Selasa, 19 Mei 2009

Oscar De La Hoya Melawan Hector Camacho, The Golden Boy Versus Macho!

Salah satu lagi partai kejuaraan tinju dunia yang dinilai sebagai salah satu pementasan paling menarik tahun ini akan digelar. Pertarungan yang dipromotori oleh Bob Arum ini direncanakan berlangsung pada tanggal 13 September 1997 di Thomas&Mack Center Arena, Las Vegas. Pagelaran tinju ini mempertemukan idola anak-anak muda Amerika Serikat, Oscar “The Golden Boy” De La Hoya dengan seniornya yang beberapa tahun silam pernah tercatat sebagai petinju tersohor dengan reputasi cemerlang, Hector “Macho” Camacho. Sebagaimana halnya kita ketahui bersama, Oscar De La Hoya merupakan satu-satunya peraih medali emas dalam cabang olah raga tinju bagi kontingen Amerika Serikat pada Olimpiade Barcelona 1992 sekaligus juara dunia kelas welter WBC saat ini.

Duel antara kedua petarung yang sama-sama bergaya boxer yang indah dan cerdik itu sepertinya ingin menjawab pertanyaan yang selama ini memenuhi benak para pecinta olah raga tinju di seluruh penjuru dunia tentang siapakah sebenarnya yang lebih hebat diantara keduanya. Apakah Oscar De La Hoya yang masih berusia muda dan lincah ataukah Hector Camacho yang matang serta kaya akan pengalaman? Selama ini, kita semua hanya sering menyaksikan keduanya bentrok menghadapi lawan-lawannya di waktu dan tempat terpisah tanpa pernah sekali pun mereka naik ring dalam waktu serta tempat yang sama. Karenanya, kita sulit menilai siapakah diantara mereka berdua yang lebih hebat sekalipun pertemuan dengan beberapa lawan sedikit atau banyak bisa dijadikan tolok ukur secara kasar.

Memang, Oscar De La Hoya pernah meruntuhkan reputasi petinju legendaris Mexico, Julio “The Mexican Assasin” Cesar Chavez melalui kemenangan technical knock out pada babak keempat bulan Juni lalu. Pada pertandingan itu, Julio Cesar Chavez yang terkenal amat gagah perkasa sekaligus kuat dan sadis benar-benar dibuatnya mati kutu serta tak berdaya hingga harus dinyatakan kalah technical knock out. Padahal, empat tahun sebelumnya, yakni tahun 1992, Hector Camacho harus tunggang langgang dan tersiksa hebat selama dua belas ronde penuh di tangan Julio Cesar Chavez sebelum dinyatakan kalah angka mutlak.

Akan tetapi, gambaran di atas hanyalah perhitungan mentah di atas kertas. Olah raga tinju adalah cabang olah raga tak terukur (uncalibrated sport). Ia juga bukanlah matematika atau statistika dimana kita bisa dengan mudah memperoleh kesimpulan pasti melalui analisis regresi serta korelasi. Kita harus ingat Evander “The Real Deal” Holyfield yang justru mampu meredam keberingasan Mike Tyson dan mengalahkannya secara technical knock out pada babak kesebelas bulan November tahun lalu. Saat itu, ia diragukan kemampuannya karena kelemahan pada jantungnya serta kemenangannya yang meragukan atas Bobby Cziz.

Keadaan yang sama mungkin saja terjadi pada Hector Camacho. Walaupun selama beberapa waktu terakhir ini ia dinilai sudah tidak mempunyai pukulan yang mematikan –terbukti dari rekor pertandingannya yang hanya dihiasi oleh kurang dari separuh kemenangan knock out- namun juara dunia kelas menengah versi International Boxing Council ini adalah petinju yang terkenal sangat cerdik dan mampu dengan segera menemukan akal jitu guna mengalahkan lawan-lawannya. Masih kita ingat penampilan gemilangnya pada saat ia menghadapi Roberto “The Hands of Stone” Duran dari Panama yang sekalipun sudah uzur usianya namun masih tetap ganas bulan Juni tahun lalu. Setelah bertarung sengit selama dua belas babak penuh, berkat kemampuan teknis bertinjunya yang sangat tinggi, Hector Camacho mampu mempecundanginya dengan kemenangan angka mutlak. Roberto Duran itu sendiri adalah salah satu dari The Fabuluous Four selain Sugar Ray Leonard, Thomas “The Hitman” Hearns, dan Marvin “The Marvelous” Hagler.

Tidak hanya itu, kemenangan yang dapat dikatakan amat spektakuler dicatatkannya pada bulan Februari 1997 lalu dengan keberhasilannya mengalahkan petinju legendaris sekaligus seniman di atas ring, Sugar Ray Leonard yang berusaha tampil kembali dalam blantika ring tinju dunia. Sugar Ray Leonard yang terkenal sebagai petinju berotak brilliant dan memiliki teknik amat tinggi disamping kelincahan yang mengagumkan seolah berubah menjadi petinju yang baru saja belajar bertarung di hadapannya. Dihujaninya mantan peraih medali emas Olimpiade Montreal 1976 yang juga dijuluki New Muhammad Ali itu dengan serangkaian kombinasi pukulan dahsyat pada kepala serta perut sehingga wasit harus menghentikan pertarungan yang berjalan dengan timpang pada ronde kelima.

Selain itu, Hector Camacho juga memiliki gerakan kaki (foot work) serta liukan tubuh (body moving) yang lentur sehingga pukulan keras lawannya yang terlontar dengan sangat cepat sering kali termentahkan. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya, pengalaman bertarung yang dimilikinya jauh lebih banyak dibandingkan dengan Oscar De La Hoya. Ia juga telah teruji oleh lawan-lawan tangguh dengan berbagai tipe selain Roberto Duran serta Sugar Ray Leonard di atas. Diantaranya adalah Edwin “Chapo” Rosario (mantan juara dunia kelas welter WBA yang saat ini tengah berusaha come back), badak garang asal Uganda Cornelius “Boza” Edwards, Jose Luis Ramirez (buldozer ganas Mexico yang juga seteru berat Julio Cesar Chavez) serta mantan juara dunia kelas welter yunior WBC asal Amerika Serikat berdarah Italia yang berwajah tampan namun amat mengerikan yaitu Ray “Boom-Boom” Manchini. Mengenai Ray Manchini, ia adalah seorang petinju hebat dengan naluri berkelahi yang amat tinggi, pukulan yang sangat keras, dan teknik bertinju yang prima. Berkali-kali ia mempertahankan gelar yang disandangnya hingga ia membuat berita yang menggemparkan dunia dengan memukul roboh hingga tewas Kim Duk Koo, jawara Asia Pasifik dari Korea Selatan yang mencoba merebut gelarnya. Karena peristiwa inilah, WBC mengeluarkan peraturan baru berupa pengurangan jumlah ronde dalam suatu pertandingan dari lima belas ronde menjadi dua belas ronde. Seusai kariernya di dunia tinju professional, Ray Manchini beralih menjadi bintang film Hollywood kendati tidak cemerlang seperti yang lainnya.

Sementara itu, Oscar De La Hoya adalah petinju dengan masa depan cemerlang. Teknik bertinju yang juga sangat tinggi dimilikinya ditunjang dengan pengalamannya yang amat matang di dunia tinju amatir. Empat kelas telah dijuarainya, yakni kelas ringan yunior WBO, kelas ringan WBO dan IBF, kelas welter yunior WBC, dan kelas welter WBC. Kelebihan lain yang ada padanya adalah bahwa ia mempunyai pukulan jab dan straight yang mendesing secara cepat dan menyayat tajam selain hook kiri serta kanan yang sama mantapnya. Pukulan semacam itulah yang menjadi andalan para petinju bergaya boxer sepertinya. Telah banyak diantara para lawannya yang tersungkur di atas kanvas oleh pukulannya tersebut. Tak hanya itu, Oscar De La Hoya juga mampu berbuat sedemikian rupa sehingga para lawannya, termasuk Julio Cesar Chavez yang sangat perkasa larut dalam irama permainan yang dikehendakinya. Secara obyektif, Oscar De La Hoya tentulah diuntungkan oleh usianya yang jauh lebih muda dibandingkan dengan Hector Camacho. Walaupun bukan faktor penentu mutlak, bagaimanapun usia akan menciptakan perbedaan kondisi diantara keduanya, terutama apabila pertarungan berlangsung dalam tempo yang lama. Penampilan terakhirnya adalah ketika ia menjungkalkan fighter tangguh asal Kenya, David Kamau, hanya dalam dua babak pada pertengahan bulan Juni lalu. Padahal, David Kamau adalah salah satu dari sedikit petarung yang mampu memaksa Julio Cesar Chavez bertarung ketat selama dua belas ronde penuh.

Saat ini, Oscar De La Hoya dibimbing oleh pelatih bertangan dingin yang telah melahirkan banyak juara dunia, Emmanuel Stewart. Banyak diantara para pengamat tinju mengatakan bahwa kemenangan dalam waktu singkatnya atas David Kamau tersebut adalah berkat polesan taktik Emmanuel Stewart. Sebelumnya, Oscar De La Hoya memang “hanya” mampu memetik kemenangan angka ketika ia berhadapan dengan Miguel “Tokyo Santa” Angel Gonzalez dan Pernell “The Sweet Pea” Withaker beberapa waktu lalu.

Mengenai dua kemenangan angka yang membuat para pengamat tinju mulai meragukan kemampuannya, kita tidak bisa mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kesalahan pelatih yang sebelumnya menangani Oscar De La Hoya, yaitu Don Jesus Rivero. Demikian juga, keadaan itu juga tidak bisa dikatakan sebagai pertanda bahwa ia telah mengalami penurunan kemampuan. Mengapa demikian? Pemilihan stategi untuk mentargetkan kemenangan angka atau knock out pada dasarnya adalah hak pelatih maupun petinju yang bersangkutan. Merekalah pihak yang paling tahu mengenai tindakan yang harus dilakukan ketika pertarungan yang sebenarnya terjadi di atas ring dan juga berhak untuk memutuskan tindakan yang dipandang memiliki resiko paling kecil. Selain itu, kedua lawan yang dihadapi oleh Oscar De La Hoya adalah para petinju tangguh di kelasnya. Sehingga, merupakan hal yang wajar bila ia harus bersusah payah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengalahkan mereka.

Salah satu masalah yang harus diwaspadai oleh Oscar De La Hoya adalah konstruksi dagunya yang terlalu “indah” untuk ukuran olah raga tinju yang terkenal keras serta kejam. Dagu seindah yang dimiliki oleh aktris jelita ternama Paramitha Rusadi atau almarhumah Nike Ardilla memang menjadikan wajahnya tampan dan para penggemarnya terpesona. Akan tetapi, karena bentuknya yang terlalu “indah” itu pulalah, dagunya menjadi sangat fragile jika tersambar oleh pukulan yang datang secara cepat dan menghendak. Oscar De La Hoya sendiri pernah mengalami kenyataan pahit ketika ia bertarung melawan petinju kelas dua asal Mexico, Narsisco Valenzuela. Narsisco Valenzuela yang tidak diunggulkan, bahkan sepertinya hanya dijadikan umpan baginya ternyata mampu memanfaatkan kelemahan tersebut. Dihantamnya dagu Oscar De La Hoya sekuat tenaga dengan hook kanannya yang keras sekuat tenaga sehingga Anak Emas itu terjerembab ke kanvas pada babak pertama. Dengan terhuyung-huyung, ia bangkit, namun kemudian terjatuh lagi. Untunglah, wasit yang memimpin pertandingan tidak menganggap bahwa ia harus dinyatakan kalah technical knock out. Bisa jadi, nama besarnya membuat subyektivitas wasit membias kepadanya. Setelah menata diri, Oscar De La Hoya bangkit lagi dan berbalik mampu menjatuhkan Narsisco Valenzuela pada babak itu juga. Kiranya, kejadian tersebut harus dijadikan pelajaran berharga baginya untuk tidak lengah barang sedetik juga. Lawan yang dihadapinya nanti jelas jauh lebih tangguh serta berpengalaman dari pada Narsisco Valenzuela.

Berdasarkan penilaian umum, terlepas dari kemungkinan munculnya X Factor yang tak dapat diduga sebelumnya, pertarungan diperkirakan berlangsung seru serta menarik. Keduanya sama-sama mempunyai kelebihan. Siapa yang lebih siap dan waspada, dialah yang akan keluar sebagai pemenang. Sementara, siapa yang lengah dan jumawa akan menjadi pecundang. Kita nantikan bersama siapakah yang akan unggul. The Golden Boy atau Macho?

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta dan penikmat
serta pemerhati olah raga tinju profesional. Saat ini tengah bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng sebagai staff pengajar.


*)Tulisan ini pernah berusaha dikirimkan kepada Harian Solo Pos tetapi tidak dimuat dan tanggalnya sudah tidak saya ingat. Pada akhirnya, pertarungan tersebut dimenangkan oleh Oscar De La Hoya dengan keputusan mutlak ketiga hakim. Hector Camacho sempat terjungkal ke kanvas pada babak kesembilan. Saat itu, istri Hector Camacho, yaitu Amy Camacho tampak sangat terpukul perasaannya menyaksikan kejadian ini.
Tampak jelas dalam layar televisi, Amy Camacho meneteskan air mata.
Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Masihkah kelompok studi yang benar-benar menyenangkan ini eksis? Saya harus mengakui bahwa kelompok studi ini memiliki kontribusi amat berharga bagi upaya menjaga eksistensi Surakarta sebagai kota olah pikir dan kota yang tidak pernah berhenti dalam mencetak aktivis gerakan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar