Minggu, 31 Mei 2009

Kajian Etis Bagi Produk Cacat Dan Bermasalah

Latar Belakang Masalah
Produk cacat, membahayakan konsumen, atau kemampuannya tidak sebagus yang dipromosikan, tidak jarang ditemukan di pasar. Salah satu agen produk otomotif ternama di Indonesia, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, terpaksa harus menarik New Mitsubishi Kuda dari peredaran. Kendaraan yang sebenarnya mampu merebut perhatian para konsumen tersebut harus ditarik peredarannya karena pipa rem (brake pipe) New Mitsubishi Kuda ternyata posisinya bersentuhan dengan panel body sehingga amat rawan menimbulkan kebocoran yang membahayakan keselamatan. Penarikan dari pasar dilakukan melalui pemberitahuan resmi kepada para pemilik kendaraan. Selanjutnya, perusahaan mengundang para pemilik New Mitsubishi Kuda untuk melakukan pemeriksaan kendaraan pada dealer terdekat dan perbaikan secara gratis diberikan sekali. Walaupun cacatnya komponen kendaraan hanya diketahui dari 1 unit New Mitsubishi Kuda di kota Medan, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors memutuskan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna menghindari dampak lanjutan yang barang kali jauh lebih buruk.

Selama rentang waktu 5 tahun terakhir ini, Badan Pengawas Produk Obat dan Makanan sering kali merekomendasikan penghentian peredaran berbagai produk jamu atau obat karena setelah penelitian laboratorium dilaksanakan, kandungan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan ditemukan di dalamnya. Tidak jarang, denda maksimal harus diberlakukan karena para produsen jamu serta obat yang nakal tidak mengindahkan peringatan dan pembinaan yang telah diberikan oleh pemerintah.

Tidak hanya di Indonesia, ditariknya produk bermasalah atau cacat juga terjadi di luar negeri. Sebagai contohnya, sepeda motor merk Yamaha sebanyak 43.783 unit harus dihentikan penjualannya di Jepang karena komponen bautnya memiliki cacat yang dapat menyebabkan tempat duduk mundur bahkan kemudian jatuh. Bila hal ini terjadi, pengendara akan mengalami kecelakaan. Sementara, pada tahun 2003 silam, biskuit merk Oreo direkomendasikan untuk ditarik dari peredarannya oleh beberapa pemerintah negara bagian di Amerika Serikat. Ada satu bahan baku biskuit yakni trans-fat yang tidak disebutkan dalam label kemasan padahal bahan baku tersebut menimbulkan resiko besar bagi terstimulasikannya penyakit jantung. Berkenaan dengan produk cacat atau bermasalah, tinjauan dari sisi etika berusaha dikaji dalam makalah ini.

Pembahasan
Pada dasarnya, hubungan antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam bidang bisnis adalah hubungan yang bersifat transaksional. Sifat transaksional ini senantiasa melekat baik ketika mereka secara jelas melakukannya melalui kesepakatan tertentu maupun pada saat mereka berinteraksi secara insidental, tidak terjadwal, dan tanpa naungan perjanjian yang mengaturnya.Hubungan bisnis seperti halnya pembelian produk property, penyewaan bangunan untuk keperluan usaha, penyaluran kredit usaha oleh bank, atau penggunaan jasa akuntan publik memang terasa sekali sifat transaksionalnya karena setiap pihak yang terlibat memang menyadari serta sepakat untuk saling melakukan kewajiban dan menerima hak. Kesepakatan yang terjalin diantara mereka diatur secara tegas dalam kontrak tertulis. Sementara, pada saat seseorang membeli barang kebutuhan sehari-hari di suatu toko kelontong, menggunakan jasa perusahaan travel untuk bepergian ke suatu tempat, atau menikmati menu masakan pada suatu restoran hampir selalu tanpa disertai kesepakatan berupa kontrak tertulis. Namun, bukan berarti unsur hubungan transaksional tidak ada di sini.
Secara implisit, setiap pihak tetap dituntut untuk melakukan kewajiban serta layak untuk menerima hak. Sebagai misalnya, ketika seseorang memesan menu masakan pada suatu restoran dimana nantinya ia pasti membayar sejumlah uang untuk itu, pemilik restoran tentunya harus dapat menyediakan masakan yang rasanya sepadan dengan harga yang diberikan serta menjamin bahwa masakan tersebut aman untuk dikonsumsi. Sekalipun mereka hanya bertemu saat itu dan mereka tidak saling mengenal sebelumnya, kesadaran untuk saling memberi serta menerima dengan sendirinya harus dimiliki. Pada intinya, tanggung jawab dan hak harus terdistribusikan kepada kedua belah pihak secara relatif adil.
Hanya saja, realita yang terjadi sering kali justru tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kondisi ideal diatas. Kondisi dimana salah satu pihak dirugikan –dalam hal ini konsumen- pada saat mereka membeli produk (berupa barang maupun jasa) tidak jarang terjadi. Salah satu kasus yang kerap kali dialami dan beberapa waktu terakhir ini menyita perhatian publik adalah penjualan produk-produk cacat (defective products) atau membahayakan keselamatan para konsumen. Seperti halnya yang telah diketahui secara meluas, berbagai negara di dunia tak terkecuali Indonesia harus menarik kemudian memusnahkan susu dan beragam produk makanan yang menggunakan susu asal China sebagai bahan bakunya semisal roti, keju, yoghurt, serta biskuit. Langkah itu terpaksa harus ditempuh karena setelah penelitian laboratorium dilaksanakan, susu asal China tersebut mengandung bahan kimia melamin yang berbahaya bagi ginjal. Di negara China sendiri, tercatat beberapa orang bayi meninggal dunia karena mengalami gagal ginjal dan sekitar 50.000 orang bayi lainnya diindikasikan menderita penyakit batu ginjal karena mengkonsumsi susu dengan kandungan melamin yang telah terakumulasikan dalam tubuh.

Distribusi tanggung jawab dan hak yang adil tidak terjadi dalam kasus ini. Para produsen susu dari China memang sengaja mencampurkan melamin dalam produk susu mereka dengan tujuan mempertinggi tampilan kadar protein ketika pengujian laboratorium dilakukan. Pengujian laboratorium atas kadar protein itu sendiri merupakan suatu keharusan. Hanya untuk menyiasati salah satu prosedur wajib mereka mau melakukan tindakan yang mengancam keselamatan jiwa manusia. Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika bisnis, perilaku para produsen yang mencerminkan tidak seimbangnya distribusi tanggung jawab dan hak ini tentunya amat bertentangan dengan prinsip keadilan (equality principles) sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Sonny Keraf (1998). Prinsip keadilan menuntut agar setiap pihak yang terlibat dalam hubungan bisnis termasuk kegiatan jual beli diperlakukan setara melalui aturan yang adil dan sesuai kriteria yang obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan. Apabila para konsumen telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli susu dengan tujuan memperoleh tambahan nutrisi bagi bayi mereka tetapi ternyata justru keselamatan jiwa bayi mereka terancam, maka prinsip keadilan dalam hubungan transaksional telah tercederai.

Selain prinsip keadilan, menurut Prof. Dr. Sonny Keraf (1998) ada prinsip etis lain yang harus ditegakkan dalam hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Hubungan transaksional diantara mereka bisa berlangsung dengan baik dan terlaksana secara adil apabila prinsip kejujuran (honesty principles) serta prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principles) dijunjung tinggi. Prinsip kejujuran dalam dunia bisnis mencakup tiga hal. Pertama, setiap pihak yang terlibat harus jujur dalam memberlakukan maupun memenuhi syarat-syarat perjanjian. Kedua, setiap pihak harus jujur ketika ia melakukan transaksi dengan pihak lain. Ketiga dan tidak kalah pentingnya adalah kejujuran dalam hubungan kerja internal dalam suatu lembaga bisnis. Dari ketiga prinsip kejujuran itu, dapat dirasakan bahwa unsur pertama dan kedua tidak terpenuhi.
Seandainya dikaitkan dengan nilai religius yang merupakan nilai utama dalam kehidupan manusia, kejujuran adalah masalah yang dinilai penting dalam jalinan hubungan antara sesama (mu’amalah) terkait dengan bisnis. Sebagai misalnya, dalam Islam (Izomiddin, 2008) disyaratkan bahwa
1. Mengurangi timbangan adalah perbuatan yang dilarang karena suatu barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah lebih sedikit.
3. Para penjual atau produsen tidak boleh menyembunyikan barang yang cacat karena mereka mendapatkan harga yang baik untuk kualitas produk yang buruk. Sebaliknya, para konsumen jelas dirugikan.
4. Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang karena takaran kurma basah bila kemudian menjadi kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar tersebut.
5.Tidak diperkenankan seorang penjual menukar satu takaran kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma berkualitas sedang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasar berbeda.
Sedangkan apabila dikaitkan dengan prinsip saling menguntungkan, dalam kasus ini hanya produsenlah yang memperoleh keuntungan dan konsumen dirugikan tanpa mengetahui sebelumnya.

Guna mewujudkan prinsip-prinsip kejujuran di atas, sebagaimana dikatakan oleh Terrence A. Shimps dalam bukunya berjudul “Advertising Promotion and Supplement Aspects”, bila produsen memasarkan produknya, ia harus memberikan gambaran secara jelas tentang informasi label, grafik kemasan, aspek keamanan dari kemasan, dan implikasinya terhadap lingkungan. Informasi label tidak boleh memberikan gambaran berlebihan mengenai kandungan bahan yang dinilai baik. Sebaliknya, jika suatu produk mengandung nilai negatif seperti halnya obat flu atau batuk yang dapat menimbulkan rasa mengantuk atau memacu degub jantung, kondisi ini juga tidak boleh disembunyikan. Itikad baik produsen amat dituntut untuk ditampilkan terkait dengan masalah ini.

Selain kasus produk susu asal China yang terbukti mengandung melamin, pertengahan tahun 2001 lalu penarikan produk dari pasar pernah dilakukan pada Kratingdaeng, M-150, dan Galin Bugar. Tiga merk minuman energi itu harus ditarik peredarannya karena setelah diteliti melalui pengujian laboratorium terbukti mengandung kadar kafein hingga 80 miligram dari batas maksimal 50 miligram yang diperbolehkan. Padahal, kadar kafein yang terlalu tinggi dapat membahayakan jantung serta paru-paru. Sedangkan pada bulan April 2007 lalu, sepeda motor dengan transmisi otomatis merk Vario (varian produk Honda) diindikasikan memiliki cacat pada komponen anchor pin atau nut yang bisa berdampak buruk pada fungsi roda belakang saat dikendarai. Karena itu, PT. Astra Honda Motor selaku distributor pusat sepeda motor Honda di Indonesia menghentikan peredarannya di pasar. Tiga tahun sebelumnya, PT Daimler Chrysler Indonesia (agen tunggal mobil merk Mercedez di Indonesia) juga dengan sangat terpaksa harus menarik 1.500 unit Mercy E Class serta 30 unit Mercy SL Class dari pasar karena komponen rem kedua varian sedan mewah tersebut tidak bisa bekerja secara sempurna. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, rem mobil adalah komponen kendaraan yang berhubungan erat sekali dengan keselamatan pengendaranya. Jika rem tidak dapat bekerja secara baik, maka kemungkinan terjadinya kecelakaan sangatlah besar.

Penarikan produk cacat serta bermasalah memang menjadi keharusan bagi pihak yang memiliki otoritas. Kewenangan untuk menciptakan maslahat serta menghindarkan masyarakat dari keburukan sudah seharusnya digunakan. Namun, jika ditinjau berdasarkan prinsip normatif, para produsen atau pemasar sebenarnya adalah pihak yang harus lebih awal mengetahuinya karena mereka adalah subyek yang memiliki kedekatan dengan produk yang dibuat atau dijual serta pengetahuan tentangnya. Kemudian, mereka harus bersedia melakukan penarikan produk dari pasar tanpa mempermasalahkan untung dan rugi secara finansial karena bagaimanapun keselamatan manusia (dalam hal ini konsumen) adalah jauh lebih penting. Padahal, selama ini dari para konsumenlah keuntungan finansial yang merupakan sasaran serta penentu hidupnya kegiatan bisnis para produsen bisa diperoleh. Kesadaran etis tentang hal ini harus ditanamkan secara kuat dalam kerangka berpikir mereka.

Sesuai dengan logika bisnis mendasar, para produsen harus mengenal kondisi lingkungan tempat mereka melakukan aktivitas. Salah satu diantara faktor lingkungan yang penting sekali diperhatikan adalah faktor agama dan budaya. Hal ini harus bersedia diakomodasikan dalam setiap penentuan keputusan untuk memproduksi dan memasarkan produk. Dalam konteks Indonesia, agama yang dianut oleh sebagian besar warganya adalah Islam. Penganut agama Islam sangat berkepentingan serta juga amat peka dengan masalah halal dan haramnya suatu produk misalnya saja produk manufaktur berupa makanan dan minuman. Suatu produk bisa dikategorikan menjadi produk halal atau haram berdasarkan bahan dasarnya serta proses pembuatannya. Kedua unsur tersebut harus mampu menjamin halalnya suatu produk. Apabila salah satu saja diantara keduanya tidak halal, maka haramlah status produk itu secara syariah. Memang, apabila bahan dasarnya sudah tidak halal (misalnya saja mengandung segala materi dari tubuh hewan babi), maka tidak mungkin proses pembuatannya menjadi halal. Apabila bahan dasarnya halal untuk dikonsumsi (misalnya saja hewan sapi atau kambing yang sehat), tetapi proses produksinya (dalam hal ini cara menyembelihnya) tidak halal, maka haramlah statusnya. Karenanya, terlepas dari agama apa yang dianut oleh pemilik perusahaan atau asal negara perusahaan induk bila ia berstatus penanaman modal asing, kepastian halalnya produk secara syariah melalui pengujian oleh lembaga yang berkompeten memang merupakan keharusan jika ia menginginkan keberhasilan dalam pemasaran produknya.

Produsen harus mutlak bersedia melakukan penarikan produk dari peredaran jika kemudian diketahui bahwa produk yang dijual tidak memenuhi kriteria kehalalan. Tentunya kita masih ingat bahwa pada tahun 2000 lalu, PT Ajinomoto Indonesia harus menarik produk bumbu penyedap rasa merk Ajinomoto dari pasar. Langkah itu harus dilakukannya karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa enzim bacto-soytone yang digunakan untuk mengembangbiakkan bakteri pemecah protein ternyata terbuat dari sel pankreas babi. Bahan dasar bumbu penyedap rasa dari sari tetes tebu yang sesungguhnya halal kemudian tidak menjadikan Ajinomoto halal karena dalam proses produksinya materi dari hewan babi terlibat di dalamnya. Perusahaan ini sudah barang tentu tidak mau menanggung konsekuensi buruk dari resistensi para konsumen mayoritasnya yang beragama Islam di pasar, walaupun sebenarnya ia juga mempunyai segmen konsumen yang beragama lain.

Citra atau reputasi perusahaan adalah harta tak tampak (intangible asset) yang tidak ternilai harganya. Karena itulah, ia harus dijaga sebaik-baiknya serta ditingkatkan secara berkelanjutan. Untuk menunjangnya, sejak awal, perencanaan secara cermat dan proses produksi memang harus dilaksanakan baik agar terjadinya resiko pada produk dapat dihindari. Tetapi, kedua upaya itu tidak dapat menjamin secara penuh bahwa hal-hal buruk seperti halnya cacatnya produk dan masalah pada konsumen ketika mereka mengkonsumsinya kemudian tidak terjadi.
Jika, kedua hal itu ternyata harus terjadi, produsen dituntut untuk melakukan penarikan dari peredaran. Kesediaan produsen untuk melakukannya adalah wujud sikap bertanggung jawab darinya. Upaya ini mampu membentuk citra perusahaan (corporate image) sebagai subyek hukum yang baik dan beretika. Produsen Kratingdaeng bersedia untuk menarik produk dari pasar segera disertai permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat. Apa yang dilakukan oleh produsen Kratingdaeng ternyata kemudian mampu menumbuhkan simpati dari para konsumen dan kepercayaan kepadanya tidak hilang.

Penarikan produk dari pasar memang membutuhkan biaya dan pada saat itu produsen dirugikan secara finansial. Tetapi, bila upaya itu tidak dilakukan, kerugian yang lebih besar serta berkelanjutan karena rusaknya reputasi perusahaan pastilah akan ditanggungnya. Bahkan, jika kondisinya makin parah perusahaan harus berhenti beroperasi. Bila hal itu terjadi, pastilah nilai kerugiannya jauh lebih tinggi dari pada biaya yang dikeluarkan untuk menarik produk dari pasar. Para produsen harus ingat bahwa para konsumen pada masa sekarang dan juga mendatang sangat kritis terhadap masalah kualitas dan keamanan produk. Tuntutan bagi para produsen untuk berlaku etis dan bertanggung jawab juga telah menjadi fenomena global. Setiap produsen yang ingin berkembang dan memiliki cakupan wilayah pemasaran lebih besar tidak bisa mengabaikannya sama sekali. Jika ia mengabaikannya, ia tidak hanya sulit berkembang, tetapi akan mudah terlibas dalam persaingan dengan sesamanya.

Kesimpulan
Berkenaan dengan tinjauan secara etis terhadap produk yang cacat di atas, beberapa kesimpulan dapat dirumuskan di sini. Di antaranya adalah
1. Hubungan antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam bidang bisnis pada dasarnya adalah hubungan yang bersifat transaksional, baik pada saat ia diatur melalui perjanjian yang jelas sejak awal maupun ketika mereka berinteraksi secara insidental, tidak terjadwal, dan tanpa naungan perjanjian yang mengaturnya.
2. Dalam hubungan transaksional itu, upaya mewujudkan prinsip keadilan, kejujuran, serta saling menguntungkan memang menjadi keharusan bag i kedua belah pihak.
3. Penjualan produk-produk cacat atau membahayakan keselamatan para konsumen merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketiga prinsip tersebut. Karena itulah, tindakan itu tidak boleh dilakukan.
4. Pada kenyataannya, terdistribusikannya produk cacat atau membahayakan keselamatan para konsumen mungkin terjadi walaupun semula jelas tidak dikehendaki. Apabila keadaan itu terjadi, produsen harus mutlak bersedia melakukan penarikan produk dari peredaran sebagai wujud tanggung jawab serta kesediaan untuk menampilkan perilaku etis.
5. Kesediaan melakukan tindakan ini mampu membentuk citra perusahaan (corporate image) sebagai subyek hukum yang baik dan beretika. Langkah tersebut memang membutuhkan biaya dan memang menimbulkan kerugian secara finansial. Namun, jika langkah itu tidak dilakukan, produsen justru akan menanggung kerugian yang lebih besar serta berkelanjutan karena rusaknya reputasi perusahaan. Bagi produsen, upaya tersebut adalah investasi aset yang tak berwujud.

Saran
Beberapa hal yang bisa disarankan dalam masalah ini adalah
1. Dari awal, perencanaan secara cermat dan proses produksi harus dilaksanakan secara baik guna menghindari terjadinya resiko pada produk. Selain masalah proses produksi dan mutu produk, tentunya para produsen harus mengenal kondisi lingkungan tempat mereka melakukan aktivitas dengan baik, diantaranya adalah faktor agama dan budaya. Hal ini harus bersedia diakomodasikan oleh para produsen dalam setiap penentuan keputusan untuk memproduksi dan memasarkan produk.
2. Ketika seorang produsen memasarkan produknya, gambaran yang jelas tentang produknya diberikan kepada para konsumen. Ia tidak boleh memberikan gambaran yang berlebihan tentang kebaikan produknya serta tidak boleh menyembunyikan indikasi kekurangan yang bisa ditimbulkan oleh produknya pula.
3. Manakala produk cacat atau membahayakan keselamatan para konsumen ditemukan, upaya untuk menariknya dari peredaran harus dilakukan segera tanpa menunggu keadaan menjadi lebih buruk agar kerugian lebih besar tidak dialami.
4. Untuk membangun citra yang bagus dan menumbuhkan rasa simpati dari masyarakat, kesediaan untuk bertanggung jawab dan mengakui kesalahan yang telah terjadi harus dinyatakan secara terbuka.
5. Terkait dengan upaya membangun citra perusahaan secara berkelanjutan, fungsi hubungan masyarakat (public relation) harus diupayakan agar bisa menjalankan perannya secara elegan serta pro-aktif.

Daftar Pustaka
1. Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Dr. A. Sonny Keraf. Jakarta. Penerbit Kanisius, 1998.
2. Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika.
http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/.
3. Revitalisasi Perdagangan Islam Dalam Pengembangan Sektor Riil. Drs. Izomiddin, M.A. 2008.
4. Vario Cacat Permalukan Honda Yang Dilibas Oleh Yamaha. Prima Sp. Vardhana.
http://www.wikimu.com/News/Printaspx?id=1999.
5. Kalau produk Cacat, Bagaimana Etikanya. Majalah Marketing Edisi September 2005.

Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng. Saat ini tengah menempuh studi lanjut pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar