Tanggung Jawab Moral Produsen Terhadap Konsumen Dan Lingkungan
Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan masyarakat terwujud dari bauran atau interaksi dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh para anggotanya. Salah satu kegiatan yang dominan bahkan bisa dikatakan harus ada di dalamnya adalah aktivitas perekonomian atau bisnis. Ia menjadi amat penting untuk terlaksana karena melalui keberadaannya itulah setiap anggota masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidupnya (needs) serta keinginannya (wants). Disamping itu, merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa kehidupan masyarakat bisa mengalami akselerasi kemajuan karena dorongan yang diciptakan olehnya.
Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan masyarakat terwujud dari bauran atau interaksi dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh para anggotanya. Salah satu kegiatan yang dominan bahkan bisa dikatakan harus ada di dalamnya adalah aktivitas perekonomian atau bisnis. Ia menjadi amat penting untuk terlaksana karena melalui keberadaannya itulah setiap anggota masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidupnya (needs) serta keinginannya (wants). Disamping itu, merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa kehidupan masyarakat bisa mengalami akselerasi kemajuan karena dorongan yang diciptakan olehnya.
Jika dianalisis secara lebih spesifik, kegiatan perekonomian atau bisnis pada dasarnya terbentuk oleh tarik menarik dari kekuatan permintaan (demand) dan penawaran (supply). Kekuatan permintaan dimiliki oleh anggota masyarakat yang berperan sebagai konsumen dan ditampilkan dalam bentuk kegiatan konsumsi. Sedangkan kekuatan penawaran dimiliki oleh mereka yang menjalankan peran selaku produsen dan dicerminkan melalui kegiatan produksi. Kedua kekuatan serta kegiatan tersebut harus terjadi secara resiprokal atau timbal balik karena apabila hanya ada salah satu diantaranya, kegiatan perekonomian tidak terjadi. Demikian pula titik keseimbangan (equilibrium) di dalamnya.
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kedua kekuatan dan aktivitas itu memiliki peran yang sama berartinya. Tetapi, dalam kenyataannya, setaranya peran keduanya itu seringkali tidak disertai setaranya posisi tawar (bargaining position). Realitas sering kali menunjukkan bahwa posisi tawar yang lebih tinggi dimiliki oleh para produsen. Sedangkan para konsumen mempunyai kekuatan tawar yang lebih rendah.
Pembahasan
Sebagaimana dikemukakan di atas, para produsen mempunyai peran melakukan aktivitas produksi. Secara mendasar, produksi dimaknai sebagai upaya menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap berbagai sumber daya yang ada di lingkup alam sekitarnya (Agustianto, 2008:2). Kita dapat pula mengartikan produksi sebagai proses untuk menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada. Apabila kita hanya membaca batasan pengertian mengenai produksi tersebut secara tekstual, terlihat bahwa ia adalah suatu obyek yang bebas nilai (value free). Tetapi, apabila kita menelaahnya secara lebih dalam, ternyata tetap saja ada tuntutan etis yang harus terpenuhi dan pertimbangan normatif yang harus diperhatikan sekalipun dalam konteks kekinian hal tersebut sering kali terlupakan.
Pembahasan
Sebagaimana dikemukakan di atas, para produsen mempunyai peran melakukan aktivitas produksi. Secara mendasar, produksi dimaknai sebagai upaya menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap berbagai sumber daya yang ada di lingkup alam sekitarnya (Agustianto, 2008:2). Kita dapat pula mengartikan produksi sebagai proses untuk menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada. Apabila kita hanya membaca batasan pengertian mengenai produksi tersebut secara tekstual, terlihat bahwa ia adalah suatu obyek yang bebas nilai (value free). Tetapi, apabila kita menelaahnya secara lebih dalam, ternyata tetap saja ada tuntutan etis yang harus terpenuhi dan pertimbangan normatif yang harus diperhatikan sekalipun dalam konteks kekinian hal tersebut sering kali terlupakan.
Tanpa harus berpikir secara rumit pun, tentunya kita sepakat bahwa apabila kita membeli suatu produk (barang atau jasa), pastilah kita menginginkan segala kebaikan ada padanya. Produk yang aman untuk dikonsumsi karena dibuat melalui kaidah yang benar, tidak menimbulkan bahaya sekalipun tersembunyi, mempunyai kemampuan sebagaimana diiklankan, membawa manfaat bagi penggunanya, mampu memenuhi syarat kehalalan, serta memberikan informasi yang jelas adalah dambaan kita semua. Bahkan, seorang produsen pun akan mempunyai pemikiran yang sama apabila ia diminta untuk berkata jujur. Walaupun ia adalah pembuat suatu produk, pastilah ia menjadi konsumen bagi produk lain yang tidak dibuatnya. Sehingga, apabila ia telah mengeluarkan uang guna membeli suatu produk dan ternyata produk itu menimbulkan kerugian baginya, tentulah ia akan merasa kecewa. Ia dan juga kita semua tidak ingin membayar lebih mahal untuk produk yang kualitasnya lebih rendah. Sehingga, kita bisa menyimpulkan bahwa ditinjau dari aspek nalar umum pun, membuat produk yang baik dan bertindak etis kepada para konsumen adalah keharusan yang bersifat logis.
Ditinjau dari perspektif etika, para produsen haruslah bertanggung jawab terhadap kekurangan produk serta kerugian yang dialami oleh para konsumen karena penggunaan produk yang dibuatnya. Hal ini menurut Prof. Dr. Sonny Keraf (1998:238) adalah sesuai dengan teori biaya sosial (the social cost theory). Teori biaya sosial merupakan dasar bagi doktrin hukum yang dinamakan tanggung jawab ketat (strict liability). Tanggung jawab itu bahkan tetap harus dipikulnya walaupun ia telah melaksanakan tindakan-tindakan yang semestinya ditempuh pada saat ia membuat maupun memasarkan produk. Dengan beban tanggung jawab semacam itu, para produsen dipaksa untuk membuat produk yang baik dan aman bagi para konsumen. Terkait dengan pembuatan produk yang baik ini, para produsen pada dasarnya memiliki tanggung jawab moral dalam kualitas, harga, serta kemasan produk (Prof. Dr. Sonny Keraf, 1998:240).
Dalam hal kualitas produk, para produsen harus dapat menjamin bahwa mutu yang dijanjikan dalam informasi atau iklan tentang produk itu memang sesuai dengan kenyataan. Produk yang sudah tidak bagus kualitasnya dan bahkan mungkin membahayakan keselamatan semisal makanan, minuman, serta obat yang telah kedaluwarsa tidak boleh dijual kepada para konsumen. Begitu pula, bahan-bahan baku yang digunakan haruslah dipilih dari materi yang tidak menimbulkan bahaya. Jika tidak mungkin meniadakan bahaya sama sekali, upaya untuk memperkecil tingkatannya harus diupayakan sebisa mungkin. Selanjutnya, apabila produk itu telah jadi, dampak buruk yang mungkin ditimbulkannya perlu disampaikan secara jelas kepada para konsumen.
Sebagai ilustrasi contohnya, obat nyamuk pada dasarnya adalah produk kimiawi. Setiap produsen harus berupaya semaksimal mungkin menciptakannya dari bahan-bahan herbal yang tidak menimbulkan bahaya pada saat digunakan. Mungkin saja, penggunaan bahan kimia yang memiliki dampak negatif memang tidak dapat dihindari. Ia harus berupaya menggunakannya dalam jumlah sesedikit mungkin atau mengeliminasi dampak buruknya dengan mendayagunakan peran departemen penelitian dan pengembangan produk. Setelah berbagai bahan baku diproses menjadi obat nyamuk, ia harus memberitahukan dampak buruk yang mungkin ditimbulkan oleh obat nyamuk buatannya serta bagaimana para konsumen bisa meminimalkan resiko karenanya.
Apabila mereka menjanjikan garansi atas produk yang dibuat, garansi itu haruslah ditepati. Selain itu, sejak awal mekanisme pemberian garansi kepada para konsumen harus diinformasikan secara jelas agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman. Tidak sepantasnya pula bila seorang produsen atau penjual meraih keuntungan melalui ketidaksetaraan informasi (information asymmetry). Mengenai ketidak setaraan informasi tersebut, kita dapat mengemukakan ilustrasi contoh pembelian perangkat walk-man. Seorang pemilik toko menjual walk-man dengan mutu rendah atau cacat. Akan tetapi, secara licik ia berhasil menyembunyikan kecacatan walk-man itu. Sehingga, secara kasat mata hal itu tidak diketahui oleh pembeli kecuali setelah menggunakannya selama beberapa waktu. Kemudian, ia menggariskan aturan, pembelian yang menyatakan bahwa barang yang telah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan lagi. Setelah itu, ada seseorang yang membeli walk-man tersebut. Selaku orang yang awam tentang masalah elektronika, tentunya ia tidak bisa menemukan kecacatan pada walk-man itu dan transaksi pun terjadi. Kepadanya, penjual mengingatkan bahwa barang yang telah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan lagi. Sesudah beberapa waktu, ternyata pembeli tersebut menyampaikan keluhan tentang kerusakan yang terjadi pada walk-man yang telah dibelinya. Ia menuntut penjual untuk menggantinya. Sudah barang tentu, penjual menolaknya dengan berdalih bahwa waktu terjadi transaksi dulu walk-man dalam kondisi baik dan pembeli itu tidak mengeluhkan sesuatu pun.
Dalam masalah ini, secara legal penjual itu berada dalam posisi yang benar. Tanpa harus menggunakan jasa pengacara handal pun, ia akan menang. Tetapi, dari sudut pandang etika penjual tersebut jelas merupakan pihak yang salah. Ia sebenarnya telah mengetahui bahwa walk-man tersebut mempunyai cacat. Namun, ia sengaja menyembunyikannya dan tidak memberitahukan pada pembeli. Artinya, dari awal penjual sudah tidak memiliki itikad baik.
Harga produk hendaknya ditentukan dengan memperhatikan aspek-aspek selain biaya produksi, biaya distribusi, dan margin keuntungan yang ditetapkan untuknya. Kesepadanan dengan kinerja atau mutu produk jelas menjadi pertimbangan utama. Merupakan tindakan yang tidak etis apabila para produsen menjual produk yang sesungguhnya tergolong rendah mutunya dengan harga tinggi karena mereka bisa memanfaatkan ketidaktahuan maupun rendahnya posisi tawar para konsumen. Dijualnya beras varietas Pandan Wangi yang dicampur beras lain dengan harga lebih murah seharga beras pandan Wangi murni adalah ilustrasi contoh perilaku tidak etis dalam pemberlakuan harga. Begitu juga apabila ada seorang penjual yang memberi aroma wangi pada beras varietas lain agar dikira sebagai beras Pandan Wangi.
Sedangkan berkenaan dengan kemasan, di dalamnya produsen tidak boleh memberikan gambaran berlebihan mengenai kandungan bahan baku produk yang dinilai baik. Sebaliknya, jika suatu produk mengandung nilai negatif seperti halnya obat yang dapat menimbulkan rasa mengantuk, memacu degub jantung atau menimbulkan ketergantungan bila dikonsumsi berkelanjutan, kondisi ini juga tidak boleh disembunyikan. Dampak yang bersifat kontra indikatif tersebut harus disampaikannya secara jujur. Selain itu, deskripsi gambar, tulisan, atau kalimat yang terdapat dalam kemasan produk sudah barang tentu jangan sampai menimbulkan sentimen suku, agama, ras dan antar golongan maupun merendahkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Itikad baik produsen amat dituntut untuk ditampilkan dalam masalah ini.
Pentingnya para produsen tetap memperhatikan pertimbangan normatif dalam pembuatan produk maupun menyadari tanggung jawab moral dalam beberapa hal di atas dikarenakan hubungan antara produsen dan konsumen pada dasarnya adalah hubungan transaksional. Sifat hubungan transaksional ini senantiasa melekat baik ketika mereka secara jelas melakukannya melalui kesepakatan tertentu (semisal penyaluran kredit usaha oleh bank) maupun pada saat mereka berinteraksi secara insidental, tidak terjadwal, dan tanpa naungan perjanjian yang mengaturnya (misalnya pada saat seseorang membeli barang di toko kelontong atau menikmati menu masakan pada suatu restoran).
Hubungan transaksional mensyaratkan bahwa tanggung jawab dan hak harus terdistribusikan kepada kedua belah pihak secara relatif adil. Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika bisnis, perilaku lancung para produsen mencerminkan tidak seimbangnya distribusi tanggung jawab dan hak. Kondisi ini tentunya amat bertentangan dengan prinsip keadilan (equality principles) sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Sonny Keraf (1998:230).. Prinsip keadilan menuntut agar setiap pihak (termasuk para konsumen) diperlakukan setara melalui aturan yang adil dan sesuai kriteria obyektif serta dapat dipertanggung jawabkan. Bila kita memfokuskan perhatian pada pihak produsen, mereka tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan konsumen, termasuk dari kegiatan produksi yang dilakukan.
Demikian pula jika masalah ini dikaitkan dengan nilai-nilai normatif salah satu agama besar, yakni Islam. Perilaku bertanggung jawab para produsen tersebut memang benar-benar disyaratkan. Dikatakan oleh salah satu pemikir Islam kontemporer yakni Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya berjudul “Muqaddimah fi ‘Ilm Al Iqtishad Al Islamiy” bahwa berdasarkan prinsip agama Islam, tolok ukur utama proses produksi adalah nilai manfaat (utility) yang diciptakan oleh produk serta proses pembuatannya (Agustianto, 2008:4). Aktivitas produksi harus mengacu pada nilai manfaat dan masih berada dalam bingkai nilai halal. Bisa pula dikatakan bahwa mulai dari kegiatan mengorganisasikan sumber daya, proses produksi hingga pemasaran serta pelayanan kepada konsumen harus mengacu pada nilai-nilai moralitas Islam. Ia juga tidak boleh kemudian menimbulkan bahaya bagi seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Karenanya, pembuatan zat psikotropika adiktif atau makanan ringan berbahan baku halal tetapi mengalami kerusakan sehingga berbahaya jika dikonsumsi tidak boleh dilakukan. Anggota masyarakat pasti dirugikan karenanya dan keadaan ini tidak boleh terjadi. Begitu juga pembuatan produk yang dapat merusak moral dan menjauhkan manusia dari nilai-nilai religius seperti halnya penciptaan lagu rock dengan syair yang memuja setan.
Mengingat proses pemasaran adalah kelanjutan dari produksi, perilaku bertanggung jawab dan menjunjung nilai-nilai normatif harus berlanjut di sini. Setiap produsen tetap harus menampakkan kejujurannya. Sehubungan dengan masalah ini, kita dapat mencontohkan beberapa kaidah utama pemasaran dalam agama Islam. Misalnya saja
1) Mengurangi timbangan seperti halnya menjual bensin yang telah dikurangi takarannya dengan rekayasa tertentu adalah perbuatan yang dilarang karena suatu barang dijual dengan harga sama untuk jumlah lebih sedikit.
2) Para penjual atau produsen tidak boleh menyembunyikan produk cacat karena mereka mendapatkan harga yang baik untuk kualitas produk yang buruk. Sebaliknya, para konsumen jelas dirugikan karenanya.
3) Menukar kurma kering (atau komoditas yang setara) dengan kurma basah dilarang karena takaran kurma basah bila kemudian menjadi kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar tersebut.
4) Tidak diperkenankan seorang penjual menukar satu takaran kurma (atau komoditas yang setara) kualitas bagus dengan dua takar kurma berkualitas sedang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasar berbeda.
5) Penjualan produk palsu (misalnya kosmetika yang mengandung mercury tetapi dikatakan terbuat dari bahan herbal) jelas merupakan perbuatan terlarang karena merupakan penipuan atau bahkan pencurian hak para konsumen (Izomiddin, 2008:8).
Tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan bahwa dalam melaksanakan aktivitas produksi hendaknya tidak hanya memperhatikan kebaikan dirinya sendiri, tetapi juga kondisi lingkungan hidup di sekitarnya. Bagaimanapun juga, lingkungan hidup telah memberikan hal-hal yang amat berarti bagi kehidupan manusia (termasuk para produsen) serta kegiatan produksi pada umumnya. Dengan kata lain, lingkungan hidup telah memberikan budi sehingga membalas budi tersebut adalah kewajiban moral.
Memang, harapan itu terasa mengawang atau tidak realistis. Namun, apabila dipikirkan secara seksama, ia memiliki dukungan argumen rasional yang kuat. Proses produksi barang atau jasa pasti dilangsungkan di atas sebidang areal lingkungan tertentu. Bagusnya kondisi lingkungan menjadikan udara tempat proses produksi terlaksana segar, temperatur wilayah sejuk, dan kualitas deposit air tanah tetap baik. Dalam keadaan tersebut, suasana lingkungan yang kondusif terhadap peningkatan produktivitas kerja mudah terbentuk. Sebaliknya, dalam lingkungan yang telah tercemar atau rusak, udara kawasan itu terasa pengap, temperatur wilayah gerah, dan air dalam tanah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Pada kondisi buruk seperti itu, rasa nyaman tidak terwujud. Sebagai dampak negatif lanjutannya, produktivitas sulit untuk diharapkan terjadi. Akhirnya, para produsenlah yang mengalami kerugian.
Seperti halnya pada proses pemasaran, Islam memberikan perhatian yang serius terhadap kelestarian sumber daya alam serta lingkungan hidup. Keduanya adalah nikmat dari Tuhan kepada hambaNya. Setiap manusia wajib mensyukurinya. Adapun salah satu cara mensyukuri nikmatNya adalah dengan menjaga sumber daya alam dari polusi, kehancuran, atau kerusakan. Oleh sebab itulah, berulang kali dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa “Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” Beberapa contoh ajaran luhur di dalamnya yang relevan dengan masalah ini diantaranya
1) Dalam Al-qur’an, kita dilarang menelantarkan hewan dan sebagian sumber pertanian karena takut yang disebabkan oleh kepercayaan yang tidak jelas serta takhayul. Mengenai masalah itu, ditegaskan dalam surat Yunus ayat 59 bahwa Tuhan berfirman ” Katakanlah, terangkanlah kepadaKu tentang rezeki yang diturunkan kepadamu dan lalu Kami jadikan sebagiannya haram dan sebagian lagi halal. Katakanlah, apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”.
2) Ada berbagai hadits Nabi Muhammad yang menekankan pentingnya upaya menjaga sumber daya alam dari ancaman bahaya serta perbuatan yang sebenarnya sia-sia belaka. Beliau pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh An Nasai yang artinya “Barang siapa yang membunuh burung-burung dengan percuma, maka pada hari kiamat burung-burung itu akan berteriak dan berkata, Ya Tuhanku sesungguhnya si fulan ini telah membunuhku dengan percuma dan ia tidak memanfaatkan aku untuk apapun.”
3) Penebangan hutan secara liar (illegal logging) tidak diperbolehkan karena pasti menimbulkan kerusakan yang merugikan manusia. Pelarangan ini diperkuat dengan hadits Nabi Muhammad yang artinya adalah ” Barang siapa menebangi hutan secara liar, Allah akan menjerumuskan kepalanya ke dalam api neraka”.
4) Para peternak tidak diperkenankan menyatukan kandang maupun tempat makan dan tempat minum hewan yang sakit dengan hewan yang sehat. Larangan ini didasari oleh kekhawatiran bahwa nanti penyakitnya menular kepada hewan sehat lainnya. Hewan yang sakit harus dikarantina serta diobati terlebih dahulu hingga sembuh karena pada satu sisi ia termasuk makhluk hidup dan pada sisi lain ia adalah asset yang bisa dikembangkan nilainya. Melalui salah satu haditsnya, Nabi Muhammad pernah bersabda “Jangan menyatukan ternak yang sakit dengan ternak yang sehat!”.
5) Apabila seseorang memiliki binatang ternak yang bermanfaat, sebisa mungkin ia tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya. Terkait dengan ajaran itu, pada suatu saat Nabi Muhammad pernah berkunjung ke rumah salah satu warga Anshar di Madinah. Untuk menghormati beliau, orang itu ingin menjamu makan dengan memotong kambing perah yang dimiliki. Atas hal tersebut, beliau mengatakan, “Jangan kau sembelih kambing perahmu! Sebaiknya, jika mau menghormati tamu, potonglah binatang ternakmu lainnya yang bukan kambing perah”. Nabi Muhammad melarangnya untuk menyembelih kambing perah tersebut guna dihidangkan sebab ia dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan.
6) Kulit binatang (halal) yang telah mati harus tetap dimanfaatkan. Perintah itu pernah disampaikan ketika Nabi Muhammad melihat seekor kambing yang mati. Kemudian beliau bertanya, “Siapakah pemilik kambing ini?”. Salah seorang sahabat menjawab, “Pemiliknya adalah Maimunah Ummul Mukminin”. Selanjutnya beliau bertanya, “Tidakkah kamu ingin memanfaatkan kulitnya?”. Sahabat tersebut lalu menjawab, “Kambing itu telah menjadi bangkai”. Beliau memerintahkan, “Manfaatkanlah dengan menyamak kulitnya terlebih dahulu!”
7) Memanfaatkan tanah yang benar-benar tak bertuan untuk hal-hal yang mendatangkan manfaat dengan prosedur yang benar sangat dianjurkan. Tanah yang benar-benar tak bertuan itu harus diolah sehingga memberikan faedah kepada seseorang atau kelompok masyarakat. Dalam kaidah fiqih, pemanfaatan tanah tak bertuan ini disebut ihyaul mawat.
Secara empiris, kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan ini ternyata telah terbukti mampu menciptakan manfaat yang bersifat konkret. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh The Performance Group (suatu konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling) diketahui bahwa kesediaan produsen mengembangkan produk yang ramah lingkungan dan meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap tanggung jawab atas lingkungan (environmental compliance) bisa meningkatkan laba tiap lembar saham (earning per share) perusahaan dan kemampuan menghasilkan laba (profitability) serta mempermudah mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi dari pihak lain. Keadaan itu terjadi karena citra positif yang bisa ditunjukkan olehnya diapresiasi secara antusias oleh para pembeli saham.
Pada tahun 1999, dalam jurnal Business and Society Review dikemukakan hasil penelitian bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik atas dasar kepatuhan pada kode etik akan meningkatkan nilai tambah pasar (market value added) sampai dua hingga tiga kali lipat daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Sedangkan berdasarkan seperti riset yang dilakukan oleh De Paul University pada tahun 1997 diketahui bahwa perusahaan yang merealisasikan komitmennya dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa jika diukur melalui hasil penjualan dan pendapatan tiap tahun. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menampilkan perilaku etis serta bertanggung jawab kepada para konsumen, lingkungan hidup, serta masyarakat luas.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai pentingnya para produsen menerapkan perilaku etis kepada berbagai pihak dalam aktivitas produksi dan pemasaran, ada beberapa pokok pemikiran yang dapat dijadikan kesimpulan. Diantaranya adalah
1) Aktivitas perekonomian atau bisnis sebenarnya memiliki arti penting bagi dinamika kehidupan masyarakat karena dengannya anggota masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidup serta keinginan. Disamping itu, kehidupan masyarakat dapat mengalami akselerasi kemajuan karena dorongan yang diciptakan olehnya.
2) Kegiatan perekonomian atau bisnis tersebut pada dasarnya terbentuk oleh tarik menarik dari kekuatan permintaan para konsumen dan penawaran para produsen.
3) Sebenarnya, para produsen dan konsumen mempunyai peran yang setara dalam membentuknya. Tetapi, setaranya peran itu seringkali tidak disertai kesetaraan dalam posisi tawar. Kenyataan sering kali menunjukkan bahwa posisi tawar yang lebih tinggi dimiliki oleh para produsen. Sedangkan para konsumen mempunyai kekuatan tawar yang lebih rendah.
4) Berdasarkan tinjauan etis, setiap produsen memiliki tanggung jawab dalam moral dalam kualitas, harga, serta kemasan produk.
5) Dalam hal kualitas produk, para produsen memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa mutu yang dijanjikan dalam informasi atau iklan tentang produk itu memang sesuai dengan kenyataan dan harga produk sepadan dengan kinerja atau mutunya. Sedangkan berkenaan dengan kemasan, produsen tidak boleh memberikan gambaran berlebihan mengenai kelebihan produk. Sebaliknya, kekurangan atau dampak buruk yang dimiliki tidak boleh disembunyikan.
6) Perhatian kepada kondisi lingkungan hidup di sekitarnya adalah hal yang penting karena ia telah memberikan hal-hal yang amat berarti bagi kehidupan manusiapada umumnya serta kegiatan produksi pada khususnya.
7) Kesediaan untuk menampilkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan ini ternyata mampu menciptakan manfaat yang bersifat konkret bagi para produsen atau pelaku usaha. Manfaat itu misalnya saja meningkatnya laba tiap lembar saham dan profitabilitas, nilai tambah pasar, serta kinerja finansial lainnya.
Saran
1) Secara prinsip, setiap produsen harus bersedia menghayati dan melaksanakan tanggung jawab etis kepada para konsumen. Empati memang harus dimiliki mengingat kenyataan bahwa jika ia diperlakukan secara tidak etis atau curang, ia juga merasakan kerugian. Padahal, ia sendiri juga berposisi sebagai konsumen bagi produk lain yang tidak dihasilkannya.
2) Masyarakat dan juga pemerintah hendaknya melakukan edukasi terhadap dirinya secara berkelanjutan untuk membiasakan diri memberikan apresiasi dalam berbagai bentuk kepada para produsen yang bertindak etis dan jujur. Hal itu perlu dilakukan sebagai semacam insentif sosial guna mendorong para produsen lainnya agar melaksanakan tindakan yang sama.
3) Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam penciptaan peraturan harus berupaya keras melakukan penegakan hukum secara konsisten. Produk hukum yang dinilai menunjang harus diciptakan untuk memberikan landasan bertindak. Upaya tersebut amat penting artinya karena tanggung jawab serta perilaku etis para produsen bisa disyaratkan apabila sejumlah aturan hukum yang relevan memang telah ada. Dengan demikian, produsen yang berlaku curang bisa diberi sanksi yuridis.
4) Para produsen hendaknya menjalin hubungan dengan pemerintah guna menciptakan atau melakukan penyesuaian atas standar perilaku normatif yang harus dipenuhi. Melalui upaya ini, setiap produsen diharapkan memiliki kesamaan persepsi dalam menjalankan kegiatannya. Demikian pula, pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan.
5) Kalangan perbankan sebagai pihak yang sering berinteraksi dengan para pelaku usaha sudah sepantasnya berperan dalam masalah ini. Ketaatan terhadap peraturan, perilaku etis yang ditampilkan, reputasi bagus di hadapan para konsumen, hubungan harmonis dengan masyarakat, serta tanggung jawab sosial yang telah ditunjukkan harus dijadikan pula sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian pinjaman usaha.
Daftar Pustaka
1) Etika Bisnis. Ratna Muryani. 2008. http://edratna.wordpress.com/2006/12
2) Etika Bisnis; Pentingkah? Ririe Satria. 2008. http://www.ririsatria.net/2008/10/07/etika-bisnis-pentingkah/
3) Etika Bisnis; Tuntutan dan Relevansinya. Prof. Dr. Sonny Keraf. 1998. http://books.google.com/books?id=
4) Etika Dagang Mundur, Konsumen Dirugikan. Djuhari Karnawisastra. 2008. http://www.pacamat.com/etika-dagang-mundur-konsumen-dirugikan
5) Etika Bisnis dan Bisnis Yang Beretika. Novie Imansyah. 2008. http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/
6) Etika Produksi Dalam Islam. Agustianto. 2008. http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksi-dalam-islam/
7) Mempertanyakan Etika Bisnis Di Saat Krisis. A. Jauhari. 2008. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/20/eko04.html
8) Revitalisasi Perdagangan Islam Dalam Pengembangan Sektor Riil. Drs. Izomiddin, M.A. 2008. http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=28
Muliawan Hamdani, S.E. Staff edukatif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bank BPD Jateng dan mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.