Senin, 18 Mei 2009

Beberapa Gugatan Untuk Mr. Middle Class

Pemilihan umum, pesta raya pembuktian eksistensi demokrasi di negeri ini yang menghabiskan bermilyar Rupiah biaya dan telah menelan (beberapa) korban sudah beberapa waktu berlalu. Dengan demikian, berakhirlah pula serangkaian histeria dan euphoria massal yang tercipta olehnya. Aktivitas kehidupan masyarakat kembali pada suasana normal dan rutin seperti semula. Barangkali, tidak begitu terasa bekas yang ditinggalkannya. Para wakil rakyat yang terhormat telah mulai menempati kursi yang telah lama diperjuangkan. Seribu janji mulia yang sebelumnya mereka tebar kemudian dengan penuh harap ditunggu perwujudannya.

Beberapa waktu sebelumnya, Drs. Kwiek Kian Gie yang kita kenal sebagai sosok yang memiliki integritas tinggi dan komitmen kuat terhadap nasib rakyat kecil dalam tulisannya yang termuat pada suatu harian ibu kota ternama menyatakan bahwa pemilihan umum yang telah kita laksanakan tidak akan menimbulkan perubahan atau gejolak yang meresahkan. Kondisi stabil dalam bidang politik yang akhirnya berpengaruh terhadap terciptanya stabilitas ekonomi akan tetap terjaga. Para pemilik modal baik Taipan domestik maupun investor dari luar negeri akan tetap bergairah untuk mencurahkan dananya bagi berbagai proyek yang ditangani di Indonesia. Negara ini pun masih akan menjadi negara dengan tingkat country risk yang rendah dimana dengan kondisi ini berarti pula terjaminnya keamanan dana yang mereka tanamkan tersebut. Keadaan seperti inilah yang amat mereka inginkan.

Kita memang harus bersyukur mengetahui kondisi demikian. Siapa saja yang mengaku berpikiran waras tentunya tidak akan menginginkan negaranya menjadi ajang pertumpahan darah atau dilanda kekacauan yang bisa meluluhlantakkan tatanan sosial yang telah dibangun oleh para pendiri Republik ini. Hanya saja, terkait dengan masalah ini, ada hal yang patut kita pertanyakan atau kita kritisi utamanya berkenaan dengan penyebab tidak berubahnya tatanan sosial tersebut. Apakah hal itu disebabkan oleh semakin tingginya kesadaran dalam berbangsa dan bernegara ataukah ada faktor yang lainnya?

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, stabil atau mapannya kondisi politik selanjutnya berimbas pada kokohnya kondisi ekonomi negara ini. Sepanjang kurun waktu pemerintahan Orde Baru, beberapa keajaiban telah tercipta. Salah satunya yang bisa dijadikan indikator selama lima tahun terakhir adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis yaitu di atas lima persen dalam setiap tahunnya. Pesatnya laju pertumbuhan tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan berbagai efek. Salah satunya adalah munculnya kelas menengah baru. Mengenai hal itu, beberapa waktu yang lalu dalam harian Kompas Drs. Arbi Sanit –seorang pengamat politik yang terkenal dengan ulasannya yang kritis serta tajam- sedikit banyak telah kembali menyinggungnya. Pada dasarnya, pembicaraan tentang kelas menengah dan eksistensi serta peranannya dalam realita kehidupan sosial masyarakat Indonesia kontemporer senantiasa menjadi bahasan yang menarik.

Kelas menengah yang lahir oleh kemajuan ekonomi tersebut secara sedarhana diartikan sebagai kelompok masyarakat dalam suatu negara yang posisinya terletak diantara segelintir elit penguasa dan berjuta-juta lainnya yang masih tergolong sebagai rakyat jelata. Mereka adalah sekelompok anggota masyarakat yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan dalam taraf relatif tinggi serta mempunyai peluang yang cukup baik untuk meraih keberhasilan dalam bidang ekonomi.Dalam sebuah buku yang ditulisnya, Fadhel Muhammad (seorang pengusaha bumi putera ternama serta mantan pemilik Bukaka Group) mengimpikan terciptanya suatu bentuk masyarakat belah ketupat. Pada pola masyarakat tersebut, diharapkan jumlah anggota kelas menengah dari waktu ke waktu terus membesar. Diasumsikan, mereka itu mampu menjadi semacam jembatan penghubung antara aspirasi masyarakat kelompok bawah dengan kehendak penguasa.

Akan tetapi, dapatkah harapan tersebut diwujudkan, terutama pada saat ini? Mengenai hal itu, banyak kalangan merasa pesimis. Mereka yang bisa meraih keberhasilan dalam bidang ekonomi tersebut merasa gamang apabila diminta menjalankan peran sebagai penyambung suara lainnya yang masih berada dalam kondisi jelata. Bagi mereka, memerankan fungsi tersebut ibarat menggali lubang kubur bagi diri sendiri. Keadaan status quo seperti saat ini adalah yang terbaik. Tentang apakah rezim yang tengah berkuasa menjalankan pemerintahan secara represif atau demokratis, keadilan perlakuan dalam bidang ekonomi yang masih menyesakkan dada, penegakan hukum yang masih terlecehkan, dan masalah normatif lainnya adalah omong kosong yang menghabiskan terlalu banyak waktu. Tentu saja, senang rasanya menikmati nyamannya suasana demokratis, sistem ekonomi yang mampu menjamin rasa keadilan, dan kepastian hukum yang tegas. Namun, untuk ikut aktif berperan mengupayakannya, nanti dulu.
Mereka sepertinya telah terprogram untuk hanya menjadi penonton yang manis dalam drama penegakan nilai-nilai ideal yang diperankan oleh sekelompok orang yang mereka nilai sebagai anak-anak nakal yang masih ingusan. Sambil menonton, mereka sesekali mencibir sinis dan berkata dalam batin, “Itu adalah perbuatan yang tidak dilandasi otak sama sekali, tindakan konyol!”

Ada semacam ironi yang bisa kita rasakan dari mereka. Sebagaimana halnya kita ketahui bersama, banyak diantara anggota masyarakat kelas menengah kita yang memiliki karier cemerlang menempuh pendidikan di belahan dunia Barat (Amerika Serikat, Australia, dan Eropa Barat). Mereka adalah para bankir, pialang saham, konsultan bisnis, manajer pemasaran, dokter spesialis, arsitek, eksekutif perusahaan milik konglomerat, dosen, dan lainnya. Barat dengan segala kronika yang ada di dalamnya termasuk pula dekadensi moral serta kemunafikan yang melingkupinya adalah lingkungan budaya dimana nilai-nilai ideal dihargai dan dijunjung tinggi. Misalnya saja pelestarian lingkungan hidup, demokratisasi, penghormatan atas hak-hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan prinsip normatif lainnya. Disamping itu, banyak diantara pula para Yuppie’s (Young Urban Professional Peoples) ini sewaktu diwawancarai oleh wartawan media massa dengan bangga bercerita bahwa dirinya telah membaca tuntas Catatan Pinggir yang ditulis oleh Gunawan Muhammad, novel-novel karya Romo Mangunwijoyo, essai-essai humanis EmHa Ainun Najib, dan karya sastra bermuatan filosofis Khalil Gibran. Karya-karya sastra yang mereka baca itu sebenarnya amat sarat muatan penyadaran tanggung jawab dan kesadaran sosial selain sentuhan kepekaan nurani. Tidak kalah pentingnya lagi, banyak pula diantara mereka terdaftar sebagai anggota jama’ah pengajian bagi para eksekutif yang diasuh oleh seorang intelektual muslim modernis Indonesia ternama yang juga terkenal sebagai pribadi yang religius, cerdas serta santun.

Akan tetapi, mengapa kondisi itu tidak (belum) mampu mendorong mereka untuk berbuat lebih jauh lagi yang sebenarnya mampu dilakukan? Bahkan dalam keseharian justru yang tampak nyata adalah perilaku snobisme material semisal getol memborong beragam produk mode mewah yang harganya bisa membuat seorang pegawai negeri golongan III shock karenanya, berbondong-bondong menghadiri pesta jet-set atau gandrung akan keanggotaan klub golf dengan biaya pendaftaran ribuan Dollar.

Para pakar psikologi mencoba mencoba menerangkan fenomena dengan menyatakan bahwa apa yang mereka tampilkan adalah upaya pencarian atau identifikasi jati diri dari sekelompok masyarakat yang tengah mengalami puber sosial. Sementara itu, para pakar ilmu sosial mengatakan bahwa sebenarnya kelas menengah tidak (belum) ada di Indonesia. Kelas menengah yang ada pada saat ini sesungguhnya hanya bersifat semu dimana pada kenyataannya mereka belum mampu mandiri sepenuhnya dari peran penguasaan negara, setidaknya untuk beberapa waktu. Rasa takut terhadap ekses perubahan yang bisa meniadakan segala hal menyenangkan yang telah dinikmati saat ini tertanam kuat dalam ruang pikir mereka. Sedangkan para pakar lainnya menyatakan bahwa kelas menengah yang tercipta adalah kelompok yang lebih bernuansa ekonomis-material dari pada intelektual sehingga sulit untuk diharapkan peranannya dalam suatu proses perjuangan untuk mewujudkan kondisi ideal-normatif.

Pada dasarnya, uraian yang disampaikan di atas memang masuk akal dan benar. Namun, kita harus tetap mencermatinya karena bukan tidak mungkin hal itu justru menjadi justifikasi. Padahal, justifikasi akan menyebabkan mereka dan juga kita semua lupa akan apa yang secara normatif harus dilakukan.

Apakah bisa dibenarkan tindakan mereka -entah disengaja maupun tidak- memamerkan kekayaan ketika kemiskinan yang pedih tengah membelit sebagian besar saudaranya yang miskin? Merupakan suatu hal yang sah sajakah manakala mereka tidak peduli dan diam terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa terhadap kelompok yang mencoba berjuang menegakkan norma atau bahkan sekedar mempertahankan harga diri? Bisakah dinilai pada tempatnya sikap diam mereka terhadap pembreidelan tiga media cetak ternama (majalah Tempo dan Editor serta tabloid Detik) yang sepanjang kita tahu adalah media massa yang berusaha memerankan sikap kritis dan memberikan pencerdasan dan konon juga menjadi bahan bacaan rutin mereka? Tentang sejauh mana peranan mereka dalam program luhur pengentasan rakyat miskin yang tidak kita ketahui, dapatkah mereka beralasan bahwa beramal itu harus dilakukan secara diam-diam ibarat bila tangan kanan memberi tangan kiri jangan sampai tahu?
Cukupkah tindakan diakonis insidental yang dilakukan semisal mengunjungi panti-panti asuhan pada akhir tahun sembari membagikan sedikit bingkisan dikatakan sebagai bukti kepedulian sosial? Benarkah merebaknya kelompok-kelompok pengajian bagi mereka itu merupakan bukti revitalisasi nilai-nilai agama di tengah sesaknya modernisasi ataukah hanya semacam kegenitan sesaat dan upaya mencari katarsis agar batin mereka bisa lepas sejenak dari himpitan rutinitas profesi? Tidakkah mereka membayangkan betapa sakit hatinya saudara kita yang terpaksa menghuni penjara pengap karena mempertahankan prinsip yang diyakininya bila mendengar ucapan “Ah, peduli amat. Saya tidak mau tahu bagaimana sistem politik dan keadaan demokrasi saat ini. Bagi saya yang penting adalah saya happy, meraih jenjang karier bagus, memiliki banyak tabungan, cari uang yang banyak, dan bisa menikahi Dewi” yang dilontarkan oleh seorang eksekutif muda pada saat diwawancarai oleh wartawan? Kapankah mereka akan mampu (dan mau) memerankan diri sesuai dengan harapan normatif?

Saudara-saudara yang secara sadar atau tidak terposisikan sebagai kelas menengah, kita semua memang harus menghormati setiap pilihan sikap dan tindakan yang Anda semua tempuh. Hanya saja, harus diingat bahwaAnda semua adalah manusia yang dianugerahi budi dan rasa, selain akal yang memang sejak awal diberikan oleh Tuhan. Anda tetap terbebani kewajiban sebagai makhluk paling mulia di muka bumi ini, yakni memfungsikannya tanpa terkecuali. Tak kalah pentingnya untuk diingat, roda kehidupan pastilah terus berputar. Siapa yang saat ini bertahta di atas sembari tertawa bahagia, mungkin saja harus terpuruk di bawah sambil menangis duka nantinya.Pesta pasti akan berakhir. Demikianlah hal yang pernah diingatkan oleh Raden Haji Oma Irama. Segala sesuatu bisa saja terjadi di dunia fana ini. Satu hal lagi yang harus Anda semua ingat, segala kebahagiaan yang saat ini tengah direguk berasal dari kemurahan tanah Pertiwi yang setiap hari kita gali tanpa henti bahkan menjurus pada eksploitasi. Karenanya, sikap bijak harus ditempuh. Jangan sampai apa-apa yang Anda lakukan membuat sakit hati banyak anak negeri yang nasibnya masih sangat menyedihkan.

Akan tetapi, semua pada akhirnya berpulang pada Anda dan kita memang tidak bisa memaksakan suatu prinsip sekalipun menyangkut hal yang normatif dan ideal. Kita semua hanya bisa berdo’a semoga tidak akan ada penyesalan pahit yang terpaksa Anda semua reguk di kemudian hari.

Muliawan Hamdani, S.E. Anggota Kelompok Studi Mangkubumen Surakarta. Saat ini tengah bekerja di Lembaga Manajemen STIE Bank BPD Jateng sebagai staff konsultan dan tenaga pengajar.


*)Tulisan ini pernah dikirimkan kepada Harian Umum Kompas tetapi tidak dimuat dan tanggal pengirimannya sudah tidak saya ingat. Sekalipun demikian, saya tetap merasa senang bahwa pilihan alasan penolakannya adalah karena kurangnya ruangan untuk memuatnya. Sebagaimana kita ketahui, harian ini selalu mengembalikan artikel yang tidak dimuat kepada penulisnya serta memberitahukan alasannya. Suatu sikap yang sangat bagus. Adapun mereka yang tergolong sebagai kelas menengah itu sendiri, pada saat reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dengan darah dan air mata terwujud, merekalah pihak yang paling awal menikmatinya sekaligus merasakan manfaat terbesar. Terima kasih tak terhingga kepada Mas M.T. Arifien serta Kelompok Studi Mangkubumen atas kesempatan pengembangan intelektual yang selama ini telah diberikan kepada saya. Lemah-lemah teles, namung Gusti Allah ingkang saged mbales.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar