Kamis, 25 Juni 2009

Soal IPDN/STPDN


By: Philips Vermonte
http://pjvermonte.wordpress.com/2007/04/15/soal-ipdnstpdn/
Ramai sekali pembicaraan soal IPDN/STPDN setelah tewasnya Cliff Muntu, seorang siswa di sana, di tangan para seniornya. Kematian Cliff Muntu malah membuka kasus lama, ternyata penganiaya dalam kasus sebelumnya tidak pernah di eksekusi secara hukum alias belum menjalani masa tahanan.

Kasus IPDN/STPDN ini hanya kembali memperlihatkan carut marutnya birokrasi, penegakan hukum, dan dunia pendidikan kita. Di samping itu, budaya kekerasan masih berakar dan ditoleransi. Kalau lagi iseng, silahkan tengok saja friendster page yang dimiliki mahasiswa IPDN/STPDN. Di friendster page-nya, para praja IPDN/STPDN membela diri bahwa tindak kekerasan hanya dilakukan ’segelintir’ orang alias oknum. Memang khas orang kita, ‘oknum’ adalah pelarian terbaik untuk menutupi kelemahan. Kalau kejadian berulang, korbannya pun maksimal (alias kematian), tentu bukan oknum lagi penyebabnya.

Apalagi melihat cuplikan rekaman yang disiarkan Metro TV (saya lihat di youtube), acara ‘pembinaan’ dengan kekerasan dalam rekaman itu dilakukan tengah hari, terang benderang, di lapangan terbuka di dalam kampus. Artinya, kegiatan itu diketahui, dilihat semua orang, dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa di sana. Ulah para senior di IPDN/STPDN ini sebetulnya adalah cerminan budaya menindas yang ada dalam diri banyak orang kita juga. Sangat umum diantara kita ketika memiliki ‘kekuasaan’ sedikit saja, maka potensi menindas kepada mereka yang lebih lemah posisinya dari kita akan meningkat.

Bukan cuma di IPDN/STPDN, di kampus perguruan tinggi negeri juga begitu. Senior merasa berkuasa di banding junior, banyak dosen ‘menindas/mempersulit’ mahasiswa, petugas imigrasi yang meminta uang pada aplikan pembuat paspor, polisi lalu lintas menilang supir metromini, angkot atau ojek kadang tanpa alasan jelas. Rumus tentang kekuasaan sederhana, setiap mahasiswa ilmu politik tahu persis. Adagium dari Lord Acton bilang: power tends to corrupt. Dari jaman dulu hingga sekarang, kekuasaan sangat mungkin disalahgunakan.

Wajah kekerasan ada dimana-mana, watak militeristik juga terpelihara. Hampir semua ormas punya sayap ‘kekerasan’ dengan pemuda sebagai tulang punggungnya. Bahkan, dua organisasi Muslim terbesar di tanah air, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, punya Kokam dan Banser. Lalu, cerita tentang organisasi Pemuda Pancasila bukan lagi rahasia. Partai-partai politik juga punya sayap ‘kekerasan’, seperti PDI-P dan lain-lain. Baik berafiliasi formal dan non-formal.

Saya sendiri pernah diundang menjadi pembicara seminar yang diselenggarakan oleh siswa IPDN/STPDN di kampusnya di Jatinangor. Lupa, kalau tidak salah tahun 2003 atau 2004. Yang jelas acara itu diselenggarakan tidak lama setelah kasus tewasnya praja STPDN bernama Wahyu Hidayat. Topik seminarnya soal hubungan sipil militer. Sebagai panelis, waktu itu saya dipasangkan dengan Wakil Komandan Sesko TNI Angkatan Darat (Seskoad), yang saya lupa namanya. Penyelenggara acara ini, ya mahasiswa IPDN/STPDN. Bukan pihak rektoratnya.
Saya senang hari itu datang ke sana. Saya ingin tahu juga, bagaimana kehidupan di dalamnya. Seminarnya sih masih bergaya mobilisasi, semua praja wajib hadir di aula besar IPDN/STPDN. Jadi mungkin hari itu saya bicara di depan lebih dari 1000 siswa, rasanya seperti sedang kampanye partai politik..he..he.

Sepanjang interaksi saya hari itu, saya merasa bahwa mereka adalah praja/mahasiswa yang pandai. Dari cara mereka mengemukakan pertanyaan dan menanggapi kami sebagai pembicara, saya bisa meraba bahwa mereka serius belajar dan banyak membaca. Juga kritis pada TNI. Walhasil, saya tidak perlu kerja keras meyakinkan para siswa IPDN/STPDN yang notabene adalah calon birokrat sipil ini bahwa TNI itu harus dikontrol oleh pihak sipil sebagai prasyarat demokrasi yang sehat. Saya ingat moderator hari itu adalah seorang dosen muda perempuan mereka. Dari caranya menjadi moderator, mengulas dan ikut serta dalam diskusi, saya yakin dia adalah dosen yang luas bacaannya.

Hingga beberapa waktu lalu, saya masih sering menerima email dari para siswa IPDN/STPDN ini. Mereka sering bertanya banyak hal, mulai kajian sosial politik hingga berkonsultasi tentang bagaimana caranya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Saya baru sadar, bahwa email-email itu sudah berhenti, mungkin mereka-mereka itu sudah lulus sekarang dan ditempatkan di daerah masing-masing.

Sederhananya, saya mau bilang bahwa pendidikan di IPDN/STPDN saya rasa diperlukan. Yang harus dilakukan adalah menghilangkan elemen kekerasan. Memang kalau dibayangkan, negara seluas Indonesia membutuhkan aparat birokrasi yang cakap dan memang dididik untuk itu. Yang perlu dilakukan adalah menanamkan doktrin baru, bahwa mereka adalah birokrat pelayan masyarakat, bukan pemimpin.

Birokrasi kita menakutkan, karena malah mempersulit, bukan melayani. Malah, masyakarat yang lebih sering terpaksa melayani para birokrat ini. Ada tiga tempat yang saya suka keringat dingin kalau harus datang. Pertama, kantor semacam kelurahan atau kecamatan untuk bikin kartu keluarga, KTP atau semacamnya. Kedua, tempat bikin SIM. Ketiga, kantor imigrasi. Menyebalkan. Setiap ke tempat-tempat itu, belum sampai ke sana pun yang ada dibenak saya adalah bahwa saya akan dikerjai dan dipersulit. Kalau IPDN/STPDN terutama diarahkan pada pendidikan birokrat yang kompeten dan bermental melayani, tentu baik sekali.

Sepengamatan saya, ada yang salah dalam mentalitas para siswa dan lulusan IPDN/STPDN. Mereka merasa sebagai orang-orang terpilih dan calon pemimpin. Kalau terpilih, ya memang iyalah. Kan memang diseleksi, sama seperti mahasiswa di kampus negeri yang harus melalui UMPTN. Tetapi, kalau calon pemimpin, ya jelas bukan. Yang betul, mereka adalah calon birokrat, pelayan masyarakat. Saya rasa perasaan sebagai calon pemimpin ini adalah sisa jiwa Orde Baru, dimana birokrasi dulu adalah mesin politik kekuasaan. Maka tidak heran bila birokrat dianggap sebagai pemimpin.

Mungkin harus kita pahami, bahwa dalam konteks demokrasi pemimpin harus mendapat legitimasi lewat pemilihan (umum). Sementara mereka dari IPDN/STPDN ini disuplai, dijamin pekerjaannya setelah lulus di birokrasi hingga struktur pemerintahan di bawah. Salah besar kalau lalu mereka menganggap dan dianggap sebagai pemimpin, wong untuk mendapat jabatannya itu mereka tidak melalui pemilihan untuk meyakinkan apakah masyarakat menghendaki mereka jadi pemimpinnya kok.

Konon kabarnya, siswa IPDN/STPDN terutama dipersiapkan menjadi camat. Camat di Indonesia adalah sayap birokrasi, tidak melalui mekanisme pemilihan umum. Dibanding Camat, para kepala desa justru lebih pantas dianggap pemimpin, karena sebagian besar mereka sekarang dipilih langsung oleh masyarakat desa.

Jadi, hancurkan doktrin yang ditanamkan pada siswa IPDN/STPDN soal pemimpin ini. Juga hancurkan doktrin soal eksklusifitas. Eksklusifisme dimana-mana akan mengorbankan transparansi, dan membuat orang merasa lebih baik daripada yang di luar lingkaran mereka. Baju seragam, potongan cepak, sepatu hitam mengkilat hapuskan saja, dari sini juga mungkin rasa eksklusifisme dipelihara (walaupun ini juga susah, pasti ada kepentingan bisnis dari penyedia segala atribut baju seragam, sepatu, tas dan semacamnya untuk ribuan siswa IPDN/STPDN setiap tahunnya..he..he). Kalau masih mau pakai seragam, yah kasih celana kain hitam dan kemeja putih saja yang lebih netral. Atau pakai seragam merah putih sekalian?

Karena merasa eksklusif, ada potensi siswa IPDN/STPD terlalu tinggi menilai diri mereka sendiri (yang membuncah dalam diri senior-senior brutal itu). Merasa bahwa mereka adalah ‘trah’ terbaik, siap jadi pemimpin. Pinjem kata-kata si Tukul lagi: gundul mu!…he..he. Kalau perlu bubarkan juga mekanisme asrama itu. Calon birokrat ya sebaiknya tinggal berbaur saja dengan masyarakat di sekitar. Beasiswa mereka toh bisa jalan terus. Sekalian, buka juga pendaftaran bagi pihak umum yang ingin belajar di IPDN/STPDN. Kajian soal pemerintahan, otonomi daerah, dan pemerintahan daerah adalah kajian umum. Program otonomi daerah yang berjalan di Indonesia adalah salah satu yang paling masif di seluruh dunia. Karena itu, lulusan perguruan tinggi yang paham soal pemerintahan daerah dan otonomi juga diperlukan oleh pihak swasta. Juga oleh pihak luar negeri yang akan berhubungan dengan pemerintah daerah.

Dengan demikian, kajian IPDN/STPDN akan lebih kaya dan bisa ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas untuk memajukan daerah, bukan hanya untuk birokrasinya. Jadi saya bersetuju bahwa IPDN/STPDN layaknya diatur oleh Depdiknas, bukan oleh Depdagri. Walaupun, untuk calon siswa IPDN/STPDN yang masuk melalui jalur seleksi Pemda, tetap bisa diberi ikatan dinas dengan Depdagri dan dipersiapkan memasuki birokrasi.

Dari tanggapan atas permasalahan yang lagi-lagi terjadi di dalam lingkup lembaga pendidikan bernama Institut Pemerontahan Dalam Negeri tersebut yang dikemukakan oleh Phillips Vermonte di atas, perkenankanlah saya memberikan tanggapan dan semoga tanggapan yang saya sampaikan ini mampu memberikan semacam ulasan penajam.


Bersihkanlah Rumah Pendidikan Ini Dan Janganlah Ada Upaya Menghalangi!
Dalam hal ini, ada tugas besar yang harus dilakukan. Tugas besar dan sudah pasti amat berat itu adalah meyakinkan kepada seluruh praja IPDN bahwa sesungguhnya ada keadaan yang salah dan menyimpang dari norma beradab yang terjadi di kampus mereka. Selama mereka belum dapat diyakinkan bahwa ada sesuatu yang salah dan menyimpang, permasalahan yang sama atau setidaknya memiliki bobot buruk yang sama pastilah terjadi lagi dengan beragam modifikasinya.

Para praja harus diyakinkan bahwa perilaku menyimpang semisal menganiaya para mahasiswa di bawah angkatannya dengan alasan pembinaan, penguatan mental, dan penciptaan ketahanan fisik, serta upaya menjalin keakraban adalah perbuatan yang jelas-jelas salah serta bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal. Anda tahu, kurang sakti apa United States Marine Corps yang termasyhur hingga ke seluruh dunia itu? Namun, para pelatih sama sekali tidak dibenarkan menurunkan tangannya untuk memukul para kadet manakala proses penggemblengan tengah dilaksanakan. Mohon dicatat, hal ini berlaku pada lingkungan militer yang sebenar-benarnya. Padahal, IPDN jelas-jelas bukan merupakan entitas kemiliteran.

Begitu pula kepada praja putri. Mereka harus dapat diyakinkan bahwa perilaku seks di luar pernikahan yang dilakukan oleh teman-teman mereka adalah perbuatan yang salah dan sebenarnya tidak boleh sama sekali dilaksanakan oleh putra-putra rakyat yang selama ini dibiayai oleh negara untuk menjadi calon abdi masyarakat sekaligus suri tauladan. Para praja putri jangan merasa dicemarkan nama baiknya apabila tersiar kabar bahwa perilaku seksual di luar pernikahan dilakukan oleh teman-teman mereka karena berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Bapak Inu Kencana Syafe’i, hal buruk itu telah sesungguhnya terjadi. Sementara, Bapak Inu Kencana Syafe’i sendiri telah pernah menangkap basah sepasang praja yang berbuat mesum. Belum lagi berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh AnTeve pada mata acara telisik. Pada saat acara itu ditayangkan, ternyata perilaku buruk itu memang dilakukan oleh oknum praja. Bahkan, dari penyamaran yang dilakukan oleh reporter AnTeve yang mewawancarai salah satu tukang pijat dan penjual jamu, diketahui bahwa konsumen jamu peluntur kandungan serta jasa pijat untuk menggugurkan kandungan ada yang berasal dari lingkungan kampus ini.

Seharusnya, praja yang berperilaku seperti inilah yang harus dibersihkan. Bukan justru memperkuat mekanisme pembelaan diri sehingga permasalahan buruk itu tetap terjadi dan tidak pernah terselesaikan. Jika pada tulisan di atas Phillips Vermonte memuji mereka karena mereka dinilai sebagai para mahasiswa yang pandai, kritis, dan luas bacaannya, maka apakah di luar lembaga pendidikan itu tidak banyak yang mampu tampil seperti mereka bahkan melebihi mereka. Padahal, para mahasiswa di luar lembaga pendidikan itu tidak diberi uang saku, tidak diberi seragam, dan tidak pula dijamin masa depannya dengan penempatan kerja serta ikatan dinas. Sepertinya, saya yang tidak cerdas ini juga bisa seperti mereka. Bahkan, saya bisa menambah kelebihan dengan tidak berlaku sok jagoan.

Bagaimana dengan mental para dosennya? Mohon percayai penuturan Bapak Inu Kencana Syafe’i. Para dosen IPDN pada dasarnya adalah pegawai negeri sipil yang memiliki hak memperoleh gaji dalam jumlah yang berlaku untuk para pegawai negeri sipil lainnya. Bagaimana dengan rumah seharga ratusan juta Rupiah yang dimiliki oleh mereka? Dari mana kemampuan untuk membeli rumah itu diperoleh? Hal itu sangat layak untuk diselidiki.Kejujuran dan kebersihan perilaku amat penting dimiliki oleh para pendidik. Mereka adalah pihak yang harus memperbaiki kualitas sumber daya manusia, tak terkecuali budi pekertinya. Sudah barang tentu, sebelum memperbaiki diri orang lain, diri mereka harus telah bersih, setidaknya untuk urusan yang terkait dengan aspek moral mendasar.

Saya berharap bahwa penyelidikan terkait dengan meninggalnya paraja Cliff Munthu secara tidak wajar haruslah merupakan titik awal upaya membongkar perilaku lancung yang terjadi pada kampus ini. Tidak pada tempatnya lagi para civitas academica menutupinya dengan alasan nama baik, reputasi, dan ketenangan kampus. Kalau kondisi menyimpang ini telah berlangsung dengan sangat parah, tidak ada ruginya pemerintah melakukan pemotongan satu atau dua generasi staff pengajar agar perbaikan bisa dilakukan. Sepanjang staff pengajar jahat masih ada di sini, keberadaan mereka ibarat akar kanker yang belum seluruhnya dimatikan. Pada saat mereka memperoleh kesempatan, perbuatan tercela itu pastilah akan diulang kembali.

Pemerintah tidak usah cemas jika hal ini hendak dilaksanakan. Masih ada banyak staff pengajar bermoral dan berwawasan bagus dari tempat lain yang menguasai ilmu hukum, administrasi, pemerintahan, manajemen, otonomi dan keuangan daerah, ilmu politik dan cabang ilmu lainnya. Menegakkan norma luhur dalam suatu institusi pendidikan jauh lebih berarti dari pada sekedar perhitungan atas jumlah uang yang dikeluarkan untuk penggantian para staff pengajar tercela itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar