Kamis, 25 Juni 2009

Kajian Multidispliner

By: Philips Vermonte
http://pjvermonte.wordpress.com/2006/06/21/kajian-multidispliner/

Saya tidak sengaja menemukan kutipan menarik dari Karl Popper: “ We are not students of some subject matter, but students of problems. And problems may cut right across the borders of any subject matter or discipline”. Karl Popper jelas menunjukan salah satu problem akut dalam dunia akademik mengenai sulitnya mengembangkan kajian multidisipliner.

Sudah lama terjadi pandangan saling merendahkan antara mereka yang bergelut di bidang ilmu eksakta dengan mereka yang berlatar belakang ilmu-ilmu sosial. Jaman kuliah di Bandung dulu, mahasiswa ITB yang merasa lebih hebat selalu membawa mahasiswa barunya keliling kota selama program Ospek. Mereka melewati kampus universitas-universitas lain sambil mengejek mahasiswa universitas lain sebagai “nothing” dibandingkan dengan ITB. Padahal, kemudian lulusan ilmu eksak/teknik atau ilmu sosial, sama-sama banyak yang jadi koruptor tuh….he..he..he. Tidak ada yang lebih hebat.

Di Amerika hal seperti itu terjadi juga. Sebuah komunitas ilmuwan sangat bergengsi di Amerika, National Academy of Sciences (NAS) yang beranggotakan lebih dari 1500 ilmuwan terkemuka di Amerika dari beragam disiplin ilmu, mengalami hal yang sama. Penerimaan anggota baru lembaga sangat bergengsi ini selalu berlangsung ketat. Setiap kandidat akan dievaluasi oleh pakar-pakar sesuai bidangnya masing-masing. Seorang kandidat juga harus mendapat persetujuan dari dua pertiga anggota NAS agar bisa diterima menjadi anggota.

Dulu pernah terjadi perdebatan amat sengit saat NAS sedang memproses keanggotaan Samuel Huntington, professor ilmu politik di Harvard itu. Sekali waktu, Huntington dalam sebuah bukunya pernah menulis begini:
“ The overall correlation between frustration and instability (in 62 countries of the world) was 0.50”. Kutipan itulah yang menjadi basis beberapa anggota NAS untuk menolak penerimaan Huntington ke dalam komunitas ilmuwan itu. Yang paling agresif menolak adalah Serge Lang, seorang professor matematika dari Yale. Dia bahkan menyebarkan selebaran menggalang penolakan bergabungnya Huntington. Lang menyebarkan selebaran itu ke seluruh anggota NAS sebelum sidang tahunan mereka berlangsung. Lang antara lain mengomentari tulisan Huntington tadi seperti ini:
“This is utter nonsense. How does Huntington measure things like social frustration? Does he have a social-frustration meter? I object to the academy’s certifying as science what are merely political opinions”.

Sialnya buat Huntington, melalui perdebatan sengit dalam dua kali pertemuan tahunan NAS di tahun 1986 dan 1987, dia tidak berhasil mendapat dukungan dua pertiga anggota dan gagal menjadi anggota NAS. Padahal salah satu promotor dia untuk menjadi anggota adalah professor Herbert Simon, seorang computer scientist sekaligus psychologist yang pernah menjadi pemenang Nobel.

Jared Diamond, anggota NAS juga, menulis artikel di majalah sains Discover tahun 1987 membahas episode seru Lang versus Huntington itu. Dia bilang ‘soft sciences are often harder than hard sciences”. Jared Diamond adalah ahli biologi, yang juga banyak menulis hal-hal di luar ilmu biologi. Bukunya Guns, Germs and Steel laku keras. Jared Diamond mengingatkan bahwa ilmu eksakta, yang biasa menganggap diri sebagai “hard science”, butuh ilmu sosial (yang sering direndahkan sebagai “soft science”). Demikian juga sebaliknya.

Dalam satu disiplin ilmu sendiri perdebatan semacam ini bisa juga terjadi, terutama menyangkut metodologi. Dalam ilmu politik misalnya, selalu timbul perdebatan sengit antara mereka yang mengutamakan metodologi kuantitatif – yang penuh dengan statistik – dengan mereka yang menggunakan metodologi kualitatif – yang mengkedepankan ‘thick description’. Mereka yang menggunakan metode kuantitatif , seringkali memandang sebelah mata kajian-kajian kualitatif. Kajian kualitatif mereka anggap penuh dengan spurious relations antar variabel alias tidak meyakinkan. Kajian kualitatif juga dianggap tidak bisa di generalisasi, sehingga tidak terlalu berguna.

Teman-teman sesama peneliti di CSIS juga sering saling menggoda. Teman-teman di departemen Ekonomi selalu menantang kami-kami di departemen HI atau departemen Politik untuk menyamai kajian ekonomi. Menurut mereka, kajian ekonomi jauh lebih advanced dari ilmu sosial lain, karena kajian ekonomi bisa di kuantifikasi. Bahkan, ilmu ekonomi bukan lagi bagian dari ilmu sosial katanya…he..he..he. Well, kita tinggal tunjuk krisis ekonomi tahun 1997 saja: kalau ilmu ekonomi kita sedemikian maju, kenapa gagal menghindarkan kita dari krismon 1997 atau kenapa ilmu ekonomi tidak mampu segera menyembuhkan kita dari krisis itu sesudahnya? (pegimane bung Yose, Arya, Puspa, Imung, Pasha, Yudo?…he..he..he). Ilmu ekonomi butuh ilmu sosial lain, juga sebaliknya.

Kembali ke Jared Diamond, there is no such thing as hard sciences or soft sciences. Seperti anjuran Karl Popper, kajian multidisipliner penting untuk dikembangkan. Atau untuk melengkapi Popper, kita perlu triangulasi metodologi kuantitatif dan kualitatif. Mungkin kajian-kajian yang menggabungkan dua metodologi sekaligus akan lebih powerful. Tapi sebagian kita, termasuk saya, memang rada alergi (atau takut?) dengan angka dan statistik. Saya membaca berita terbaru di koran mengenai hasil Ujian Akhir Nasional di sekolah menengah umum (SMU) di Indonesia yang kontroversial itu. Hasilnya bisa ditebak, matematika menjadi momok biang ketidaklulusan. Memang bidang hitung menghitung ini harus di konfrontasi, bukan dihindari, terutama oleh saya yang rada bantet otaknya kalo ketemu statistik.

Fall semester yang akan datang mungkin saya akan mengambil sebuah mata kuliah metodologi kuantitatif, Introductory Analysis to Political Data. Saya baca-baca arsip silabus mata kuliah itu dari tahun-tahun sebelumnya. Saya lega melihat salah satu judul dalam daftar buku yang selalu wajib dibaca untuk mata kuliah itu. Disusun oleh John Kranzler, buku itu berjudul “Statistic for the Terrified”. Cocok sekali buat saya…he..he.


Kajian Multi Disiplin? Itu Adalah Keharusan.....
Mas, saya bernama Muly (36 tahun tapi hingga sekarang durung payu-payu). Saat ini saya menjadi staff edukatif di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saya merasa tertarik pada ngendikan salah satu begawan ekonomi Indonesia yang jelas-jelas tidak dapat diragukan lagi reputasinya, yakni Bapak (almarhum) Prof. Dr. Mubiyarto. Beliau melontarkan pendapatnya melalui artikel bernada tanggapan dalam harian Kompas beberapa tahun lalu ketika obyek baru yang bernama EkonoFisika dengan antusiasnya ditawarkan kepada pasar ilmu Indonesia oleh Johannes Surya, Ph.D.

Menurut beliau, sebenarnya ilmu ekonomi malah harus rujuk kembali dengan ilmu sosial dan humaniora yang lain semisal sosiologi, psikologi, anthropologi sosial dan budaya, politik, dan yang lain. Hal ini perlu dilakukan karena sesungguhnya dari rumpun pohon ilmu-ilmu sosial dan humanioralah ilmu ekonomi berasal. Satu hal lagi yang ditekankan oleh beliau adalah bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu yang bebas nilai (value free). Beberapa belas tahun sebelum Bapak Adam Smith mengarang buku yang dinilai sebagai magnum opus bertajuk “An Inquiry to The Nature and Causes of The Wealth of Nations”, virtuoso ilmu ekonomi dunia itu telah menuliskan buku yang juga amat bagus berjudul “The Theory of Moral Sentiments” yang kaya akan kajian normatif-filosofis.

Pak Muby (seperti halnya pemenang hadiah Nobel ekonomi dari India Amartya Sen dan juga pemenang hadiah Nobel perdamaian asal Bangladesh Muhammad Yunus) pastilah tidak mungkin jika tidak paham ekonometrika dan statistika. Tapi, ketiga orang besar tadi tidak kemudian menjadikan ekonometrika dan statistika sebagai pusaka andalan atau bahkan agama bagi mereka. Mereka tidak lantas menjadi jumawa karena selama bertahun-tahun telah menjadikan statistika dan ekonometrika sebagai alat bantu analisis. Bagaimanapun juga, keduanya hanyalah alat bantu. Alangkah naifnya jika sesuatu yang seharusnya dijadikan alat bantu justru menjelma menjadi gabungan antara tuan yang disembah dengan senjata pusaka yang apabila ketinggalan menjadikan pemiliknya lemas kehilangan kekuatan.

Amartya Sen, Muhammad Yunus dan juga Pak Muby menjadi ekonom besar karena tajamnya perasaan mereka atas nasib rakyat jelata serta sensitivitas sosial. Selain itu, mereka biasa merendahkan hati untuk menerima pelajaran mengenai kearifan yang ditampilkan oleh lingkungan sosialnya. Mohon jangan dilupakan kenyataan bahwa Muhammad Yunus sebelum mempelajari ilmu ekonomi, ia telah banyak belajar tentang kajian budaya, sosiologi serta kearifan tradisional (dan agama Islam yang kuat kemungkinan besarnya). Berdiri kokohnya Grameen Bank sebagai penopang kokohnya ekonomi rakyat kecil Bangladesh diawali oleh perasaan bersalahnya melihat nasib rakyat kecil Bangladesh yang amat pahit. Ia merasa bersalah karena ia yang telah dihidupi oleh tanah dan air Bangladesh dan meraih ilmu sedemikian tingginya, tetapi ternyata ia belum dapat membalas budi baik tanah kelahiran dan bangsanya.

Terus terang saja, perasaan bersalah karena telah dihidupi oleh tanah air dan keinginan untuk membalas budi baik ini tidak diajarkan oleh ilmu yang bersifat positivistik (pandangan ini diakui atau tidak acap kali diyakini oleh para penganut aliran kuantitativisme). Ilmu ekonomi yang ditonjolkan oleh penganut kuantitativisme hanya berpikir tentang bagaimana mengoptimalkan perolehan keuntungan dari segala kondisi (termasuk kondisi yang sebenarnya menyedihkan sesama) dan efisiensi. Optimalisasi, Pareto Optimalitas, keuntungan maksimal, dan lainnya adalah ajaran yang dijejalkan kepada para economic scholar. Seandainya suatu tindakan baik perlu dilakukan (termasuk pula corporate social responsibility), hal ini dilaksanakan sebagai umpan untuk memperoleh keuntungan logis-material yang lebih besar. Tanpa memperluas wawasan dan menimba kearifan, seorang doktor atau profesor hanyalah pribadi yang telah mengarang sekian judul buku, menamatkan pendidikan pada strata tertentu, menulis sekian judul artikel dalam jurnal ilmiah, dan pengumpul sekian ratus poin penilaian dari karya ilmiah.

Saya yakin Anda kenal dengan Pak Pantur Silaban (ma’af saya lupa, beliau ini guru besar dalam bidang, fisika teoritis, astronomi atau kosmologi ITB?)? Beliau menyatakan bahwa pada jaman sekarang, seorang bergelar doktor mekanika kuantum jaman sekarang gampang sekali keluar omongan bernada sengak dan arogannya dan acap kali ia membanggakan ilmunya. Menurut beliau, pribadi semacam ini sebenarnya adalah pribadi yang mogol atau tanggung. Siapapun orangnya serta dari latar belakang apapun ilmu yang dikuasainya (termasuk yang besar kandungan kuantitatifnya) haruslah tetap rendah hati dan bersedia belajar kearifan hidup. Saya juga masih ingat perkataan Pak Hidayat Nata Atmaja bahwa “kebenaran ilmu fisika ternyata kerap kali justru ditemukan di luar bidang ilmu fisika itu sendiri!”

Masih ingat peristiwa dua tahun lalu ketika para ekonomi dari Universitas Indonesia dan bergabung dalam Freedom Institute memberikan justifikasi bagi kebijaksanaan pemerintah menaikkan bahga bahan bakar minyak? Pada saat itu mereka memaparkan argumen yang menurut mereka logis dan telah didukung oleh metode Computable Equilibrium Model yang menghasilkan kesimpulan bahwa kebijaksanaan tersebut memiliki manfaat lebih besar dari pada biaya harus dibayarkan. Jumlah subsidi harga bahan bakar minyak yang dihemat pastilah bisa digunakan untuk kkeperluan lain semisal membantu biaya pendidikan, menunjang pemeliharaan kesehatan, serta memberikan kompensasi finansial bagi anggota masyarakat yang dirugikan oleh dampaknya.

Tetapi, menurut saya jumlah dana yang tersedia dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak itu pastilah tidak bisa cukup dialokasikan bagi seluruh anggota masyarakat yang dirugikan oleh dampak kebijaksaan ini. Tanpa dilakukan penelitian pun dan melalui common sense saja keadaan yang berlaku memang demikian. Ternyata, setelah subsidi bahan bakar minyak dikurangi dan digantikan oleh bantuan langsung tunai, biaya sosial yang ditanggung justru lebih besar dari pada manfaatnya. Perpecahan diantara anggota masyarakat yang menerima dan tidak kebagian terjadi dengan tajam. Ada banyak diantara kartu tanda bukti warga miskin yang jatuh ke tangan yang tidak berhak. Sedangkan dampak jangka panjang yang sudah mulai terasa adalah bahwa anggota masyarakat mulai dihinggapi perilaku menggantungkan pada bantuan padahal mereka adalah orang miskin yang harus lebih keras dalam berusaha.

Terhadap kenyataan ini, para pakar ekonomi ini akan dengan mudahnya berkelit. Mudahnya mereka berkilah itu terjadi karena analisis ekonomi yang bersifat positivistik-kuantitatif ini senantiasa dilindungi oleh tameng kokoh bernama asumsi. Dalam ilmu ekonomi mikro, asumsi yang digunakan untuk menyederhanakan pemahaman dan permasalahan adalah ceteris paribus. Suatu postulat yang mengandaikan bahwa jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat, selera publik, serta harga produk lain adalah tidak berubah. Pada masalah ini, mereka akan menyatakan bahwa analisis mereka itu didasari oleh asumsi bahwa data tentang jumlah dan komposisi penduduk miskin tepat, para petugas yang diserahi kewajiban melakukan pendataan telah bekerja dengan sebenar-benarnya, tidak terdapat kendala dalam pengumpulan data serta para warga miskin tidak mempermasalahkan kelambatan atau kekurangadilan pembagian dana. Jika kondisi buruk semisal pertikaian horizontal antara sesama warga maupun ketegangan vertikal antara masyarakat dengan aparat negara terjadi, maka salahkan saja asumsi yang tidak terpenuhi tadi. Mudah dan efissien, bukan? Bagaimana, ya? Tambah mumet saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar