Peluang Pasar Baru Mobil Di China
Latar Belakang Masalah
Mengantisipasi kebutuhan penduduknya yang makin tinggi atas sarana transportasi, pemerintah China mengundang beberapa produsen mobil terkemuka dunia guna merancang mobil yang dinilai tepat untuk itu. Berkat keberhasilan reformasi dalam bidang ekonomi, kesejahteraan warga negara China memang meningkat pesat dan banyak diantara mereka kemudian mampu membeli mobil pribadi. Kondisi tersebut jelas amat jauh berbeda dengan apa yang terjadi beberapa puluh tahun sebelumnya.
Pemerintah China berharap bahwa para produsen mobil itu mampu membuat produk berorientasi ekspor selain melayani pasar domestik guna memperbesar kemampuan menyerap tenaga kerja. Mobil yang diproduksi harganya tidak boleh lebih dari US$5.000, kecil ukurannya, mampu mengangkut satu keluarga dengan seorang anak, dan kuat melewati jalan di wilayah China yang kondisinya kurang bagus. Selain itu, mobil yang dibuat harus menggunakan suku cadang buatan China sebanyak mungkin, menggunakan teknologi padat karya, serta dibuat berdasarkan kontrak kerja sama dengan pemerintah China. Bagi produsen mobil terkemuka dunia seperti halnya Chrysler, General Motor, Ford, Toyota, Nissan, Mazda, Hyundai, atau Daewoo, China dengan jumlah penduduknya yang besar adalah potensi pasar yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Berdasarkan prediksi, pada kurun waktu 40 tahun mendatang, 200.000.000 hingga 300.000.000 unit mobil akan dibutuhkan oleh warga China.
Tetapi, dari sudut pandang lingkungan hidup serta ketersediaan energi, fenomena ini layak untuk dicemaskan maupun dikritisi. Meningkatnya jumlah penjualan mobil di negara itu pasti akan menyebabkan naiknya volume konsumsi bahan bakar minyak secara agregat hingga melebihi jumlah yang dikonsumsi oleh warga negara Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri setiap tahunnya membutuhkan seperempat jumlah bahan bakar minyak dunia dan untuk memenuhinya ia harus mengimpor dari negara lain. Jika warga China mempunyai lebih banyak mobil, kondisi itu juga berpengaruh terhadap peningkatan kadar polusi bagi lingkungan hidup. Walaupun produk mobil dirancang untuk menghasilkan lebih sedikit polutan, peningkatan jumlahnya secara agregat tetap saja menambah zat pencemar. Apalagi, ternyata mobil yang dirancang untuk bebas dari polusi tetap saja menghasilkan gas karbon dioksida pada saat terjadi proses pembakaran. Dengan plafon harga tertinggi US$5.000 tiap unit, keinginan untuk membuat mobil yang bebas dari polusi adalah masalah yang sulit. Sementara, bensin produksi China terbukti mempunyai kadar timah tinggi. Untuk membuat bensin dengan kadar timah rendah, sejumlah besar dana investasi harus dikeluarkan. Dalam masalah ini, pemerintah China tentu saja merasa keberatan.
Alternatif untuk membuat mobil listrik juga sulit dilaksanakan karena listrik harus dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga gas yang membutuhkan banyak bahan bakar dari batu bara. Selain membutuhkan dana investasi yang besar, pembangkit listrik tenaga batu bara juga memiliki masalah dengan pelepasan sejumlah besar gas karbon dioksida ke udara. Masalah pencemaran tetap saja terjadi lagi dalam bentuk lain.
Dari sudut pandang ekonomi politik internasional, bertambahnya konsumsi bahan bakar minyak karena peningkatan jumlah mobil pribadi menjadikan China harus mengimpornya lebih banyak dari kawasan Timur Tengah. Padahal, hal itu berimplikasi pada terjadinya perbenturan kepentingan dengan Amerika Serikat yang juga menjadikan Timur tengah sebagai daerah pembelian minyak bumi impornya. Kenaikan volume impor karena peningkatan jumlah permintaan dari kedua negara besar tentulah menggoncangkan tatanan perekonomian Amerika Serikat serta negara-negara lain yang mempunyai ketergantungan terhadap penggunaan minyak bumi.
Pemerintah Amerika Serikat dalam hal ini merasa cemas karena apabila China membutuhkan minyak bumi dalam jumlah besar dengan harga kompetitif, negara ini mungkin saja membelinya dari Iran atau Irak dengan timbal balik berupa penjualan senjata mutakhir buatannya pada kedua negara ini. Amerika Serikat jelas tidak menginginkan terjadinya keadaan ini karena akan membahayakan posisinya di kawasan Timur Tengah. Pengaruh negara adi daya ini akan melemah apabila China kemudian menjalin hubungan perdagangan dan menjual senjata kepada Iran serta Irak. Keadaan ini benar-benar tidak diinginkan olehnya.
Dari paparan latar belakang permasalahan tersebut, terkait dengan tinjauan sudut pandang etis, ada beberapa masalah yang dirumuskan di sini. Beberapa masalah itu diantaranya adalah
Atas dasar sudut pandang etika, apakah merupakan tindakan yang salah jika perusahaan-perusahaan mobil dunia itu menyerahkan perancangan mobil produk mereka ke China?
Ditinjau dari pendekatan terhadap etika atas lingkungan, pendekatan manakah yang mampu memberikan masukan terbaik dalam masalah-masalah etis yang terjadi pada kasus ini?
Perlukah pemerintah Amerika Serikat melakukan intervensi dalam negosiasi antara produsen mobil Amerika Serikat dengan pemerintah China?
Pembahasan
Terkait dengan rumusan masalah pertama, tentunya pilihan beberapa perusahaan mobil terkemuka dunia untuk menyerahkan perancangan produk mereka ke China tidaklah bisa dipandang sebagai satu hal yang salah sepanjang pilihan itu mempertimbangkan beberapa tinjauan lain yang tidak kalah pentingnya. Dalam suatu hubungan interaktif antara dua atau beberapa pihak yang sehat, pada dasarnya azaz saling memberi dan menerima (take and give) harus berupaya diwujudkan. Menurut Prof. Dr. Sonny Keraf (1998), berdasarkan sudut pandang prinsip etis, hubungan antara dua atau beberapa pihak dalam bisnis sudah seharusnya menjadikan mereka dapat merasakan manfaat timbal balik darinya (mutual benefit principles). Tentunya, kondisi dimana terdapat satu pihak yang diuntungkan sedangkan pihak lainnya justru menanggung kerugian tidak boleh terjadi. Hubungan tersebut adalah simbiosis parasitisme yang harus dihindari.
Tentunya, para produsen mobil terkemuka dunia tersebut membuat atau memasarkan produk ke negara China karena mereka ingin memperoleh keuntungan finansial di sini. Pasar China yang dibentuk oleh permintaan mobil dari jumlah warganya yang sangat besar menyumbangkan proporsi pendapatan amat signifikan bagi mereka. Karena itulah, sudah selayaknya apabila mereka bersedia dan bisa memberikan manfaat kepada negara China sebagai mitra bisnis mereka. Dalam masalah ini, manfaat diwujudkan dalam pemberian kepercayaan kepada perusahaan mobil China untuk membuat suku cadang bagi mobil mereka, mempekerjakan para karyawan setempat, tidak menghasilkan banyak zat polutan dari proses produksi, dan rancangannya disesuaikan dengan kondisi nyata negara China.
Namun, hendaknya hubungan interaktif dan setiap perkembangan dalam jalinan kerjasama terlaksana dalam kondisi yang egaliter. Dalam artian bahwa hubungan interaktif serta setiap perkembangan yang terjadi harus menempatkan mereka dalam posisi setara serta tidak ada salah satu diantara mereka yang merasa tertekan, dipaksa, maupun tersubordinasi. Setiap pihak, baik perusahaan mobil dunia maupun pemerintah China dituntut untuk mau menempatkan mitranya secara sejajar sehingga mereka merasa dihargai satu dengan yang lainnya. Keadaan ini sesuai dengan salah satu prinsip etika bisnis lain sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Sonny Keraf (1998) yakni prinsip keadilan (equality principles). Prinsip keadilan menuntut agar setiap pihak diperlakukan setara melalui aturan yang adil dan sesuai kriteria yang obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Masing-masing pihak harus bersedia memahami bahwa mitra bisnis adalah pihak yang akan memberikan manfaat baginya dan oleh sebab itu mitra bisnis beserta kepentingannya harus dihormati. Selain itu, mereka juga harus memahami bahwa kesetaraan posisi, kesediaan untuk saling menghormati dan memberikan manfaat, serta kejujuran senantiasa menjadi kondisi yang diinginkan oleh semua pihak. Apabila salah satu pihak ingin melakukan perubahan kondisi serta kesepakatan, pihak lain haruslah diajak melakukan pembicaraan ulang agar jangan sampai ada yang merasa dilangkahi, ditipu, dan dirugikan. Hubungan bisnis antara dua pihak atau lebih bisa berlangsung dengan baik apabila prinsip kejujuran (honesty principles) dijunjung tinggi, selain prinsip keadilan di atas. Prinsip kejujuran dalam dunia bisnis mencakup tiga hal. Pertama, setiap pihak yang terlibat harus jujur dalam memberlakukan maupun memenuhi syarat-syarat perjanjian. Kedua, setiap pihak harus jujur ketika ia melakukan transaksi dengan pihak lain. Ketiga dan tidak kalah pentingnya adalah kejujuran dalam hubungan kerja internal dalam suatu lembaga bisnis.
Lingkungan hidup adalah anugerah bagi peradaban yang tidak ternilai harganya. Karena itulah, setiap upaya yang menunjang pelestariannya, memperbaiki kualitasnya, atau mengurangi dampak buruk yang terjadi padanya harus mendapatkan dukungan dari masyarakat, pelaku usaha, serta pemerintah. Perusahaan (termasuk juga produsen mobil) adalah lembaga yang terdiri dari orang-orang pandai yang sudah pasti memiliki pengetahuan mengenai masalah ini, demikian pula mengenai masalah etika terkait dengan lingkungan. Dalam hubungan dan aktivitas bisnis pada masa sekarang, penghormatan terhadap lingkungan harus memperoleh perhatian serius. Terlebih lagi, dalam kenyataannya saat ini kesadaran mengenai pentingnya menjaga kelestarian, memperbaiki kualitas, serta mengurangi dampak negatif pada lingkungan hidup telah menjadi fenomena global. Para anggota masyarakat dunia memperlihatkan ketertarikan sekaligus sikap kritis dalam hal ini. Berbagai negara di dunia terlebih negara maju memberlakukan persyaratan eco-labelling, yakni persyaratan bahwa setiap produk yang diekspor ke negara mereka harus memperoleh pengakuan sebagai produk yang dibuat dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan.
Walaupun demikian, negara-negara maju memang sering kali berlaku hipokrit. Di lain sisi, mereka menjadi negara-negara yang boros dalam hal penggunaan energi maupun beragam sumber daya yang acap kali diperoleh dari pengorbanan lingkungan hidup negara-negara berkembang. Selama beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka memulihkan kondisi lingkungan hidup serta lapisan ozon, negara-negara maju mengeluarkan sejumlah dana untuk mengkompensasikan kerusakan lingkungan hidup negara-negara berkembang melalui perjanjian perdagangan karbon (carbon trading).
Berkenaan dengan kerja sama ini, upaya penting yang harus mereka lakukan adalah bekerja sama melakukan penelitian guna menemukan berbagai produk otomotif yang hemat bahan bakar, mengeluarkan polutan yang makin sedikit serta memiliki fisik yang kuat. Langkah ini harus dijadikan sebagai program berkelanjutan bagi mereka. Harus diakui bahwa memang, penelitian tersebut tidak bisa langsung memberikan hasil memuaskan. Bukan tidak mungkin, ada prototype produk mobil baru yang dihasilkan dari penelitian dalam waktu lama ternyata tidak dapat memenuhi kriteria kelayakan secara ekonomis. Tetapi, upaya itu harus tetap bersedia di tempuh.sebagai bentuk pertanggungjawaban etis dari suatu lembaga yang bergerak dalam bidang bisnis.
Tuntutan mengenai kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab ini bukanlah tanpa dasar. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh The Performance Group (suatu konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling) diketahui bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan kepatuhan perusahaan terhadap tanggung jawab atas lingkungan (environmental compliance) bisa meningkatkan laba tiap lembar saham (earning per share) perusahaan dan kemampuan menghasilkan laba (profitability) serta mempermudah mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi dari pihak lain. Keadaan itu terjadi karena citra positif yang bisa ditunjukkan olehnya.
Pada tahun 1999, dalam jurnal Business and Society Review dikemukakan hasil penelitian bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik atas dasar kepatuhan pada kode etik akan meningkatkan nilai tambah pasar (market value added) sampai dua hingga tiga kali lipat daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Sedangkan berdasarkan seperti riset yang dilakukan oleh De Paul University pada tahun 1997 diketahui bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa jika diukur melalui hasil penjualan dan pendapatan tiap tahun.
Terkait dengan permasalahan ketiga, sebenarnya setiap negara pada dasarnya memang ingin memperjuangkan kepentingannya dan memperoleh keuntungan politis serta ekonomis dalam hubungannya dengan negara lain. Upaya memperjuangkan kepentingan dapat dilaksanakan secara langsung melalui hubungan diplomatik antara negara atau “menitipkan kepentingan” melalui berbagai perusahaan milik warga negara itu yang melakukan penanaman modal serta hubungan kerja sama dengan mitra bisnis maupun pemerintah negara lain. Hal ini harus diakui secara jujur sebagai satu kenyataan walaupun tidak semua realita itu langsung terlihat. Karena itulah, sebenarnya merupakan tindakan yang wajar apabila suatu negara seperti halnya Amerika Serikat ini melakukan intervensi, memberikan bantuan, atau tindakan lainnya yang dianggap perlu guna membantu keberhasilan upaya perusahaan asal negara itu yang melakukan kerja sama ekonomi di luar negeri, dalam hal ini China.
Hanya saja, tindakan yang dilakukan hendaknya diupayakan agar terlihat bukan sebagai bentuk intervensi dan tetap terkesan elegan di mata dunia internasional. Langkah-langkah pendekatan melalui jalur diplomatik maupun jalur lain yang memungkinkan perlu ditempuh secara halus sehingga pemerintah China tetap merasa dihargai serta memberikan respek kepada pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat hendaknya dapat meyakinkan bahwa pemberian kepercayaan kepada perusahaan mobil Amerika Serikat adalah pilihan yang amat masuk akal serta memberikan hasil yang menguntungkan negara China. Kondisi ini sesuai dengan prinsip mutual benefit di muka.
Berkenaan dengan hal tersebut, para staff diplomatik, atase perdagangan, konsultan intelijen dan komunikasi bisnis, serta para anggota tim negosiasi perusahaan yang bersangkutan harus melakukan kerja sama sinergis guna membantu kelancaran proses negosiasi. Para personal yang mempunyai kemampuan lobby tingkat tinggi juga harus diberi bagian peran signifikan. Mereka harus memiliki pemahaman yang bagus mengenai cara berpikir (mind set) dan nilai-nilai budaya maupun etika China baik yang berkenaan dengan hubungan bisnis, diplomasi internasional, serta hubungan antara manusia pada umumnya. Demikian pula, data mengenai perkembangan kondisi perekonomian, finansial, industri, dan perdagangan negara China serta Amerika Serikat yang termutakhirkan harus senantiasa dimiliki sebagai dasar untuk melaksanakan analisis kondisi dalam proses negosiasi. Keadaan itu dinilai penting diupayakan agar proses negosiasi berjalan dengan lancar dan memberikan kemungkinan lebih besar bagi perusahaan mobil Amerika Serikat untuk menjadi pemenang tanpa menimbulkan kesan pemerintah China terkalahkan. Menang tanpa ngasorake, demikian menurut salah satu prinsip etika Jawa. Lebih bagus lagi kondisinya apabila kedua belah pihak merasa memperoleh kemenangan.
Kesimpulan
Berdasarkan ilustrasi kasus mengenai upaya meraih peluang pasar baru bagi produk otomotif di negara China ini, beberapa hal dapat disimpulkan. Diantaranya adalah
1. Hubungan antara dua pihak atau lebih memerlukan landasan prinsip memberi dan menerima yang dirasakan seimbang serta mampu memberikan manfaat timbal balik bagi semuanya.
Latar Belakang Masalah
Mengantisipasi kebutuhan penduduknya yang makin tinggi atas sarana transportasi, pemerintah China mengundang beberapa produsen mobil terkemuka dunia guna merancang mobil yang dinilai tepat untuk itu. Berkat keberhasilan reformasi dalam bidang ekonomi, kesejahteraan warga negara China memang meningkat pesat dan banyak diantara mereka kemudian mampu membeli mobil pribadi. Kondisi tersebut jelas amat jauh berbeda dengan apa yang terjadi beberapa puluh tahun sebelumnya.
Pemerintah China berharap bahwa para produsen mobil itu mampu membuat produk berorientasi ekspor selain melayani pasar domestik guna memperbesar kemampuan menyerap tenaga kerja. Mobil yang diproduksi harganya tidak boleh lebih dari US$5.000, kecil ukurannya, mampu mengangkut satu keluarga dengan seorang anak, dan kuat melewati jalan di wilayah China yang kondisinya kurang bagus. Selain itu, mobil yang dibuat harus menggunakan suku cadang buatan China sebanyak mungkin, menggunakan teknologi padat karya, serta dibuat berdasarkan kontrak kerja sama dengan pemerintah China. Bagi produsen mobil terkemuka dunia seperti halnya Chrysler, General Motor, Ford, Toyota, Nissan, Mazda, Hyundai, atau Daewoo, China dengan jumlah penduduknya yang besar adalah potensi pasar yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Berdasarkan prediksi, pada kurun waktu 40 tahun mendatang, 200.000.000 hingga 300.000.000 unit mobil akan dibutuhkan oleh warga China.
Tetapi, dari sudut pandang lingkungan hidup serta ketersediaan energi, fenomena ini layak untuk dicemaskan maupun dikritisi. Meningkatnya jumlah penjualan mobil di negara itu pasti akan menyebabkan naiknya volume konsumsi bahan bakar minyak secara agregat hingga melebihi jumlah yang dikonsumsi oleh warga negara Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri setiap tahunnya membutuhkan seperempat jumlah bahan bakar minyak dunia dan untuk memenuhinya ia harus mengimpor dari negara lain. Jika warga China mempunyai lebih banyak mobil, kondisi itu juga berpengaruh terhadap peningkatan kadar polusi bagi lingkungan hidup. Walaupun produk mobil dirancang untuk menghasilkan lebih sedikit polutan, peningkatan jumlahnya secara agregat tetap saja menambah zat pencemar. Apalagi, ternyata mobil yang dirancang untuk bebas dari polusi tetap saja menghasilkan gas karbon dioksida pada saat terjadi proses pembakaran. Dengan plafon harga tertinggi US$5.000 tiap unit, keinginan untuk membuat mobil yang bebas dari polusi adalah masalah yang sulit. Sementara, bensin produksi China terbukti mempunyai kadar timah tinggi. Untuk membuat bensin dengan kadar timah rendah, sejumlah besar dana investasi harus dikeluarkan. Dalam masalah ini, pemerintah China tentu saja merasa keberatan.
Alternatif untuk membuat mobil listrik juga sulit dilaksanakan karena listrik harus dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga gas yang membutuhkan banyak bahan bakar dari batu bara. Selain membutuhkan dana investasi yang besar, pembangkit listrik tenaga batu bara juga memiliki masalah dengan pelepasan sejumlah besar gas karbon dioksida ke udara. Masalah pencemaran tetap saja terjadi lagi dalam bentuk lain.
Dari sudut pandang ekonomi politik internasional, bertambahnya konsumsi bahan bakar minyak karena peningkatan jumlah mobil pribadi menjadikan China harus mengimpornya lebih banyak dari kawasan Timur Tengah. Padahal, hal itu berimplikasi pada terjadinya perbenturan kepentingan dengan Amerika Serikat yang juga menjadikan Timur tengah sebagai daerah pembelian minyak bumi impornya. Kenaikan volume impor karena peningkatan jumlah permintaan dari kedua negara besar tentulah menggoncangkan tatanan perekonomian Amerika Serikat serta negara-negara lain yang mempunyai ketergantungan terhadap penggunaan minyak bumi.
Pemerintah Amerika Serikat dalam hal ini merasa cemas karena apabila China membutuhkan minyak bumi dalam jumlah besar dengan harga kompetitif, negara ini mungkin saja membelinya dari Iran atau Irak dengan timbal balik berupa penjualan senjata mutakhir buatannya pada kedua negara ini. Amerika Serikat jelas tidak menginginkan terjadinya keadaan ini karena akan membahayakan posisinya di kawasan Timur Tengah. Pengaruh negara adi daya ini akan melemah apabila China kemudian menjalin hubungan perdagangan dan menjual senjata kepada Iran serta Irak. Keadaan ini benar-benar tidak diinginkan olehnya.
Dari paparan latar belakang permasalahan tersebut, terkait dengan tinjauan sudut pandang etis, ada beberapa masalah yang dirumuskan di sini. Beberapa masalah itu diantaranya adalah
Atas dasar sudut pandang etika, apakah merupakan tindakan yang salah jika perusahaan-perusahaan mobil dunia itu menyerahkan perancangan mobil produk mereka ke China?
Ditinjau dari pendekatan terhadap etika atas lingkungan, pendekatan manakah yang mampu memberikan masukan terbaik dalam masalah-masalah etis yang terjadi pada kasus ini?
Perlukah pemerintah Amerika Serikat melakukan intervensi dalam negosiasi antara produsen mobil Amerika Serikat dengan pemerintah China?
Pembahasan
Terkait dengan rumusan masalah pertama, tentunya pilihan beberapa perusahaan mobil terkemuka dunia untuk menyerahkan perancangan produk mereka ke China tidaklah bisa dipandang sebagai satu hal yang salah sepanjang pilihan itu mempertimbangkan beberapa tinjauan lain yang tidak kalah pentingnya. Dalam suatu hubungan interaktif antara dua atau beberapa pihak yang sehat, pada dasarnya azaz saling memberi dan menerima (take and give) harus berupaya diwujudkan. Menurut Prof. Dr. Sonny Keraf (1998), berdasarkan sudut pandang prinsip etis, hubungan antara dua atau beberapa pihak dalam bisnis sudah seharusnya menjadikan mereka dapat merasakan manfaat timbal balik darinya (mutual benefit principles). Tentunya, kondisi dimana terdapat satu pihak yang diuntungkan sedangkan pihak lainnya justru menanggung kerugian tidak boleh terjadi. Hubungan tersebut adalah simbiosis parasitisme yang harus dihindari.
Tentunya, para produsen mobil terkemuka dunia tersebut membuat atau memasarkan produk ke negara China karena mereka ingin memperoleh keuntungan finansial di sini. Pasar China yang dibentuk oleh permintaan mobil dari jumlah warganya yang sangat besar menyumbangkan proporsi pendapatan amat signifikan bagi mereka. Karena itulah, sudah selayaknya apabila mereka bersedia dan bisa memberikan manfaat kepada negara China sebagai mitra bisnis mereka. Dalam masalah ini, manfaat diwujudkan dalam pemberian kepercayaan kepada perusahaan mobil China untuk membuat suku cadang bagi mobil mereka, mempekerjakan para karyawan setempat, tidak menghasilkan banyak zat polutan dari proses produksi, dan rancangannya disesuaikan dengan kondisi nyata negara China.
Namun, hendaknya hubungan interaktif dan setiap perkembangan dalam jalinan kerjasama terlaksana dalam kondisi yang egaliter. Dalam artian bahwa hubungan interaktif serta setiap perkembangan yang terjadi harus menempatkan mereka dalam posisi setara serta tidak ada salah satu diantara mereka yang merasa tertekan, dipaksa, maupun tersubordinasi. Setiap pihak, baik perusahaan mobil dunia maupun pemerintah China dituntut untuk mau menempatkan mitranya secara sejajar sehingga mereka merasa dihargai satu dengan yang lainnya. Keadaan ini sesuai dengan salah satu prinsip etika bisnis lain sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Sonny Keraf (1998) yakni prinsip keadilan (equality principles). Prinsip keadilan menuntut agar setiap pihak diperlakukan setara melalui aturan yang adil dan sesuai kriteria yang obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Masing-masing pihak harus bersedia memahami bahwa mitra bisnis adalah pihak yang akan memberikan manfaat baginya dan oleh sebab itu mitra bisnis beserta kepentingannya harus dihormati. Selain itu, mereka juga harus memahami bahwa kesetaraan posisi, kesediaan untuk saling menghormati dan memberikan manfaat, serta kejujuran senantiasa menjadi kondisi yang diinginkan oleh semua pihak. Apabila salah satu pihak ingin melakukan perubahan kondisi serta kesepakatan, pihak lain haruslah diajak melakukan pembicaraan ulang agar jangan sampai ada yang merasa dilangkahi, ditipu, dan dirugikan. Hubungan bisnis antara dua pihak atau lebih bisa berlangsung dengan baik apabila prinsip kejujuran (honesty principles) dijunjung tinggi, selain prinsip keadilan di atas. Prinsip kejujuran dalam dunia bisnis mencakup tiga hal. Pertama, setiap pihak yang terlibat harus jujur dalam memberlakukan maupun memenuhi syarat-syarat perjanjian. Kedua, setiap pihak harus jujur ketika ia melakukan transaksi dengan pihak lain. Ketiga dan tidak kalah pentingnya adalah kejujuran dalam hubungan kerja internal dalam suatu lembaga bisnis.
Lingkungan hidup adalah anugerah bagi peradaban yang tidak ternilai harganya. Karena itulah, setiap upaya yang menunjang pelestariannya, memperbaiki kualitasnya, atau mengurangi dampak buruk yang terjadi padanya harus mendapatkan dukungan dari masyarakat, pelaku usaha, serta pemerintah. Perusahaan (termasuk juga produsen mobil) adalah lembaga yang terdiri dari orang-orang pandai yang sudah pasti memiliki pengetahuan mengenai masalah ini, demikian pula mengenai masalah etika terkait dengan lingkungan. Dalam hubungan dan aktivitas bisnis pada masa sekarang, penghormatan terhadap lingkungan harus memperoleh perhatian serius. Terlebih lagi, dalam kenyataannya saat ini kesadaran mengenai pentingnya menjaga kelestarian, memperbaiki kualitas, serta mengurangi dampak negatif pada lingkungan hidup telah menjadi fenomena global. Para anggota masyarakat dunia memperlihatkan ketertarikan sekaligus sikap kritis dalam hal ini. Berbagai negara di dunia terlebih negara maju memberlakukan persyaratan eco-labelling, yakni persyaratan bahwa setiap produk yang diekspor ke negara mereka harus memperoleh pengakuan sebagai produk yang dibuat dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan.
Walaupun demikian, negara-negara maju memang sering kali berlaku hipokrit. Di lain sisi, mereka menjadi negara-negara yang boros dalam hal penggunaan energi maupun beragam sumber daya yang acap kali diperoleh dari pengorbanan lingkungan hidup negara-negara berkembang. Selama beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka memulihkan kondisi lingkungan hidup serta lapisan ozon, negara-negara maju mengeluarkan sejumlah dana untuk mengkompensasikan kerusakan lingkungan hidup negara-negara berkembang melalui perjanjian perdagangan karbon (carbon trading).
Berkenaan dengan kerja sama ini, upaya penting yang harus mereka lakukan adalah bekerja sama melakukan penelitian guna menemukan berbagai produk otomotif yang hemat bahan bakar, mengeluarkan polutan yang makin sedikit serta memiliki fisik yang kuat. Langkah ini harus dijadikan sebagai program berkelanjutan bagi mereka. Harus diakui bahwa memang, penelitian tersebut tidak bisa langsung memberikan hasil memuaskan. Bukan tidak mungkin, ada prototype produk mobil baru yang dihasilkan dari penelitian dalam waktu lama ternyata tidak dapat memenuhi kriteria kelayakan secara ekonomis. Tetapi, upaya itu harus tetap bersedia di tempuh.sebagai bentuk pertanggungjawaban etis dari suatu lembaga yang bergerak dalam bidang bisnis.
Tuntutan mengenai kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab ini bukanlah tanpa dasar. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh The Performance Group (suatu konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling) diketahui bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan kepatuhan perusahaan terhadap tanggung jawab atas lingkungan (environmental compliance) bisa meningkatkan laba tiap lembar saham (earning per share) perusahaan dan kemampuan menghasilkan laba (profitability) serta mempermudah mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi dari pihak lain. Keadaan itu terjadi karena citra positif yang bisa ditunjukkan olehnya.
Pada tahun 1999, dalam jurnal Business and Society Review dikemukakan hasil penelitian bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik atas dasar kepatuhan pada kode etik akan meningkatkan nilai tambah pasar (market value added) sampai dua hingga tiga kali lipat daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Sedangkan berdasarkan seperti riset yang dilakukan oleh De Paul University pada tahun 1997 diketahui bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa jika diukur melalui hasil penjualan dan pendapatan tiap tahun.
Terkait dengan permasalahan ketiga, sebenarnya setiap negara pada dasarnya memang ingin memperjuangkan kepentingannya dan memperoleh keuntungan politis serta ekonomis dalam hubungannya dengan negara lain. Upaya memperjuangkan kepentingan dapat dilaksanakan secara langsung melalui hubungan diplomatik antara negara atau “menitipkan kepentingan” melalui berbagai perusahaan milik warga negara itu yang melakukan penanaman modal serta hubungan kerja sama dengan mitra bisnis maupun pemerintah negara lain. Hal ini harus diakui secara jujur sebagai satu kenyataan walaupun tidak semua realita itu langsung terlihat. Karena itulah, sebenarnya merupakan tindakan yang wajar apabila suatu negara seperti halnya Amerika Serikat ini melakukan intervensi, memberikan bantuan, atau tindakan lainnya yang dianggap perlu guna membantu keberhasilan upaya perusahaan asal negara itu yang melakukan kerja sama ekonomi di luar negeri, dalam hal ini China.
Hanya saja, tindakan yang dilakukan hendaknya diupayakan agar terlihat bukan sebagai bentuk intervensi dan tetap terkesan elegan di mata dunia internasional. Langkah-langkah pendekatan melalui jalur diplomatik maupun jalur lain yang memungkinkan perlu ditempuh secara halus sehingga pemerintah China tetap merasa dihargai serta memberikan respek kepada pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat hendaknya dapat meyakinkan bahwa pemberian kepercayaan kepada perusahaan mobil Amerika Serikat adalah pilihan yang amat masuk akal serta memberikan hasil yang menguntungkan negara China. Kondisi ini sesuai dengan prinsip mutual benefit di muka.
Berkenaan dengan hal tersebut, para staff diplomatik, atase perdagangan, konsultan intelijen dan komunikasi bisnis, serta para anggota tim negosiasi perusahaan yang bersangkutan harus melakukan kerja sama sinergis guna membantu kelancaran proses negosiasi. Para personal yang mempunyai kemampuan lobby tingkat tinggi juga harus diberi bagian peran signifikan. Mereka harus memiliki pemahaman yang bagus mengenai cara berpikir (mind set) dan nilai-nilai budaya maupun etika China baik yang berkenaan dengan hubungan bisnis, diplomasi internasional, serta hubungan antara manusia pada umumnya. Demikian pula, data mengenai perkembangan kondisi perekonomian, finansial, industri, dan perdagangan negara China serta Amerika Serikat yang termutakhirkan harus senantiasa dimiliki sebagai dasar untuk melaksanakan analisis kondisi dalam proses negosiasi. Keadaan itu dinilai penting diupayakan agar proses negosiasi berjalan dengan lancar dan memberikan kemungkinan lebih besar bagi perusahaan mobil Amerika Serikat untuk menjadi pemenang tanpa menimbulkan kesan pemerintah China terkalahkan. Menang tanpa ngasorake, demikian menurut salah satu prinsip etika Jawa. Lebih bagus lagi kondisinya apabila kedua belah pihak merasa memperoleh kemenangan.
Kesimpulan
Berdasarkan ilustrasi kasus mengenai upaya meraih peluang pasar baru bagi produk otomotif di negara China ini, beberapa hal dapat disimpulkan. Diantaranya adalah
1. Hubungan antara dua pihak atau lebih memerlukan landasan prinsip memberi dan menerima yang dirasakan seimbang serta mampu memberikan manfaat timbal balik bagi semuanya.
2. Selain itu, kejujuran dan keadilan juga amat dibutuhkan. Terlebih lagi dalam hubungan bisnis yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya berupa dana.
3. Kesetaraan posisi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan maupun negosiasi bisnis merupakan paradigma yang perlu dipahami sejak awal.
4. Mengingat kenyataan bahwa permasalahan lingkungan serta konsumsi energi adalah penting bagi keberlanjutan peradaban dan masyarakat dunia memberikan perhatian besar terhadapnya, pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bisnis sudah sepantasnya untuk tidak mengabaikannya.
5. Kesadaran untuk menciptakan kondisi yang elegan dalam hubungan bisnis memberikan penguatan yang bermakna bagi keberhasilan kerja sama.
Saran
Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan serta negosiasi bisnis dalam ilustrasi kasus ini, saran yang dapat dikemukakan adalah
1. Sejak awal, perusahaan mobil yang hendak mengembangkan usaha atau memperluas cakupan wilayah pemasaran di China harus melakukan penelitian yang bersifat multi dimensional serta mencari informasi yang lengkap mengenai dinamika sosial, ekonomi, budaya, serta lingkungan negara ini.
2. Sekalipun upaya yang mereka tempuh terkait dengan masalah bisnis, setiap perusahaan mobil harus berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan kedekatan budaya serta psikologis dengan pemerintah dan masyarakat China secara berkelanjutan. Penciptaan kedekatan ini harus dilakukan secara elegan dan tidak menciptakan kesan bahwa upaya itu semata-mata dilakukan untuk meraih tujuan ekonomis.
3. Selain memperhatikan masalah dinamika sosial, ekonomi, budaya, serta lingkungan, setiap perusahaan mobil tersebut harus memikirkan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) kepada masyarakat melalui langkah-langkah sistematis serta berkelanjutan. Keterlibatan perusahaan yang bersifat positif dalam dinamika masyarakat akan menciptakan citra yang positif pula. Biaya sosial yang dikeluarkan hendaknya dianggap sebagai investasi jangka panjang. Kelestarian lingkungan hidup, perbaikan prasarana umum, penyuluhan keterampilan bagi warga sekitar, dan perbaikan kesehatan warga walaupun memerlukan biaya, namun secara jangka panjang sangat menguntungkan perusahaan. Kegiatan tersebut menciptakan iklim sosial yang kondusif bagi kelangsungan hidupnya
4. Apabila para produsen mobil ingin memperoleh bantuan dari pemerintahnya dalam rangka melakukan negosiasi dengan pemerintah China, langkah yang dilakukan tidak boleh menimbulkan kesan vulgar, ekspansionis, serakah, serta ingin menguasai. Seni bernegosiasi yang santun serta elegan haruslah dikuasai.
Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/.
2. Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Dr. A. Sonny Keraf. Jakarta ; Penerbit Kanisius, 1998.
3. Etika Bisnis. http://edratna.wordpress.com/2006/12
4. Is China’s People’s Car Bad or Good? San Jose Mercury News, 1 December 1996.
3. Kesetaraan posisi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan maupun negosiasi bisnis merupakan paradigma yang perlu dipahami sejak awal.
4. Mengingat kenyataan bahwa permasalahan lingkungan serta konsumsi energi adalah penting bagi keberlanjutan peradaban dan masyarakat dunia memberikan perhatian besar terhadapnya, pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bisnis sudah sepantasnya untuk tidak mengabaikannya.
5. Kesadaran untuk menciptakan kondisi yang elegan dalam hubungan bisnis memberikan penguatan yang bermakna bagi keberhasilan kerja sama.
Saran
Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan serta negosiasi bisnis dalam ilustrasi kasus ini, saran yang dapat dikemukakan adalah
1. Sejak awal, perusahaan mobil yang hendak mengembangkan usaha atau memperluas cakupan wilayah pemasaran di China harus melakukan penelitian yang bersifat multi dimensional serta mencari informasi yang lengkap mengenai dinamika sosial, ekonomi, budaya, serta lingkungan negara ini.
2. Sekalipun upaya yang mereka tempuh terkait dengan masalah bisnis, setiap perusahaan mobil harus berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan kedekatan budaya serta psikologis dengan pemerintah dan masyarakat China secara berkelanjutan. Penciptaan kedekatan ini harus dilakukan secara elegan dan tidak menciptakan kesan bahwa upaya itu semata-mata dilakukan untuk meraih tujuan ekonomis.
3. Selain memperhatikan masalah dinamika sosial, ekonomi, budaya, serta lingkungan, setiap perusahaan mobil tersebut harus memikirkan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) kepada masyarakat melalui langkah-langkah sistematis serta berkelanjutan. Keterlibatan perusahaan yang bersifat positif dalam dinamika masyarakat akan menciptakan citra yang positif pula. Biaya sosial yang dikeluarkan hendaknya dianggap sebagai investasi jangka panjang. Kelestarian lingkungan hidup, perbaikan prasarana umum, penyuluhan keterampilan bagi warga sekitar, dan perbaikan kesehatan warga walaupun memerlukan biaya, namun secara jangka panjang sangat menguntungkan perusahaan. Kegiatan tersebut menciptakan iklim sosial yang kondusif bagi kelangsungan hidupnya
4. Apabila para produsen mobil ingin memperoleh bantuan dari pemerintahnya dalam rangka melakukan negosiasi dengan pemerintah China, langkah yang dilakukan tidak boleh menimbulkan kesan vulgar, ekspansionis, serakah, serta ingin menguasai. Seni bernegosiasi yang santun serta elegan haruslah dikuasai.
Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/.
2. Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Dr. A. Sonny Keraf. Jakarta ; Penerbit Kanisius, 1998.
3. Etika Bisnis. http://edratna.wordpress.com/2006/12
4. Is China’s People’s Car Bad or Good? San Jose Mercury News, 1 December 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar