secara bijak bagi kebaikan organisasi harus dilakukan. Beberapa paparan berikut ini diharapkan bisa memberikan wawasan pengetahuan mengenai bagaimana kekuasaan serta pengaruh berperan dan didayagunakan dalam suatu organisasi.

Perumusan Masalah
Dari analisis atas ilustrasi kasus yang disampaikan pada bagian selanjutnya bab ini serta pemaparan masalah yang terjadi terkait dengan kajian teori di dalamnya, ada bebeberapa permasalahan yang bisa dirumuskan. Beberapa masalah tersebut adalah
1) Bagaimanakah dewan direktur menentukan keputusan untuk membeli perangkat lunak untuk sistem pembayaran dari Standard Software Systems?
2) Seberapa besarkah kekuasaan relatif yang dimiliki oleh Mary Carter, Jack Morelli, serta direktur utama Standard Software Systems dan tipe kekuasaan apakah yang dimiliki oleh mereka?
3) Tindakan apakah yang seharusnya dilakukan oleh Mary Carter agar pengaruhnya atas keputusan dewan direktur meningkat?

Kajian Teori
I. Kekuasaan Dan Wewenang
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk meminta orang lain melakukan atau bahkan tidak melakukan sesuatu. Dengan istilah lain, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku pihak lain. Dalam suatu organisasi, kekuasaan ditunjang oleh otoritas atau wewenang (authority) yakni hak untuk membuat keputusan yang memiliki dampak bagi organisasi yang dipimpinnya dan hak untuk memerintahkan anggota organisasi agar melaksanakan tugas berdasarkan atas posisi yang dimilikinya. Selain itu, wewenang juga terkait dengan hak untuk melakukan pengendalian terhadap penggunaan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. Wewenang yang dimiliki oleh pemimpin satu dengan yang lainnya tidak sama. Hal itu tergantung pada rentang kendali yang dapat dikuasainya.

Melalui upaya mempengaruhi para bawahan yang dilakukan oleh seorang pemimpin, ia mungkin memperoleh tiga kemungkinan hasil yakni
1) komitmen (commitment)
Komitmen adalah setujunya para bawahan terhadap keputusan atau permintaan seorang pemimpin untuk kemudian memberikan dukungan dan melaksanakannya secara efektif. Dalam hal ini, para bawahan memberikan persetujuan secara internal, dalam artian bahwa persetujuan dan dukungan itu diberikan dari hati mereka.

Menurut Michael Kelman, komitmen ini menjadikan para bawahannya melakukan internalisasi yakni tekad untuk mendukung dan melaksanakan perintah pemimpin karena ia memang merasa bahwa perintah itu sesuai dengan kata hatinya atau mengandung kebenaran yang memang sepantasnya didukung. Ia tidak melakukannya dengan pertimbangan keuntungan atau kerugian yang terjadi dari dukungannya itu.

2) kepatuhan (obedience)
Seperti halnya komitmen, kepatuhan memang merupakan persetujuan yang diberikan oleh para bawahan terhadap keputusan atau permintaan seorang pemimpin untuk kemudian memberikan dukungan dan melaksanakannya. Tetapi, kepatuhan terbentuk karena rasa takut, tidak adanya pilihan untuk bersikap lain, atau memang struktur organisasi menempatkan mereka sebagai pihak yang harus melaksanakannya.

Dikatakan pula oleh Michael Kelman bahwa kepatuhan bersifat instrumental. Seseorang bawahan bersedia melaksanakan perintahnya karena mengharapkan imbalan tertentu atau tidak menginginkan menerima hukuman darinya.

3) perlawanan (resistance)
Mungkin, terhadap permintaan pemimpin para bawahan berani menentangnya atau berusaha untuk tidak melaksanakannya. Perlawanan yang mereka tunjukkan mungkin berupa penolakan untuk menjalankan permintaan, mencari alasan untuk tidak melaksanakannya, meminta pemimpin untuk membatalkan perintahnya, atau menunda-nunda waktu untuk melaksanakannya.

II. Sumber Kekuasaan
Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin menurut French dan Raven berasal dari beberapa sumber yakni
1) kekuasaan karena keabsahan (legitimate power)
Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin pastilah memiliki kekuasaan karena faktor keabsahan. Kekuasaan itu berasal dari wewenang formal yang dimilikinya selaku pemegang suatu posisi formal. Secara vertikal, wewenang formal yang dimilikinya menjadikan seorang pemimpin berhak memerintahkan para bawahannya untuk melakukan sesuatu atau bahkan melarang melakukan sesuatu hal yang lainnya. Dengan demikian, makin tinggi posisi formal yang dijabatnya, berarti makin banyak pula wewenang yang miliki serta makin lebar pula rentang kendali yang dapat dicakupnya.

Wewenang seorang pemimpin umumnya dinyatakan melalui perintah, permintaan, atau komando yang diucapkan secara lisan atau tertulis. Sedangkan kesediaan para bawahannya untuk melaksanakan perintahnya terwujud apabila mereka masih menjadi anggota organisasi serta setia terhadapnya.

2) kekuasaan untuk memberikan penghargaan (rewarding power)
Kekuasaan ini berasal dari wewenang formal seorang pemimpin untuk memberikan imbalan (reward) atau mengalokasikan sumber-sumber daya tertentu kepada para bawahannya. Penghargaan di sini bisa berwujud pemberian materi, peningkatan posisi, atau keadaan yang lain baik. Berkenaan dengan kekuasaan bentuk ini, makin tinggi wewenang formal yang dimiliki oleh seorang pemimpin, maka makin besar kekuasaannya untuk memberikan imbalan dan mengendalikan serta mengalokasikan berbagai sumber daya yang ada.

Dalam hal ini, seorang pemimpin diharapkan mampu mewujudkan ekspektasi para bawahannya untuk memperoleh hal-hal yang dianggap sebagai imbalan atau hal-hal yang menyenangkan bagi mereka. Berdasarkan peraturan, para bawahan yang berprestasi akan mendapatkan kompensasi tertentu semisal bonus, tunjangan, asuransi kesehatan, libur tahunan, dan beragam bentuk kemanfaatan (benefit).
Selain itu, promosi jabatan juga mungkin mereka terima. Pada instansi tertentu yang bonafid, atas prestasi yang disumbangkannya, para bawahan akan memperoleh kondisi tertentu yang lebib baik semisal ruang kerja yang lebih representatif dan pelayanan yang lebih bagus. Beberapa contoh itu merupakan obyek yang dipandang menyenangkan oleh para bawahan. Karenanya, kepatuhan pada pemimpin dapat diwujudkan dengan pemberian imbalan.

3) kekuasaan untuk memaksa (coercive power)
Pemaksaan dapat menjadi kekuatan yang menjadikan pihak lain bersedia untuk melakukan sesuatu hal atau mungkin pula tidak melakukan hal lainnya. Ia diterapkan dengan memberikan ancaman atau hukuman kepada para bawahan yang tidak mampu memenuhi standar prestasi tertentu maupun mematuhi peraturan yang berlaku.

Pada bidang kemiliteran dan politik, kekuasaan untuk memaksa ini memiliki peranan signifikan dalam membentuk sikap patuh para bawahan dan soliditas organisasi. Seorang perwira yang memimpin suatu detasemen bisa menghukum seorang bawahannya yang melakukan desersi maupun pelanggaran disiplin militer. Begitu pula, seorang ketua umum partai politik mempunyai wewenang untuk memecat atau mencabut keanggotaan seseorang apabila dinilai tidak patuh pada garis perjuangan dan prinsip ideal partai yang ia pimpin. Mereka diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan yang bersifat memaksa agar kondisi lembaga yang dipimpin tetap kondisi baik serta potensi terjadinya penyimpangan kecil.

Pada suatu lembaga dimana seseorang pemimpin ada karena dipilih oleh para anggota, pemaksaan bisa pula dilakukan oleh para bawahan kepada pemimpin. Para bawahan bisa melakukan unjuk rasa, menyuarakan mosi tidak percaya, menyampaikan petisi pemberhentian, atau menyerukan pemecatan seorang atasan kepada lembaga karena menurut mereka ia sudah tidak pantas lagi mengampu jabatannya.

Mengingat kenyataan bahwa pemaksaan memang menggunakan keadaan negatif serta memiliki dampak yang negatif pula, ia harus diterapkan secara amat selektif. Penerapannya harus dilakukan ketika memang alternatif lain sudah tidak ada dan keadaan memang benar-benar mendesak. Sebisa mungkin, bila terpaksa dilakukan, pemaksaan hendaknya diupayakan menampilkan karakteristik preventif yakni mencegah para bawahan untuk melakukan pelanggaran.

4) kekuasaan berdasarkan referensi (reference power)
Ada seorang pemimpin yang dinilai sebagai pribadi yang baik, santun, bijaksana, mampu melindungi, dan menimbulkan rasa nyaman bagi siapa saja yang berinteraksi dengannya. Terhadap pemimpin yang memiliki karakteristik seperti itu, para bawahannya ingin melakukan hal-hal yang dipandang bisa membuatnya merasa senang walaupun ia tidak memberikan imbalan kepada mereka atau tidak menerapkan perlakuan yang menyebabkan mereka takut. Bagi para bawahan, semakin bagus citra yang ditampilkan oleh seorang pemimpin, makin besar pula keinginan mereka untuk membuatnya merasa senang. Itulah yang dinamakan kekuasaan berdasarkan referensi.

Kemampuan mempertahankan kekuasaan ini amat tergantung pada kemampuannya mempertahankan atau meningkatkan citra sebagai pribadi yang menjadikan pihak lain merasa senang maupun kemampuannya menjadi teladan yang baik bagi para bawahannya. Tetapi, jangan sampai terjadi keadaan dimana keinginannya menyenangkan bawahannya diwujudkan dengan membiarkan mereka melakukan hal-hal tercela (manipulasi, tindakan indisipliner, atau berselingkuh dengan orang lain) namun mereka senangi. Bagaimanapun juga, norma-norma yang bersifat universal harus tetap dijadikan pedoman berperilaku olehnya.

5) kekuasaan karena keahlian (expertise power)
Pengetahuan atau keahlian untuk menangani pekerjaan tertentu sering menjadi satu bentuk kekuasaan bagi seorang pemimpin. Karena keahlian yang dimiliki dan telah diakui oleh banyak pihak, seseorang akan dipercaya apabila ia menyarankan sesuatu hal yang terkait dengan bidang yang dikuasainya. Sebagai misalnya, rekomendasi yang diberikan oleh seorang manajer investasi pada para investor menjadikan mereka bersedia menanamkan modal yang dimiliki untuk membeli saham perusahaan tambang batu bara yang baru saja melakukan penawaran saham perdana (initial public offering). Mereka meyakini kebenaran rekomendasinya bahwa membeli saham perusahaan tambang batu bara akan menjadi tindakan yang menguntungkan di masa mendatang. Reputasi atas kecakapan manajer investasi tersebut menyebabkan para investor bersedia melaksanakan rekomendasinya. Para bawahan memberikan apresiasi kepadanya karena mereka mengakui kelebihannya itu. Pada suatu lembaga yang bergerak dalam bidang jasa teknologi informasi atau rancang bangun (engineering), tingginya keahlian dalam bidang ini menjadikan seorang bawahan lebih cepat dipromosikan dari pada rekan yang lainnya.

Dalam kenyataannya, keahlian yang dimiliki oleh pemimpin bisa menjadi sumber kekuasaan apabila hanya dirinyalah yang mampu menangani suatu pekerjaan atau hanya kepada pemimpin itulah bawahan bisa bertanya tentang seluk beluk pekerjaan tersebut, sedangkan keahlian yang dimiliki oleh pemimpin tersebut dianggap penting oleh para bawahan.
Pada suatu saat, kekuasaan karena keahlian bisa berkurang nilainya bila ternyata para bawahan kemudian mampu menguasai suatu bentuk kecakapan karena mereka telah mempelajarinya.

6) kekuasaan atas informasi (information power)
Informasi yang dimiliki merupakan sumber kekuatan bagi pemimpin pada masa sekarang ini. Sedangkan dipunyainya informasi sendiri merupakan dampak dari posisi yang dimiliki dalam suatu organisasi. Semakin tinggi posisi manajerial, maka makin besar pula kesempatan untuk memperoleh informasi yang tidak diketahui oleh para bawahan. Tetapi, sekalipun posisi manajerial dalam suatu organisasi tidak tinggi, apabila seseorang bergerak secara aktif untuk mendapatkannya, ia juga mampu memiliki informasi yang tidak diketahui oleh pihak lain.
Seorang pemimpin yang memiliki kendali kuat terhadap sumber informasi akan mampu mempengaruhi persepsi dan sikap para bawahannya. Kemampuan untuk menciptakan pengaruh dapat dilakukannya ke arah atas, bawah, dan sejajar dalam lembaga.

Ia dapat menjadikan para bawahan memiliki ketergantungan terhadap informasi padanya. Disamping itu, karena ia memegang kendali atas informasi, para bawahan akan mengalami kesulitan untuk membantah apa yang dikatakan olehnya. Tidak hanya itu, bila ia adalah seorang yang bersifat lancung, kendali yang kuat atas informasi dapat digunakannya untuk menutupi kesalahan yang dilakukan. Bila dikaitkan dengan kekuasaan karena keahlian, informasi yang dimiliki merupakan faktor penunjang yang memberikan kontribusi besar terhadapnya.

7) kekuasaan atas lingkungan (environmental power)
Mampunya seseorang atau pemimpin mengendalikan lingkungan di sekitar dirinya menjadikan orang-orang lain bisa dipengaruhinya. Kemampuan tersebut dinamakan juga rekayasa situasi (situational engineering) atau pengendalian lingkungan (environmental control).

Melalui wewenang yang dimilikinya, ia dapat melakukan pengayaan pekerjaan (job enrichment) guna meningkatkan kepuasan atau motivasi kerja para bawahan. Secara organisatoris, ia dapat menciptakan mekanisme pelaporan pekerjaan yang membuat para karyawan mudah dalam memberitahukan perkembangan pelaksanaan tugas.

Secara fisik, seorang manajer produksi bisa memerintahkan para staffnya untuk menata tata letak, sistem penyejuk udara, dan pencahayaan sedemikian rupa hingga para karyawan merasa nyaman dalam bekerja. Dikatakan oleh Amitai Etzioni dan David Bass, kekuasaan atas lingkungan, kekuasaan atas informasi, kekuasaan untuk memaksa, kekuasaan untuk memberikan penghargaan, dan kekuasaan karena keabsahan adalah kekuasaan posisi. Kekuasaan ini pada dasarnya dimiliki karena adanya kekuatan yang melekat pada posisi formal seorang pemimpin. Sedangkan kekuasaan berdasarkan referensi serta kekuasaan karena keahlian merupakan kekuasaan personal, yakni kekuasaan yang terjadi karena hubungan antara pribadi satu dengan lainnya.

III. Muncul Dan Hilangnya Kekuasaan
Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin adalah faktor yang bersifat dinamis. Ia akan mengalami perubahan karena perkembangan kondisi serta perilaku individu maupu kelompok. Bagaimana kekuasaan dapat muncul atau hilang, hal itu dapat didekati berdasarkan dua teori yakni

1) teori pertukaran sosial (social exchange theory)
Manusia adalah makhluk yang bersifat sosial disamping menjadi makhluk individual. Ketika ia menjalankan peran sebagai makhluk sosial, interaksi sosial diantara mereka terjadi. Seorang pemimpin adalah orang yang pasti akan terlibat dalam interaksi dengan para anggota organisasi yang dipimpinnya. Sedangkan organisasi itu sendiri merupakan salah satu wujud tatanan sosial.
Dalam interaksi itu, terjadilah proses transaksi atau pertukaran “manfaat” antara pemimpin dan bawahan. Seorang pemimpin bersedia memberikan imbalan berupa perlindungan psikologis, jenjang karier yang lebih baik, perilaku yang menyenangkan, bahkan mungkin juga materi. Sedangkan para bawahannya memberikan dukungan kepadanya, mentaati perintahnya, serta memberikan penguatan pada kepemimpinannya.
Pertukaran kontribusi peran yang bersifat saling menerima dan memberi (take and give) serta saling menguntungkan itu menjadikan kekuasaan terbangun. Tetapi, apabila para bawahan telah menganggap bahwa pemimpin tidak mampu lagi memberikan hal-hal yang menurut mereka harus diterima, para bawahan itu kemudian mengurangi bahkan bisa jadi mencabut dukungan yang semula diberikan. Karena itulah, kekuasaan seorang pemimpin hilang.

2) teori kontinjensi strategis (strategic contingency theory)
Sub-unit, bagian, atau pribadi dalam organisasi mungkin mempunyai kemampuan tertentu yang dianggap berguna bagi organisasi itu. Selain itu, bisa juga ada diantara bagian dalam organisasi maupun pribadi tertentu yang terbukti mampu menyelamatkan organisasi pada saat organisasi menghadapi kondisi kritis, darurat, atau tidak menyenangkan.
Kemampuan yang ditampilkan oleh pribadi atau bagian dalam organisasi dalam mengatasi masalah yang dinilai kritis bisa memberikan kekuasaan. Dalam masalah ini, kemampuan itu terbentuk karena keahlian. Terlebih lagi, bila keahlian itu tidak dipunyai oleh pihak lain dan para anggota organisasi merasa berhutang budi.

Kekuasaan memang dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk mendukung tercapainya efektivitas dalam menjalankan aktivitas organisasi.Namun, tidak dapat diartikan bahwa kekuasaan yang lebih besar pasti menjadikan keadaan lebih baik. Besarnya kekuasaan yang diperlukan tergantung pada kebutuhan untuk menyelesaikan suatu tugas maupun kemampuannya menggunakan beragam sarana yng tersedia.

Begitu pula, efektivitas kepemimpinan seseorang akan memperoleh topangan dari bila ia bijaksana dalam menggunakannya. Tetapi, bila kekuasaan yang terlalu besar menjadikan ia tidak bersedia belajar menjadi pribadi bijaksana, maka organisasi perlu meninjau kembali pemberian kekuasaan padanya itu. Mekanisme tertentu yang menjadikan ia dapat diingatkan atau diberi saran oleh para bawahannya harus diadakan secara tersistem.

IV. Beberapa Cara Mempengaruhi Bawahan
Agar para bawahan bersedia melaksanakan perintahnya, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mempengaruhi mereka. Terdapat beberapa cara guna mempengaruhi para bawahan yakni
1) persuasi rasional
Sesuai dengan namanya, persuasi rasional merupakan cara yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya dengan berusaha memberikan alasan rasional mengapa suatu tugas harus dijalankan atau mengapa ia memutuskan suatu tindakan.
Agar persuasi rasional mencapai keberhasilannya, keselarasan tujuan (goal congruence) antara para bawahan dan pemimpin perlu diwujudkan. Bagaimana dampak bagusnya bagi eksistensi organisasi harus dapat diterangkan. Selain itu, seorang pemimpin harus dapat dipercayai oleh para bawahannya.

2) memberikan penilaian
Seperti halnya persuasi rasional, seorang pemimpin mempengaruhi bawahannya dengan berusaha memberikan alasan yang masuk akal mengenai urgensi keputusan yang diambilnya atau pentingnya pelaksanaan tugas tertentu. Ia juga perlu mengemukakan fakta-fakta yang mendukung argumennya itu. Tetapi, melalui cara ini ia harus dapat meyakinkan kepada para bawahannya mengenai manfaat keputusan bagi mereka selaku pribadi. Mengingat argumentasi yang dikemukakan terkait dengan manfaat secara personal, seorang pemimpin juga harus dapat dipercayai oleh para bawahannya.

3) memberikan inspirasi
Ada kalanya, seorang bawahan harus disadarkan mengenai arti penting pekerjaan yang dibebankan padanya atau tugas yang harus ia lakukan bagi terwujudnya nilai-nilai ideal yang ingin ia capai. Berbeda dengan persuasi rasional atau memberikan penilaian di atas, cara ini memang menjadikan para bawahannya mungkin tidak dapat meraih sesuatu hal yang menurut perhitungan rasional adalah hal yang menguntungkan secara materi maupun posisi. Tetapi, para bawahan yang berhasil melaksanakannya akan memperoleh kebanggaan diri atau merealisasikan idealisme mereka. Mereka juga mungkin dikenang sebagai pribadi yang berjasa bagi banyak pihak.
Kita dapat mencontohkan seorang bawahan yang diminta untuk memimpin suatu kelompok yang melaksanakan misi sosial bagi warga masyarakat yang terkena bencana alam oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa keuangan. Bawahan dan kelompoknya hanya dibekali uang saku yang jumlahnya tidak seberapa. Padahal misi sosial tersebut membutuhkan pengorbanan tenaga yang besar sedangkan keberhasilan melaksanakan misi tidak berdampak pada meningkatnya jenjang karier. Ia bersedia melakukannya karena sudah sejak lama ia ingin melakukan suatu upaya yang berarti bagi kemanusiaan dan tugas itu merupakan pendukung tercapainya keinginan tersebut.

4) melakukan konsultasi
Pada saat suatu pekerjaan harus dilaksanakan, seorang pemimpin harus berupaya agar para bawahan bersedia mendukung pelaksanaannya. Untuk itu, pemimpin perlu melibatkan mereka dalam proses perencanaan berbagai tindakan guna menyelesaikan pekerjaan itu. Para bawahan dilibatkan agar mereka merasa terhargai dan keinginan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu lebih kuat. Perasaan terhargai dan memiliki kontribusi bagi keberhasilan penyelesaian pekerjaan dapat mempertinggi motivasi kerja mereka.

5) melakukan pertukaran
Pada kondisi tertentu, seorang pemimpin memang dituntut untuk melakukan pertukaran dengan para bawahannya. Cara tersebut perlu ditempuh karena mereka merasa enggan melaksanakan pekerjaan tertentu padahal pekerjaan itu harus diselesaikan. Para bawahan enggan melaksanakannya karena mereka merasa bahwa pekerjaan itu menyulitkan dan tidak memberikan manfaat berarti bagi mereka.

Karena kondisi seperti itulah, seorang pemimpin dapat menawarkan imbalan berupa sesuatu yang mereka inginkan agar mereka bersedia melakukan pekerjaan tersebut. Imbalan yang ditawarkannya bisa berupa bonus uang, kenaikan gaji, jenjang karier lebih tinggi, atau kondisi lingkungan kerja yang lebih baik.

6) melakukan kolaborasi
Secara harafiah, kolaborasi adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih. Cara ini dilakukan ketika para bawahan dan pemimpin tengah melaksanakan suatu pekerjaan. Sementara, pekerjaan yang ditangani mengharuskan setiap pihak menjalin hubungan antara satu dengan lainnya guna menyelesaikannya. Dalam masalah ini, karena tanggung jawab penyelesaian tugas berada pada pemimpin, pemimpin itu harus mampu menjadikan para bawahannya melaksanakan pekerjaan secara lebih mudah. Pada saat mereka melaksanakan pekerjaan, ia harus bersedia memberikan bantuan kepada mereka agar para bawahannya merasakan bahwa beban mereka lebih ringan.

7) menciptakan daya tarik personal
Rasa suka terhadap pribadi seorang pemimpin menjadikan para bawahan bersedia melakukan perintah yang diberikan olehnya. Perasaan suka tersebut juga membuat para bawahan memandang bahwa kesediaan melakukan perintah mampu mempererat hubungan baik yang selama ini telah terjalin. Bahkan, mereka bersedia melaksanakan perintah seorang pemimpin yang tidak terkait dengan tugas regular-formal selaku bawahan.

8) mengambil hati
Sebagaimana halnya penciptaan daya tarik personal, upaya mengambil hati memang juga melibatkan perasaan suka pada para bawahan kepada pribadi seorang pemimpin. Memberikan pujian, melakukan perbuatan yang dinilai baik tanpa diminta oleh para bawahan, memberikan penghormatan, serta menampilkan perilaku yang baik merupakan contoh upaya mengambil hati mereka. Agar cara ini membuahkan hasil, pemimpin harus dapat menciptakan kesan bahwa perbuatan yang dilakukannya didasari rasa tulus. Beberapa contoh perbuatan itu harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum perintah diberikan.
Apabila beberapa perbuatan itu dilakukan tidak lama sebelum perintah diberikan, para bawahan sudah pasti akan menganggap bahwa pemimpin itu tengah mempunyai maksud-maksud tertentu. Dengan demikian, upayanya untuk mengambil hati para bawahan akan mengalami kegagalan.

9) membangun legitimasi
Pengaruh seorang pemimpin dan kesediaan para bawahan untuk melaksanakan perintahnya dapat dibangun dari legitimasi yang mereka akui. Seorang pemimpin dinilai mempunyai hak untuk memberikan perintah apabila ia memang mempunyai wewenang dan perintah yang diberikannya itu dipandang memiliki dasar. Sedangkan apabila perintah yang diberikan berada di luar jangkauan wewenangnya, para bawahan akan mempertanyakan atau bahkan menolak untuk melaksanakan perintah itu.

Upaya membangun legitimasi akan membuahkan keberhasilan jika seorang pemimpin dapat memberikan contoh yang baik, menunjukkan konsistensi ketaatan terhadap peraturan organisasi, dan memberikan perintah yang benar kepada pihak yang tepat.

10) memberikan tekanan
Terhadap para bawahan yang malas dan menampilkan kinerja buruk, tekanan berupa ancaman, peringatan keras, dan tindakan yang bersifat menghukum bisa diberlakukan guna menjadikan mereka bersedia melaksanakan perintah pemimpin. Karena tekanan merupakan bentuk stimulus negatif, hendaknya ia diterapkan secara selektif dan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.
Tekanan yang diberikan kepada para bawahan tidak dapat menciptakan komitmen karena ia menjadikan para bawahan merasa takut. Bahkan, apabila tekanan yang diberikan kepada para bawahan terlalu intensif, mereka akan membenci pemimpin.
Dalam suatu organisasi, hendaknya tekanan dilakukan apabila para bawahan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dipandang membahayakan keselamatan pekerjaan atau lembaga.

11) menjalin koalisi
Pada suatu keadaan tertentu, pemimpin merasa kesulitan untuk memerintahkan para bawahannya melakukan sesuatu. Menghadapi masalah ini, ia membutuhkan bantuan pihak lain untuk membujuk para bawahannya agar mereka bersedia melakukan perintahnya.
Pihak lain yang diminta bantuannya bisa saja para bawahan, rekan sejawat, atasan, atau bahkan pihak luar. Disini, keberhasilan membujuk para bawahan merupakan satu hal yang paling penting.


Kesalahan Memilih Perangkat Lunak Sistem Pembayaran
Mary Carter adalah manajer bagian akuntansi Restview Hospital, suatu rumah sakit besar dengan reputasi sangat bagus di Monte Bello, California. Atasannya, Jack Morelli selaku administrator rumah sakit ini ingin melakukan pemutakhiran sistem pembayaran. Untuk itu, ia meminta Mary Carter guna mencari penyedia perangkat lunak untuk keperluan tersebut yang secara teknis sesuai dengan sistem komputer rumah sakit ini. Jack Morelli serta para anggota dewan direktur akan menentukan keputusan tentang masalah itu pada pertemuan bulan depan.

Seminggu kemudian, Jack Morelli menanyakan kepada Mary Carter kemajuan langkah yang telah dilakukannya. Mary Carter kemudian menjawab bahwa ia telah menemukan dua penyedia yang dinilai mempunyai perangkat lunak yang sesuai dengan sistem komputer Restview Hospital. Atas jawabannya ini, Jack Morelli bertanya mengapa dari kedua pilihan itu ia tidak mencantumkan Standard Software Systems yang telah dipilih untuk merancang sistem pembayaran gaji karyawan rumah sakit sebelumnya. Padahal, perusahaan penyedia tersebut dan direktur utamanya telah dikenal dekat secara pribadi dengannya.

Dari penelusuran awal yang dilaksanakan oleh Mary Carter, diketahui bahwa perangkat lunak sistem pembayaran yang dirancang oleh Standard Software Systems tidak tepat digunakan di Restview Hospital. Demikian pula ketika ia melakukan penelusuran ke rumah-rumah sakit lainnya, Mary Carter mengetahui bahwa perangkat lunak rancangan Standard Software Systems tidak fleksibel serta sulit digunakan. Hal ini berbeda dengan kinerja perangkat lunak yang dirancang oleh perusahaan penyedia lainnya. Kinerja terbaik ditampilkan oleh perangkat lunak rancangan Reliable Computer. Pada saat presentasi dilakukan di depan Jack Morelli serta anggota dewan direktur, sebenarnya masalah ini juga telah dipaparkan dengan jelas. Tetapi, Jack Morelli terkesan tidak antusias menanggapinya. Sepertinya, ia telah terpaku pada preferensi atas perangkat lunak yang dirancang oleh Standard Software Systems.

Setelah itu, Mary Carter memberikan laporan tertulis dan ringkasan hasil penelusurannya. Disamping itu, ia juga menjelaskan mengapa ia merekomendasikan Restview Hospital untuk membeli perangkat lunak yang ditawarkan oleh Reliable Computer beserta bukti-bukti yang mendukung. Tetapi, ketika pertemuan anggota dewan direktur telah dilaksanakan, keputusan yang dihasilkan adalah bahwa Restview Hospital tetap membeli perangkat lunak dari Standard Software Systems karena mereka telah yakin bahwa kualitasnya sama baiknya dengan perangkat lunak sistem pembayaran gaji karyawan rumah sakit yang dibeli pada tahun lalu.

Tetapi, dua tahun kemudian, perangkat lunak sistem pembayaran bernilai US$ 2.000.000 yang dirancang oleh Standard Software Systems terbukti menampilkan kinerja yang mengecewakan. Setelah digunakan, ia tidak dapat dioperasikan secara fleksibel oleh sistem komputer Restview Hospital. Maka, sia-sialah investasi dalam bidang operasional yang amat mahal itu.

Pembahasan
Dewan direktur Restview Hospital ternyata tetap memutuskan untuk membeli perangkat lunak sistem pembayaran dari Standard Software Systems walaupun berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Mary Carter perangkat lunak yang ditawarkan oleh Reliable Computer secara teknis lebih unggul.

Berdasarkan tinjauan teoritis tentang sumber kekuasaan, karena tingginya posisi yang dimiliki dalam struktur organisasi Restview Hospital, dewan direktur mempunyai kekuasaan untuk memaksa (coercive power). Terlebih lagi, pada dasarnya para anggota organisasi dibebani kewajiban untuk bersedia mematuhi keputusan akhir yang digariskan walaupun mereka telah mengemukakan argumen yang memberikan landasan kuat untuk alternatif yang berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh organisasi nantinya. Hal ini terjadi pada kasus pembelian perangkat lunak untuk sistem pembayaran.

Sekalipun berdasarkan analisis teknis perangkat lunak yang ditawarkan oleh Reliable Computer lebih baik, tetapi ketika dewan direktur dengan kekuasaannya yang sedemikian tinggi memutuskan hal berbeda, yakni tetap memilih untuk membelinya dari Standard Software Systems, maka Mary Carter harus bersedia mematuhinya. Hal ini adalah wujud kepatuhan untuk menjaga soliditas organisasi yang harus dilakukan selaku bawahan. Jika kita meninjaunya dari upaya mempengaruhi bawahan yang dilakukan oleh dewan direktur, mereka mengharapkan hasil berupa kepatuhan. Dalam masalah ini, kepatuhan diwujudkan dalam bentuk persetujuan Mary Carter selaku manajer bagian akuntansi terhadap keputusan dewan direktur dan melaksanakannya. Memang, dalam hal ini kepatuhan terbentuk karena struktur organisasi menempatkan dirinya sebagai pihak yang harus mau melaksanakan keputusan tersebut.

Melalui sudut pandang cara mempengaruhi para bawahan, dewan direktur menerapkan cara pembangunan legitimasi. Kesediaan Mary Carter untuk melaksanakan keputusan terjadi karena dewan direktur memang mempunyai legitimasi yang diakui. Terlepas dari kenyataan bahwa keputusan yang diambil tidak sesuai dengan analisis teknis, dewan direktur memang berhak memilihnya berdasarkan pertimbangan lain dan keputusan tersebut dianggap masih berada dalam rentang wewenangnya.

Dalam konteks yang bersifat relatif, kekuasaan yang dimiliki oleh suatu pihak mengacu pada sejauh mana seseorang, lembaga, atau kelompok mampu mempengaruhi pihak lain maupun berperan dalam penentuan keputusan yang diambil oleh pihak lain itu. Bila dikaitkan dengan masalah ini, selaku manajer bagian akuntansi Mary Carter mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi, meyakinkan, membujuk, dan menentukan keputusan para bawahannya di bagian itu. Mary Carter memang memiliki kekuasaan yang bersumber dari legitimasinya selaku manajer bagian akuntansi. Selain itu, karena pembelian perangkat lunak untuk sistem pembayaran memerlukan analisis teknis yang berkaitan dengan efektivitas penggunaannya bagi kegiatan akuntansi, Mary Carter mempunyai kekuasaan dari keahlian yang dimilikinya. Karena keahlian dalam bidang akuntansi yang dimiliki telah diakui oleh banyak pihak, Mary Carter tentunya akan dipercaya apabila ia merekomendasikan sesuatu hal yang mempunyai kaitan dengan bidang akuntansi yang memang dikuasainya.

Selaku administrator Restview Hospital, Jack Morelli mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi, meyakinkan, membujuk, dan menentukan keputusan dewan direktur. Dewan direktur mempunyai cakupan kekuasaan yang lebih luas dan hierarkhi lebih tinggi dari pada manajer bagian. Karenanya, Jack Morelli mampu menentukan keputusan dengan dampak yang dapat menjangkau bagian akuntansi yang lebih rendah tingkatan hierarkhi dan cakupan kekuasaannya. Menilik dari sumbernya, Jack Morelli memiliki kekuasaan untuk memaksa pihak lain yang lebih rendah posisinya agar mematuhi keputusan yang diambilnya. Disamping itu, selaku administrator ia juga mempunyai kekuasaan karena keabsahan. Dengan kekuasaan ini, secara vertikal, ia mempunyai wewenang formal untuk memerintahkan para bawahannya (termasuk pula manajer bagian akuntansi) agar melakukan sesuatu yakni mematuhi keputusan dewan direktur dalam pembelian perangkat lunak sistem pembayaran. Sehingga, karena posisi formal yang dimilikinya lebih tinggi, wewenang yang miliki makin tinggi serta makin lebar pula rentang kendali yang dapat dicakupnya.

Direktur utama Standard Software Systems merupakan kawan dekat Jack Morelli. Kedekatan secara personal dengan Jack Morelli memiliki daya determinasi yang besar terhadap keputusan akhir dewan direktur yang memilih membeli perangkat lunak dari perusahaannya. Padahal, berdasarkan analisis secara teknis, kinerja yang ditampilkan lebih rendah dari pada perangkat lunak yang ditawarkan oleh para pesaingnya.

Sepanjang direktur utama Standard Software Systems masih dapat menjalin hubungan personal yang erat dengan Jack Morelli serta mampu mempertahankan atau meningkatkan citra sebagai pihak yang menjadikannya merasa senang, maka ia masih tetap dapat mempengaruhi keputusan Jack Morelli serta para anggota dewan direktur. Pada masalah ini, direktur utama Standard Software Systems mempunyai kekuasaan berdasarkan referensi.

Mary Carter seharusnya melakukan beberapa hal untuk meningkatkan pengaruhnya atas keputusan membeli perangkat lunak sistem pembayaran. Sesuai dengan kemampuan serta posisi manajerial yang dimiliki dalam bidang akuntansi, sudah tentu ia perlu melakukan persuasi rasional dengan cara menjelaskan secara argumentatif mengenai alasannya merekomendasikan Jack Morelli dan dewan direktur untuk membeli perangkat lunak dari Reliable Computer. Kelebihan perangkat lunak Reliable Computer dan kekurangan yang ada pada perangkat lunak Standard Software Systems harus dapat dijelaskannya secara detil serta meyakinkan. Ia juga harus bisa mengambil hati para anggota dewan direktur dengan cara bersikap baik dan santun serta menampilkan kinerja yang bagus. Agar Mary Carter dapat mempengaruhi mereka dengan lebih kuat sehingga mereka bersedia menerima rekomendasi berdasarkan pertimbangan rasional yang dikemukakannya, sikap baik dan santun serta kinerja yang bagus itu harus ditampilkan secara berkelanjutan sejak jauh-jauh hari. Bila ia baru melakukannya ketika rapat penentuan keputusan dewan direktur hendak dilaksanakan, besar kemungkinannya bahwa upayanya mengambil hati guna mempengaruhi keputusan mereka akan mengalami kegagalan.

Kesimpulan
Berkenaan dengan pembahasan tentang arti penting kekuasaan dan pengaruh bagi kepemimpinan, kita dapat menyimpulkan beberapa pokok pemikiran mendasar. Diantaranya adalah
1) Kepemimpinan memang harus ditunjang oleh adanya kekuasaan agar ia dapat menjalankan fungsinya. Melalui kekuasaan yang dimiliki, seorang pemimpin dapat menciptakan pengaruh bagi pribadi-pribadi yang dipimpinnya dan dari pengaruh yang ditimbulkan itulah, hal-hal ideal yang ingin dilakukannya sebagai seorang pemimpin bisa diwujudkan.
2) Terdapat beberapa sumber kekuasaan. Tetapi apabila dipilah atas dasar utamanya, beberapa sumber kekuasaan tersebutdapat berasal dari posisi yang dimiliki atau hubungan personal.
3) Kekuasaan dapat muncul atau bahkan hilang. Masalah ini bisa didekati dari dua teori yakni teori pertukaran sosial serta teori kontinjensi strategis.
4) Agar para bawahan bersedia melaksanakan perintahnya, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mempengaruhi mereka. Terdapat beberapa cara guna mempengaruhi para bawahan yakni dari melakukan persuasi rasional hingga menjalin koalisi.
5) Satu hal yang paling penting untuk disadari oleh seorang pemimpin adalah bahwa kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki harus digunakannya secara bijaksana untuk memimpin organisasi.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Pilihan Mekanisme Perancangan Sistem Informasi

Latar Belakang Masalah
Salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalam menyediakan jasa kesehatan kepada anggota masyarakat luas adalah rumah sakit. Melalui rumah sakit, harapan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang sering kali mampu menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman kematian ditumpukan, terlepas dari kenyataan bahwa keputusan final adalah milik Tuhan.

Pada Saint James Hospital -selama ini dikenal sebagai lembaga penyedia jasa kesehatan terbaik di kota Austin, Texas- Jonathan Anderson, M.H.A. adalah seorang administrator yang baru saja ditunjuk untuk mengelolanya. Kepadanya, amanah untuk menjaga reputasi sebagai rumah sakit yang mampu menangani setiap permasalahan dengan sigap dan bagus serta mampu menjadi rujukan bagi rumah sakit lain di kawan ini dibebankan.

Kesigapan rumah sakit ini dalam menangani setiap permasalahan yang terjadi ditunjang secara signifikan oleh tersedianya sistem informasi bagi kegiatan keseluruhan yang bagus di dalamnya serta beragam program aplikasi komputer yang mempermudah pekerjaan para dokter, perawat, petugas laboratorium medis, dan pegawai administrasi rumah sakit. Sehubungan dengan hal inilah, ia diminta untuk menentukan keputusan mengenai bagaimana keduanya itu harus dirancang agar sesuai dengan kebutuhan Saint James Hospital dan menunjang keunggulan organisasional secara berkelanjutan (sustainable organizational excellence) yang ingin diwujudkan.

Belum lama ini, chief information officer rumah sakit ini, yakni Ronald Harper mengusulkan kepadanya untuk melakukan perancangan melalui prototyping. Tetapi, ia juga tidak menafikan alternatif lainnya melalui penugasan komite sistem informasi manajemen unntuk melakukannya. Terhadap hal ini, Jonathan Anderson, M.H.A. harus mengkajinya secara serius dan mempertimbangkan beberapa hal karena masalah perancangan sistem informasi ini memiliki arti penting bagi kelangsungan kehidupan rumah sakit yang dikelolanya.

Perumusan Masalah
Sehubungan dengan perancangan program aplikasi komputer dan sistem informasi yang akan dilakukan di Saint James Hospital, ada beberapa masalah yang dirumuskan di sini, yakni
1) bila komite sistem informasi manajemen (management information system committee) dikecualikan atau dikesampingkan peranannya dari awal pengembangan sistem informasi, apakah ia dapat menjalankan fungsi-fungsinya dan bila tidak, apakah konsekuensi yang harus ditanggung?
2) apakah pendekatan prototyping adalah pilihan paling baik dibandingkan dengan pilihan lain yang mungkin ditampilkan?
Berkenaan dengan dengan perumusan permasalahan di atas sebagai landasan untuk menemukan alternatif solusi nantinya, beberapa standar kinerja harus diperhatikan sehingga solusi yang ditampilkan bisa diterapkan guna mencapai tujuan. Beberapa standar kinerja yang dianggap penting untuk dijadikan pedoman atau acuan bagi solusi yang ditampilkan adalah
1) Program aplikasi dan sistem informasi yang dirancang harus mampu menampilkan fleksibilitas baik ketika diterapkan dalam skala aktivitas kecil maupun besar.
2) Pendekatan yang diterapkan dalam merancang program aplikasi dan sistem informasi hendaknya tetap bisa mewujudkan efisiensi waktu.
3) Pengendalian (controlling) terhadap program aplikasi dan sistem informasi yang dirancang harus tetap dapat dilakukan oleh panitia pengarah sistem informasi manajemen
4) Analisis serta rancangan program aplikasi dan sistem informasi harus dikoordinasikan dengan berbagai departemen yang ada selaku pengguna (user) sekaligus pengampu kepentingan pertama (primary stake holder).
5) Rancangan program aplikasi dan sistem informasi hendaknya mampu memenuhi kebutuhan para manajer serta dokter yang bertugas pada rumah sakit ini.
6) Perkembangan yang terjadi dalam upaya merancang program aplikasi dan sistem informasi harus tetap dapat diketahui oleh panitia pengarah sistem informasi manajemen.

Alternatif Pemecahan Masalah
Atas masalah perancangan program aplikasi dan sistem informasi pada Saint James Hospital tersebut, alternatif pemecahan masalah perlu dicari. Berkenaan dengan upaya itu, ada beberapa informasi penunjang yang perlu dimiliki. Diantaranya adalah
1) Program aplikasi komputer dan sistem informasi yang dibutuhkan oleh seluruh departemen atau bagian dalam lingkup Saint James Hospital beserta kebutuhan pemutakhirannya bila memang ada.
2) Analisis dan rancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi pada setiap depertemen atau bagian dalam Saint James Hospital.
3) Kekurangan-kekurangan yang masih ada pada berbagai program aplikasi komputer dan sistem informasi saat ini.
4) Kebutuhan program aplikasi komputer para dokter, perawat, petugas laboratorium medis, dan pegawai administrasi rumah sakit.
5) Bidang-bidang pelayanan yang selama ini dibutuhkan dan juga diperkirakan akan diminta oleh para pengguna jasa Saint James Hospital nanti.
6) Tingkatan teknologi informasi yang dinilai tepat untuk diterapkan oleh Rumah Sakit Saint James.
7) Jaringan sistem informasi yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan para pengampu kepentingan (stake holder) semisal lembaga pemerintahan yang membidangi masalah kesehatan, pemasok berbagai barang kebutuhan rumah sakit, pemasok kebutuhan energi, asosiasi paramedis, lembaga swadaya masyarakat bidang kesehatan dan pelayanan publik, keluarga para pasien, dan media massa.
8) Sistem informasi pendukung keputusan (decision supporting information system) yang dinilai relevan dengan kondisi Saint James Hospital.

Setelah berbagai informasi yang dibutuhkan itu diperoleh, administrator rumah sakit dan chief information officer dibantu oleh para staff selanjutnya melakukan identifikasi atas berbagai alternatif untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dengan mempertimbangkan latar belakang permasalahan, pedoman yang disyaratkan, serta informasi penunjang yang dikumpulkan, alternatif yang bisa ditampilkan adalah

1) Penugasan Komite Sistem Informasi Manajemen
Berdasarkan alternatif pertama, perancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi yang dibutuhkan oleh Saint James Hospital dilaksanakan melalui pembentukan suatu komite sistem informasi manajemen. Komite tersebut kemudian melakukan pertemuan dan kemudian mengorganisasikan para anggotanya untuk melakukan tugasnya yakni merancang berbagai program aplikasi komputer yang diperlukan oleh seluruh departemen atau bagian yang ada pada rumah sakit ini. Demikian pula sistem informasi yang mengatur seluruh aktivitas yang diselenggarakan di dalamnya.

Sejak awal dibentuk, secara intensif komite sistem informasi manajemen mencari masukan kepada seluruh pihak yang berkepentingan mengenai program aplikasi komputer dan sistem informasi seperti apa yang dibutuhkan oleh seluruh departemen atau bagian. Begitu pula langkah pemutakhiran yang harus dilakukan bila ada. Informasi mengenai bidang-bidang pelayanan yang selama ini dibutuhkan dan juga diperkirakan akan diminta oleh para pengguna jasa Saint James Hospital nantinya juga dikumpulkan. Selain itu, komite sistem informasi manajemen juga harus mempelajari secara seksama analisis dan rancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi yang telah ada serta kekurangan yang masih dimiliki. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar penyempurnaan bisa dilakukan.

Kemudian, para pengguna akhir (end user) semisal dokter, perawat, petugas laboratorium medis, dan pegawai administrasi rumah sakit perlu dimintai pendapat dan juga informasi mengenai program aplikasi komputer serta sistem informasi seperti apa yang dinilai mampu mendukung serta memudahkan pekerjaan mereka. Jika mereka menginginkan perbaikan terhadapnya, mereka dapat memberitahukan hal-hal yang sekiranya dapat dijadikan pedoman untuk itu.

Mengingat kenyataan bahwa Saint James Hospital akan berhubungan dengan para pengampu kepentingan semisal lembaga pemerintahan dalam bidang kesehatan, pemasok barang kebutuhan rumah sakit, pemasok kebutuhan energi, serta asosiasi paramedis, jaringan sistem informasi yang menunjang interaksi dengan mereka harus diketahui serta penyempurnaan padanya harus dilakukan. Kemudian, perubahan-perubahan yang terjadi perlu dikomunikasikan kepada mereka. Tidak boleh dilupakan, keberadaan sistem informasi pendukung keputusan untuk seluruh aktivitas dalam rumah sakit ini juga harus dipersiapkan sejak saat ini.

Bagaimanapun juga, biaya merupakan masalah yang tidak boleh dikesampingkan. Karenanya, tingkatan teknologi yang digunakan untuk rancangan program aplikasi komputer dan sistem informasi harus diupayakan tepat guna. Dalam artian bahwa ia tidak terlalu tinggi di atas kebutuhan yang berdampak pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, tingkatan teknologi juga tidak boleh lebih rendah dari pada tuntutannya sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan operasional dengan baik.

2) Penggunaan Prototype Program Aplikasi dan Sistem Informasi
Dalam bahasa Indonesia baku, sinonim prototype adalah purwa rupa, yaitu wujud suatu produk yang pertama kali dibuat. Sebagai contohnya, bila PT Dirgantara Indonesia ingin membuat pesawat angkut D-130, sebelum perusahaan memproduksi secara massal nantinya, satu produk awal harus dihasilkan untuk diuji lebih lanjut dan disempurnakan. Satu unit produk awal itulah yang dinamakan prototype atau purwa rupa.

Melalui prototyping, rancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi yang diperlukan oleh Saint James Hospital dibuat terlebih dahulu oleh konsultan sistem informasi yang ditunjuk oleh administrator rumah sakit. Memang, perusahaan konsultan itu juga menugaskan beberapa orang untuk melakukannya. Tetapi, sekalipun berjumlah beberapa orang, mereka adalah karyawan tetap perusahaan itu dan merancang program aplikasi komputer serta sistem informasi memang sudah menjadi tugas rutin mereka. Mereka adalah para perancang profesional yang dibayar untuk melakukan pekerjaan tersebut dan berposisi sebagai orang luar (out-sider) bagi rumah sakit ini.

Melalui para perancang profesional yang ditugaskannya, konsultan sistem informasi itu selanjutnya mengumpulkan berbagai informasi mengenai program aplikasi komputer dan sistem informasi yang dibutuhkan oleh seluruh departemen atau bagian dalam Saint James Hospital. Selain itu, mereka juga mempelajari rancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi yang telah ada sebelumnya guna disempurnakan.

Sesudah rancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi dibuat, kemudian keduanya diterapkan guna menangani berbagai kegiatan yang dilakukan oleh seluruh departemen atau bagian dalam rumah sakit ini. Apabila selama masa penerapan awal ditemukan beberapa kekurangan, kesulitan, atau ketidaksesuaian dengan kondisi yang diharapkan, konsultan sistem informasi yang ditunjuk harus memperbaikinya agar menjadi lebih baik. Melalui alternatif kedua ini, Saint James Hospital memang cenderung menjadi pihak yang pasif dan tinggal menerima hasilnya karena ia telah mempercayakan semuanya kepada perusahaan jasa konsultan sistem informasi.

Berdasarkan deskripsi mengenai dua alternatif pemecahan masalah di atas, penilaian dapat dilakukan. Alternatif pertama, yakni penugasan komite sistem informasi manajemen memiliki keunggulan berupa lengkap dan mendalamnya informasi yang diperoleh guna merancang program aplikasi komputer serta sistem informasi yang dibutuhkan oleh Saint James Hospital. Karena itulah, para anggota komite sistem informasi manajemen mempunyai pemahaman yang bagus mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan dan permasalahan yang dihadapinya. Selain itu, keterlibatan selaku pihak dalam lembaga (in-sider) pada komite sistem informasi manajemen tersebut menjadikan mereka merasa harus melakukan upaya terbaik bagi Saint James Hospital yang telah mempercayakan amanah kepada mereka dan perasaan ikut memiliki (sense of belonging) mereka tinggi. Apalagi, kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu rumah sakit merupakan aktivitas jasa yang berhubungan erat dengan pelayanan publik dan mampu menentukan citranya di mata masyarakat. Setiap bagian dari seluruh sistem yang ada di dalamnya harus memberikan topangan yang kuat terhadap aktivitas jasa yang dilakukan oleh rumah sakit itu, tak terkecuali program aplikasi komputer yang digunakan dan sistem informasi yang menunjangnya.

Sebagaimana halnya yang telah kita ketahui bersama, penugasan kepada para anggota lembaga untuk menyelesaikan suatu masalah sesungguhnya tidak hanya berarti kewajiban untuk membuktikan kemampuan teknisnya, melainkan juga upaya pendewasaan para anggota organisasi agar pada saatnya nanti mereka mampu memikul tanggung jawab lebih tinggi. Penugasan tersebut merupakan semacam media pelatihan untuk mematangkan mental mereka. Tetapi, memang waktu yang dibutuhkan untuk itu bisa jadi lebih lama dan bukan tidak mungkin pula pada proses perancangannya konflik karena perbedaan cara pandang dan kepentingan antar anggota komite terpicu.

Sedangkan prototyping sebagai alternatif kedua memberikan kelebihan berupa lebih singkatnya waktu yang diperlukan guna merancangnya serta menerapkannya. Jumlah biaya secara keseluruhan yang harus dikeluarkan mungkin juga menjadi lebih rendah. Mengingat kenyataan bahwa perancangan program aplikasi komputer serta sistem informasi dilaksanakan oleh para profesional yang bekerja pada konsultan sistem informasi yang ditunjuk, maka potensi terjadinya konflik akibat perbedaan cara pandang dan kepentingan lebih kecil.

Seperti halnya yang telah dijelaskan di muka, para profesional tersebut adalah orang luar bagi Saint James Hospital. Posisi selaku orang luar menjadikan mereka mampu lebih mudah menemukan hal-hal yang menurut konsep ideal sistem informasi merupakan kekurangan. Hal ini sering kali sulit dilakukan oleh para anggota lembaga. Melalui prototyping, Saint James Hospital tinggal menerima hasilnya serta mengkonsentrasikan diri untuk melakukan aktivitas lainnya yang dinilai lebih mendesak.

Tetapi, ia juga mempunyai kekurangan. Apabila hal itu dilakukan secara berkelanjutan, maka para anggota lembaga yang mempunyai kemampuan dalam bidang sistem dan teknologi informasi tidak terdayagunakan. Upaya untuk mendewasakan mereka agar pada saatnya nanti mampu memikul tanggung jawab lebih tinggi menjadi terhambat. Pemahaman secara lengkap dan mendalam mengenai apa yang dibutuhkan oleh Saint James Hospital serta permasalahan yang dihadapinya cenderung lebih rendah. Demikian pula, posisi para profesional selaku orang luar menjadikan penghayatan terhadap dinamika kelembagaan Saint James Hospital dan problematikanya amat rendah. Perasaan ikut memiliki juga dapat dikatakan tidak ada pada diri mereka. Bagi mereka, setelah pekerjaan merancang program aplikasi komputer serta sistem informasi dilaksanakan, tanggung jawab mereka pada dasarnya telah berakhir. Selanjutnya, masalah yang terjadi adalah urusan internal sepenuhnya Saint James Hospital dan mereka tidak dibebani kewajiban moral untuk memikirkannya. Padahal, keinginan untuk memberikan yang terbaik dan semakin bagus serta rasa memiliki adalah hal amat penting yang harus ada pada suatu lembaga yang bergerak dalam bidang jasa publik. Sementara, citra bagus yang diberikan oleh masyarakat adalah sesuatu yang harus dijaga secara sungguh-sungguh.


Kesimpulan
Saint James Hospital merasa sangat berkepentingan dengan keberlanjutan pelayanan kesehatan kepada anggota masyarakat yang telah dilakukan selama ini dan citra baik yang mereka berikan selaku salah satu pengampu kepentingan utama (main stake holder). Dalam konteks kasus ini, kedua masalah terkait erat dengan pendewasaan organisasional para anggota lembaga (berupa kontribusi yang diberikan oleh para anggota komite sistem informasi manajemen) serta keinginan mereka untuk melakukan upaya terbaik dan perasaan ikut memiliki. Maka, dalam kasus ini alternatif pemecahan masalah yang dipilih adalah menugaskan komite sistem informasi manajemen guna merancang program aplikasi komputer dan sistem informasi yang dibutuhkan. Pilihan ini memang menjadikan Saint James Hospital harus mengeluarkan lebih banyak biaya. Tetapi, jumlah biaya yang lebih besar itu dipandang sebagai bentuk investasi yang tidak sia-sia dan memang harus dibayar untuk menguatkan lembaga secara berkelanjutan nantinya. Bagi jajaran manajemen rumah sakit ini, manfaat dari aspek organisasional dinilai lebih besar dari pada peningkatan biaya teknis yang harus dibayarkannya.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.


Urgensi Kepemimpinan Partisipatif, Pendelegasian
Wewenang Dan Pemberdayaan Bawahan Bagi Organisasi

Pendahuluan
Seorang pemimpin pada satu lembaga merupakan pribadi yang bekerja dalam sistem dan sistem itu melibatkan sangat banyak peran manusia untuk menjalankannya. Pribadi-pribadi lain yang diposisikan sebagai bawahannya tidak boleh dikesampingkan karena mereka memberikan kontribusi peran beragam terhadap tercapainya tujuan lembaga yang dipimpinnya. Mungkin, ada beberapa bawahan yang menangani tugas terkait dengan masalah keuangan. Sedangkan, beberapa bawahan lainnya harus mengampu tanggung jawab pada bidang pemasaran, produksi, sumber daya manusia, administrasi dan umum serta bidang-bidang lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga. Sepandai apa pun seorang pemimpin itu, ia tidak dapat menjalankan peran kepemimpinannya tanpa peran serta pribadi lain yang dibawahinya. Dengan demikian, aspek partisipatif kepemimpinan dalam suatu lembaga sudah seharusnya menjadi masalah yang senantiasa diperhatikan serius dan dikelola dengan baik.

Para bawahannya bisa memberikan kontribusi bagi lembaga ketika kemampuan yang dimiliki didayagunakan melalui pendelegasian wewenang yang dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin mendelegasikan wewenang pada seorang bawahan (misalnya saja dalam bidang pengelolaan produksi) karena ia telah yakin sebelumnya bahwa bawahannya tersebut memang mempunyai kemampuan dalam bidang itu. Melalui pendelegasian wewenang, para bawahannya memiliki kesempatan untuk belajar sambil berbuat (learning by doing) guna menambah kemampuannya sehingga pada saat ia diserahi mengampu tanggung jawab lebih tinggi, kesiapan mental telah mereka punyai.

Selain itu, kontribusi peran para bawahan kepada lembaga juga dapat diberikan ketika mereka diberdayakan. Bila para karyawan berdaya, maka potensi diri mereka bisa dioptimalkan dan peran yang positif dapat mereka lakukan. Karena itulah, kepemimpinan partisipatif, pendelegasian wewenang, serta pemberdayaan bawahan adalah tiga hal yang perlu dikaji secara serius dan diimplementasikan dengan baik dalam suatu lembaga atau organisasi apapun bidang kegiatan yang ditekuninya.

Perumusan Masalah
Atas dasar analisis terhadap ilustrasi kasus yang disampaikan pada bagian selanjutnya bab ini dan pemahaman mengenai masalah utama yang terjadi dikaitkan dengan konsep-konsep teoritis di dalamnya, ada bebeberapa permasalahan yang bisa dirumuskan. Beberapa masalah yang dirumuskan tersebut adalah
1) Bagaimanakah arti penting partisipasi bagi pengambilan keputusan dalam organisasi atau bagian yang ada di dalamnya?
2) Bagaimanakah dampak model prosedur pengambilan keputusan bagi kinerja organisasi atau bagian yang ada di dalamnya?
3) Adakah pengaruh pendelegasian wewenang bagi komitmen maupun rasa memiliki (sense of belonging) para bawahan?
4) Seberapa pentingkah upaya pemberdayaan para bawahan bagi efektivitas organisasi atau bagian yang ada di dalamnya?
5) Tindakan apakah yang harus dilakukan oleh Paul Sanchez guna menghindari masalah penurunan produksi dan kualitas tersebut?
6) Langkah apakah yang harus dilakukan oleh Paul Sanchez untuk merespons masalah penurunan produksi dan kualitas tersebut?

Kajian Teori
I. Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan yang partisipatif memberikan ruang peran serta secara bermakna pada para bawahan dalam menjalankan aktivitas lembaga serta proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pemimpin menghargai masukan berguna yang diberikan oleh para bawahannya dan bukan tidak mungkin masukan mereka dijadikan landasan penentuan keputusan. Ada beberapa unsur penting dan tidak mungkin dipisahkan yang membentuk kepemimpinan partisipatif. Beberapa unsur penting tersebut adalah konsultasi, pengambilan keputusan bersama, pembagian kekuasaan, desentralisasi, serta manajemen yang bersifat demokratis.

Seorang pemimpin yang baik tentunya rela membuka ruang peran serta bagi para bawahannya secara sungguh-sungguh. Dalam artian bahwa ia memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyumbangkan saran, menyampaikan kritik atau keluhan, mengemukakan koreksi, serta berpartisipasi dalam penentuan keputusan. Pemimpin melakukan beberapa hal tersebut tidak sekedar basa basi. Dalam artian bahwa ia tidak memberikan kesempatan untuk menyatakan gagasan tetapi selanjutnya ia menciptakan rasa takut pada para bawahannya untuk mengemukakan inisiatif sehingga akhirnya para bawahan menyerahkan sepenuhnya proses kelembagaan padanya karena merasa apatis.

Menurut Vroom dan Yetton, prosedur pengambilan keputusan dalam organisasi meliputi lima model yaitu
1) Model AI mengandung arti bahwa pemimpin memecahkan masalah dan membuat keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang ada saat ini.
2) Model AII berarti bahwa pemimpin memperoleh informasi yang diperlukan dari para bawahan dan memutuskan sendiri keputusannya. Tetapi, ia bisa memberitahukan atau tidak kepada para bawahan untuk mendapatkan informasi mengenai masalah yang sebenarnya. Hanya sebatas memberikan informasilah peran para bawahan. Mereka tidak berperan dalam memecahkan masalah.
3) Model CI mengandung arti bahwa para bawahan yang berkompeten diajak berbicara mengenai suatu hal secara pribadi. Kemudian, pemimpin membuat keputusan yang mungkin didasari oleh masukan yang diberikan oleh bawahan atau bahkan tidak sama sekali.
4) Model CII berarti bahwa pemimpin mengajak para bawahan berbicara dan mereka dikumpulkan sebagai suatu kelompok. Selanjutnya, keputusan yang dibuat bisa dilandasi oleh masukan yang diberikan oleh para bawahannya atau juga bisa berdasarkan pandangan sendiri.
5) Model GII menggambarkan bahwa pemimpin dan para bawahan berbicara dalam suatu kelompok. Kemudian, mereka bertukar gagasan guna memecahkan suatu persoalan yang dihadap. Bila solusi sudah diperoleh, ia dijadikan dasar pengambilan keputusan. Ia bersedia menerima solusi yang dihasilkan dari pembicaraan itu dan tidak memaksakan kehendak agar gagasannyalah yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Melalui kepemimpinan yang partisipatif, diharapkan kondisi organisasional suatu lembaga menjadi lebih baik. Sehubungan dengan hal ini, bila mekanisme kepemimpinan partisipatif mencapai sasarannya, lembaga dapat memperoleh beberapa manfaat penting diantaranya
1) Kualitas keputusan yang diambil menjadi lebih tinggi karena telah melalui proses curah pikir (brain storming) serta adu gagasan. Tentunya, proses tersebut harus dilandasi oleh itikad baik, akal sehat, saling percaya, dan kesediaan untuk menerima gagasan baik yang disampaikan oleh pihak lain.
2) Pendewasaan anggota lembaga terjadi karena mereka dibiasakan untuk memahami pemikiran dan argumentasi pihak lain serta bersedia menerima kenyataan berupa diterima atau tertolaknya suatu usulan yang disampaikan.
3) Para anggota lembaga merasa diperlakukan secara terhormat sehingga perasaan ikut memiliki (sense of belonging) terhadap lembaga menjadi lebih kuat tertanam dalam hati mereka.
4) Para anggota lembaga menjadi terlatih untuk menganalisis masalah serta memecahkannya dan juga rasa kepercayaan diri mereka menjadi lebih mudah terbangun. Selanjutnya, apabila nantinya dipercaya untuk mengampu jabatan lebih tinggi, mereka menjadi lebih siap.

Mengingat kenyataan bahwa kepemimpinan partisipatif memberikan peluang kepada para bawahan untuk terlibat dalam aktivitas lembaga serta proses pengambilan keputusan, efektivitas keputusan dalam lembaga tetap harus memperoleh perhatian. Tidak sepantasnya seorang pemimpin menimpakan kesalahan pada terlibatnya para bawahan bila ia tidak dapat mengambil suatu keputusan secara efektif. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas keputusan. Diantaranya adalah
1) variabel situasional berupa jumlah informasi yang dimiliki oleh pemimpin serta bawahannya, kongruensi sasaran (goal congruence) pemimpin dan para bawahannya, mampunya pemimpin dan bawahan menjalin kesepakatan, dan kreativitas dalam memecahkan kebuntuan dalam pengambilan keputusan.
2) kesediaan para bawahan untuk menerima keputusan karena mereka merasa bahwa ada nilai positif yang dihasilkan oleh keputusan itu serta merasa keterlibatan dalam pengambilan keputusan benar-benar dihargai.
3) kualitas keputusan bagi lembaga yakni apakah secara obyektif –terlepas dari perasaan suka maupun tidak suka secara individual- keputusan yang diambil memberikan dampak positif atau tidak pada lembaga. Masalah kualitas keputusan ini amat penting untuk diperhatikan terlebih bila terdapat alternatif yang beragam.
4) dipahaminya aturan main dalam proses pengambilan keputusan. Pemahaman tentang aturan main sekaligus kesediaannya untuk menerapkan secara konsekuen menjadikan proses yang ditempuh memiliki probabilitas lebih besar untuk membuahkan hasil yang efektif dari pada apabila para bawahan serta atasan masih belum memiliki pemahaman yang sama.

Seorang pemimpin yang partisipatif akan merasa senang apabila para bawahannya memperlihatkan antusiasme terhadap upaya memecahkan problematika yang dihadapi oleh lembaga dan juga upaya untuk membuat kondisi lembaga semakin baik. Untuk itu, ia harus mampu melakukan diagnosis secara seksama terhadap beberapa aspek yang memiliki keterkaitan dengan situasi proses pengambilan keputusan. Beberapa aspek itu antara lain
1) pemahaman tentang urgensi keputusan yang akan diambil bagi lembaga.
2) pribadi yang memiliki kecakapan tertentu terkait dengan keputusan yang akan diambil.
3) seberapa besar kemungkinan untuk membangun kerja sama antara pemimpin dengan para bawahan dalam pengambilan keputusan.
4) kelayakan untuk menyelenggarakan pertemuan guna mencari beragam alternatif guna mengambil keputusan.

Selain itu, ia juga perlu sekali memberikan penguatan atau dorongan terhadap partisipasi para bawahannya. Penguatan terhadap partisipasi mereka dilakukan dengan jalan
1) memberikan kesempatan para bawahan untuk mengungkapkan gagasan mereka.
2) memperhatikan secara sungguh-sungguh gagasan yang dikemukakan oleh para bawahan.
3) memberikan umpan balik atas gagasan yang diungkapkan oleh para bawahan.
4) memberikan peluang bagi munculnya gagasan pembanding dari para bawahan lainnya.
5) memperlihatkan apreasi yang baik terhadap gagasan para bawahan termasuk juga saran-saran yang bersifat korektif.

II. Pendelegasian Wewenang
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk mendewasakan para bawahannya sehingga pada saat suksesi terjadi atau ketika mereka dibebani tanggung jawab lebih tinggi, kesiapan mental telah mereka miliki. Terkait dengan masalah ini, pendelegasian wewenang (delegation of authority) merupakan satu cara yang dapat ditempuh untuk melakukannya.
Pada dasarnya, pendelegasian wewenang adalah pemberian tugas atau tanggung jawab oleh seorang pemimpin kepada bawahannya. Apabila dikaitkan dengan konsep kepemimpinan partisipatif, pendelegasian wewenang adalah suatu hal yang menunjang, walaupun tidak identik. Secara umum, pendelegasian wewenang dilakukan dengan memberikan tugas atau tanggung jawab baru dan berbeda kepada bawahan. Dalam hal ini kita dapat mencontohkan seorang staff keuangan yang diberi tugas untuk melakukan pemeriksaan transaksi keuangan yang terjadi di dalam perusahaan. Ia harus memeriksa setiap transaksi yang terjadi secara seksama. Apabila terjadi hal yang tidak sesuai dengan kondisi yang seharusnya, ia diberi wewenang untuk melakukan perbaikan serta memberikan semacam rekomendasi terhadapnya.

Aspek utama yang melekat pada pendelegasian wewenang adalah
1) besar dan ragam tanggung jawab.
2) kebebasan yang dimiliki dan pilihan untuk melaksanakan tanggung jawab.
3) kewenangan guna melakukan tindakan dan melaksanakan keputusan tanpa persetujuan terlebih dahulu.
4) frekuensi pelaporan serta persyaratannya.
5) arus informasi terkait dengan kinerja.

Aspek lain dari pendelegasian wewenang adalah sejauh mana seorang bawahan harus meminta ijin kepada atasannya sebelum bertindak. Tingkatan pendelegasian wewenang terendah adalah bila seseorang masih harus bertanya atau meminta persetujuan atasan bila terjadi masalah yang dinilai diluar kebiasaan. Tingkatan yang lebih tinggi terjadi bila seorang bawahan diijinkan untuk menentukan apa yang harus dilakukannya tetapi harus memperoleh persetujuan dari atasannya terlebih dahulu sebelum melaksanakannya. Kemudian tingkatan tertinggi adalah ketika seorang bawahan diijinkan untuk menentukan suatu keputusan serta melaksanakannya tanpa persetujuan dari atasannya.

Terkait dengan syarat pelaporan, bawahan dikatakan memiliki kewenangan lebih besar jika ia hanya perlu memberikan laporan dalam intensitas yang tidak terlalu besar semisal laporan secara bulanan. Selain itu, laporan yang diberikan kepada atasannya hanya mendeskripsikan hasil yang dicapai tanpa harus disertai penjelasan tentang bagaimana prosedur pencapaiannya secara detil.

Dalam hal informasi atas kinerja, kewenangan bawahan dinilai besar apabila informasi rinci mengenai kinerja bawahan dikirimkan secara langsung kepadanya dan kemudian ia diberi wewenang untuk memperbaiki masalah yang terjadi. Beberapa manfaat yang diperoleh dari pendelegasian wewenang bila ia dilakukan secara benar adalah
1) Kualitas keputusan yang diambil menjadi lebih baik bila para bawahan memang memiliki kecakapan terhadap bidang tugasnya dibandingkan dengan atasannya serta ia lebih memahami permasalahan karena mempunyai lebih banyak informasi.
2) Komitmen bawahan untuk menerapkan keputusan secara efektif menjadi lebih tinggi bila pendelegasian wewenang itu memang benar-benar dilaksanakan karena pertimbangan kecakapan bawahan dan bawahan yakin dirinya mampu. Bukan karena ia hendak dijebak oleh atasannya untuk menangani masalah yang tidak dikuasainya guna dipermalukan nantinya.
3) Bagi bawahan, pendelegasian wewenang dapat menjadikan pekerjaan yang dilakukannya menantang dan memiliki arti. Bagi para bawahan yang cakap, pekerjaan yang menantang merupakan salah satu hal yang membuatnya betah bekerja dan membuatnya siap memikul tanggung jawab lebih tinggi.
4) Bila atasan mendapatkan beban kerja berlebih, pendelegasian wewenang merupakan cara untuk menguranginya sehingga ia dapat memfokuskan perhatiannya pada pekerjaan yang dinilai lebih penting untuk dikerjakan segera.
5) Manajemen organisasi dapat dikembangkan menjadi lebih baik karena pendelegasian wewenang merupakan wujud upaya penguatan kemampuan manajerial seseorang bawahan. Pada saat ia dipromosikan menuju posisi lebih tinggi, ia telah siap untuk mengembannya.

Sekalipun memiliki beberapa nilai lebih, pendelegasian wewenang tidak akan pernah bersifat mutlak. Seorang atasan tetap harus memikul tanggung jawab apabila ternyata pendelegasian wewenang tidak menciptakan keadaan yang lebih baik. Karenanya, ia tetap dibebani tanggung jawab untuk melakukan pemantauan.
Pendelegasian wewenang bisa saja gagal bila bawahan tidak cakap dalam mengampu tugas yang dibebankan padanya. Dari sudut pandang pribadi atasan, kegagalan untuk melakukannya terjadi karena ia terlalu membutuhkan kekuasaan dan takut tersaingi oleh bawahannya yang terbukti mampu melaksanakan tugas yang dibebankan dan sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain.

Agar dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan standar kinerja yang diharapkan, beberapa pedoman harus diperhatikan. Diantaranya adalah
1) memastikan dengan tepat apa tanggung jawab yang ingin didelegasikan
Agar tanggung jawab yang ingin didelegasikan bisa dipastikan, maka beberapa acuan dasar yang penting untuk diperhatikan adalah
a. Pendelegasian wewenang dilakukan untuk tugas yang memang dapat dilakukan secara lebih baik oleh bawahan.
b. Bila tujuannya adalah ingin mengurangi beban kerja berlebihan, maka tugas yang harus segera didelegasikan adalah tugas yang harus segera diselesaikan tetapi tidak mempunyai prioritas tinggi.
c. Pemimpin perlu mengetahui pendelegasian tugas yang relevan dengan jenjang karier seorang bawahan.
d. Pemimpin mendelegasikan tugas yang menentang tetapi pasti dapat dilakukan oleh bawahan.
e. Para bawahan harus dibiasakan untuk bersedia melaksanakan segala tugas yang dibebankan padanya.
2) menerapkan cara yang sesuai untuk mendelegasikan wewenang
Adapun cara yang sesuai dan menjadikan probabilitas berhasilnya pendelegasian wewenang tinggi adalah
a. menjelaskan tanggung jawab secara gamblang kepada bawahan.
b. memberikan wewenang yang memadai dan memiliki batasan jelas.
c. menjelaskan syarat pelaporan secara rinci.
d. memastikan bahwa bawahan memang bersedia memikulnya dan memiliki komitmen kuat untuk melaksanakannya.

Setelah wewenang didelegasikan kepada para bawahan, atasan harus melaksanakan tindak lanjut agar pendelegasian wewenang itu memperoleh dukungan. Diantaranya adalah
1) menyampaikan informasi tentang pendelegasian wewenang itu kepada pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu bawahan.
2) memantau perkembangan terkait dengan pelaksanaan tugas melalui indikator yang jelas.
3) memberikan informasi tambahan mengenai tugas yang didelegasikan.
4) memberikan dukungan psikologis kepada para bawahan dengan tetap memintanya mampu menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
5) apabila terjadi kesalahan, ia harus diyakinkan bahwa kesalahan itu adalah bagian dari proses belajar dan ia tidak boleh dipermalukan.

III. Pemberdayaan Bawahan
Satu hal yang juga penting untuk dipikirkan dalam pengelolaan sumber daya manusia guna mengembangkan organisasi adalah pemberdayaan bawahan (employee emporment). Pemberdayaan bawahan adalah upaya yang ditempuh untuk menjadikan mereka dapat mengoptimalkan potensi dirinya, bisa menyumbangkan peran positif, mampu melaksanakan tugas dengan baik, siap memikul tanggung jawab yang lebih tinggi, serta merasa memperoleh sesuatu yang berharga dari organisasi atau perusahaan tempat ia bernaung.

Upaya itu dipandang penting untuk dilakukan karena di satu sisi para karyawan akan menjadi merasa nyaman serta antusias untuk bekerja dan hal itu membuat mereka bersedia memberikan kontribusi peran serta produktivitas kerja yang semakin bagus. Di lain sisi, saat ini dan juga masa mendatang setiap organisasi akan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Jika ia ingin tetap eksis bahkan menjadi pemenang dalam persaingan tersebut, peran positif para anggota organisasi harus bisa ditingkatkan agar mereka menjadi faktor kunci kemenangan. Untuk itulah, berbagai langkah pemberdayaan harus diupayakan.

Memang, melalui pemberdayaan, motivasi instrinsik dan kemanjuran diri (self effifacy) dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan, karakteristik pekerjaan, struktur organisasi, serta nilai-nilai yang ada pada mereka sendiri. Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Spreitzer, pemberdayaan bawahan mengandung empat elemen psikologis yakni
1) makna (meaning) berupa konsistensi antara kandungan serta konsekuensi pekerjaan dengan nilai-nilai ideal seseorang.
2) determinasi diri (self determination) dalam arti bahwa bawahan mampu menentukan bagaimana serta kapan pekerjaan diselesaikan.
3) kemanjuran diri (self effifacy) yaitu kepercayaan diri yang tinggi bahwa ia mampu menangani pekerjaan secara baik.
4) dampak (impact) yakni keyakinan bahwa dirinya mamapu memberikan dampak atau pengaruh yang berarti pada pekerjaan serta lingkungan kerjanya.

Melalui upaya pemberdayaan, suatu lembaga dapat memperoleh beberapa hal positif seperti halnya
1) Para bawahan memiliki komitmen yang lebih kuat atas tugas yang dibebankan.
2) Para bawahan mempunyai inisiatif yang lebih besar dalam menjalankan tanggung jawab dari peran yang mereka emban.
3) Mereka menjadi lebih tegar dalam menerima ujian.
4) Mereka mampu menampilkan sikap inovatif dalam menyikapi tantangan.
5) Para bawahan menjadi optimis akan keberhasilan pelaksanaan tugas.
6) Mereka akan merasakan kepuasan kerja yang tinggi.
7) Para bawahan memiliki komitmen organisasional yang kuat.
8) Bagi organisasi, melalui pemberdayaan, tingkat keluar dan masuk (turn-over) karyawan dapat dikurangi.

Pemberdayaan dapat terlaksana dengan baik jika suatu organisasi telah mempersiapkan beberapa kondisi yang menunjangnya. Mengenai kondisi itu, Christ Argyris menyatakan bahwa beberapa kondisi penunjang tersebut adalah
1) desain pekerjaan yang dirasa memberikan tantangan.
2) struktur organisasi yang memberikan peluang terhadap pendelegasian wewenang serta pengayaan pekerjaan.
3) budaya organisasi yang memberikan tempat pada proses belajar, partisipasi, serta menampilkan fleksibilitas.
4) kesiapan mental bawahan untuk menerima tanggung jawab yang lebih tinggi.
5) kesediaan pemimpin dan bawahan untuk saling mempercayai.
6) keterlibatan para bawahan dalam dinamika proses organisasi.


Penurunan Mutu Dan Produktivitas Echo Electronics, Co. Ltd.
Paul Sanchez adalah manajer produksi Echo Electronics, Co. Ltd., perusahaan yang memproduksi serta mendistribusikan peralatan elektronika dan komunikasi. Ia membawahi para penyelia (supervisor) dari empat departemen produksi yang ada dalam perusahaan ini.

Enam bulan lalu, manajer bagian rekayasa Echo Electronics, Co. Ltd. mengajukan usulan rencana memasang semacam work station (bengkel kerja) terkomputerisasi yang baru untuk meningkatkan produkstivitas dalam lingkup pabrik. Hal tersebut dinilai merupakan gagasan terbaik pada saat itu dan Paul Sanchez selaku manajer produksi menyatakan bahwa ia bisa menerimanya. Chief executive officer perusahaan ini juga menyetujuinya dan peralatan tersebut segera dipasang.

Tiga bulan kemudian, Paul Sanchez terkejut sekaligus kecewa ketika mengetahui bahwa peningkatan produktivitas yang diharapkan tidak terjadi. Bahkan, kualitas produk juga mengalami penurunan. Manajer pemasaran memberitahukan padanya bahwa beberapa pelanggan setia mereka mengeluhkan kerusakan peralatan yang telah mereka beli. Terhadap hal ini, ia tidak percaya bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada bengkel kerja yang baru itu. Para teknisi yang diminta untuk melakukan pemeriksaan menyatakan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata tidak ada sesuatu yang salah dengan bengkel kerja yang baru. Terkait dengan masalah ini, kemudian Paul Sanchez membahasnya dengan empat orang penyelia yang dibawahinya. Dari pembahasan tersebut, para penyelia sesungguhnya juga merasakan bingung akan hal itu. Namun, mereka sendiri juga belum dapat memastikan masalah apa yang menjadi penyebabnya.

Para karyawan bagian produksi merasakan bahwa desain bengkel kerja buruk, pelatihan yang diberikan bagi mereka tidak mencukupi, dan insentif finansial bagi mereka dinilai tidak memadai. Para penyelia juga mengatakan kepada Paul Sanchez bahwa para karyawan bagian produksi menampilkan resistensi yang kuat terhadap bengkel kerja baru tersebut. Semangat kerja mereka merosot dan ada dua orang diantaranya yang mengajukan permohonan berhenti bekerja karena merasa bingung terhadap perubahan terkait cara melaksanakan pekerjaan.

Pada hari itu, Paul Sanchez menerima telepon dari chief executive officer yang baru saja menerima data mengenai jumlah produksi bulan lalu dan ia merasa prihatin pula atas masalah yang dihadapi. Chief executive officer menginginkan bahwa masalah tersebut harus segera dipecahkan oleh Paul Sanchez dengan bijaksana. Pada minggu depan, chief executive officer itu ingin mengetahui langka-langkah manajerial yang dilakukan oleh Paul Sanchez untuk mengatasi masalah penurunan mutu dan produktivitas peralatan elektronika serta komunikasi yang dihasilkan.


Pembahasan
Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu organisasi atau bagian di dalamnya (semisal bagian produksi Echo Electronics) memiliki arti yang penting. Terbukanya ruang partisipasi bagi para bawahan untuk hal tersebut menjadikan probabilitas untuk memperoleh keputusan yang bermutu tinggi lebih besar dari pada bila dilakukan tanpa partisipasi. Keadaan itu terjadi karena diasumsikan para peserta (bawahan dan pemimpin) memiliki gagasan beragam mengenai suatu masalah.

Mungkin saja, ada diantara mereka yang mempunyai pemikiran dangkal. Tetapi, bukan mustahil pula jika ada yang mampu menampilkan gagasan bermakna dan jumlah gagasan yang bermakna itu lebih dari satu. Apabila beberapa gagasan bermakna itu disampaikan lengkap dengan argumen logis yang melandasi dan kemudian disarikan atau disinergikan, keputusan yang dihasilkan oleh suatu unit organisasi seperti halnya bagian produksi Echo Electronics tersebut bisa semakin baik dan didukung oleh semuanya.

Melalui partisipasi, maka para bawahan merasakan bahwa keputusan yang diambil itu adalah hasil dari perjuangan bersama sehingga rasa memiliki dan keinginan untuk berhasil dalam menerapkannya terbangun lebih kokoh dalam pikiran mereka. Tentunya, mereka harus diyakinkan dengan argumen yang jelas mengapa suatu masukan diterima dan masukan lainnya ditolak. Kejelasan argumen serta dukungan jiwa besar dari para bawahan dan pimpinan untuk menerimanya sebagai keputusan bersama adalah faktor pendukung yang disyaratkan untuk ada. Demikian pula, karena partisipasi berarti memberikan kesempatan bagi semua untuk menampilkan pendapat dan pilihan sebelum keputusan akhir ditentukan, para peserta merasa diperlakukan secara terhormat. Kemudian, rasa keadilan prosedural akan mereka rasakan. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya, apabila para bawahan telah terbiasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mereka akan mempunyai bekal pengalaman yang berguna serta rasa percaya diri yang kuat sehingga apabila suatu saat nanti tanggung jawab lebih tinggi dibebankan, mereka telah relatif siap secara mental.

Model prosedur pengambilan keputusan yang diterapkan oleh seorang pemimpin memang mempengaruhi kualitas keputusan beserta penerimaannya oleh mereka yang diharapkan menerapkan keputusan itu. Keduanya kemudian secara bersama menentukan efektivitas keputusan setelah diterapkan dimana selanjutnya ia berdampak pada kinerja yang ditampilkan oleh organisasi atau bagian di dalamnya.

Mengenai pengaruh pendelegasian wewenang bagi komitmen dan rasa memiliki para bawahan terhadap organisasi kiranya sudah jelas dan kita tinggal menegaskan kembali saja. Bagi kita pada umumnya, bila kita diberi wewenang, kita merasa memperoleh penghormatan dan kepercayaan. Kondisi itu jelas-jelas merupakan hal yang kita kehendaki. Melalui pendelegasian wewenang, komitmen bawahan untuk menerapkan keputusan secara efektif menjadi lebih tinggi. Sudah tentu, pendelegasian wewenang itu memang benar-benar dilaksanakan karena pertimbangan kecakapan bawahan dan bawahan yakin dirinya mampu. Bukan karena ia hendak dijebak oleh atasannya untuk menangani masalah yang tidak dikuasainya dan kemudian ia hendak dipermalukan.

Bagi bawahan, pendelegasian wewenang dapat menjadikan pekerjaan yang dilakukannya menantang dan memiliki arti. Bila para bawahan cakap dalam bekerja, pekerjaan yang menantang merupakan salah satu hal yang membuatnya betah bekerja, mencintai tempat bekerjanya dan merasa sayang untuk pindah tempat kerja, selain membuatnya siap memikul tanggung jawab lebih tinggi.

Pemberdayaan para karyawan yang berhasil menjadikan tujuan organisasi lebih mudah dicapai karena para karyawan yang telah diberdayakan mampu menampilkan nilai lebih. Misalnya saja, para bawahan memiliki komitmen yang lebih kuat atas tugas yang dibebankan, mampu menangani tugas yang dibebankan serta mempunyai inisiatif yang lebih besar dalam menjalankan tanggung jawab dari peran yang mereka emban. Selain itu, ketegaran mental dalam menerima ujian dan optimisme yang tinggi mereka miliki. Mereka juga cenderung mempunyai komitmen organisasional yang kuat. Beberapa nilai lebih itu pastilah berguna dalam mewujudkan efektivitas organiasi.

Untuk menghindari masalah tersebut, dalam menjalankan peran selaku manajer produksi, Paul Sanchez harus berupaya untuk selalu melibatkan para bawahannya apabila ia menemukan permasalahan serta ingin memecahkan masalah serta mengambil keputusan. Selain itu, para manajer yang memiliki posisi setara dengannya juga harus diajak berbicara mengingat kenyataan bahwa bagian lain (keuangan, pemasaran, sumber daya manusia, dan penelitian serta pengembangan) juga merupakan bagian integral dari perusahaan. Mereka semua bekerja dalam suatu sistem. Sehingga, apabila suatu bagian memiliki usulan atas satu masalah, pengkajian secara seksama perlu dilakukan. Dari langkah itu, dampak yang ditimbulkan dan kemungkinan lainnya dapat diperkirakan. Sekali lagi, setiap bagian adalah komponen integral pembentuk organisasi. Masing-masing harus dapat memahami yang lainnya sehingga tatanan yang harmonis dalam organisasi tercipta.

Pada bagian produksi, Paul Sanchez perlu melakukan langkah-langkah antisipatif. Para penyelia dan juga karyawan yang ada harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di bagian produksi karena bagaimanapun juga mereka tentu mempunyai pengetahuan lebih detil terhadap dinamika keadaan yang terjadi. Masukan mereka sudah selayaknya dijadikan dasar penentuan keputusan. Ia harus mengupayakan agar keputusan yang diambilnya tidak menjadikan mereka merasa diabaikan. Dalam hal ini, ia perlu menerapkan prosedur pengambilan keputusan model GII.

Bila penugasan diberikan kepada mereka, kriteria penugasan yang jelas tentunya harus disampaikan sejak awal dengan jelas dan mereka perlu mendapatkan kepercayaan untuk itu guna memantapkan tekad mereka untuk bekerja lebih baik. Selaku manajer, ia harus mengoptimalkan peran mereka dan memberikan motivasi untuk bekerja dengan baik dan cermat. Para karyawan dan penyelia harus diyakinkan bahwa perusahaan dan bagian produksi tempat mereka bekerja adalah milik mereka serta pada merekalah kemajuan, dan pencapaian tujuan tertinggi perusahaan ditentukan. Seandainya dalam dinamika kehidupan lembaga mereka pernah mengalami hal-hal yang mengecewakan, mereka hendaknya diyakinkan bahwa itu merupakan proses wajar yang harus dilalui oleh semuanya, yakni perusahaan dan mereka. Perusahaan pastilah tetap memiliki itikad untuk memberikan hal terbaik bagi mereka. Justru, dalam kondisi itu sumbangan peran mereka makin dibutuhkan termasuk pula kesediaan mereka untuk memberikan berbagai masukan berharga bagi perusahaan dan bagian produksi tempat mereka bekerja.

Guna mempertinggi kemampuan teknis para karyawan, serangkaian pelatihan perlu diberikan secara rutin bagi mereka. Selain itu, ia juga harus memperhatikan kesejahteraan finansial para bawahannya. Suatu usulan sistem numerasi yang dirasa memberikan apresiasi terhadap prestasi dan kontribusi karyawan bagian produksi harus diusulkannya kepada manajemen puncak.

Kemauan dan masukan para karyawan bagian produksi terkait dengan pekerjaan yang mereka tangani perlu diperhatikan. Dalam hal ini, mereka diminta untuk menyampaikan pandangan mengenai bagaimana cara terbaik untuk melaksanakan pekerjaan. Masukan mereka harus ditindaklanjuti sebagai dasar penentuan keputusan. Bila memang ia memiliki pandangan tentang hal ini, ia harus menyampaikannya agar mereka bisa memberikan respons balik demi kebaikan.

Seumpama titik temu telah dicapai, tugas dalam bidang produksi kemudian didelegasikan kepada mereka dan untuk mereka otoritas yang cukup perlu diberikan agar mereka merasa dipercaya. Agar mereka tidak mengalami penurunan semangat, ia perlu mempersiapkan rancangan dekerjaan yang menarik dan tidak membuat mereka bosan nantinya. Selanjutnya, mekanisme pemantauan yang tidak menjadikan mereka ditempatkan pada posisi selaku pihak yang salah harus diterapkan. Paul Sanchez harus sadar pula bahwa bila kesalahan terjadi, hal itu hendaknya jangan langsung dipandang sebagai hal yang tak termaafkan. Kesalahan dan bagaimana mereka harus melakukan hal-hal yang benar perlu ditunjukkan secara elegan agar mereka memahaminya tanpa merasa direndahkan atau dipermalukan.

Kemudian, Paul Sanchez perlu melakukan pertemuan dengan para penyelia serta perwakilan karyawan guna membahas masalah ini. Kepada mereka, Paul Sanchez hendaknya meyakinkan kepada mereka tentang betapa pentingnya solusi yang dihasilkan dari pertemuan ini serta betapa pentingnya peran mereka. Sekali lagi, ia harus dapat menjadikan mereka percaya bahwa mereka adalah salah satu stake holder penting perusahaan ini serta penentu kemajuannya. Tidak mungkin perusahaan dapat menjadi besar tanpa sumbangan peran yang mereka berikan.

Dalam pertemuan itu, para penyelia serta perwakilan karyawan diminta untuk memberikan konsep solusi mengenai bagaimana rancangan bengkel kerja yang lebih baik diupayakan agar mereka bisa bekerja semakin baik dan produktif. Sudah barang tentu, konsep solusi yang diajukan ini harus tetap realistis dalam arti ia dapat dilaksanakan dan perusahaan mampu menerapkannya. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan, konsep solusi tersebut hendaknya tetap memperhitungkan kondisi nyata bagian lain dalam perusahaan sehingga tidak menimbulkan benturan karena perbedaan kepentingan. Buruknya pelatihan bagi para karyawan dalam mengoperasikan bengkel kerja perlu dicarikan pemecahannya juga dalam pertemuan tersebut. Para penyelia dan perwakilan karyawan harus dapat mengajukan usulan mengenai bagaimana pelatihan yang lebih baik bagi para karyawan diselenggarakan.

Demikian pula, untuk meningkatkan produktivitas para karyawan bagian produksi, para penyelia dan perwakilan karyawan hendaknya mampu merumuskan usulan mengenai sistem kompensasi yang kondusif. Dalam masalah ini, sistem kompensasi insentif tersebut harus mampu menjadikan para karyawan termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik, mampu membedakan perlakuan finansial antara karyawan yang lebih produktif dengan yang kurang produktif serta memberikan apresiasi terhadap prestasi. Seperti halnya solusi tentang rancangan bengkel kerja, usulan sistem kompensasi itu harus memperhitungkan kemampuan perusahaan. Selain itu, ia juga harus diusahakan agar tidak menimbulkan kecemburuan bagi para karyawan pada bagian lainnya.

Pada akhir pertemuan, Paul Sanchez perlu meneguhkan semangat mereka untuk bekerja lebih baik lagi dan menjadikan yakin bahwa semuanya adalah demi kebaikan mereka juga. Perusahaan akan tetap mampu berkembang dan mereka akan senantiasa menjadi bagian integral yang menciptakan kemajuan baginya.

Beberapa usulan itu nantinya harus disampaikan oleh Paul Sanchez kepada jajaran manajemen untuk dipertimbangkan. Kepada jajaran manajemen, Paul Sanchez hendaknya bisa memaparkan argumen yang meyakinkan tentang pentingnya pelaksanaan beberapa solusi yang dihasilkan dari pertemuan itu. Disamping itu, ia juga harus berbicara dengan manajer bagian rekayasa mengenai masalah yang sesungguhnya terjadi dalam bagian produksi yang dipimpinnya guna memperoleh solusi yang lebih komprehensif nantinya.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan konseptual-teoritis serta pemaparan ilustrasi kasus beserta pembahasannya di atas, beberapa kesimpulan dapat ditarik. Diantaranya adalah
1) Aspek partisipatif dalam pengambilan keputusan dan dinamika organisasi secara keseluruhan adalah hal yang penting untuk dikaji serta direalisasikan. Hal itu terjadi karena partisipasi ternyata memberikan beberapa efek penguatan bagi organisasi. Tentunya, partisipasi harus memiliki makna dan ditunjang oleh beberapa kondisi yang penguat.
2) Pendelegasian wewenang mempunyai dampak strategis bagi pematangan organisasi karena menjadikan para anggotanya memperoleh pembelajaran untuk memikul tanggung jawab lebih besar. Bila dikaitkan dengan konsep kepemimpinan partisipatif, pendelegasian wewenang adalah suatu hal yang menunjang, walaupun tidak identik.
3) Melalui pemberdayaan bawahan, organisasi mampu meningkatkan kontribusi nilai personal dari anggotanya. Mereka menjadi semakin berharga bagi organisasi. Pemberdayaan bawahan adalah upaya yang ditempuh untuk menjadikan mereka dapat mengoptimalkan potensi dirinya, bisa menyumbangkan peran positif, mampu melaksanakan tugas dengan baik, siap memikul tanggung jawab yang lebih tinggi, serta merasa memperoleh sesuatu yang berharga dari organisasi atau perusahaan tempat ia bernaung.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.