Penyamaran Dalam Pemasaran, Suatu Tinjauan Dari Sisi Etika
Latar Belakang Masalah
Akhirnya, setelah berlangsung beberapa waktu, produsen Extra Joss membawa masalah persaingan yang dihadapinya dengan produsen Enerjos ke pengadilan. Sebelumnya, Extra Joss juga pernah menghadapi persaingan serupa dengan kompetitornya yang lain yakni Ultra Joss. Sebagaimana yang dilakukan oleh Enerjos, Ultra Joss juga melakukan langkah penyamaran dalam proses pemasarannya. Tetapi, persaingan yang dihadapinya dengan Enerjos memang dipandang lebih serius dan mampu mengancam eksistensinya. Karena itulah, langkah ini terpaksa ditempuh.
Latar Belakang Masalah
Akhirnya, setelah berlangsung beberapa waktu, produsen Extra Joss membawa masalah persaingan yang dihadapinya dengan produsen Enerjos ke pengadilan. Sebelumnya, Extra Joss juga pernah menghadapi persaingan serupa dengan kompetitornya yang lain yakni Ultra Joss. Sebagaimana yang dilakukan oleh Enerjos, Ultra Joss juga melakukan langkah penyamaran dalam proses pemasarannya. Tetapi, persaingan yang dihadapinya dengan Enerjos memang dipandang lebih serius dan mampu mengancam eksistensinya. Karena itulah, langkah ini terpaksa ditempuh.
Langkah penyamaran memang sering kali diterapkan karena ia dinilai cukup mampu memberikan hasil dalam jangka waktu tidak terlalu lama. Melalui penyamaran, suatu produk baru dapat segera merebut perhatian para konsumen sasaran karena ia menampilkan karakteristik serupa dengan produk lain yang ditirunya dimana produk lain itu telah mempunyai kedudukan sangat kuat.
Sekalipun langkah penyamaran sering kali mampu memberikan hasil dalam waktu singkat sehingga terkesan efektif dan hanya membutuhkan sedikit biaya untuk melakukan inovasi, penilaian minor acap kali diberikan kepadanya. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa langkah penyamaran memang sangat terasa mengandung unsur pengelabuan. Kemiripan nama merk, logo, format huruf, maupun bunyi suku kata terakhir mampu menjadikan para konsumen terkecoh dan membeli produk (bisa barang dan juga bisa pula jasa) yang sebenarnya tidak ingin dibeli pada awalnya. Menurut salah seorang pengamat manajemen pemasaran yakni Bambang Bhakti, penyamaran memang amat dekat dengan peniruan.
Bagi produk yang tengah tampil mendominasi pasar, langkah penyamaran yang dilakukan oleh para pesaingnya terbukti sering kali mampu mengganggu pangsa pasar yang telah direngkuh. Terlebih lagi, para pesaing tersebut biasanya memainkan taktik harga lebih murah dari pada harga yang diberlakukan bagi produk yang semula mendominasi pasar itu.
Produsen Extra Joss, yakni PT Bintang Toedjoe merasa perlu menerapkan langkah hukum karena Enerjos dengan suku kata paling akhir yang berbunyi sama dengannya kemudian menciptakan suasana mengganggu. Bagi produsen Extra Joss, bunyi suku kata paling belakang itu dipilih setelah melalui serangkaian langkah pemasaran yang panjang serta memakan biaya investasi yang besar. Sebelumnya, kata “Joss” lebih mengacu pada kata sifat “bagus” dalam bahasa Jawa. Setelah dipilih mendampingi kata “Extra”, ternyata nama ini memiliki nilai pemasaran (marketing value) tersendiri dan diterima dengan amat baik oleh pasar sebagai nama suatu produk minuman energi. Kesadaran mengenai nama tersebut juga telah melekat dengan kuat di dalam benak para konsumennya. Nama Extra Joss sendiri telah didaftarkan kepada Direktorat Jenderal Hak Karya Intelektual pada tahun 2002. Bagi PT Bintang Toedjoe, produsen Enerjos telah melakukan pelanggaran hukum yakni terkait dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Tentang Merk. Pada intinya, pasal tersebut menegaskan bahwa merk tidak dapat didaftarkan bila ada persamaan baik kata maupun bunyi.
Menurut pandangan Agus Pambagyo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, sekalipun merk dagang Enerjos pada suku kata terakhir ditulis dengan hanya menggunakan 1 huruf “s”, tetapi suku kata itu tetap diucapkan sama dengan suku kata “Joss” pada Extra Joss. Persaingan head to head seperti ini dinilai sebagai tindakan kompetisi pasar yang tidak etis. Langkah penyamaran atas suatu produk memang sering kali memberikan dampak pengelabuan pada para konsumen. Tetapi, bila pesaing tidak melakukan peniruan atau pesaing telah mematenkan hak ciptanya, maka upaya itu masih dinilai legal. Bila demikian kondisinya, pihak yang merasa ditiru merk produknya hanya bisa merasa geram. Mengingat masalah ini menimbulkan implikasi serius dalam pemasaran produk, maka berbagai aspek mengenai penyamaran produk akan dikaji secara lebih detil dalam makalah ini.
Pembahasan
Mengapa berbagai praktik penyamaran dalam pemasaran (marketing camouflage) saat ini sering dilakukan oleh para produsen, keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari semakin ketatnya kompetisi yang mereka hadapi. Sementara, mereka tidak ingin mengalami kekalahan atau kerugian. Sedangkan, para pemilik perusahaan atau pemegang saham menuntut agar para produsen tetap mampu memberikan keuntungan finansial pada mereka dari kegiatan usaha yang dilakukan. Sehingga, cara apa saja yang memungkinkan akan mereka tempuh agar keuntungan itu dapat diraih.
Telah diketahui bersama, persaingan dalam kegiatan pemasaran produk pada dasarnya adalah bentuk peperangan. Dalam peperangan, setiap pihak yang berhadapan pasti ingin tampil sebagai pemenangnya. Untuk itulah, beragam cara akan dilakukan untuk mencapainya. Salah satunya adalah melalui penyamaran atau kamuflase. Kamuflase adalah upaya menyamarkan keberadaan diri sehingga tidak terlihat oleh lawan. Lawan dalam konteks pemasaran adalah para pesaing (competitor) yang menawarkan produk baik barang maupun jasa yang sama, setidaknya serupa.
Mengingat kenyataan bahwa persaingan dalam pemasaran berlangsung secara rumit, seringkali upaya untuk mengalahkan pesaing harus dilaksanakan secara memutar, bisa juga zig-zag, atau mungkin pula melambung. Pesaing harus dikalahkan atau dikurangi kekuatannya dengan membuat para konsumen bingung terlebih dahulu. Adapun cara yang bisa dilakukan untuk membingungkan para konsumen adalah melakukan penyamaran atau kamuflase tersebut. Berkenaan dengan hal ini, bagaimanakah pertimbangan bisnis yang mendasari para produsen sehingga mereka bersedia melakukannya?
Kamuflase sering kali ditempuh oleh para produsen yang mempunyai posisi selaku pengikut pasar (market follower) atau mungkin pula penantang pasar (market challenger) yang tidak berani berhadapan secara frontal dengan pemimpin pasar (market leader). Jika diperhatikan secara lebih seksama, sebenarnya penyamaran menurut Rahmad Sumanta (2004) merupakan bagian dari strategi peniruan produk (product imitation) yang dijalankan oleh para pengikut pasar. Pada tulisannya berjudul “Innovative Imitation”, Theodore Levitt menyatakan bahwa peniruan produk bisa menjadi cara yang lebih menguntungkan untuk ditempuh daripada melakukan inovasi. Inovasi hampir senantiasa membutuhkan biaya amat besar untuk pengembangan produk baru. Ia juga membutuhkan dukungan upaya yang masif, intensif, serta keras untuk melaksanakan edukasi pada pasar. Dengan demikian, dua persyaratan utama tersebut memang membutuhkan pengorbanan besar. Sehingga, bukan merupakan hal yang mengherankan jika kebanyakan pengikut pasar memilih untuk menempuh langkah imitasi.
Langkah imitasi tersebut pada masa sekarang ini bukan saja dilakukan melalui pembuatan produk baru yang sama atau serupa. Tetapi, langkah itu seringkali dilaksanakan melalui strategi distribusi dan promosi yang tidak berbeda. Bahkan, pengemasan (packaging) produk juga dilakukan secara mirip dengan pengemasan produk milik pemimpin pasar. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, dalam wilayah pemasaran tertentu, produk pemimpin pasar tentu mampu mendominasi tempat yang disediakan oleh para grosir, agen, atau pengecer. Sebagai produk yang sedang laku, ia akan memperoleh kesempatan untuk menempati ruang lebih luas dari pada milik produsen lain. Di sini, para pengikut pasar mencoba mencari celah kesempatan untuk menyamarkan keberadaan produk mereka.
Bagi mereka, terdapat beberapa keuntungan taktis yang dapat diperoleh dari langkah itu. Keuntungan pertama yang diharapkan adalah agar para konsumen kemudian salah dalam membeli produk yang diinginkan. Para pengikut pasar mengharapkan para konsumen bersedia berbalik sikap untuk menyukai produk mereka setelah para konsumen salah dalam membeli. Berjalannya skenario diperolehnya keuntungan pertama ini dapat dicontohkan pada ilustrasi kasus persaingan dalam jasa transportasi antara Blue Bird Taxi dengan penyedia jasa yang lainnya. Berbicara masalah reputasi perusahaan, bagi para pengguna jasa taxi di Jakarta, nama Blue Bird Taxi memang tidak tertandingi. Ia adalah pemimpin pasar dalam bidang ini. Ada banyak pengguna taxi yang lebih memilih menunggu lebih lama dari pada menggunakan jasa perusahaan taxi yang lain. Tak jarang mereka tidak peduli bila dihampiri oleh taxi yang dioperasikan oleh perusahaan lain. Kondisi ini terjadi karena berdasarkan pengalaman yang telah lama terakumulasikan, menggunakan jasa Blue Bird Taxi memang lebih mampu menjamin keamanan, pelayanan yang diberikan dirasakan amat baik, dan para pengguna jasanya hampir tidak pernah mengalami kenyataan menjengkelkan karena terjebak oleh penggunaan “argometer kuda”.
Tentu saja, kondisi seperti ini membuat perusahaan taxi lainnya merasa tidak nyaman. Keadaan fisik kendaraan yang lebih bagus dan sikap pengemudi yang sopan pada kenyataannya tidak bisa menjamin armada taxi mereka dicari oleh para pengguna jasa. Kesadaran merk (brand awareness) yang telah melekat amat kuat pada Blue Bird Taxi selaku pemimpin pasar adalah penyebabnya. Asosiasi merk yang sudah telanjur tertanam kokoh padanya membuat para penyedia jasa taxi lainnya (terlebih lagi para pemain baru) menjadi sulit bergerak.
Akhirnya, mereka (merasa) terpaksa harus menempuh camouflage marketing. Upaya ini mereka tempuh dengan menampilkan ciri fisik diri mirip dengan Blue Bird Taxi. Sehingga, pada suatu saat para pengguna jasa taxi mungkin akan salah ketika mereka ingin naik taxi di Jakarta. Mungkin mereka menyangka naik Blue Bird Taxi, tetapi ternyata bukan. Hal ini terjadi karena ada beberapa perusahaan jasa taxi yang mengecat badan armada taxi mereka mirip dengan warna Blue Bird Taxi. Misalnya, para pengguna jasa taxi dahulu mengenal President Taxi sebagai perusahaan jasa taxi yang memiliki citra buruk di mata para pengguna jasanya. Sopir taksinya terkenal bersikap tidak sopan, mengemudi dengan seenaknya, menerapkan tarif secara borongan (tidak menggunakan argometer) atau bahkan banyak yang menggunakan “argometer kuda” dan kondisi fisik banyak armadanya telah tua. Walaupun sekarang perusahaan jasa taxi ini sudah mengganti namanya menjadi Prestasi Taxi dan memiliki armada yang bagus kondisi fisiknya, namun tetap saja belum mampu menghapuskan citra buruk tersebut.
Karena itulah, perusahaan jasa taksi ini kemudian mengganti warna badan armada taxinya menjadi biru, warna khas yang biasa digunakan oleh Blue Bird Taxi. Prestasi Taxi berharap bahwa para penumpang tertarik dan kemudian bersedia naik taksinya dulu, baru mereka dapat merasakan bahwa para pengemudi Prestasi Taxi sebenarnya banyak yang baik. Upaya yang sama saat ini dilakukan pula oleh Simpati Taxi yang juga mengganti warna badan armada taxinya dengan warna biru.
Adapun keuntungan kedua yang diharapkan dimaksudkan supaya para konsumen kemudian bersedia melakukan perbandingan harga sebelum mereka melakukan pembelian. Keuntungan ini diharapkan terjadi ketika para konsumen akhirnya tersadar sebelum melakukan pembelian. Pengemasan produk yang mirip dengan produk pemimpin pasar bisa menciptakan persepsi bahwa isinya mempunyai rasa dan kualitas yang sama. Konsumen yang peka terhadap harga (price sensitive) kemudian akan memilih produk pengikut pasar karena umumnya pengikut pasar menawarkan harga lebih rendah. Keadaan itu dialami oleh PT Sayap Mas Utama yang mempunyai produk minuman energi dengan merk Enerjos. Dengan tampilan serta nama yang mirip Extra Joss (produk PT Bintang Toedjoe) yang telah lebih dahulu eksis dan menjadi pemimpin pasar ditambah lagi harganya lebih murah, Enerjos dapat mengalihkan sebagian pangsa pasar minuman energi yang telah dikuasai oleh Extra Joss.
Kemudian, keuntungan ketiga yang ingin diperoleh adalah dipersepsikannya produk pengikut pasar oleh para konsumen sebagai “turunan” atau “saudara” dari produk pemimpin pasar. Biasanya, suatu perusahaan memiliki warna atau tampilan penanda identitas perusahaan (corporate identity) tertentu yang secara konsisten dilekatkan pada setiap merk dan merk turunannya. Persepsi para konsumen akan bagusnya kualitas merk produk pemimpin pasar akan ditularkan juga pada merk produk pengikut pasar yang melakukan penyamaran. Selanjutnya, para konsumen diharapkan bersedia membeli produk yang “mengaku” sebagai “saudara” dari produk pemimpin pasar itu.
Barangkali, para konsumen tidak langsung bersedia melakukan pembelian. Tetapi, paling tidak kesadaran pada merk telah terbentuk bila produk pengikut pasar tersebut memiliki merk yang mirip. Sehubungan dengan hal ini, kamuflase dalam pemberian nama merk juga bisa diterapkan. Kita dapat mencontohkan bahwa ada perangkat elektronika dengan merk Akari dan ada pula yang memiliki merk Akira. Dapat pula kita jumpai tape compo merk Polytron yang seolah-olah mempunyai saudara bernama Solytron. Anak-anak sangat menyukai makan biskuit merk Oreo dan produk ini dikembari oleh biskuit merk Rodeo. Beberapa merk yang dimiliki oleh produk pengikut pasar itu menampilkan logo dengan bentuk huruf dan bunyi suku kata terakhir yang sama atau mirip dengan merk produk pemimpin pasar.
Kamuflase dalam pemasaran produk memang bertumpu pada bingungnya para konsumen setelah langkah ini ditempuh. Karenanya, cara ini menimbulkan kesan bahwa produsen yang menerapkannya mempunyai tingkat kepercayaan diri yang kurang atau ingin memperoleh keuntungan dengan cara lebih mudah serta melalui sedikit perjuangan untuk membuktikan bagusnya kualitas produk. Tentang hal ini, kita dapat mencontohkan kasus tentang semakin ketatnya persaingan dalam bidang jasa komunikasi telepon selular yang selanjutnya menimbulkan dampak buruk berupa maraknya upaya memasarkan melalui langkah penyamaran secara curang.
Saat ini, para operator jasa komunikasi telepon selular secara gencar membujuk para pengguna jasa dengan saling memamerkan murahnya tarif percakapan melalui jalur komunikasi mereka. Iklan mengenai hal itu setiap hari ditampilkan dalam media cetak maupun media elektronika. Apabila dikaji secara kritis, upaya yang mereka lakukan untuk membujuk para pengguna jasa agar mau merogoh kantong semakin dalam sudah sampai pada tingkat yang sangat tidak etis dan menyebalkan. Mengenai hal ini, Delta Whiz (2008) mencontohkan beberapa hal yakni
1. hadiah Ring Back Tone yang tiba-tiba datang
Kita tidak meminta apalagi berlangganan nada sambung. Namun, tanpa diminta tiba-tiba saja kita “memperoleh hadiah” sebaris nada sambung dengan tarif beberapa ribu Rupiah untuk jangka waktu tertentu. Dalam pesannya yang menyertai, jika kita tidak menginginkannya, kita bisa melakukan pembatalan dengan mengetik pesan UNREG atau melalui cara yang serupa. Pada saat kita melakukan pembatalan, tarif beberapa ratus Rupiah tetap harus dibayarkan.
Melalui cara tersebut, keuntungan besar akan bisa diraih oleh operator jasa komunikasi telepon selular. Jika kita tidak menolak nada sambung yang ditawarkan, ia akan mendulang keuntungan sebesar beberapa ribu Rupiah x beberapa juta pengguna. Sedangkan bila kita menolak, operator yang lancung itu tetap akan memperoleh keuntungan sebesar beberapa ratus Rupiah x beberapa juta pengguna. Pada intinya, perampokan secara halus telah terjadi di sini.
2. pengiriman kuis murahan
Pengiriman pesan yang mirip e-mail sampah (spam) ternyata kini juga terjadi pada penggunaan telepon selular. Pemain utamanya sudah barang tentu adalah para operator. Sering kali, para operator memancing para pemilik telepon selular dengan mengirimkan berbagai kuis murahan dan mudah sekali menjawabnya dengan imbalan tawaran hadiah yang melimpah. Kuis tersebut selalu diakhiri dengan pesan untuk mengirimkan jawaban sebanyak-banyaknya.
Kadang, pertanyaan yang jawabannya sudah pasti benar (misalnya saja ibu kota negara Kroasia yang tentu saja Zagreb) dinyatakan salah. Dengan kondisi seperti ini, penipuan secara terang-terangan sekaligus pencurian uang dialami oleh para pemilik telepon selular.
3. pooling SMS yang tidak mencerdaskan dan terkesan mempermainkan emosi
Hingga saat ini, reality show pencarian idola semisal Akademi Fantasi Indosiar, Indonesian Idol, atau Kontes Dangdut TPI masih sering diselenggarakan. Dengan alasan ingin menegakkan kedaulatan pemirsa, beberapa even tersebut mensyaratkan partisipasi penonton di rumah melalui pengiriman jasa pesan singkat (short message service). Keberlanjutan eksistensi nasib para kontestan ditentukan oleh mekanisme pooling dimana para pemirsa penonton dibujuk untuk mengirimkan pesan sebanyak-banyaknya.
Sudah dapat diduga, kontestan yang bermodal paling besar dan bisa membeli pulsa paling banyak untuk menggalang dukungan dari teman, kerabat, maupun tetangga akan memiliki peluang untuk menang paling besar.
Tetapi, pada konteks sekarang, marketing camouflage juga mungkin diterapkan oleh pemimpin pasar. Apabila ia merasa tersudutkan oleh keberadaan pesaing atau pemain baru yang mampu merebut pangsa pasar yang telah dikuasainya secara mantap, penyamaran bisa menjadi langkah yang terpaksa ditempuh. Ketika Indomie (produk Indo Food) merasa terusik oleh kehadiran Mie Sedaap (produk Wings Food) yang dalam waktu singkat diterima dengan baik oleh para konsumen mie instan di Indonesia, melalui fighting brand yang dimilikinya, yaitu Supermi, ia kemudian meluncurkan Supermi Sedaaap. Melalui langkah itu, diharapkan para konsumen akan bingung dan selanjutnya terbujuk untuk membelinya. Dengan demikian, pangsa pasar bagi Mie Sedaap terkurangi oleh kehadiran Supermi Sedaaap.
Sebenarnya, jika hanya terbatas pada penyamaran, camouflage marketing tidak menciptakan dampak yang mencemaskan. Penyamaran yang ditempuh oleh para produsen guna merespons dinamika persaingan pada dasarnya lebih sering bersentuhan dengan masalah etika. Berdasarkan Tata Cara dan Tata Krama Periklanan Indonesia, persaingan head to head yang dilakukan oleh Enerjos terhadap Extra Joss dinilai telah melanggar etika.
Apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika bisnis, memang langkah penyamaran ini bertentangan dengan prinsip kejujuran (honesty principles) dalam dunia bisnis sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Sony Keraf (1998). Prinsip kejujuran dalam dunia bisnis secara umum mencakup tiga hal. Pertama, setiap pihak yang terlibat harus jujur dalam memberlakukan maupun memenuhi syarat-syarat perjanjian. Kedua, setiap pihak harus jujur ketika ia melakukan transaksi dengan pihak lain. Sedangkan yang ketiga adalah kejujuran dalam hubungan kerja internal antara jajaran manajemen dengan para karyawan pada suatu lembaga bisnis. Dari ketiga prinsip kejujuran itu, camouflage marketing yang bertumpu pada upaya untuk membuat para konsumen bingung amat mungkin untuk menciderai prinsip kejujuran kedua.
Dalam kenyataannya, penyamaran tidak jarang berlanjut pada penjiplakan serta pembajakan merk maupun hak intelektual lainnya. Beradanya camouflage marketing pada wilayah abu-abu (grey area) memang akan mampu menggoda para produsen untuk melakukan penjiplakan dan pembajakan. Tentunya, apabila kedua cara curang tersebut dilakukan, pihak yang merasa dirugikan akan melakukan tuntutan hukum. Pengadilan sering kali dijadikan tempat untuk menyelesaikan sengketa mengenai hal ini. Sekalipun tidak berlanjut pada penjiplakan maupun pembajakan, camouflage marketing sering menimbulkan dampak berupa berkurangnya reputasi bagus produk dari pemimpin pasar.
Walaupun demikian, berdasarkan beberapa penelitian pasar yang pernah dilakukan, penyamaran tidak selalu menciptakan keberhasilan sebagaimana yang diharapkan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Murray Tong, (seorang profesor bidang bisnis dari Guelph University di Kanada) menunjukkan bahwa memang ada konsumen yang akan tertipu. Tetapi sebagian besar diantaranya ternyata tidak mengalami hal yang sama. Penelitian yang dilakukan Murray Tong ini membuktikan adanya estimasi yang berlebihan atas keberhasilan camouflage marketing dalam membujuk para konsumen. Melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya di berbagai toko pengecer atas delapan produk yang paling sering dibeli semisal pasta gigi, deterjen, sabun, dan lainnya, ternyata hanya sedikit sekali konsumen yang benar-benar salah dalam membeli produk. Frekuensi kesalahan pembelian itu jauh sekali dari dampak buruk yang diklaim oleh pengadilan di Kanada yang menangani persengketaan dalam bidang bisnis. Bahkan, Murray Tong mengatakan bahwa beberapa kasus yang dibawa ke pengadilan oleh para produsen pemilik merk terkenal sebenarnya hanyalah semacam gimmick untuk memproteksi diri mereka dari kehadiran produk baru yang berusaha masuk ke pasar mereka.
Tuntutan terhadap penyamaran atas merk produk secara intensif pernah dilakukan oleh Contessa Food Product di Amerika Serikat terhadap 12 produsen pesaing yang menjual produk udang dengan kemasan mirip produk udang yang dijualnya. Saat proses pengadilan berlangsung, Contessa Food Product juga menemui perlawanan keras. Camouflage marketing memang tidak mudah dihadapi oleh pemimpin pasar. Mungkin, perasaan kurang percaya dirilah yang menyebabkan mereka takut terhadap cara tersebut. Padahal, sudah terbukti bahwa cara itu lebih sering dilakukan oleh produsen yang memiliki pangsa pasar kecil. Blue Bird Taxi sendiri tidak menunjukkan reaksi cemas terhadap camouflage marketing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan jasa taxi lainnya. Jajaran manajemen Blue Bird Taxi merasa yakin bahwa keunggulan sistem teknologi informasi yang dimiliki, perilaku para pengemudi, serta kualitas pelayanan yang diberikan kepada para pengguna jasanya tetap menjadi karakteristik khas perusahaan jasa taxi ini serta tidak akan mudah ditiru oleh para pesaingnya.
Para konsumen memang harus bersedia belajar untuk sadar terhadap berbagai praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika seperti halnya camouflage marketing ini karena sebagaimana dikatakan oleh Novie Iman (2007) pada akhirnya mereka menjadi pihak yang dirugikan. Kebingungan para konsumen akan jati diri sesungguhnya dari produk yang dibeli menjadikan mereka membeli produk yang sesungguhnya bukan sesuatu yang ingin diperoleh. Sementara, para produsen memiliki kemampuan berkelit lebih banyak dan memperoleh keuntungan tentunya. Kondisi dimana the winner takes all terjadi di sini. Sikap kritis yang ditampilkan oleh para konsumen bisa menjadikan para produsen yang lancung harus berpikir panjang bila mereka ingin melakukan kecurangan.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai langkah penyamaran yang ditempuh oleh para produsen dalam memasarkan produk mereka di atas, beberapa kesimpulan bisa diperoleh. Diantaranya adalah
1. Persaingan antara para produsen dalam memasarkan produk dewasa ini terjadi secara amat ketat sehingga camouflage marketing kemudian harus ditempuh.
2. Langkah ini dilakukan dengan bertumpu pada upaya menciptakan kebingungan pada diri para konsumen sehingga mereka dapat diarahkan untuk membeli produk suatu produk yang memiliki tampilan mirip dengan produk yang telah lebih dahulu eksis.
3. Pada dasarnya, camouflage marketing memang amat rawan dengan pelanggaran etika bisnis dalam pemasaran. Apabila penyamaran produk ini kemudian berlanjut menjadi penjiplakan dan pembajakan, permasalahan ini telah memasuki wilayah hukum.
4. Sekalipun tidak berlanjut menjadi penjiplakan dan pembajakan, pembuat produk yang telah lebih dahulu eksis tetap dirugikan. Melalui camouflage marketing, reputasi bagus suatu produk menurun sehingga pangsa pasar yang telah dikuasainya berkurang.
Saran
Berkenaan dengan masalah penyamaran yang kadang ditempuh oleh para produsen dalam memasarkan produk mereka, saran yang dapat dikemukakan di sini adalah
1. Para produsen harus mewaspadai berbagai kemungkinan dilakukannya camouflage marketing terhadap produk mereka oleh para pesaing. Kemudian, langkah antisipatif yang cerdas harus dipersiapkan.
2. Upaya edukasi kepada para konsumen agar kesadaran terhadap eksistensi produk tetap kokoh harus dilaksanakan secara berkesinambungan.
3. Selaku pengguna akhir berbagai produk, para konsumen harus bersedia bersikap kritis terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika karena pada akhirnya mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan. Sikap kritis yang ditampilkan oleh para konsumen bisa menghambat keinginan para produsen untuk melakukan kecurangan.
4. Pemerintah selaku perumus peraturan hendaknya bersedia bekerja sama serta meminta masukan wawasan dari para ahli dalam bidang pemasaran guna menciptakan peraturan yang lebih bagus, adil, serta selaras dengan perkembangan kondisi persaingan bisnis. Jangan sampai terjadi kondisi dimana peraturan yang ada bisa ditelikung oleh praktik-praktik bisnis yang curang karena peraturan yang diberlakukan itu belum mampu mewadahi penyelesaian suatu masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika.
2. Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Dr. A. Sonny Keraf. Jakarta ; Penerbit Kanisius, 1998.
3. Rampok Legal Di Negeri Edan. Delta Whiz. http://deltawhiski.wordpress.com/2008/04/17/rampok-legal-di-negeri-edan.
4. Rahmad Sumanta. Strategi Membingungkan Konsumen. Majalah Marketing Edisi November 2004 (dalam http://scylics.multiply.com/journal/item/53).
5. Etis Enggak Ya, Kalau Menyamar? Majalah Marketing Edisi September 2005.
Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar