Senin, 08 Juni 2009

Gaya Hidup; Beberapa Catatan Kritis Untuk Itu…

Pada dinamika kehidupan modern, terdapat satu obyek atau bisa dikatakan wacana yang dianggap melekat di dalamnya serta dinilai sebagai komponen wajib yang harus ada. Obyek yang dimaksud ini adalah gaya hidup atau life style. Dalam pengertian sederhana, gaya hidup bisa diartikan sebagai “tampilan sikap, cara menunjukkan identitas diri, serta cara melakukan konsumsi yang diperlihatkan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat sebagai derivasi pola pikir yang ada pada ruang memorinya”. Sehingga, gaya hidup memang tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana seseorang atau sekelompok masyarakat tersebut memandang suatu hal dan mewujudkannya dalam perilaku.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pernah menjumpai beberapa pribadi dengan tampilan perilaku yang terkesan “tinggi”. Mereka ingin menunjukkan bahwa kelebihan dari pada sesamanya memang dimiliki. Sehubungan dengan masalah kepemilikan materi, mereka selalu berusaha untuk tampil sebagai pihak pertama yang memiliki atau memakai sesuatu yang baru dan juga mereka tidak ingin disaingi apalagi didahului oleh pihak lain. Bagi mereka, sesuatu yang baru –semisal pakaian, kendaraan, hand phone dengan teknologi black berry, perhiasan, atau perabot rumah- adalah obyek yang harus dipunyai walaupun sesungguhnyanya mereka sulit untuk memenuhinya saat itu. Realita tersebut kalau bisa berusaha keras diingkari karena dinilai akan menurunkan gengsi. Sedangkan bila ada orang-orang lain yang tidak berbuat seperti mereka, mereka menilainya sebagai kelompok yang ketinggalan jaman (out of date) dan dianggap inferior.

Dari lain sisi, kita juga akan menemukan sekumpulan individu yang berupaya untuk bersikap wajar dan proporsional, yakni berupaya berdiri sejajar dengan sesamanya. Hal itu dilakukan karena mereka sadar bahwa disamping kelebihan, kelemahan juga dimiliki. Mereka berusaha untuk menggunakan rasio serta mempertimbangkan secara seksama apakah sesuatu yang baru itu memang sesuai untuk mereka atau tidak. Kalaupun setelah dipertimbangkan secara seksama sesuatu yang baru itu hendak dibeli, mereka tidak terobsesi untuk menjadi pihak yang pertama kali memakai. Bagi mereka, sesuatu yang baru harus direspons dengan selektif terutama terkait dengan manfaat nyata yang diciptakannya, bukan hanya “persepsi tentang manfaat” yang mudah untuk dibelokkan arahnya sesuai kehendak setiap pribadi. Mereka berusaha untuk menemukan satu makna dari pilihan individu lain sekalipun pilihan itu berbeda. Sehingga, mereka tidak terburu-buru untuk menilai pihak lain yang tidak seperti mereka sebagai ketinggalan jaman.

Selain ilustrasi yang mirip dengan kedua gambaran di atas, kita bisa menemukan varian tampilan perilaku lain yang bila dicermati mungkin menunjukkan kecenderungan dekat kepada pilihan pertama atau mungkin dekat dengan pilihan kedua. Bahkan, sekalipun berupa kasus minor, ada pula pilihan ekstrim yang diputuskan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat di wilayah tertentu dimana pada intinya berusaha sekeras mungkin menolak sesuatu yang baru dan mempertahankan hal yang lama.
Sesuai dengan sunatullah, kehidupan manusia memang ditakdirkan untuk beragam dan setiap pribadi diperkenankan untuk memiliki kehendak bebas (free will). Dengan demikian, terkait dengan gaya hidup, setiap pribadi mempunyai hak untuk memilih yang sesuai dengan keinginannya. Keputusan akhir sepenuhnya memang berada pada pribadi itu. Akan tetapi, mengingat manusia adalah makhluk yang dikaruniai akal dan budi, selain naluri yang melekat sejak lahir serta setiap manusia tidak mungkin hidup dalam ruang hampa, maka tetap saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan serta pemikiran normatif yang harus dipahami.

Pentingnya Menjadi Pribadi Yang Cerdas
Bila dihubungkan dengan dinamika kehidupan modern, gaya hidup yang dipilih oleh seseorang hendaknya tetap dilandasi oleh pertimbangan rasional yang jelas. Hal ini perlu disadari karena modernitas sesungguhnya dibangun oleh kemampuan untuk mendayagunakan nalar sehat dalam penentuan setiap keputusan. Memang benar bahwa komponen non fisik manusia tidak hanya terdiri dari aspek-aspek rasional semata karena sisi-sisi emosional juga ada di dalamnya. Namun, dalam kehidupan ini, kita sering dituntut untuk menggunakan pertimbangan rasional. Saat itulah, kita harus tampil sebagai pribadi yang cerdas.

Dapat dicontohkan di sini, kurang lebih tiga tahun lalu mode pakaian casual yang menjadi trend adalah kaus atau baju berlengan ganda, yakni panjang dan pendek. Seperti yang umumnya berlaku, para konsumen mode kemudian secara massal mengikutinya. Tetapi, dalam masalah ini, ada satu hal yang luput dari perhatian. Berdasarkan tinjuan yang bersifat modis, kaus atau baju berlengan ganda sebenarnya dirancang untuk mereka yang memiliki postur tubuh langsing yang mengarah kurus dengan tujuan menciptakan kesan berisi serta menyembunyikan postur tipis mereka. Sedangkan apabila corak pakaian itu dipakai oleh mereka yang mempunyai postur tubuh berisi apalagi gemuk, maka tampakan fisik tubuh mereka akan menjadi jauh lebih gemuk dari pada sesungguhnya serta lengan menjadi terlihat lebih besar.

Gaya rambut serta pewarnaannya memang sering mengalami perubahan. Dalam hal ini, prinsip kesesuaian dengan siapa dan bagaimana diri kita hendaknya tidak kemudian diabaikan. Barangkali, saat ini gaya rambut yang dinilai trendy bagi pria adalah semi Mohawk dan curly yang terkesan acak dengan balutan hair gel. Sementara, bagi wanita bentuk rambut yang dianggap favorit saat ini adalah lurus baik berwarna hitam polos atau tersaput warna pelangi. Terhadap hal ini, apakah penilaian harmoni gaya rambut dengan bentuk dan corak dasar wajah serta kepribadian kita telah dilakukan secara tepat? Tanpa pertimbangan seksama mengenai hal itu, pemilihan gaya serta warna rambut akan menimbulkan kesan “bertabrakan” dengan wajah serta jati diri seseorang tanpa disadari. Dengan kata lain, seseorang yang memilih suatu gaya serta warna rambut tertentu menjadi tampak tidak patut. Tentunya, kondisi seperti ini tidak dikehendaki.

Saat ini, model bangunan rumah atau gedung yang dianggap mutakhir adalah corak minimalis. Sesuai dengan namanya, gaya minimalis gedung atau rumah memang hanya sedikit menampilkan ornamen maupun asesoris pada fisik bangunannya. Selain itu, dengan corak minimalis, suatu ruangan di dalamnya hanya membutuhkan sedikit perabot serta penataan. Sekalipun demikian, pada sisi lain gaya bangunan minimalis mensyaratkan presisi yang tinggi sehingga setiap tekukan, kelokan, sambungan, atau saputan tampak simetris secara sempurna. Berkenaan dengan masalah ini, hendaknya setiap pihak yang akan membangun atau merenovasi rumah maupun gedung mempertimbangkan terlebih dahulu kesesuaian model bangunan itu dengan beberapa hal lain diantaranya keserasian dengan lingkungan sekitar, suasana psikologis di dalamnya yang diinginkan nanti, kebutuhan disain yang mengakomodasikan keinginan seluruh pihak, serta dana yang sesungguhnya tersedia. Ia tidak perlu memaksakan diri untuk menganut gaya tersebut apabila ternyata setelah berbagai hal dipertimbangkan gaya itu tidak ditepat untuk dipilih.

Bahaya Bujukan Trend Serta Perilaku Konsumtif
Bujukan gaya hidup era kekinian harus diimbangi oleh kemampuan mendayagunakan nalar karena ia memang mampu menjadikan kita terlena dan lupa akan bagaimana sesungguhnya keadaan kita. Anggapan bahwa kemampuan memiliki model hand phone baru, membeli kendaraan bermotor model terakhir, dan mengikuti trend gaya pakaian adalah tolok ukur keunggulan pribadi sangat mungkin bisa mendorong kita menjadi manusia konsumtif yang bertindak tanpa landasan cara berpikir yang sehat. Bukan mustahil terjadi bila hasrat untuk untuk memiliki sesuatu yang dianggap penanda trend tersebut membuat seseorang kemudian harus berhutang dan terjebak pada penggunaan ceroboh kartu kredit secara berkelanjutan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bila cara berpikir seperti itu membuatnya gelap mata, kemudian ia mau melakukan perbuatan tidak terpuji hanya demi menuruti hasrat konsumtifnya.

Mengenai hal ini, kita dapat menjadikan praktek jual diri yang dilakukan oleh remaja, pelajar, atau bahkan mahasiswa yang tidak jarang diberitakan dalam media massa. Tekanan faktor ekonomi serta tiadanya pilihan lain untuk menyambung hidup adalah alasan basi yang sudah tidak tepat lagi dijadikan pembenar. Pada masa sekarang, mereka melakukannya sering kali karena dorongan hasrat untuk memiliki sesuatu (hand phone, baju, kendaraan bermotor, dan perhiasan) yang tidak terjangkau oleh kemampuan normalnya. Mereka memilih jalan tersebut karena ingin bisa kaya atau mengikuti gaya hidup secara instan.

Pada wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di pulau Kalimantan, hutan tropis kita yang menjadi paru-paru dunia rusak karena dibalak oleh warga setempat, selain oleh perusahaan pemegang hak penguasaan hutan pada masa lalu yang berlaku lancung. Mereka bersedia melakukannya karena para cukong Malaysia yang memodali pembalakan liar cerdik memanfaatkan keinginan para warga itu untuk memiliki barang-barang konsumsi yang selama ini hanya bisa dipendam. Dengan imbalan Rp. 100.000 tiap hari, sepeda motor China, spring bed, video compact disc player, dan antena parabola, mereka sudah dapat dibujuk untuk menebangi hutan mereka sendiri hingga habis pohonnya. Selanjutnya, berbagai kayu tropis yang bernilai tinggi tersebut dikirimkan ke Malaysia melalui jalan darat, sungai, atau laut untuk kemudian mendapatkan tanda keabsahan di sana. Proses pengiriman kayu jarahan ini terlaksana secara lancar padahal kayu adalah benda besar yang tidak mungkin untuk disamarkan. Keadaan seperti itu dapat terjadi karena terdapat berbagai pihak semisal oknum kepolisian, militer, pamong praja, pemangku hutan, bahkan masyarakat adat yang memperoleh bagian keuntungan dengan memberikan dukungan secara sistematis. Beberapa pihak itu juga ingin bertambah kaya dan bisa memiliki sesuatu yang baru dimana dalam kondisi normal belum dapat dibeli dengan kemampuan finansial mereka.

Sesampainya di wilayah Malaysia, kayu jarahan memperoleh tanda keabsahan setelah membayar sejumlah bea masuk dan pemerintah di sana menutup mata. Negara tetangga yang sekarang sering bersikap sombong karena merasa lebih kaya itu kemudian memperoleh keuntungan besar dari kegiatan curang tersebut. Kayu curian dapat diperoleh dengan harga murah guna membuat berbagai perabot dan bisa pula dijual di pasar internasional dengan harga amat kompetitif bagi para produsen furnitur di China, Vietnam, Eropa selain Malaysia sendiri. Bagi para produsen furnitur di Indonesia yang notabene negara asal kayu tersebut, keadaan ini jelas merupakan pukulan sangat telak. Pendek kata, hasrat berkonsumsi dan memenuhi tuntutan gaya hidup yang tidak dikendalikan secara bijak dan cerdik akan menciptakan kondisi buruk yakni berawal dari rasa kurang dan berakhir pada ketiadaan (starting from less and ending at nothing).

Jangan Sampai Kita Terjebak Pada Perilaku Yang Sama
Dalam skala global, rayuan gaya hidup yang tak terkendali ini menjadikan dunia terlibas oleh masalah yang mencemaskan. Akhir-akhir ini, kita semua mengetahui bahwa krisis moneter dunia kembali melanda. Indonesia sebagai pihak yang tidak ikut “makan” terkena getah dari “nangka” ekonomi konsumtif yang dinikmati oleh warga negara Amerika Serikat. Berdasarkan tinjauan budaya, krisis yang dimulai dari negara adi kuasa ini terpantik oleh banalitas gaya hidup konsumtif warganya. Karena tuntutan gaya hidup yang diyakini sebagai kebenaran, warga Amerika Serikat kemudian menjadi masyarakat yang terbiasa untuk menuruti bermacam-macam keinginan, meminta pemenuhan hingga sampai ke sisi yang amat remeh, dan menuntut terlalu banyak dalam berbagai hal. Bagi mereka, berlaku sebagai kelompok masyarakat manja dan umpakan (affluent society) dimana mereka gemar melakukan pameran gaya hidup mewah, amat konsumtif terhadap sumber daya, serta gemar berbelanja adalah hal yang dianggap wajar. Padahal, upaya memenuhi beragam keinginan itu ternyata disandarkan pada hutang bank sebagai instrumen moneter yang amat rentan akan gejolak.

Krisis yang melanda negara ini kemudian menciptakan dampak lanjutan yang buruk bagi Indonesia. Suka atau tidak, Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan ekspor utama berbagai barang manufaktur Indonesia semisal tekstil, garmen, makanan olahan, hasil laut, dan produk konsumsi sehari-hari (convenient products). Melemahnya kondisi perekonomian Amerika Serikat selanjutnya menyebabkan penurunan permintaan terhadap produk-produk ekspor tersebut.

Hal yang patut disayangkan pula ketika keadaan perekonomian kita berada dalam kondisi normal atau tengah booming, keinginan untuk menerapkan gaya hidup dengan konsekuensi meningkatnya kebutuhan beragam produk konsumsi terbukti lebih sering memperkaya bangsa lain karena aktivitas produksi, inovasi maupun perlindungan hak paten yang lemah. Pada saat komunikasi melalui perangkat hand phone dianggap sebagai kebutuhan tak terhindarkan, para produsen dari luar negeri semisal Nokia (Finlandia), Samsung dan LG (Korea), Sony-Ericson (Jepang dan Swedia), Motorola (Amerika Serikat), dan BenQ-Siemens (Jerman) menangguk untung besar. Maraknya trend untuk mengenakan pakaian batik dalam beragam gaya tentunya patut disambut dengan gembira. Tetapi, kecenderungan positif itu justru direspons oleh banyak diantara penggemar mode kita dengan membeli baju batik produksi China yang pada akhirnya memukul para produsen batik dari Solo, Yogya, Rembang, dan Pekalongan. Keinginan menciptakan mobilitas dalam kegiatan sehari-hari melalui sepeda motor hingga saat ini belum mampu menjadikan kita memperoleh lebih banyak nilai tambah dan devisa karena keuntungan terbesar tetaplah menjadi milik para prinsipal semisal Yamaha, Honda, Suzuki, dan Kawasaki.

Fenomena ini tidak boleh diabaikan begitu saja karena erat kaitannya dengan aspek kultural dan selanjutnya akan berakibat pada kekalahan kita sebagai bangsa. Memang, kita tidak segera sadar karena dampaknya yang pelan serta tidak terasa. Langkah edukasi skala besar untuk bersedia mempergunakan nalar sehat ketika menerapkan gaya hidup serta melakukan konsumsi perlu sekali dilakukan. Upaya ini dinilai urgen karena kita adalah kelompok masyarakat yang hingga sekarang belum matang (unmature society). Kita mudah terbawa oleh trend yang belum tentu membawa kebaikan, gampang digemparkan oleh histeria massal, tidak cerdas dalam menyusun skala prioritas, serta tidak mudah disadarkan mengenai apa yang seharusnya diterima maupun ditolak.

Satu hal yang amat dikhawatirkan terjadi pada masyarakat kita adalah bahwa mereka amat mungkin untuk menjadi masyarakat aleman dan umpakan seperti halnya warga Amerika Serikat. Acap kali kita saksikan ada banyak anggota masyarakat yang segera menaikkan posisi suatu kebutuhan (misalnya saja dari posisi tersier menjadi sekunder bahkan primer) ketika pendapatannya meningkat sedikit saja, bahkan ketika mereka sebenarnya tengah tidak kuat secara finansial. Bila kondisi tersebut terjadi, dampak yang ditimbulkan tentunya akan lebih buruk karena kita masih jauh kalah sejahtera jika dibandingkan dengan mereka. Keinginan untuk berkonsumsi secara berlebih dan bergaya hidup menuruti trend membuka peluang lebih besar bagi anggota masyarakat kita untuk gelap mata.

Satu hal etis-normatif yang tidak boleh dilupakan sekalipun kita dikaruniai keberuntungan untuk bisa memenuhi kebutuhan gaya hidup melalui kemampuan normal adalah kesediaan untuk tetap berlaku rendah hati. Keadaan yang kita rasakan itu sepenuhnya adalah anugerah Tuhan yang dititipkan melalui hasil kerja keras serta keberuntungan yang dengan baik hati bersedia menghampiri kita. Tidak sepantasnya kita memandang rendah sesama yang kurang beruntung mengingat kita hanya menerima titipan saja. Suatu saat, titipan itu mungkin untuk diminta kembali. Setinggi apapun kemampuan nyata kita untuk tampil menuruti gaya hidup mutakhir serta sebagus apapun tampilan fisik kita, harga diri kita akan tetap rendah manakala citra sebagai orang yang sombong, suka merendahkan pihak lain, sengak, culas, serakah, dan tidak bisa mawas diri menempel pada diri kita. Hendaknya, kita tidak mengabaikan hal ini karena disinilah letak kehormatan diri kita dan kehormatan diri adalah harta yang tak ternilai harganya.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar