Selasa, 19 Mei 2009


Manajemen Audit Lingkungan Dan Arti Strategisnya Di Masa Mendatang

Musim kemarau panjang yang telah berlangsung selama enam bulan bulan belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Sinar matahari yang menerpa bumi dengan bebas dan tanpa penghalang terasa begitu garang. Suasana gerah dan sumpek menyiksa serta panas terik menyengat ubun-ubun yang ditimbulkannya semakin terasa mendera.

Keadaan yang merupakan manifestasi kuasa alam ini telah menuai banyak keluhan bernada prihatin dari seantero negeri. Banyak diantara sungai, parit, danau saluran irigasi, serta sumber air mengering karena kehilangan isi. Kelaparan yang selama bertahun-tahun menjadi istilah haram dalam perbendaharaan kata pemerintah Orde Baru, saat ini merupakan kenyataan pahit yang tidak terbantahkan di beberapa tempat. Penderitaan berlingkup nasional ini semakin terasa berat manakala terbakarnya hutan tropis terutama yang berada di pulau Kalimantan dan Sumatera menyusul menjadi bencana baru yang tak kalah menyengsarakannya.

Kabut asap pekat yang menyesakkan nafas sebagai dampak langsung kejadian ini ternyata menimbulkan kesulitan lebih besar dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Terhambatnya aktivitas perekonomian masyarakat di berbagai wilayah tanah air disamping menurunnya kualitas dan kejernihan udara secara drastis merupakan mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan. Bahkan karena derasnya tiupan angin, kabut asap terbang melewati batas teritorial Indonesia dan mencemari wilayah udara negara-negara tetangga seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kejadian ini ternyata juga menimbulkan dampak politis yang sama sekali tidak dikehendaki, yaitu sedikit terganggunya hubungan kita dengan negara-negara yang selama ini menjadi sahabat dekat. Seperti halnya kita, mereka juga sangat terganggu olehnya. Tuduhan sebagai negara pelaku pencemaran –sekalipun secara tanpa sengaja- mereka tudingkan kepada Indonesia. Beberapa kali aksi protes karena terganggunya kehidupan mereka akibat ulah kabut asap yang menyelubungi atmosfer negara mereka dicetuskan di depan kantor perwakilan Indonesia.

Apa yang mereka lakukan tersebut harus diterima dengan lapang dada sebab mereka juga benar-benar merasakan keadaan yang tidak mengenakkan seperti halnya kita. Karena tingkat pencemaran udara dinilai sudah berada di atas ambang batas keselamatan, pemerintah Malaysia sempat berencana akan mengevakuasi warga kota Kuala Lumpur ke daerah lain yang lebih aman. Atas kejadian yang memalukan ini, kepala negara sampai harus ikut menanggung dampak buruk terbakarnya hutan akibat perbuatan sebagian kecil warga negaranya yang tidak bertanggung jawab. Presiden harus menyatakan permohonan ma’afnya kepada beberapa negara sahabat secara terbuka melalui media massa.

Sebagaimana yang biasa terjadi, kita baru mau berpikir, berkaca diri, dan merenung apabila peristiwa buruk telah menimpa.Hal itu persis sekali seperti yang diungkapkan oleh perumpamaan Jawa “Pupur sawise benjut”. Baru kita ingat betapa tidak ternilainya karunia Tuhan dalam wujud alam dan lingkungan hidup manakala ia telah merintih sakit serta menunjukkan reaksinya yang kadang tidak terduga. Sementara, karena kita merasa bahwa alam ini adalah hak milik penuh yang bisa diperlakukan sekehendak hati, semakin kerontanglah isinya. Kita tidak sadar bahwa ia adalah pinjaman dari sekalian anak cucu di masa depan yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Barangkali, apa yang tengah kita alami saat ini adalah salah satu bentuk tengara alam agar kita sadar bahwa ia harus lebih diperlakukan layaknya seorang sahabat dari pada musuh yang harus ditundukkan serta disiksa habis-habisan.
Rasa prihatin terhadap kejadian yang menimpa banyak saudara kita karena sakitnya alam ini benar-benar kita rasakan sekarang. Akan tetapi, bagi sebagian kita yang memiliki kesadaran lebih, perasaan ini akan menghunjam lebih dalam manakala kita tahu bahwa pengetahuan dan kesadaran akan nilai penting alam beserta tingginya derajat penghormatan yang diberikan terhadap upaya pelestariannya adalah nilai paling mendasar yang harus dihayati oleh setiap individu yang merasa dirinya seorang manusia. Akan tetapi, hal itu justru terlalu sering menghilang dari alam pikir kita yang konon sarat akan nilai-nilai rasionalisme yang kita puja sebagai ciri utama manusia modern. Padahal, prinsip yang menegaskan bahwa kita harus memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya dan juga mengupayakan kelestariannya sebenarnya justru berangkat dari pemikiran yang amat logis. Bahwa sikap gegabah terhadapnya akan menimbulkan akibat buruk berupa biaya sosial yang besarnya tak terkira di masa yang akan datang. Biaya sosial ini tidak akan terbayar oleh sejumlah keuntungan jangka pendek yang bisa diraup dari sikap eksploitatif terhadap alam. Dalam hal ini, bukti empiris yang nyata telah berbicara.

Terkait dengan kejadian seperti ini, beberapa tahun lalu Menteri Negara Lingkungan Hidup Ir. Sarwono Kusuma Atmaja pernah menegaskan perlunya diterapkan suatu proses manajemen audit lingkungan disamping Analisis Dampak Lingkungan (Andal) serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Keduanya wajib dilaksanakan bagi berbagai proyek pembangunan atau industri yang pendirian serta kegiatan operasionalnya berkaitan dan menimbulkan pengaruh terhadap lingkungan hidup. Apa yang dikemukakannya tersebut didasari oleh pemikiran bahwa masalah lingkungan hidup merupakan masalah yang besar sekali dampaknya terhadap kehidupan manusia di masa yang akan datang. Karena itulah, upaya untuk menjaga kelestarian alam dari serangkaian proses yang merugikan harus dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh banyak sisi, tidak cukup melalui Andal dan Amdal saja.

Secara normatif, kedua perangkat tersebut sebenarnya sudah mencakup banyak hal. Hanya saja, dalam praktek di lapangan berbagai kenyataan yang menyimpang acap kali terjadi. Bermainnya tangan-tangan kotor yang tak nampak (the dirty invisible hands) mampu membalikkan keadaan sehingga penyimpangan yang terjadi dan seharusnya tertulis dalam laporan, semisal pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri milik seorang besar yang merugikan banyak anggota masyarakat di sekitarnya justru tertutupi. Ada juga oknum pelaksana yang bersikap manipulatif karena tidak tahan terhadap godaan materi yang ditawarkan oleh pihak-pihak tertentu. Belum lagi sikap gamang yang dilaksanakan oleh para pelaksananya manakala dalam proses penyusunannya terpaksa harus berhadapan dengan kehendak pihak penguasa setempat. Itu semua hanyalah sedikit dari sekian banyak contoh kejadian di lapangan yang menjadikan kedua perangkat penilaian itu seperti macan ompong yang tidak lagi berdaya.

Dengan melaksanakan proses manajemen audit lingkungan, paling tidak akan diketahui pengaruh apa saja yang telah ditimbulkan serta akan dialami sebagai akibat dilaksanakannya suatu aktivitas yang bersifat ekonomis maupun teknologis, apa dampak ekologis dan sosial yang akan ditanggung bila suatu kegiatan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban yang harus ditempuh apabila terjadi suatu keadaan yang tidak diinginkan, bagaimana tindakan antisipatif yang mungkin dilakukan guna menghindari kejadian yang tidak dikehendaki serta sejauh mana keuntungan dan kerugian bila suatu tindakan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Terhadap hal ini, kita bisa menilai bahwa apa yang dikemukakannya itu memang merupakan gagasan yang cemerlang.

Lontaran pemikiran tersebut pada mulanya memperoleh banyak sambutan antusias bernada mendukung karena memang sangat bisa diterima oleh nalar. Hanya saja, dalam budaya masyarakat kita konsekuensi untuk mendukung suatu gagasan sekaligus konsistensi sikap dalam melaksanakan suatu tindakan merupakan hal yang langka. Hanya sesaat gagasan itu menjadi wacana, setelah itu surut hingga hilang sama sekali gemanya saat ini. Kondisi seperti itu mirip perumpamaan dalam bahasa Jawa “Rhog-rhog asem”. Sungguh satu hal yang patut disayangkan.

Terhadap hal ini, kiranya ada satu pokok pemikiran yang dapat dikemukakan. Pokok pemikiran itu adalah dijadikannya manajemen audit lingkungan sebagai salah satu bidang kajian tersendiri dengan dukungan kelembagaan yang representatif. Langkah ini dinilai perlu ditempuh karena untuk konteks kekinian, suatu gagasan bagus atau langkah mulia jarang yang bisa membuahkan hasil memuaskan apabila tidak didukung dengan proses sosialisasi intensif serta pelembagaan yang kokoh.

Dengan melaksanakan hal tersebut, beberapa manfaat bisa diperoleh. Diantaranya adalah lebih terstruktur serta sistematisnya pembahasan tentang permasalahan lingkungan hidup serta cara mengatasinya. Beragam pengetahuan dan informasi baru yang berkaitan dengan hal itu akan bisa dikumpulkan serta dikodifikasikan secara lebih teratur kemudian diolah secara matang dan disesuaikan dengan kondisi nyata sehingga memiliki nilai guna bila diterapkan.
Dalam lembaga tersebut, dikaji pula metode atau teknik baru untuk menganalisis berbagai dampak baik yang bersifat ekologis, sosial, ekonomis, bahkan kultural yang terjadi akibat dilangsungkannya suatu aktivitas. Disamping itu, cara mengelola kekayaan alam baik berupa hasil tambang maupun anugerah hayati sehingga lebih bermanfaat bagi rakyat banyak tanpa harus menyebabkan kerusakan alam bisa dikembangkan di sini. Sementara, bagi para anggota masyarakat atau kalangan akademisi yang menaruh kepedulian besar terhadap studi tentang lingkungan hidup, lembaga ini bisa memerankan diri sebagai pusat keunggulan (center of excellence) di bidangnya.

Agar pengkajian yang dilakukan lebih sesuai dengan perkembangan jaman serta komprehensif, kurikulum dan bidang studi yang tercantum di dalamnya haruslah disusun secara cermat. Mengingat kenyataan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan hal yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan, para pakar dari beragam bidang ilmu serta keahlian perlu dilibatkan di dalamnya. Diantaranya adalah para pakar ilmu biologi, kimia, demografi, kehutanan, geologi, teknik penyehatan, hukum, sosiologi, politik, ekonomi, budaya dan lainnya yang relevan. Peran serta dukungan para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi problema lingkungan hidup, terutama mereka yang selama ini gigih dan vokal dalam memperjuangkannya tidak boleh diabaikan. Hendaknya mereka dilibatkan secara aktif. Selama ini, mereka telah memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai kejadian yang sesungguhnya terjadi di lapangan, termasuk pula kejadian yang tidak menyenangkan. Dari mereka, bisa diharapkan sumbangan pemikiran tentang hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana melakukan pendekatan terhadap suatu kelompok masyarakat, melaksanakan advokasi atau menemukan solusi atas permasalahan yang terjadi.

Selain itu, kode etik yang mengatur perilaku serta apa saja yang boleh maupun terlarang untuk dilakukan oleh para lulusan lembaga ini juga harus dirumuskan sehingga integritas kepribadian mereka tetap terjaga. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa para lulusan terikat dalam aturan ikatan dinas. Masalah yang tidak kalah pentingnya lagi adalah bahwa sistem numerasi imbalan (reward) hendaknya dibuat semenarik mungkin dari sisi jumlahnya. Tentunya, hal ini bertujuan agar mereka mampu lebih berkonsentrasi dalam menekuni bidang garapnya nanti. Bagaimanapun juga, dalam hal ini kita harus mau berpikir realistis. Persoalan tersebut tidak bisa dikesampingkan begitu saja karena sering kali menjadi faktor penarik atau bahkan penolak bagi seseorang untuk menekuni suatu profesi. Pada dasarnya, tidak mudah memang mencetak sosok berintegritas tinggi seperti halnya Prof. Dr. Otto Sumarwoto.

Sudah barang tentu, upaya ini tidak bisa menjamin bahwa segala permasalahan akan terselesaikan. Akan tetapi, seandainya upaya itu dilaksanakan, paling tidak kita telah melakukan suatu langkah strategis dalam jangka panjang. Dengan demikian, kondisi buruk dalam bidang lingkungan bisa direduksi hingga tingkat yang paling minimal.

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta.
Saat ini tengah bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng sebagai tenaga pengajar.

*)Tulisan ini pernah mencoba dikirimkan kepada Harian Umum Suara Merdeka tetapi tidak dimuat dan tentang tanggalnya, saya telah lupa. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya sehingga saya bisa seperti ini dan juga kesediaannya untuk berbagi wawasan. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales. Tapi, apakah kelompok kajian ini masih eksis? Bagi saya, ia besar artinya bagi pengembangan atmosfir Surakarta sebagai kota olah pikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar