Mike Tyson Kalah , Skenario Berubah…..
Apa yang terjadi pada hari Minggu 10 November 1996 benar-benar merupakan suatu hal yang menjadikan seluruh pemerhati olah raga tinju bayaran di seluruh dunia terhenyak. Betapa tidak? Evander “The Real Deal” Holyfield yang dianggap setengah cacat karena gangguan pada fungsi jantungnya dan dinilai sudah terlalu tua serta lemah untuk bertanding, bahkan tidak dipandang dengan sebelah mata (terbukti pasar taruhan Sport&Race Box mengunggulkan Mike Tyson 25 : 1) ternyata mampu membalikkan segala ramalan sinis tentangnya. Ia menghujani Mike Tyson dengan akumulasi pukulan jab, straight serta hook kiri dan kanan yang mengalir deras sehingga wasit Mitch Halpern terpaksa harus menghentikan pertarungan yang berjalan dengan seru tersebut pada babak ke sebelas. Monster Bionik yang terbiasa memukul roboh lawan-lawannya dalam waktu singkat kali ini mengalami nasib sial karena lawan yang dihadapinya ternyata mampu melontarkan demikian banyak pukulan yang membuatnya terhuyung-huyung mabuk pukulan dan kondisi itu jelas-jelas sangat membahayakan apabila pertandingan dilanjutkan.
Terlepas dari faktor kunci apa yang menentukan keberhasilan Evander Holyfield dalam merontokkan kegarangan Mike Tyson serta mengapa ia seolah kehilangan tajinya, peristiwa ini telah membuyarkan skenario yang dirancang secara matang jauh-jauh hari sebelumnya oleh promotor berambut landak, Don King. Kejadian itu merupakan peristiwa ulangan yang hampir sama dengan ketika James “The Buster” Douglas menjungkalkan anak emas Don King di babak kesepuluh pada pertandingan yang dilaksanakan di Tokyo Dome, Jepang. Saat itu, James Douglas diposisikan hanya sebagai bahan bakar pemanas bagi Mike Tyson guna menghadapi pertarungan sesungguhnya melawan Evander Holyfield.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut, Don King harus memeras otak guna merancang ulang skedul pertandingan bagi tambang uangnya itu. Kondisi seperti ini jugalah yang berlaku sekarang. Terpuruknya Leher Beton membuyarkan rencana pertarungan akbar antara ia melawan beberapa jawara lainnya semisal Michael “Double M” Moorer, Lennox “The Lion” Lewis, dan sebagai puncaknya yakni pertarungan pembuktian siapa yang paling hebat melawan Riddick “The Big Dady” Bowe. Don King memang harus memperhitungkan segala sesuatunya secara cermat sebab hal ini menyangkut bisnis bernilai puluhan juta Dollar yang nota bene merupakan ladang tempat ia mencari makan.
Kemungkinan besar, Don King akan tetap menggelar suatu even pertarungan ulang antara Mike Tyson dan Evander Holyfield. Hanya saja, pertandingan itu tidak akan terlaksana dalam waktu dekat. Ia harus menunggu atau lebih tepatnya lagi menciptakan saat terbaik untuk merealisasikannya. Kepercayaan diri serta ketegaran mental Mike Tyson haruslah dipulihkan terlebih dahulu. Salah satu cara selain memberikan waktu beristirahat yang cukup kepadanya, ia juga harus melewati beberapa pertarungan sebagai ujian atau pemanasan. Lawan-lawan yang dipandang mampu dikalahkan akan dihadapkan padanya. Mengenai siapa mereka, tentunya promotor berambut jabrik inilah yang lebih jeli memilihnya. Ia pasti mengetahui siapakah yang dinilai akan mampu menciptakan sensasi tersendiri sehingga publik mau memadati arena pertandingan. Tentu saja, promosi gencar yang terkesan bombastis dan kabar terasa lebih indah dari pada rupa juga bukan tidak mungkin dilakukannya.
Tahun lalu, ketika Mike Tyson come back setelah menghuni penjara selama kurang lebih dua tahun, Don King menghadapkannya dengan petinju tampan berkulit putih yang konon banyak memperoleh simpati dari kalangan selebritas Hollywood dan hanya mampu bertahan selama 88 detik di atas ring, Peter”The Hurricane” Mac Nelley. Mike Tyson bisa saja diadu dengan seorang petinju yang tidak kita ketahui namanya sebelumnya mantan jagoan kick boxing atau mantan karateka professional yang diberi julukan mengerikan agar perhatian publik tertuju padanya. Bahkan, Don King mungkin memilihkan lawan seorang petinju yang berpenampilan lucu karena postur tubuhnya yang luar biasa gendutnya dan kepalanya yang botak tetapi ganas menghajar lawan-lawannya di atas ring, Erich “Butter Bean” Esch.
Bagi Evander Holyfield sendiri, kemenangan yang telah diraih memberikan berkah tak terkira nilainya. Pertama, sudah barang tentu ia merengkuh kembali kejayaan serta nama besar yang pernah dimilikinya beberapa tahun silam sebelum dirampas oleh Michael Moorer. Di atas kancah tinju dunia, pamornya melesat. Terlebih lagi dengan melihat kenyataan tak terbantahkan bahwa ia menang dengan mengalahkan seorang Mike Tyson, sosok yang fenomenal sekaligus mengerikan. Di samping itu, daya tawar menawar terhadap para promotor terkemuka dunia -entah Don King, Bob Arum, Rock Newman, Cedric Kushner, Frank Maloney, Panos Eliades atau siapa saja yang berniat memanggungkannya- meningkat drastis. Ia akan mampu lebih leluasa memaksa mereka bersaing menawarkan bayaran tertinggi guna menghadapi seorang lawan yang diajukan kepadanya. Kalau mau, secara dingin dan tegas ia bisa saja mengatakan, “Take the opportunity I give or You may leave it!” kepada para promotor yang menawarkan bayaran kurang dari jumlah minimal yang dikehendaki. Kedua, banyak petinju kelas berat tangguh yang merasa penasaran dan ingin menguji kehebatannya di atas ring. Berkenaan dengan keuntungan kedua itu, keinginan para petinju kelas berat lain untuk berhadapan dengannya juga berarti terbukanya kesempatan naik ring yang sudah pasti membuat kantung hartanya menggelembung.
Permasalahannya sekarang, siapakah lawan yang pantas dihadapkan dengannya agar suasana marak dan gegap gempita percaturan tinju kelas berat dunia tidak terhenti sampai di sini saja? Pertanyaan ini amat pantas diajukan mengingat kita sering melihat kecenderungan juara dunia kelas berat sekarang mempertahankan singgasananya selama mungkin dengan cara yang jauh dari kesatria. Bisa kita contohkan di sini Riddick Bowe setelah merenggut juara dunia kelas berat versi WBA, WBC, dan IBF dengan mengalahkan Evander Holyfield pada akhir tahun 1992 justru memilih singa-singa tua seperti Jesse Fergusson dan Michael “The Dynamite” Dokes sebagai lawan tandingnya.
Kita pastilah masih ingat kejadian sensasional namun juga memalukan serta tidak pantas dilakukan ketika ia secara demonstratif mencampakkan sabuk juara dunia kelas berat versi WBC ke dalam tong sampahpada satu even konferensi pers yang diselenggarakannya di London. Tindakan tersebut dilakukannya karena ia merasa jengah kepada WBC yang terus mendesaknya secara keras untuk melaksanakan pertarungan wajib melawan penantang peringkat pertama asal Inggris, Lennox Lewis. Untuk itu, ia rela kehilangan gelarnya yang setelah itu diberikan secara cuma-cuma oleh WBC kepada Lennox Lewis.
Tidak berbeda dengan Riddick Bowe, Michael Moorer juga melakukan hal serupa. Setelah merebut gelar juara dunia kelas berat versi WBA dan IBF dengan menundukkan Evander Holyfield, ia malah memilih berbaku hantam melawan George “The Big” Foreman. Malangnya, tanpa disangka sama sekali ia justru terkapar pingsan pada babak ke sepuluh dan kehilangan gelar juaranya. Sementara, Evander Holyfield pun tidak bersih dari perilaku semacam itu karena seusai menumbangkan James Douglass pada ronde ke tiga, ia juga memilih lawan-lawan yang sudah merosot kemampuannya seperti George Foreman, Bert Cooper, dan Larry Holmes. Langkah yang ditempuh oleh para juara tersebut barangkali dapat dibenarkan oleh logika berpikir yang memandang bahwa tinju bukanlah olah raga semata, melainkan juga bisnis yang bersinggungan dengan manisnya lembaran Dollar. Tetapi, seharusnya mereka mengingat bahwa para pemirsa di seluruh penjuru dunia mempunyai hak untuk puas karena mereka menyaksikan pementasan partai berkualitas tinggi. Sedangkan pementasan kejuaraan dunia yang dilaksanakan secara sembarangan pasti akan menurunkan pamor olah raga tinju.
Dari sekian banyak penantang yang antri menunggu kesempatan berlaga, ada beberapa nama yang patut diberi penilaian khusus selain Mike Tyson yang setelah kalah melawan Evander Holyfield menyatakan ingin bertarung lagi. Mereka antara lain adalah George Foreman, David Tua, Darrold Wilson, Shannon Briggs, Crawford Grimsley, Lou Savaresse, Riddick Bowe, dan Andrew Golota. Pemaparan di bawah ini berusaha memberikan gambaran singkat mengenai beberapa nama tersebut.
George Foreman, Pak Tua Yang Belum Renta
Kalau Don King ingin membuat sensasi dengan memanggungkan partai The Battle of Ages Part II, George Foreman yang sekarang ini menyandang gelar juara dunia versi WBU (World Boxing Union) kiranya boleh diperhitungkan sebagai salah satu alternatif mengingat ia masih mempunyai semangat bertanding yang tetap tinggi, kecerdikan yang membuatnya masih mampu mengatasi lawan-lawannya yang jauh lebih muda, dan pukulan yang masih bertenaga.
Di bawah arahan pelatih bertangan dingin yang tersohor, Angelo Dundee, pertambahan usia yang terjadi padanya justru memberikan kematangan pribadi yang layak dicontoh oleh para yuniornya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Angelo Dundee adalah sosok yang berperan menjadikan Muhammad “The Big Mouth” Ali dan SugarRay “The Ring Artist” Leonard mampu menampilkan kemampuan terbaiknya. Sebagai catatan, pada pertarungan sensasional di Kinshasha, Zaire tahun 1973 yang diberi judul Rumble in The Jungle, Angelo Dundee adalah perancang strategi bagi Muhammad Ali sehingga ia mampu menumbangkan George Foreman pada ronde ke delapan. Pertarungan tinju itu sendiri diselenggarakan atas permintaan diktator yang berkuasa di Zaire saat itu, Mobutu Sese Seko.
Mike Tyson Dari Samoa, David Tua
Namanya David Tua, tetapi jelas ia tidak tertatih-tatih jalannya karena renta. Petinju kelas berat asal West Samoa yang sekarang bermukim di Amerika Serikat adalah petarung yang sangat garang. Gaya bertinjunya yang slugger fighter dengan lontaran hook dan upper cut kiri serta kanan yang sama kerasnya dinilai setara dengan Mike Tyson. Rekor bertandingnya amat bagus yakni 23 kali bertarung tanpa pernah kalah dengan 19 kali diantaranya menjungkalkan lawan-lawannya ke kanvas. Apabila ia diasuh dengan metode pelatihan sebagaimana Cuz D’Amato membina Mike Tyson, maka ia pasti mampu menjadi legenda baru bagi West Samoa dan juga dunia.
Darrold Wilson, Pelontar Hook Yang Bagus
Darrold Wilson adalah seorang debutan baru. Namun, ia dinilai memiliki prospek cerah. Rekor bertandingnya adalah 16 kali bertarung dan seluruhnya dimenangkan dengan 12 kali kememangan knock out atau technical knock out. Kelebihan yang dimilikinya adalah kemampuan melontarkan pukulan hook yang bertenaga serta beruntun. Hal itulah yang selama ini ditakuti oleh lawan-lawan yang dihadapinya di atas ring.
Si Jabrik Ganas, Shannon Briggs
Bagi lawan-lawan yang berdiri pada jarak kurang dari dua yard darinya, Shannon Briggs merupakan monster yang sangan menakutkan. Pukulan yang dimilikinya juga komplit. Bahkan, ia mampu melontarkan jab serta straight yang sama bagusnya dengan dua pukulan andalannya yang lain, yaitu hook dan upper cut. Ia sudah 26 kali bertanding dan 23 kali ia merobohkan lawan-lawannya serta hanya sekali saja ia kalah.
Crawford Grimsley, Mantan Kick Boxer
Ia baru sekali kalah dari George Foreman yang memang merupakan petinju kelas berat tersohor. Mantan kick boxer ini jelas tidak boleh dipandang ringan. Pukulannya yang mantap, gerakan kakinya yang lincah, dan daya tahan tubuhnya yang prima sebagai hasil latihan keras selama menekuni olah raga bela diri dari Thailand membuat 18 dari 20 lawan-lawan yang dikalahkannya terjerembab ke kanvas. Terlalu berbahaya jika ia dibiarkan leluasa menari memamerkan kelebihannya di atas ring.
Italian White’s Hope, Lou Savaresse
Saat ini, Lou Savaresse yang memegang gelar juara NABF (North American Boxing Federation) adalah petinju berkulit putih yang mempunyai determinasi pukulan tinggi. Kemampuannya ditunjang oleh lontaran jab dan straight yang mendesing keras serta cepat. Dari 32 orang lawannya, hanya 4 diantaranya yang bisa bertahan hingga bunyi lonceng tanda usainya ronde terakhir berdentang.
Sekalipun dalam beberapa waktu terakhir ini ia mulai jarang naik ring dan pada penampilan terakhirnya ia mulai kelihatan lamban, tidak salah apabila ia dipilih sebagai salah satu alternatif.
The Big and Funny Daddy, Riddick Bowe
Dari tiga kali duel melawan Evander Holyfield, Riddick Bowe dua kali memenangkannya dengan sekali kemenangan technical knock out. Figur bapak yang baik dan jenaka bagi anak-anaknya ini dikenal sebagai petinju kelas berat dengan daya ledak pukulan (explossing power) yang tinggi walaupun jarang ia melontarkan rentetan pukulan. Karena itu, tidak mengherankan apabila Herbie “The Dancing Destoyer” Hide, Sang Jagal Eropa enam kali dibuatnya jatuh bangun. Padahal, Herbie Hide petinju Inggris berdarah Nigeria ini dikenal amat galak jika sudah berada di atas ring. Ia amat rakus kemenangan knock out di ronde-ronde awal. Gerakan kakinya sangat lincah dan liukan tubuhnya amat luwes. Tetapi, di hadapan Riddick Bowe ia hanya menjadi mainan sebelum pertarungan dihentikan pada babak ketiga.
Ivan Drago Asal Polandia, Andrew Golota
Mantan juara kelas berat amatir Eropa dan peraih medali perunggu Olimpiade Seoul ini wajah serta perawakannya mengingatkan pada lawan bertanding Sylvester Stallone pada sekuelnya yang sangat terkenal Rocky IV. Andrew “The Cutter” Golota, petinju Polandia yang sekarang ini bermukim di Chicago senantiasa bertarung tanpa mengenal takut kepada lawan-lawan yang dihadapinya di atas ring.
Ia mempunyai pertahanan single cover kokoh, straight kanan yang keras, dan hook kiri serta kanan yang sama dahsyatnya. Kepalanya juga sulit dipukul karena tersembunyi secara rapi di antara bahu serta tangan kiri. Di bawah bimbingan seorang pelatih berotak bagus, Lou Duva, ia bertambah matang. Boleh dikatakan bahwa Andrew Golota menjadi penebar ancaman baru.
Hanya saja, ia mempunyai kekurangan yang mencolok yakni suka bermain kotor sepertinya halnya melancarkan pukulan terlalu bawah (low blow). Oleh sebab itulah, ia harus menerima kekalahan diskualifikasi dari Riddick Bowe. Padahal, dari perhitungan angka ia telah jauh mengungguli Riddick Bowe. Pertandingan yang dilangsungkan di Madison Square Garden kemudian ricuh dan memantik perkelahian massal.
Beberapa nama yang telah disebutkan di atas kiranya bisa menjanjikan pertandingan yang menarik bila dihadapkan dengan Evander Holyfield sebagai juara yang baru. Setidaknya, mereka dinilai tidak akan menampilkan perilaku pengecut sebagaimana yang sering kita saksikan pada beberapa pertarungan perebutan gelar sebelumnya dan bersedia mencurahkan kemampuan terbaik yang dipunyai. Kita berharap bahwa mereka mampu menampilkan tontonan bermutu tinggi yang benar-benar enak untuk dilihat.
Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen dan penikmat serta pemerhati olah raga tinju professional.
*)Artikel ini saya kirimkan kepada Harian Umum Suara Merdeka tetapi tidak dimuat dan tanggalnya sudah tidak saya ingat lagi. Akhirnya, setelah itu pertandingan yang digelar adalah pertarungan ulang antara Evander Holyfield melawan Mike Tyson. Kejadian menghebohkan pada saat itu terjadi. Mike Tyson menggigit telinga Evander Holyfield hingga dagingnya tercabik. Karenanya, wasit mengehentikan pertandingan pada babak keempat dan menyatakan bahwa Mike Tyson kalah diskualifikasi.
Ucapan terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan untuk mengembangkan wawasan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Hanya Tuhanlah yang mampu membalasnya. Apakah terjadi regenerasi pada kelompok studi ini hingga ia masih eksis sampai sekarang? Kontribusi kelompok studi ini bagi Surakarta sebagai kota intelektual benar-benar berarti menurut saya.
Wah artikelnya keren , jarang- jarang ada tulisan begini. Salam
BalasHapusEvander Holyfield memiliki teknis bertinju lebih baik dari Mike Tyson. Keunggulan mental Tyson sebagai petarung kalah oleh kemampuan teknik dan jangkauan tangan Holyfield yang lebih panjang
BalasHapusMike tyson petinju no wahid brow
BalasHapusOk
BalasHapus